Search

Total Tayangan Halaman

Senin, 04 Februari 2013

HUKUM KELUARGA


PERKAWINAN
• Pengaturan sebelum UU No.1 Tahun 1974
1.      Peraturan Perkawinan campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken) Stb 1898 No. 158
2.      Ordonansi Perkawinan Indonesia - Kristen Jawa, Minahasa dan Ambon (huwelijke Ordonantie voor Christen Indonesia Jawa, Minahasa en Amboina) Stb. 1933 No. 74 jo 36 - 607 jo LN 1946 No. 136
3.      KUHPerdata
4.      UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan NTR – LN No. 1954 No. 98
• Undang-undang Perkawinan Indonesia
1.      Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP)
2.      PP No. 9 Tahun 1975
3.      PP No. 10 Tahun 1983
4.      PP No. 45 Tahun 1990
• Pasal 66 UUP : Segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan sejauh telah diatur dalam UU ini, dinyatakan tidak berlaku
• Hal - hal yang tidak diatur dan tidak bertentangan dengan UU masih tetap dapat dipakai

Pengertian Perkawinan
• Pasal 1 UUP
        “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
        Berisi arti dan tujuan perkawinan
• Pasal 26 KUHPerdata
        Tidak ada definisi perkawinan
        “Undang - undang memandang perkawinan hanya dalam hubungan - hubungan keperdataannya saja”
• KUHPerdata tidak memandang penting unsur - unsur keagamaan




Hakikat Perkawinan
• UUP : Ikatan formal dan ikatan bathin
• KUHPerdata : merupakan hubungan hukum antara subjek-subjek yang mengikrarkan diri dalam suatu perkawinan – hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan terikat

Sahnya Perkawinan
• Pasal 2 ayat 1 UUP : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”
• Perkawinan mutlak harus dilakukan menurut hukum masing - masing agama dan kepercayaannya, kalau tidak maka perkawinan itu tidak sah
• Tidak ada perkawinan diluar hukum agama dan kepercayaannya masing - masing

Pencatatan Perkawinan
• Pasal 2 ayat 2 UUP :
        “Tiap - tiap perkawinan dicatat menurut undang - undang yang berlaku
        Pencatatan perkawinan bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain dan masyarakat
• Sebagai alat bukti tertulis
• Bersifat administratif (pencatatan tidak menentukan sahnya suatu perkawinan)
• Pelaksanaan pencatatan
• Pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975 :
1.      Yang beragama Islam : Pegawai Pencatat sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan NTR
2.      Yang tidak beragama Islam : Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil

Asas Perkawinan
• Pasal 3 UUP : Asas Monogami
– Dengan pengecualian yang ditujukan kepada orang yang menurut hukum dan agamanya mengijinkan beristeri lebih dari seorang
• Poligami (Pasal 4 ayat 2 – PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 41 sub.a)




• Syarat alternatif:
1.      Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
2.      Isteri cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3.      Isteri tidak dapat melahirkan keturunan

• Syarat kumulatif Pasal (5 ayat 1 UUP):
1.      Adanya persetujuan dari isteri/ isteri - isteri (dalam hal persetujuan lisan harus diucapkan di depan sidang pengadilan – penetapan)
2.      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri - isteri dan anak-anak mereka
3.      Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri - isteri dan anak-anak mereka

Syarat Perkawinan
• Pasal 6 – 12 UUP
1.      Adanya persetujuan kedua calon mempelai
2.      Adanya ijin kedua orang tua/ wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun
3.      Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah mencapai usia 16 tahun
4.      Antara calon mempelai tidak ada hubungan darah/ keluarga (keluarga sedarah garis keturunan lurus kebawah, keatas dan menyamping, hubungan semenda, hubungan susunan)
5.      Tidak berada dalam kaitan perkawinan dengan pihak lain
6.      Bagi isteri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka untuk ketiga kalinya. (mencegah tindakan kawin cerai)
7.      Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda. (PP Pasal 39) mengatur :
         130 hari sejak kematian
         Putus karena perceraian : 3x suci sekurang-kurangnya 90 hari
         Isteri dalam keadaan hamil sampai melahirkan





Akibat Hukum dari Perkawinan
• Terhadap suami dan isteri (Pasal 30 s.d 34 UUP) :
        suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang sama
        Domisili ditentukan bersama
        Persamaan dalam hal melakukan perbuatan hukum
        Suami kepala keluarga sedangkan isteri adalah ibu rumah tangga
• Terhadap harta perkawinan (Pasal 35 s.d 37) harta benda dalam perkawinan
1.      Harta bersama
2.      Harta asal bawaan suami/isteri
3.      Hadiah, warisan
• Suami maupun isteri berhak mempergunakan harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak (Pasal 26).
• KUHPerdata : jika tidak ada perjanjian perkawinan, maka terjadi persetujuan bulat demi hukum, sehingga baik harta bawaan maupun harta yang didapat selama perkawinan semuanya menjadi harta persatuan
• Terhadap keturunan (Pasal 42 s.d 49)
• UUP mengatur tentang status anak (Pasal 42 s.d 44);
1.      Anak sah
2.      Anak luar kawin
• Anak sah anak yang dilahirkan di dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
• Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak
• Anak luar kawin – hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya.
• Adopsi : adopsi tidak diatur dalam UUP maupun BW.
– Adopsi adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh seorang laki - laki untuk mengambil tanggung jawab keturunan dari seorang anak yang bukan anaknya sendiri
• Dalam BW adopsi ini masuk kedalam lembaga pengakuan








Perjanjian Perkawinan
• Pasal 29 UUP
• Kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.
• (tidak ditegaskan mengenai hal - hal apa yang dimuat dalam perjanjian ini) – tidak melanggar hukum, agama dan kesusilaan.
• Pasal 139 KUHPerdata : mereka yang mengadakan perjanjian perkawinan adalah bermaksud untuk mengatur harta kekayaan mereka

Perbandingan
• UU No.1 Tahun 1974
1.      Perjanjian diadakan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan
2.      Tertulis, yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan
3.      Berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, mengikat terhadap suami, isteri dan pihak ketiga
4.      Selama perkawinan perjanjian tidak dapat diubah, kecuali atas permintaan kedua belah pihak, namun tidak boleh merugikan pihak ketiga
• KUHPerdata
1.      Perjanjian dibuat sebelum perkawinan berlangsung
2.      Dengan akta notaris
3.      Sama
4.      Selama perkawinan berlangsung perjanjian tidak dapat diubah dengan cara apapun

Pencegahan dan Pembatalan
• Pasal 13 s.d 20 dan Pasal 22 s.d 28
• Persamaan sebab
  Yaitu, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan
• Perbedaan :
        Pencegahan : perkawinan belum dilangsungkan
        Pembatalan : perkawinan sudah dilangsungkan





Perkawinan Campuran
• Perkawinan campuran : (Pasal 57- 63 UUP)
• Pengertian perkawinan campuran berbeda :
* Pasal 57 UUP :
        Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan Indonesia. (lebih sempit)
* Pasal 1 GHR (Regeling op de Gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158)
        Perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan. (tidak ada pembatasan)
• Hukum yang berlainan : perbedaan kewarganegaraan, tempat, golongan dan agama.
* Menurut UUP :
        Seorang pria WNI kawin dengan wanita WNA
        Seorang wanita WNI kawin dengan pria WNA
* Pasal 58 UUP :
        Seorang melakukan campuran dapat memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan dari suami/ isterinya (menurut UU Kewarganegaraan)

Putusnya Perkawinan (Pasal 38 - 41)
• Sebab - sebab putusnya perkawinan :
        Kematian
        Perceraian
        Atas keputusan pengadilan
• Perceraian :
        Perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan.
• Penjelasan Pasal 39 ayat 2 UUP dan Pasal 19 PP No. 9/1975 :
Alasan penceraian bila salah satu pihak sebagai berikut :
1.      Berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
2.      Meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut - turut tanpa ijin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya
3.      Mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
4.      Melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain
5.      Mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/ isteri
6.      Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga

• 2 macam cara perceraian :
1.      Cerai talak
2.      Cerai gugat
• Cerai talak
        (Pasal 14 -18 PP yang merupakan penegasan Pasal 39 UUP)
• Cerai talak khusus untuk yang beragama Islam
• Pengajuan pemberitahuan secara tertulis kepada Pengadilan oleh suami yang akan menceraikan isterinya

• Cerai gugat
        Perceraian yang disebabkan oleh adanya gugatan lebih dulu oleh salah satu pihak kepada Pengadilan dan dengan suatu putusan Pengadilan
• UUP - gugatan perceraian
• Penjelasan Pasal 20 PP
Gugatan perceraian dapat dilakukan oleh :
1.      Seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam
2.      Seorang suami atau isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut agama dan kepercayannya selain agama Islam

Akibat Putusnya Perkawinan
• Pasal 41 UUP (PP tidak mengatur akibat perceraian)
a.       Ibu/ bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak -anaknya
b.      Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak
c.       Pengadilan mewajibkan pada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan bagi bekas isteri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar