UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2002
TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin
kesejahteraan tiap-tiap warga
negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang
merupakan hak asasi manusia;
b. bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa,
yang dalam dirinya melekat
harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya;
c. bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda
penerus cita-cita perjuangan bangsa,
memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus
yang menjamin kelangsungan
eksistensi bangsa dan negara pada masa depan;
d. bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab
tersebut, maka ia perlu
mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal, baik
fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu
dilakukan upaya perlindungan serta
untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan
jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya
serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi;
e. bahwa untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan
anak diperlukan dukungan
kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat
menjamin pelaksanaannya;
f. bahwa berbagai undang-undang hanya mengatur hal-hal
tertentu mengenai anak dan secara
khusus belum mengatur keseluruhan aspek yang berkaitan
dengan perlindungan anak;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b,
c, d, e, dan f perlu ditetapkan
Undang-undang tentang Perlindungan Anak;
Mengingat :
1. Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, Pasal 28B ayat
(2), dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak (Lembaran Negara Tahun
1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all
Forms of Discrimination Against
Women) (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Nomor
3277);
4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
(Lembaran Negara Tahun
1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668);
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
(Lembaran Negara Tahun
1997 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3670);
6. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO
Convention No. 138
Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi
ILO mengenai Usia
Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja) (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 56,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3835);
7. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
8. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO
Convention No. 182
Concerning The Prohibition and Immediate Action for The
Elimination of The Worst Forms of
Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan
Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) (Lembaran
Negara Tahun 2000 Nomor 30,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3941);
Dengan persetujuan :
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi anak dan hakhaknya
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi,
secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
3. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang
terdiri dari suami istri, atau suami istri
dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya,
atau keluarga sedarah dalam garis
lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.
4. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah
dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu
angkat.
5. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya
menjalankan kekuasaan asuh sebagai
orang tua terhadap anak.
6. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya
secara wajar, baik fisik, mental,
spiritual, maupun sosial.
7. Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami
hambatan fisik dan/atau mental
sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara
wajar.
8. Anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai
kecerdasan luar biasa, atau
memiliki potensi dan/atau bakat istimewa.
9. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan keluarga orang
tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab
atas perawatan, pendidikan, dan
membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga
orang tua angkatnya berdasarkan
putusan atau penetapan pengadilan.
10. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau
lembaga, untuk diberikan bimbingan,
pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena
orang tuanya atau salah satu
orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara
wajar.
11. Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh,
mendidik, memelihara, membina,
melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama
yang dianutnya dan
kemampuan, bakat, serta minatnya.
12. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dijamin, dilindungi, dan dipenuhi
oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan
negara.
13. Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan
organisasi sosial dan/atau
organisasi kemasyarakatan.
14. Pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai
kompetensi profesional dalam bidangnya.
15. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan
kepada anak dalam situasi darurat,
anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok
minoritas dan terisolasi, anak yang
dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya (napza), anak
korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban
kekerasan baik fisik dan/atau mental,
anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah
dan penelantaran.
16. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
17. Pemerintah adalah Pemerintah yang meliputi Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan
berlandaskan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip
dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :
a. non diskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.
Pasal 3
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya
hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi
terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN ANAK
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri
dan status kewarganegaraan.
Pasal 6
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya,
berpikir, dan berekspresi sesuai dengan
tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya,
dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya
sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat
menjamin tumbuh kembang anak, atau
anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak
diasuh atau diangkat sebagai anak asuh
atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan
fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Pasal 9
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
khusus bagi anak yang menyandang cacat
juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi
anak yang memiliki keunggulan
juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya,
menerima, mencari, dan memberikan
informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan
nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Pasal 11
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu
luang, bergaul dengan anak yang
sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan
minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya
demi pengembangan diri.
Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh
rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan
taraf kesejahteraan sosial.
Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali,
atau pihak lain mana pun yang bertanggung
jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan
segala bentuk perlakuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan
hukuman.
Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri,
kecuali jika ada alasan dan/atau aturan
hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak dan
merupakan pertimbangan terakhir.
Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur
kekerasan; dan
e. pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai
dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak
hanya dilakukan apabila sesuai dengan
hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya
terakhir.
Pasal 17
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa;
b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara
efektif dalam setiap tahapan upaya
hukum yang berlaku; dan
c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan
anak yang objektif dan tidak
memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan
seksual atau yang berhadapan dengan
hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana
berhak mendapatkan bantuan hukum dan
bantuan lainnya.
Pasal 19
Setiap anak berkewajiban untuk :
a. menghormati orang tua, wali, dan guru;
b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
BAB IV
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 20
Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab
terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Bagian Kedua
Kewajiban dan Tanggung Jawab
Negara dan Pemerintah
Pasal 21
Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab
menghormati dan menjamin hak asasi
setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan,
jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa,
status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik
dan/atau mental.
Pasal 22
Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab
memberikan dukungan sarana dan
prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Pasal 23
(1) Negara dan pemerintah menjamin perlindungan,
pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang
lain yang secara hukum
bertanggung jawab terhadap anak.
(2) Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan
perlindungan anak.
Pasal 24
Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan
haknya dalam menyampaikan pendapat
sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.
Bagian Ketiga
Kewajiban dan Tanggung Jawab Masyarakat
Pasal 25
Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan
anak dilaksanakan melalui kegiatan
peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Bagian Keempat
Kewajiban dan Tanggung Jawab
Keluarga dan Orang Tua
Pasal 26
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat,
dan minatnya; dan
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui
keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak
dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka
kewajiban dan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada
keluarga, yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB V
KEDUDUKAN ANAK
Bagian Kesatu
Identitas Anak
Pasal 27
(1) Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak
kelahirannya.
(2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan
dalam akta kelahiran.
(3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat
keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau
membantu proses kelahiran.
(4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui,
dan orang tuanya tidak diketahui
keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut
didasarkan pada keterangan orang
yang menemukannya.
Pasal 28
(1) Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab
pemerintah yang dalam pelaksanaannya
diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat
kelurahan/desa.
(2) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus diberikan paling lambat 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukannya
permohonan.
(3) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak dikenai biaya.
(4) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan
akta kelahiran sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Anak yang Dilahirkan dari
Perkawinan Campuran
Pasal 29
(1) Jika terjadi perkawinan campuran antara warga negara
Republik Indonesia dan warga negara
asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak
memperoleh kewarganegaraan dari
ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), anak berhak
untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada
dalam pengasuhan salah satu dari
kedua orang tuanya.
(3) Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), sedangkan anak belum
mampu menentukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan
Republik Indonesia, demi
kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya,
pemerintah berkewajiban mengurus status
kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak tersebut.
BAB VI
KUASA ASUH
Pasal 30
(1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26,
melalaikan kewajibannya,
terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa
asuh orang tua dapat dicabut.
(2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan
kuasa asuh sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.
Pasal 31
(1) Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga
sampai derajat ketiga, dapat mengajukan
permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan
pengadilan tentang pencabutan kuasa
asuh orang tua atau melakukan tindakan pengawasan apabila
terdapat alasan yang kuat untuk itu.
(2) Apabila salah satu orang tua, saudara kandung, atau
keluarga sampai dengan derajat ketiga, tidak
dapat melaksanakan fungsinya, maka pencabutan kuasa asuh
orang tua sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh pejabat yang
berwenang atau lembaga lain yang
mempunyai kewenangan untuk itu.
(3) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat menunjuk orang
perseorangan atau lembaga pemerintah/masyarakat untuk
menjadi wali bagi yang
bersangkutan.
(4) Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus
seagama dengan agama yang dianut anak yang akan diasuhnya.
Pasal 32
Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
ayat (3) sekurang-kurangnya memuat
ketentuan :
a. tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua
kandungnya;
b. tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk
membiayai hidup anaknya; dan
c. batas waktu pencabutan.
BAB VII
PERWALIAN
Pasal 33
(1) Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan
hukum, atau tidak diketahui tempat
tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum
yang memenuhi persyaratan dapat
ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan.
(2) Untuk menjadi wali anak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan melalui penetapan
pengadilan.
(3) Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
agamanya harus sama dengan agama
yang dianut anak.
(4) Untuk kepentingan anak, wali sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) wajib mengelola harta milik
anak yang bersangkutan.
(5) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penunjukan wali
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
Wali yang ditunjuk berdasarkan penetapan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dapat
mewakili anak untuk melakukan perbuatan hukum, baik di dalam
maupun di luar pengadilan untuk
kepentingan yang terbaik bagi anak.
Pasal 35
(1) Dalam hal anak belum mendapat penetapan pengadilan
mengenai wali, maka harta kekayaan anak
tersebut dapat diurus oleh Balai Harta Peninggalan atau
lembaga lain yang mempunyai
kewenangan untuk itu.
(2) Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) bertindak
sebagai wali pengawas untuk mewakili kepentingan anak.
(3) Pengurusan harta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) harus mendapat penetapan
Pasal 36
(1) Dalam hal wali yang ditunjuk ternyata di kemudian hari
tidak cakap melakukan perbuatan hukum
atau menyalahgunakan kekuasaannya sebagai wali, maka status
perwaliannya dicabut dan ditunjuk
orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan.
(2) Dalam hal wali meninggal dunia, ditunjuk orang lain
sebagai wali melalui penetapan pengadilan.
BAB VIII
PENGASUHAN DAN PENGANGKATAN ANAK
Bagian Kesatu
Pengasuhan Anak
Pasal 37
(1) Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya
tidak dapat menjamin tumbuh
kembang anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual,
maupun sosial.
(2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh lembaga yang
mempunyai kewenangan untuk itu.
(3) Dalam hal lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
berlandaskan agama, anak yang diasuh
harus yang seagama dengan agama yang menjadi landasan
lembaga yang bersangkutan.
(4) Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang
tidak berlandaskan agama, maka
pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang
dianut anak yang bersangkutan.
(5) Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam
atau di luar Panti Sosial.
(6) Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui
lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).
Pasal 38
(1) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37,
dilaksanakan tanpa membedakan suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan
bahasa, status hukum anak, urutan
kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.
(2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
diselenggarakan melalui kegiatan
bimbingan, pemeliharaan, perawatan, dan pendidikan secara
berkesinambungan, serta dengan
memberikan bantuan biaya dan/atau fasilitas lain, untuk
menjamin tumbuh kembang anak secara
optimal, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial, tanpa
mempengaruhi agama yang dianut anak.
Bagian Kedua
Pengangkatan Anak
Pasal 39
(1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk
kepentingan yang terbaik bagi anak dan
dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
tidak memutuskan hubungan darah
antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.
(3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang
dianut oleh calon anak angkat.
(4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir.
(5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama
anak disesuaikan dengan agama mayoritas
penduduk setempat.
Pasal 40
(1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak
angkatnya mengenai asal usulnya dan orang
tua kandungnya.
(2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang
bersangkutan.
Pasal 41
(1) Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan
pengangkatan anak.
(2) Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN
Bagian Kesatu
Agama
Pasal 42
(1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah
menurut agamanya.
(2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang
dipeluk anak mengikuti agama orang
tuanya.
Pasal 43
(1) Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua,
wali, dan lembaga sosial menjamin
perlindungan anak dalam memeluk agamanya.
(2) Perlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) meliputi
pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi
anak.
Bagian Kedua
Kesehatan
Pasal 44
(1) Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan
menyeleng-garakan upaya kesehatan yang
komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat
kesehatan yang optimal sejak dalam
kandungan.
(2) Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan
secara komprehensif sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) didukung oleh peran serta
masyarakat.
(3) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) meliputi upaya
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk
pelayanan kesehatan dasar
maupun rujukan.
(4) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1)
diselenggarakan secara cuma-cuma bagi keluarga yang tidak
mampu.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
disesuaikan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 45
(1) Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga
kesehatan anak dan merawat anak sejak
dalam kandungan.
(2) Dalam hal orang tua dan keluarga yang tidak mampu
melaksanakan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pemerintah wajib
memenuhinya.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
pelaksanaannya dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 46
Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib
mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari
penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau
menimbulkan kecacatan.
Pasal 47
(1) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib
melindungi anak dari upaya transplantasi organ
tubuhnya untuk pihak lain.
(2) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib
melindungi anak dari perbuatan :
a. pengambilan organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak
tanpa memperhatikan kesehatan
anak;
b. jual beli organ dan/atau jaringan tubuh anak; dan
c. penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek
penelitian tanpa seizin orang tua
dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak.
Bagian Ketiga
Pendidikan
Pasal 48
Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9
(sembilan) tahun untuk semua anak.
Pasal 49
Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya
kepada anak untuk memperoleh pendidikan.
Pasal 50
Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diarahkan
pada :
a. pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat,
kemampuan mental dan fisik
sampai mencapai potensi mereka yang optimal;
b. pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan
kebebasan asasi;
c. pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas
budaya, bahasa dan nilai-nilainya
sendiri, nilai-nilai nasional di mana anak bertempat
tinggal, dari mana anak berasal, dan
peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban
sendiri;
d. persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab;
dan
e. pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan
hidup.
Pasal 51
Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan
kesempatan yang sama dan aksesibilitas
untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
Pasal 52
Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan
aksesibilitas untuk memperoleh
pendidikan khusus.
Pasal 53
(1) Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya
pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma
atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu,
anak terlantar, dan anak yang
bertempat tinggal di daerah terpencil.
(2) Pertanggungjawaban pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) termasuk pula mendorong
masyarakat untuk berperan aktif.
Pasal 54
Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi
dari tindakan kekerasan yang dilakukan
oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam
sekolah yang bersangkutan, atau lembaga
pendidikan lainnya.
Bagian Keempat
Sosial
Pasal 55
(1) Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan
perawatan anak terlantar, baik dalam
lembaga maupun di luar lembaga.
(2) Penyelenggaraan pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat dilakukan oleh
lembaga masyarakat.
(3) Untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak
terlantar, lembaga pemerintah dan
lembaga masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat
mengadakan kerja sama dengan
berbagai pihak yang terkait.
(4) Dalam hal penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3),
pengawasannya dilakukan oleh Menteri Sosial.
Pasal 56
(1) Pemerintah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan
perawatan wajib mengupayakan dan
membantu anak, agar anak dapat :
a. berpartisipasi;
b. bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati
nurani dan agamanya;
c. bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai
dengan tahapan usia dan perkembangan
anak;
d. bebas berserikat dan berkumpul;
e. bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan
berkarya seni budaya; dan
f. memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan
dan keselamatan.
(2) Upaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikembangkan
dan disesuaikan dengan usia, tingkat
kemampuan anak, dan lingkungannya agar tidak menghambat dan
mengganggu perkembangan
anak.
Pasal 57
Dalam hal anak terlantar karena suatu sebab orang tuanya
melalaikan kewajibannya, maka lembaga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, keluarga, atau pejabat
yang berwenang dapat mengajukan
permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak sebagai anak
terlantar.
Pasal 58
(1) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57
sekaligus menetapkan tempat
penampungan, pemeliharaan, dan perawatan anak terlantar yang
bersangkutan.
(2) Pemerintah atau lembaga yang diberi wewenang wajib
menyediakan tempat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Bagian Kelima
Perlindungan Khusus
Pasal 59
Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk memberikan
perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak
yang berhadapan dengan hukum, anak
dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual, anak
yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan
narkotika, alkohol, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,
penjualan dan perdagangan, anak korban
kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat,
dan anak korban perlakuan salah
dan penelantaran.
Pasal 60
Anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 terdiri atas :
a. anak yang menjadi pengungsi;
b. anak korban kerusuhan;
c. anak korban bencana alam; dan
d. anak dalam situasi konflik bersenjata.
Pasal 61
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi pengungsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf
a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum humaniter.
Pasal 62
Perlindungan khusus bagi anak korban kerusuhan, korban
bencana, dan anak dalam situasi konflik
bersenjata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b,
huruf c, dan huruf d, dilaksanakan melalui:
a. pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan,
sandang, pemukiman, pendidikan,
kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan
persamaan perlakuan; dan
b. pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang
cacat dan anak yang mengalami
gangguan psikososial.
Pasal 63
Setiap orang dilarang merekrut atau memperalat anak untuk
kepentingan militer dan/atau lainnya dan
membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa.
Pasal 64
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan
hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak
korban tindak pidana, merupakan
kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan
hukum sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilaksanakan melalui :
a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan
martabat dan hak-hak anak;
b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c. penyediaan sarana dan prasarana khusus;
d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak;
e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap
perkembangan anak yang berhadapan
dengan hukum;
f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan
orang tua atau keluarga; dan
g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media
massa dan untuk menghindari
labelisasi.
(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilaksanakan melalui :
a. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar
lembaga;
b. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui
media massa dan untuk menghindari
labelisasi;
c. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi
ahli, baik fisik, mental, maupun
sosial; dan
d. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara.
Pasal 65
(1) Perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas
dan terisolasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 dilakukan melalui penyediaan prasarana dan
sarana untuk dapat menikmati
budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya
sendiri, dan menggunakan
bahasanya sendiri.
(2) Setiap orang dilarang menghalang-halangi anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk
menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan
ajaran agamanya, dan menggunakan
bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses pembangunan
masyarakat dan budaya.
Pasal 66
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara
ekonomi dan/atau seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung
jawab pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan melalui :
a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan
dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual;
b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
c. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan,
serikat pekerja, lembaga swadaya
masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi
terhadap anak secara ekonomi
dan/atau seksual.
(3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan,
melakukan, menyuruh melakukan, atau turut
serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 67
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan
narkotika, alkohol, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59, dan terlibat dalam
produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya
pengawasan, pencegahan, perawatan, dan
rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan,
membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan
anak dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 68
Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan,
dan perdagangan anak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan,
perlindungan, pencegahan,
perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,
menyuruh melakukan, atau turut serta
melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 69
Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 meliputi
kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya
:
penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang melindungi anak
korban tindak kekerasan; dan
pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.
Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,
menyuruh melakukan, atau
turut serta melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
Pasal 70
Perlindungan khusus bagi anak yang menyandang cacat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
dilakukan melalui upaya :
perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan
hak anak;
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus; dan
memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk
mencapai integrasi sosial sepenuh
mungkin dan pengembangan individu.
Setiap orang dilarang memperlakukan anak dengan mengabaikan
pandangan mereka secara
diskriminatif, termasuk labelisasi dan penyetaraan dalam
pendidikan bagi anak-anak yang
menyandang cacat.
Pasal 71
Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan
penelantaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 dilakukan melalui pengawasan, pencegahan,
perawatan, dan rehabilitasi oleh
pemerintah dan masyarakat.
Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan,
menyuruh melibatkan anak dalam
situasi perlakuan salah, dan penelantaran sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
BAB X
PERAN MASYARAKAT
Pasal 72
(1) Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya
untuk berperan dalam perlindungan
anak.
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh orang perseorangan,
lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan,
lembaga swadaya masyarakat,
lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan
media massa.
Pasal 73
Peran masyarakat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XI
KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA
Pasal 74
Dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan
perlindungan anak, dengan undang-undang
ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang
bersifat independen.
Pasal 75
(1) Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terdiri
dari 1 (satu) orang ketua, 2 (dua) orang
wakil ketua, 1 (satu) orang sekretaris, dan 5 (lima) orang
anggota.
(2) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
terdiri dari unsur pemerintah, tokoh
agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi
kemasyarakatan, organisasi profesi,
lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan kelompok
masyarakat yang peduli terhadap
perlindungan anak.
(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun, dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan organisasi,
mekanisme kerja, dan pembiayaan
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 76
Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas :
melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan
perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima
pengaduan masyarakat,
melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak;
memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada
Presiden dalam rangka
perlindungan anak.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :
a. diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak
mengalami kerugian, baik materiil
maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau
b. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak
mengalami sakit atau penderitaan, baik
fisik, mental, maupun sosial,
c. dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 78
Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak
dalam situasi darurat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum,
anak dari kelompok minoritas dan
terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual, anak yang diperdagangkan, anak
yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza),
anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak
korban kekerasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan
pertolongan dan harus dibantu, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Pasal 79
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang
bertentangan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4),
dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 80
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau
ancaman kekerasan, atau penganiayaan
terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta
rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka
berat, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati,
maka pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang
tuanya.
Pasal 81
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan
atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain,
dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit
Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berlaku pula bagi setiap orang yang
dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).
Pasal 83
Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik
anak untuk diri sendiri atau untuk
dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 84
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak
untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
Pasal 85
(1) Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh
dan/atau jaringan tubuh anak dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan
tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau
penelitian kesehatan yang menggunakan
anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua atau
tidak mengutamakan kepentingan yang
terbaik bagi anak, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 86
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat,
rangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya
sendiri, padahal diketahui atau
patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum
bertanggung jawab sesuai dengan agama
yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 87
Setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau
memperalat anak untuk kepentingan militer
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 atau penyalahgunaan
dalam kegiatan politik atau pelibatan
dalam sengketa bersenjata atau pelibatan dalam kerusuhan
sosial atau pelibatan dalam peristiwa yang
mengandung unsur kekerasan atau pelibatan dalam peperangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 88
Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak
dengan maksud untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
Pasal 89
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan,
membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan
anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi
narkotika dan/atau psikotropika dipidana
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling sedikit
Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan,
membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan
anak dalam penyalahgunaan, produksi, atau distribusi alkohol
dan zat adiktif lainnya dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
paling singkat 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
denda paling sedikit Rp
20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Pasal 90
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80,
Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86,
Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89
dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan
kepada pengurus dan/atau korporasinya.
(2) Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana
denda dengan ketentuan pidana denda yang
dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda
masing-masing sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 91
Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan
dengan perlindungan anak yang sudah ada dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 92
Pada saat berlakunya undang-undang ini, paling lama 1 (satu)
tahun, Komisi Perlindungan Anak
Indonesia sudah terbentuk.
Pasal 93
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 Oktober 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Oktober 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 109
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II
Ttd.
Edy
Sudibyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar