SINOPSIS
Hukum Pidana khusus adalah mempelajari suatu hukum
dibidang pidana yang pada umumnya berada ketentuannya diatur diluar KUHP yang
berhubungan dengan hukum pidana umum. Pidana umum dan penyimpangan –
penyimpangan yang ada terhadap hukum pidana umum dalam bentuk serta lembaga
yang berwenang mengadilinya.
Bisa saja ketentuan – ketentuan itu ditemukan dalam KUHD
tapi karena lemahnya ketentuan – ketentuan yang ada dalam KUHP tersebut maka
oleh yang berwenang dikeluarkan atau dibuat sendiri ketentuan diluar KUHP.
Contoh : Suap
Dalam KUHP, suap ringan hukumannya, tapi akibat yang
ditimbulkan sangar besar karena itu dibuat peraturan sendiri tentang suap, ini
berhubungan dengan mereka yang digaji oleh negara atau mereka yang digaji oleh
orang lain.
TUJUAN PIDANA KHUSUS
Tujuan dari pidana khusus adalah membahas bentuk – bentuk
hukum pidana yang tergolong kedalam hukum pidana khusus :
-
Latar belakang
-
Jenis – jenis
-
Perundang – undangan yang mengaturnya
-
Proses penyelesaian
Latar belakang
munculnya tindak pidana khusus :
- Karena dalam kenyataan sehari – hari banyak ditemukan delik – delik yang tidak diatur dalam KUHP.
- Adanya delik yaitu pidananya relatif ringan, sedangkan delik itu pada waktu sekarang mempunyai dampak yang besar.
Berdasarkan tujuan
tersebut, maka dalam hukum pidana khusus ini dipelajari dan dibahas tentang :
- Hukum Pidana khusus secara umum
- Tindak pidana ekonomi
- Tindak pidana Narkotika
- UU tentang lalu lintas jalan
LITERATUR
- Prof. Soedarto, Kapita Selekta hukum Pidana
- Andi Hamzah, Delik – delik tersebar diluar KUHP
- Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi
- UU tentang :
- UU Darurat No. 7/1945, tindak pidana ekonomi
- UU No. 12/1992, tentang lalu lintas jalan
- UU. No. 22/1997 tentang narkotika
- KUHP dan KUHAP
Timbul pertanyaan
apakah pidana khusus ini bersifat menyimpang dari KUHP ?
Pertanyaan ini
dijawab sendiri oleh KUHP yaitu yang berdasarkan kepada pasal 103 KUHP yang
menyatakan bahwa ketentuan dari 8 bab.
Yang pertama dari
buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan
yang lain kecuali kalau ada UU / Wet/ tindakan umum pemerintahan/ordonanasi
menentukan peraturan lain/peraturan lain menyatakan lain.
Dijelaskan oleh
NOLTE dalam bukunya “Het straft recht en afzon pengke wetten” (Pasal 91) yaitu
hukum pidanan dan hukum pidana khusus.
Seperti yang dikutip oleh Ali Hamzah menyatakan bahwa ada
2 macam pengecualian : berlakunya pasal 91 WvS (Pidana) yang sama bunyinya
dengan pasal 103 KUHP yaitu :
1.
UU lain yang menentukan dalam pasal 50 ayat 3 UU darurat
no. 7 tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi yang berbunyi : “Apabila
ketentuan dalam ataupun berdasarkan UU lain bertentangan dengan ketentuan ini
maka akan berlaku ketentuan dalam UU ini:.
2.
UU lain itu menentukan secara diam – diam pengecualian
seluruh/sebagian dari pasal tadi berdasarkan asas lex specially derogat legi
generalis.
Pasal 103 KUHP :
“Bahwa bab I – Bab VIII KUHP akan berlaku juga tindakan peraturan – peraturan
hukum pidana lainnya, kecuali ketentuan lain menyatakan lain”.
Seperti pasal 12
UU No. 3 tahun 1958 tentang penempatan tenaga asing antara lain berbunyi :
“Apabila ketika diperbuat pelanggaran sesuai pasal 9 belum lewat waktu 2 tahun
semenjak melanggar dikeluarkan yang tidak dapat dirubah lagi karena pelanggaran
yang sama, maka hukuman yang setinggi-tingginya yang disebut pasal tersebut
dapat ditambah 1/3 nya.
HUBUNGAN ANTARA PIDANA UMUM DAN PIDANA
KHUSUS
Hukum pidana
khusus adalah ketentuan – ketentuan tentang hukum pidana yang ada diluar
kodifikasi hukum pidana itu sendiri (KUHP), maka untuk itu oleh SUDARGO telah
diberikan pengertian apa yang disebut sebagai hukum pidana khusus adalah hukum
pidana yang ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan
perbuatan – perbuatan khusus.
Jadi hubungannya
adalah ada pada pasal 103 Buku I KUHP
KODIFIKASI
Hukum pidana
khusus yang ada dalam Hukum Pidana Umum
Hukum pidana
khusus yang ada diluar KUHP ibarat kita harus tahu terlebih dahulu apa itu
KUHAP terutama tentang pembukuan dan kodifikasi.
Menurut para ahli,
kodifikasi adalah suatu himpunan dari segala aturan hukum dan bahan hukum
tertentu yang disusun secara sistematis, lengkap dan tuntas.
Kodifikasi adalah
buku yang berisi himpunan dari hukum tetapi bagian hukum tertentu.
Ex. : - Kumpulan dari bahagian hukum perdata
- Kumpulan dari bahagian hukum
pidana
- Kumpulan dari bahagian hukum acara
SIFAT KODIFIKASI
Sifat kodifikasi
ada 3 yaitu :
- Sistematis
Yaitu suatu
rangkaian yang tidak bertentangan satu sama lain, buku dalam KUHP ada 3, pada
masing – masing buku ada bab, pasal, ayat, masing – masing itu tidak
bertentangan satu sama lain.
- Lengkap
Yaitu semua
tingkah laku manusia dibidang hukum tertentu itu sudah diatur atau sudah
ditentukan didalam kodifikasi tersebut.
- Tuntas
Yaitu semua yang
telah diatur tadi digunakan oleh hakim tidak boleh hakim keluar dari apa yang
telah disebutkan didalam kodifikasi.
Ex. : Maksimal
hukuman 15 tahun paling tinggi 20 tahun, maka hakim tidak boleh menjatuhkan 21
tahun.
Apa yang disebutkan oleh kodifikasi oleh kodifikasi maka
tidak boleh menyimpang dengan kata lain adanya kepastian hukum.
Kenapa ada kepastian hukum ?
Dilihat dari sejarah Perancis.
Maka kekhasan Prancis, sebelum revolusi di Prancis dan
daerah jajahan dimana sering terjadi pembunuhan, pembunuhan atau perbuatan yang
dilakukan oleh raja yang mungkin rakyat dimana hal ini hukum ditentukan oleh
kaisar itu adalah C’CTAT – ET MOL
--------------à Negara adalah saya
Hukum yang mnejadi kekuatan adalah apa yang
saya ucapkan.
Karena sudah berlalurt – larus (LOUIS 14) maka timbul
pemberontakan walaupun sebelumnya ada pendapat dari para ahli dimana ada
nasehat yang diadakan oleh ahli pada raja akan ada pemberontakan dimana berawal
dari perjanjian BASTILE.
Pemberontakan hasilnya :
-
Liberti
-
Egalite
-
Fertenita
Oleh NAPOLEON sewaktu menjadi kaisar maka dia berusaha
untuk menciptakan kepastian hukum sebagai tujuan dari revolusi Prancis,
sehingga tercipta beberapa kodifikasi :
1.
Kitab Kodifikasi hukum sipil ---------à Hukum Perdata (Code Civil)
2.
Code Commerce --------------à Hukum dagang
3.
Code Penal -------------à Hukum pidana
4.
Code tentang hukum acara pidana dan hukum acara perdata
Oleh karena Prancis menjajah Belanda maka kode yang
dibuat Napoleon maka diberlakukan di Belanda atau negara jajahannya, jadi di
Perancis sudah berlaku code Penal, kemudian Belanda memerdekakan diri maka
mereka punya rasa kebangsaan yang tinggi, sehingga code Prancis tidak berlaku
lagi dan 1851 suatu kodifikasi hukum Belanda yaitu WvS.
Karena Belanda menjajah Indonesia maka indonesia
memberlakukan WvS dengan asas korkodansi maka WvS itu dibuat sama dengan di
Indonesia, dimana di Indonesia yang ada kondisi tertentu dibuat 1951 suatu
kodifikasi hukum pidana dan 1915 dibuat kodifikasi yang unifikasi.
Kodifikasi ini yang digunakan sampai sekarang pada tahun
1918 yang telah berlaku KUHP, Belanda menyerah dan Jepang masuk, Indonesia
merdeka WvS yang dibuat 1918 maka WvS itu ditetapkan dalam KUHP Indonesia.
Yang menjadi Sifat KUHP Indonesia
adalah ;
1.
Sistematis
2.
Lengkap
3.
Tuntas
Yang menjadi
masalah pada sifat KUHP
Yaitu sifat
Lengkap
Dimana hukum itu ketinggalan dari kemajuan masyarakat
sehingga apa yang dikatakan jahat atau tidak jahat pada waktu dulu atau
sekarang mungkin terjadi perbedaan.
Jika kita menganut kodifikasi, dimana kodifikasi itu
sangat berat sekali dan sangat susah mengubah, maka jika terjadi suatu
perbuatan yang tidak diatur dalam KUHP atau dihukum dengan pidana ringan maka
untuk mengubahnya sangat sulit dan ini membuat rakyat tidak tenang.Ex. : Suap
Jalan keluarnya oleh KUHP Belanda. Kemungkinan asas
lengkap tidak dapat diberlakukan maka oleh pemerintahan Belanda 1953 dibuat
pertama kali suatu peraturan yang tidak diterapkan pertama kali suatu peraturan
yang tidak diterapkan dalam KUHP, tapi peraturan itu sangat besar akibatnya.
Maka pada tahun 1933. Dibuat suatu peraturan tentang
peraturan lalu lintas yang disebut wegverkeer ordonantie. Dalam hal ini dia
melihat tour lalu lintas tetapi dia memberikan sanksi beban pidana.
Dalam UU tersebut
disebutkan :
Kalau dalam UU lalu lintas itu disebutkan maka disebut
pelanggaran, dimana sanksinya hanya dalam KUHP.
Mengapa UU lalu
lintas ini dapat dibuat ???
Karena Belanda
takut hukum, dikarenakan salah satu pasal dalam KUHP Belanda yaitu pasal 91 WvS
menyatakan seperti yang tersebut dalam pasal 103 KUHP Indonesia yang pada
umumnya dikatakan :” Bahwa tentang kemungkinan adanya UU pidana yang ada diluar
KUHP”. Hal ini dibuat dalam Buku I Bab VIII.
Dengan memperhatikan pasal 103 KUHP tersebut maka suatu
peraturan pidana yang dibuat berlaku diluar KUHP dapat pula diterima dalam
hukum pidana dengan dicabut kecuali ditentukan lain atau dengan kata lain dapat
disebut “
ASAS LEX SPECIALLY
DEROGAT LEGI GENERALY Artinya ketentuan – ketentuan khusus
mengenyampingkan ketentuan – ketentuan umum.
Dalam kenyataan : mulai dari hindia Belanda lama, hakim
sudah menganut hukum ini dengan tuntas, dimana hukum adat bukan sebagai hukum
yang berlaku tapi kenyataannya hakim Belanda mengambil hukum kebiasaan sebagai
hukum yang berlaku.
Berdasarkan
pernyataan dalam peraturan :
Bahwa apabila
peraturan menyatakan suatu hukum kebiasaan itu dapat berlaku maka hakim yang
mengambil kebiasaan itu untuk berlaku.
Pasal 103 Peraturan Penghabisan :
Ketentuan dari VII
bab yang pertama dari bukum ini berlaku yang terhadap perbuatan yang dapat
dihukum menurut peraturan per UU an lain kecuali kalau ada UU atau wet,
tindakan umum pemerintahan/Algemene metragelen van bestuur (Ordonantie peraturan
lain)
Buku I Bab I – VII KUHP
Berlaku untuk KUHP
itu sendiri, tapi juga berlaku untuk hal – hal atau peraturan – peraturan yang
lain diluar KUHP yang berhubungan dengan hukum pidana, kecuali apabila
peraturan itu menetapkan lain.
Ex. : Pasal 1 KUHPT
(Kitab UU hukum Pidana Tentara)
KUHPM (Kitab UU Hukum Pidana Militer)
Pasal 1 KUHPT : Apabila yang diatur dalam KUHPM itu sama dengan yang disebut dalam KUHP,
tapi jika dikatakan lain oleh KUHPT yang berlaku KUHPT.
Dasar diberlakukan
kodifikasi :
Adalah untuk kepastian hukum
Karena
perkembangan zaman, kodifikasi tidak mungkin cocok begitu saja berkemungkinan
ada yang tidak sesuai tetapi untuk merubah kodifikasi sangat sulit sehingga
dibuat peraturan yang fleksibel seperti UU, dengan merubah UU maka hukum pidana
bisa mengikuti perkembangan zaman.
Mengapa lebih baik membuat UU daripada
merubah kodifikasi hukum ?
Bahwa dengan
merubah UU bisa lebih cepat untuk menyelesaikan tindakan – tindakan anggota
masyarakat dengan peraturan – peraturan yang harus mengaturnya.
Mengapa
perkembangan masyarakat lebih cepat dari perkembangan hukum yang mengatur
tingkah laku masyarakat ?
-
Adanya masalah globalisasi yang timbul dalam masyarakat
oleh karena itu peraturan hukum itu berusaha untuk mempertahankan masyarakat
maka dia perlu mengikuti perubahan masyarakat itu karena hukum itu mengatur
tingkah laku masyarakat (sosial eigenering).
-
Dengan semakin moderennya kehidupan manusia, maka
diperlukan perubahan hukum yang cepat, dengan kata lain dibuat perubahan hukum yang
bersifat temporer, karena ada globalisasi, maka masyarakat modern dan
masyarakat itu ingin cepat maka dia berupaya agar peraturan – peraturan itu
dengan cepat dirubah.
Ex.
: 1927 oleh pemerintah Belanda dibuat peraturan tentang obat bius (narkotika) beberapa
tahun kemudian peraturan ini berubah dan bertambah.
Misal : 1927 obat bius itu adalah ganja
maka tahun 1970 an bukan ganja lagi dan okaina saja tapi juga tumbuh – tumbuhan
juga bahan kimia, campuran kimia dengan tumbuh – tumbuhan. Sehingga 1976
peraturan obat bius ditukar dan diberlakukan UU narkotika 1976 kemudian dirobah
lagi dengan UU narkotika 1997.
Diperlukan dalam beberapa peraturan yang berada diluar
hukum pidana yang perlu dikaitkan dengna sanksi yang berupa pidana (pada
umumnya diklasifikasikan sehingga pelanggaran) dengan tujuan :
- Agar peraturan tersebut dapat ditaati walaupun sudah ada ketentuannya
ditemukan dalam KUHP tetapi pidananya ringan.
-
Agar lebih ditaati maka perlu dihubungkan sanksi dengan
pidana, walaupun sebenarnya (materilnya) tidak materi tentang pidana, agar
ditaati perlu diberikan sanksi seperti : hukum pidana biasa relatif bukan
kejahatan tapi pelanggaran.
Ex. : ganti rugi (perdata)
UU lalu lintas jalan ( pelanggaran)
Pidana ringan
Denda
Dalam KUHP buku II
Ada istilah SUAP,
SOGOK
Dimana pidananya ringan sekali, hanya beberapa bulan
akibatnya orang banyak melanggar, maka walaup diatur dalam KUHP, kemudian oleh
pemerintah membuat peraturan baru tentang suap, sehingga apa yang diatur dalam
KUHP tidak berlaku lagi tapi yang ada UU tindak pidana korupsi.
Sehubungan dengan
hal diatas, maka ANDI HAMZAH menyebutkan bahwa :
NOIRE dalam
bukunya “ Het straft reht en de of zun derlijke wetten” (Hukum pidana umum dan
UU khusus) menyatakan ada 2 macam pengertian berlakunya pasal 91 WvS Belanda
pasal 103 KUHP Indonesia) :
1.
UU lain tadi menentukan dengan tegas pengecualian
berlakunya pasal 91 WvS Belanda.
Ex. : Pasal 50
(3) UU darurat No. 7/1955
2.
UU lain itu menentukan secara diam – diam pengecualian
seluruh atau sebagian dari pasal tersebut berdasarkan asas Lex specially
derogat legi generally.
Ex. : Pasal 12 UU penempatan tenaga asing (
UU No. 3 / 1958, lembaran negara no. 8/1958).
Jadi ANDI HAMZAH
menyebutkan pendapat NOITE : bahwa UU lain yang bukan berasal dari kodifikasi
tersebut dapat :
-
secara tegas
-
secara diam – diam
kalau peraturan
tentang tindak pidana ekonomi ada yang mengaturnya maka peraturan itu akan
berlaku kecuali ada UU yang mengaturnya.
·
Hukum pidana bagian umum adalah hukum
yang mempelajari masalah – masalah dalam buku I KUHP dan mempelajari ajaran –
ajaran dalam hukum pidana.
·
Hukum pidana umum adalah hukum yang
mempelajari materi dari KUHP
·
Hukum Pidana bagian khusus adalah hukum
yang membicarakan tentang delik – delik
·
Hukum pidana khusus adalah hukum yang
mempelajari hukum pidana yang berbeda diluar hukum umum / diluar KUHP.
Diatas telah
dsebutkan bahwa hukum pidana khusus itu pada umumnya banyak yang diatur diluar
kodifikasi. Maka kalau dia diatur diluar kodifikasi maka harus dalam bentuk UU
yang dalam hal ini pengertian UU pidana khusus adalah ketentuan – ketentuan
tentang hukum pidana selain dari KUHP dan mengatur khusus baik tentang
perbuatan tertentu ataupun orang tertentu..
PENGERTIAN HUKUM
PIDANA KHUSUS
Pengertian hukum pidana khusus menurut para ahli :
- Menurut SOEDARTO
Bahwa pada umumnya berdasarkan
uraian diatas dapat dibagi berdasarkan sifatnya :
- Peraturan UU pidana dalam arti sesungguhnya yaitu UU yang menurut tujuannya bermaksud mengatur hak memberi pidana dari engara jaminan dari ketertiban hukum.
- Peraturan – peraturan hukum pidana dalam suatu UU tersendiri yaitu peraturan – peraturan yang hanya dimaksudkan untuk memberikan sanksi pidana terhadap aturan – aturan salah satu bidang yang terletak diluar hukum pidana.
Ex. : UU tentang penyelesaian
perselisihan perburuhan dan yang mengatur hukum pidana keseluruhan seperti UU
tentang narkotika
Hukum pidana
sifatnya :
- Hukum pidana kodifikasi ------------- > KUHP
- Hukum pidan non kodifikasi ---------à UU Narkotika
- Aturan lain tapi sanksinya pidana :
Ex. : Hukum perburuhan
UU lalu lintas
Hukum pidana khusus :
- Merupakan hukum pidana terhadap orang – orang tertentu atau orang – orang
khusus.
Ex. : militer
(KUHPT)
- Yang diberlakukan terhadap perbuatan – perbuatan tertentu
Ex.
: Pajak, merupakan perbuatan tertentu, dimana hukum fiskal merupakan hukum
pidana khusus.
Dalam hukum pidana ada :
- Hukum pidana bagian khusus tidak sama dengan hukum pidana khusus.
Hukum pidana yang
mempelajari khusus tentang perbuatan, perbuatan tindak pidana yang diatur dalam
buku II dan Buku III dan juga buku IV KUHP
- Hukum pidana bahagian umum tidak sama dengan hukum pidana umum.
Hukum pidana yang
membicarakan ajaran – ajaran umum tentang hukum pidana, pada buku I KUHP.
UU Pidana Khusus
Peraturan –
peraturan hukum pidana khusus yang tertentu
Ex. : UU tentang
narkotika
- Narkoba --------à Lebih luas
-
Narkotika -------à Lebih khusus
- Nopza -----------à Lebih sempit
-
Psikotropika ---à Lebih khusus
Hukum pidana khusus
Terdiri dari
beberapa UU pidana khusus
Kumpulan dari
beberapa UU pidana khusus
UU Pidana Khusus
Ada didalam hukum
pidana non kodifikasi
Dimana hukum
pidana yang tidak dikodifikasi dapat disebut hukum pidana khusus jika :
1.
Mengatur hukum pidana sendiri
2.
Tidak mengatur hukum pidana tapi sanksinya pidana
IMPLIKASI/AKIBAT ADANYA HUKUM PIDANA
KHUSUS
Adanya akibat
pidana khusus adalah :
- Memberi corak tentang hukum pidana kita yang terpecah – pecah seakan – akan adanya hukum pidana dinegara kita berbeda – beda, akibat hukum pidana terpecah – pecah terlihat diadakan upaya penanggulangannya kalau hukum pidana umum dan khusus yang menanggulanginya berbeda – beda dari :
-
Hakim
-
Polisi
-
Penyidik
Dan hal ini
membutuhkan biaya yang banyak
- Polisi atau kejaksaan dalam penanggulangan kejahatan juga akan berbeda – beda
Ex. : Pelanggaran terhadap pidana
khusus lebih berat dari pidana umum
- Adanya pengertian hukum pidana khusus ini akan berperan dalam penyusunan konsep KUHP kita yang baru nanti.
PENYIMPANGAN DALAM HUKUM PIDANA KHUSUS
Pada umumnya yang
menyimpang dalam hukum pidana khusus yaitu :
- Didahulukan dari perkara lain penyidangannya terlihat dalam :
- Pasal 25 UU tentang pemberantasan tidak pidana korupsi
- Pasal 65 UU tentang narotika
- Pasal 58 UU tentang psikotropika
- Adanya peradilan in – abtentia (ketidak hadiran terdakwa)
- Pasal 16 (6) UU tentang tindak pidana ekonomi
- Pasal 38 UU No. 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi
- Kalau dinyatakan secara tersendiri tidak berlakunya KUHAP oleh peraturan tersebut.
TINDAK PIDANA EKONOMI
Pada umumnya di Eropa khusus Inggris sebelum adanya
revolusi industri, maka penduduk lebih banyak bekerja dibidang pertanian,
kemudian sebelum terjadinya revolusi industri dibidang ekonomi telah mantap
berlaku prinsip bahwa :
Dalam rangka melakukan usaha untuk mencapai kemakmuran
bagi masyarakat pada umumnya dianut prinsip “Principle laysser paire layserr
passer”
Artinya : biarkanlah orang – raong itu mencapai
kemakmuran untuk mereka sendiri jangan ada campur tangan (Pemerintah) untuk
atau dalam mencapai kemakmuran tersebut.
Oleh karena banyaknya kritikan maka pemerintah mulai
mengambil tindakan dengan membuat peraturan – peraturan yang dalam hal ini
dapat diberikan sanksi pidana kalau terjadi pelanggaran dalam rangka mencapai
kemakmuran anggota – anggota masyarakat sehingga disini muncul pertama kali
suatu peraturan – peraturan “Hinder Ordonantie” yang mengatur tentang
penempatan adanya daerah – daerah industri.
Upaya ganti rugi pada buruh :
- Penempatan daerah industri
- Kesehatan buruh
Karena pada umumnya adanya peraturan – peraturan yang
dibuat masih bersifat mengatur maka dibuat peraturan yang isinya bersifat memaksa
(Dwingend) maka mulai saat itulah negara – negara di Eropa mulai menciptakan
peraturan – peraturan yang bersifat dwingend yang dalam hal ini di negeri
Belanda dibuat suatu peraturan tentang hukum pidana di bidang ekonomi, dimana
dalam tahun 1932 dikenal dengan nama “ Wet op de Economische delicten” (UU
tentang Delik – Delik ekonomi).
Karena negara mulai memperhatikan rakyat kecil maka
negara – negara di Eropa itu membuat peraturan – peraturan khusus dibidang
ekonomi, di Belandapun telah diatur tentang hal – hal yang berkaitan dibidang
ekonomi.
Dalam kodifikasi KUHP Belanda tidak ada diatur tentang
masalah Ekonomi, sehingga tahun 1932 oleh pemerintah Belanda dibuat aturan
dibidang ekonomi, siapapun yang melanggar harus dikenakan “Wet op de economische
delicten” dengan catatan bagi indonesia walaupun ada asas korkodansi belum
dibuat ketentuan tersebut tapi di Belanda mengenai tindak pidana ekonomi sudah
ada peraturan dihindia belanda tidak dibuat, padahal seharusnya dibuat dengan
asas korkodansi.
Walaupun asas korkodansi ada, bagi hindia belanda tidak
ada peraturan seperti UU 1932 tadi sampai tahun 1955 baru muncul peraturan yang
mengatur tentang pidana kalau melanggar hal – hal dibidang ekonomi tersebut
yaitu :
UU darurat No. 7 tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi
yang mulai berlaku 13 Mei 1955, yang telah mengalami beberapa perubahan,
pencabutan, penambahan dibidang ekonomi.
Dasar adanya UU Darurat No. 7 tahun 1955 pasal 96 ini
adalah UUDS 1950 yang berbunyi bahwa : Pemerintah berhak atas kuasa dan
tanggung jawab sendiri menetapkan UU darurat untuk mengatur hal – hal
penyelenggaraan pemerintah yang karena keadaan – keadaan yang mendesak perlu
dengan sengaja. UU darurat mempunyai kekuatan dan derajat UU kekuatan ini tidak
mengurangi yang diterapkan dalam pasal tersebut.
Pasal 96 UU
darurat No. 7 tahun 1955. Dalam keadaan darurat atau memaksa maka
pemerintah dapat membuat UU secara tepat tanpa parlemen UU darurat tersebut
sebelum berlakunya UUDS 1950. ketentuannya sudah ada dalam UUD 1945. oleh UUDS apa
yang dikatakan dalam UUD 1945 disebut sebagai UU Darurat.
UU Darurat = Perpu
Urutannya :
-
Pancasila
- UUDS
- UU
- UU Darurat
- Dst.
Perpu ---------à mengatakan bahwa ia sederajat dengan
UU tapi UU dibuat oleh DPR/Parlemen.
Perpu dibuat oleh pemerintah karena keadaan memaksa
dengancatatan Perpu itu harus diserahkan kepada DPR untuk minta persetujuan
DPR, kalau disetujui maka perpu jadi UU.
Ex.: Perpu No. 1 tahun 1992
Jika disetujui maka dia menjadi UU Perpu no. 5 tahun 1992
jika tidak diterima oleh DPR maka perpu dicabut.
Pasal 96, Disebut UU darurat karena keadaan
memaksa nama awalnya UU darurat no. 7 tahun 1955. dimana jika dibuat tentang
masalah perekonomian maka dapat menghancurkan negara dimana sering terjadi
penyelundupan dibidang ekonomi. Karena UU darurat harus diajukan atau
kepada parlemen untuk disyahkan menjadi UU, dengan meminta persetujuan.
Dalam kenyataannya UU darurat No. 7 tahun 1955, itu tidak
pernah diajukan oleh pemerintah kepada DPK atau parlemen untuk disyahkan naru
dalamt ahun 1963 UU darurat No. 7 tahun 1955 tersebut diajukan oleh pemerintah
kepada DPR dan UU darurat no. 7 tahun 1955 tersebut berdasarkan UU no. 1 tahun
1965 dinyatakan sebagai UU dengan nama UU darurat No. 7 tahun 1955.
PELANGGARAN
DIBIDANG EKONOMI
Pasal 1 Sub 1e,
2e, 3e
Sekarang menjadi
pasal 1 ayat 1,2,3 yaitu :
1.Semua peraturan
masa hindia belanda, masa peraturan yang dibuat oleh pemerintah, DPR dan
dibawahnya
2. Berdasarkan peraturan yang akan datang
3. Berdasarkan apa yang disebut sendiri oleh TPE itu
Apa yang dikatakan TPK itu telah disebutkan UU tindak
pidana Ekonomi pasal 1 UU TPE terdiri dari 3 ayat yaitu 1,2, dan 3
Pasal 1 UU No. 7
tahun 1955,
1.
Peraturan dibidang yang telah ada dimasa hindia belanda
dan di indonesia sampai dengan adanya UU TPE
2.
UU TPE menyatakan ia adalah tindak pidana ekonomi
3.
Oleh UU TPE dinyatakan sebagai TPE apabila ada peraturan
nantinya akan ada klasifikasinya dibidang ekonomi
Bidang ekonomi yang kalau dilanggar
disebut tindak pidana ekonomi baik itu peraturan yang telah ada peraturan yang
menyatakan itu tidak pidana ekonomi dan peraturan yang akan datang.
Maka menurut ANDI HAMZAH berdasarkan
pasal UU Tindak pidana ekonomi itu disebut sebagai tindak pidana ekonomi adalah
apabila :
Pasal 1 ayat 1 UU No. 7 tahun 1955 Melanggar peraturan – peraturan ttg
ekonomi dibidang :
- Bidang Eksport, terdiri dari :
-
Crisis uit voer ordonantie (stb 1933/383)
-
Kapok Belangan ordantie (Stb 1935/165 tentang kepentingan
kapuk
- Ordantie aethe rischa olien ( stb 1937/601) tentang peraturan minyak eter
- Krosok ordonantie (stb 1937/7604) --------à ordonantie tembakau
-
Crisis uit voer ordonantie---------à UU tentang eksport antar pulau
- Bidang import, terdiri dari :
- Crisis in voer ordonantie (stb 1933/ 349)
- Ordonantie gecontroleend goederen (stb 1948/144)
- Moneter
-
UU No. 10 tahun 1990
-
Indische larier
-
UU No. 17 tahun 1964
- Bidang produksi dan industri
-
UU perusahaan (Stb 1948/144)
-
UU tentang penyelesaian harga
- Perhubungan
-
UU tentang perkapalan
-
UU tentang pelayaran
-
UU tentang lalu lintas jalan
Pasal 1 ayat 2 UU No. 7 tahun 1955 : Tindak pidana tersebut dalam pasal 26,32, 33 UU darurat ini dalam hal ini
yang dimaksud tindak pidana ekonomi adalah apa yang disebut juga didalam pasal
26,32,33.
Pasal 26 UU Darurat : Bahwa dengan sengaja memenuhi tuntutan pegawai pengusut berdasarkan suatu
aturan dan UU darurat ini adalah tindak pidana ekonomi.
Pegawai pengusut =
Pasal 2
Penyidik =
Pasal 26
Penyidik dalam KUHAP = - Polisi
- Penyidik dan pembantunya
Pasal 32 UU Darurat : Bahwa barang siapa sengaja berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan suatu hukuman tambahan sebagai tercantum :
- Pasal 7 ayat 1 sub a,b,c
- Pasal 8
Dengan suatu peraturan seperti termaksud dalam pasal 10
atau dengan suatu tindakan tata tertib sementara atau menghindari hukuman
tambahan tindakan tata tertib tindakan tata tertib sementara seperti tersebut
diatas, maka ia melaksanakan suatu tindak pidana ekonomi.
Sebagai tindak pidana ekonomi, Apabila yang bersangkutan berbuat atau
tidak berbuat seperti apa yang telah dijatuhkan oleh hakim kepada yang
bersangkutan sanksi yang harus dibutuhkan atau dalam hal ini ia berusaha untuk
menghindari apa yang telah dijatuhkan oleh hakim itu maka ia juga disebut
sebagai tindak pidana ekonomi.
Sanksi dapat dalam bentuk UU No. 1 Darurat pasal 8 No. 7
tahun 1955
- Pemidanaan
- Tindakan tata tertib
- Tindakan tata tertib sementara
- Pidana tambahan
Jika hal diatas
ini tidak dilaksanakan dan dihindari maka dapat disebut tindak pidana ekonomi.
Pasal 33 UU Darurat : Barang siapa sengaja baik sendiri maupun dengan perantaraan orang lain
menarik bagian – bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan – tagihan atau
pelaksanaan suatu hukuman baik tindakan tata tertib atau tindakan tata tertib
sementara yang dijatuhkan berdasarkan UU darurat ini, maka ini melakukan suatu
tindakan pidana ekonomi.
Kalau telah
dijatuhkan pidana berupa :
- Denda
- Tindakan tata tertib yang harus dibayar dengan uang
- Tindakan tata tertin sementara yang harus dibayar dengan uang
Tapi yang
bersangkutan menghindarkan pembayaran tadi baik sendiri – sendiri atau
perantaraan orang lain maka merupakan tindak pidana ekonomi.
Pasal 1 ayat 3 No. 7 tahun 1955 : Bahwa tindak pidana tersebut dalam pasal 26, 32,33 UU lain sekedar UU itu
menyebut “Pelanggaran itu sebagai Tindak Pidana Ekonomi”.
Apa yang disebut oleh pasal 26,32,33 sudah jelas apabila
terjadi maka merupakan tindak pidana ekonomi sedangkan pasal 1 ayat 3
menyatakan apabila ada UU lain maka kalau ditemukan dalam UU tersebut bunyi
seperti pasal 26,32,33 dalam hal ini UU tersebut menyatakan sama seperti yang
dikatakan dalam pasal 26,32,33 yaitu juga disebut sebagai tindak pidana
ekonomi.
Jika seseorang tdk
memenuhi permintaan pegawai pengusut atau penyidik maka juga merupakan TPE.
Jadi dalam hal ini
apa yang dikatakan TPE dapat dilihat dalam :
1. UU NO. 7 Tahun
1955
- Pasal 1 ayat 1
- Pasal 1 ayat 2
- Pasal 1 ayat 3
2. UU lain yang
bunyinya sama dengan yang disebut dalam :
- Pasal 26
- Pasal 32
- Pasal 33
PENGERTIAN TINDAK PIDANA EKONOMI
MENURUT PARA AHLI
Mengenai TPE, ANDI
HAMZAH dan Mohammad ANWAR telah menggolongkan tindak pidana ini ke dalam
beberapa penggolongan berdasarkan :
UU No. 7 tahun
1955 :
-
Pasal 1 ayat 1
-
Pasal 1 ayat 2
-
Pasal 1 ayat 3
1. Menurut ANDI HAMZAH :
Dalam bukunya
Hukum Pidana Ekonomi membagi tindak pidana ekonomi atas 3 golongan :
1. Golongan Pertama
Peraturan –
peraturan yang terdapat pada pasal 1 ayat 1 UU Tindak Pidana Ekonomi.
2. Golongan Kedua
Ketentuan yang ditentukan
oleh UU tindak pidana ekonomi itu sendiri seperti yang diatur dalam pasal 26,
32,33
3. Golongan Ketiga
Pemberian lowongan
kepada kaidah – kaidah yang akan datang apakah berbentuk UU ataupun Perpu
dimana dia ditentukan bahwa pelanggaran atas UU atau Perpu tadi merupakan delik
ekonomi (Pasal 1 ayat 3).
Jika boleh kita
katakan :
- Bahwa pasal 1 ayat 1,2 itu peraturannya sudah ada sedangkan pasal 1 ayat 3
disebut Ius constituendum.
- Peraturan ekonomi itu sudah diprediksi oleh apa yang dikatakan Andi Hamzah
dan akan muncul peraturan itu nantinya jadi ada ius constitutum dan ius
constituendum.
2. Menurut MUHAMMAD ANWAR :
Dalam bukunya
Hukum Pidana dibidang Ekonomi menyebutkan bahwa ada 2 jenis kelompok tindak
pidana dibidang Ekonomi yaitu :
1. Tindak Pidana dalam arti Sempit
Tindak pidana ekonomi yang bersumber pada pasal 1 UU
Tindak Pidana Ekonomi.
Hal ini dapat dibagi 3 yaitu :
- Tindak pidana Ekonomi berdasarkan pasal 1 ayat 1
Himpunan peraturan – peraturan dibidang ekonomi yang
sudah ada sebelum UU tindak pidana ekonomi ini diundangkan.
- Tindak pidana ekonomi berdasarkan pasal 1 ayat 2 UU TPE yakni sebagai yang diatur dalam pasal 26, 32,33
- Tindak Pidana ekonomi berdasarkan pasal 1 ayat 3 UU TPE yakni pelanggaran suatu ketentuan :
-
Didalam UU lain
-
Berdasarkan UU lain
Ketentuan
didalam UU lain :
UU yang
bersangkutan (UU lain) harus memuat suatu ketentuan bahwa pelanggaran terhadap
ketentuan – ketentuan tersebut dinyatakan sebagai TPE.
Dalam UU lain dinyatakan
atau menyatakan sendiri itu adalah TPE seperti yang tertera dalam pasal
26,32,33
Ex.: Perpu No. 8
tahun 1962 menjadi UU berdasarkan UU No. 7 tahun 1964 tentang perdagangan
barang – barang dalam pengawasan.
Berdasarkan UU lain :
UU tersebut berdasarkan
peraturan :
-
sebagaimana tersebut dalam pasal 1 ayat 1
- sebagaimana tersebut dalam pasal 1 ayat 3
UU lain itu
dasarknya kepada peraturan – peraturan yang ada didalam pasal 1 ayat 1 dan
pasal 1 ayat 3 maka itu adalah tindak pidana ekonomi.
Menurut MUHAMMAD ANWAR :
Adanya kata – kata
berdasarkan tadi adalah untuk memberikan kesempatan wewenang membuat peraturan
dibidang pidana ekonomi kepada DPRD, karena didalam daerah – daerah tertentu
ada kekhususannya sehingga DPRD itu diberikan wewenang pula untuk membuat
peraturan dibidang ekonomi.
2. Tindak pidana dalam arti luas
Dapat dibagi atas :
a. Pelanggaran
terhadap ketentuan – ketentuan dari peraturan – peraturan dibidang ekonomi,
pelanggaran mana diancam dengan hukuman yang termuat dalam UU TPE yang biasanya
berdasarkan ketentuan – ketentuan pidana dalam peraturan khusus dibidang
ekonomi.
Antara lain :
- UU tentang perbankan
Ex.
: menjalankan usaha bank tanpa izin
- UU tentang merek perusahaan dan merk perniagaan.
Ex.:
Pemalsuan merek.
- Peraturan tentang lautan teritorial dan lingkungan lautan larangan yaitu
stb. 1939 / 442 dan dengan beberapa peraturan lain. Ex.: Penangkapan ikan tanpa izin
- UU tentang hak cipta
- UU tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
- UU tentang tindak pidana tera (timbangan, ukuran dan takaran).
b. Perbuatan – perbuatan pelanggaran hukum yang menyangkut bidang ekonomi dapat diberlakukan beberapa ketentuan dalam KUHP.
Pelanggarannya :
- Dengan menggunakan daya upaya atau sarana yang ada
- Pasal – pasal yang berhubungan dengan perdagangan, produksi, retribusi yang
kesemuanya memberikan pengaruh terhadap situasi dan perkembangan ekonomi atau
moneter.
Kesemua
pelanggaran diatas tentang tindak pidana Ekonomi yang dapat diberlakukan KUHP
tersebut adalah :
Seperti yang
ditemukan dalam buku II :
- Bab 10 Tentang hal memalsukan mata uang dan uang kertas negara serta uang kertas bank.
- Bab 11 Tentang memalsukan materai dan merek
- Bab 12 Tentang memalsukan surat - surat
- Bab 24 tentang penggelapan
- Bab 25 tentang penipuan
- Bab 26 tentang merugikan penagih hutang atau orang yang berhutan
- Bab 30 tentang pertolongan jahat
PERSAMAAN PENDAPAT ANDI HAMZAH DAN MHD.
ANWAR ADALAH :
Sama – sama
melihat pasal 1 ayat 1,2, dan 3
PERBEDAANNYA :
- Mhd. Anwar lebih memperjelas pengertian dari pasal 1 ayat 1,2,3 itu sebagai TPE
- Mhd. Anwar lebih memperjelas maksud ius constituendum pada pasal 1 ayat 3 yaitu dapat berupa :
-
Ketentuan dalam UU lain
- Ketentuan berdasarkan UU lain
Perbuatan
pelanggaran hukum yang menyangkut bidang ekonomi dapat diperlukan ketentuan
dalam KUHP berupa :
- Menggunakan daya upaya dan alat atau sarana.
Hal ini bisa dalam bentuk :
1.
Surat – surat berharga
2.
Warkat – warkat bank
3.
Fasilitas – fasilitas yang dikeluarkan oleh bank
4.
Sarana produksi
5. Bahan – bahan pokok dalam pengawasan yang dapat merugikan produksi dan
distribusi yang biasanya dalam bidang pertanian dan industri serta prasaranya
antara lain :
-
Ditemukan dalam pasal 263, 264, 266 dan 271 KUHP yang
pada umumnya berisikan pemalsuan berbagai jenis surat.
- Bab 12 KUHP tentang pemalsuan surat – surat pasal 264 tentang menyuruh
menempatkan keterangan palsu.
-
Tentang pengelapan
Pasal
372 dan 374 KUHP bab 24 dengan judul penggelapan
- Ketentuan – ketentuan tentang penipuan, pasal 378 KUHP
- Membeli sengaja tidak melunasi:
Pasal 379 a KUHP “ Mereka yang sebagai mata pencahariannya atau kebiasaan
membeli barang – barang dengan maksud supaya ia sendiri atau orang lain
mendapat barang itu dengan tidak melunaskan sama sekali pembayarannya”.
-
Penipuan beberapa kali atas konsumen yang sama :
Pasal 383 Bis “ Pemegang surat pengangkutan dilaut (Konosemen) yang dengan sengaja mempunyai
beberapa lembar surat konosemen serta telah diikat dengan perjanjian utang
untuk keperluan beberapa orang yang mendapatnya”.
- Tindak pidana yang berhubungan langsung dengan perdagangan.
Hal ini dapat dilihat pada pasal 383
dan 386 KUHP yaitu :
1. Pasal 383 KUHP, penipuan oleh penjual dalam jual beli :
- Sengaja menyerahkan barang yang lain daripada yang telah ditunjuk oleh
pembeli.
- Keadaan sifat atau banyaknya barang
Yang diserahkan dengan memakai akal
dan tipu muslihat.
Pasal 386 KUHP :
“ Menjual,
menawarkan atau menyerahkan barang makanan, atau minuman/obat, sehingga
diketahuinya barang itu dipalsukan dan kepalsuan itu disembunyikan”.
2. Pemalsuan terhadap nama atau tanda atas karya kesastraan ilmu pengetahuan
dan industri. Terlihat dalam pasal 386, 393 KUHP.
3.
Penipuan dalam asuransi Pasal 381, 382 KUHP
4.
Persaingan curang pasal 382 Bis
5.
Penipuan dalam pemborongan pasal 387 KUHP
“ Seorang
pemborong atau ahli bangunan dan suatu pekerjaan yang pada waktu melakukan
pekerjaan bangunan itu melakukan hal tipu yang mendatangkan bahaya bagi orang
banyak”.
6. Penjualan, penawaran, penyerahan, pembagian, penyediaan untuk dijual atau
untuk dibagikan barang yang diketahui atau dapat diduga bahwa pada barang itu
sendiri atau pada bungkusnya dibeli secara palsu nama/firma/cap/ merek yang
menjadi hak orang lain.
Pasal 393 KUHP.
Jadi dalam arti sempit dan luas yang dikemukakan Mohammad Anwar yaitu :
1. Adalah berupa penafsiran terhadap tindak pidana ekonomi berdasarkan psl 1
ayat 1,2,3 UU TPE.
2. Sedangkan apa yang dinyatakan dalam pasal 26,32, dan 33 tetap merupakan TPE
juga seperti apa yang diatur oleh UU tentang TPE diatas tadi.
HAL – HAL YANG BERSIFAT KHUSUS DALAM
TPE
Ada 8 hal yang
bersifat khusus dalam TPE yaitu :
- Ketentuan – ketentuan dalam peraturan TPE ini adalah bersifat elastis
- Perbedaan pengertian, kejahatan dan pelanggaran dalam TPE
- Perluasan berlakunya ketentuan pidana UU TPE
- Percobaan dan pemberian bantuan yang berbeda dengan KUHP
- Keadilan in absensia
- Penyelesaian perkara diluar beracara (Schiking atau denda damai)
- Perluasan tentang subjek yang dapat dihukum
- Aneka ragam sanksi dan penjatuhan pidana
Ad.1. Ketentuan – ketentuan dalam peraturan TPE bersifat
elastis
ANDI HAMZAH dalam bukunya hukum pidana ekonomi
menyebutkan bahwa:
Peraturan tentang TPE ini bersifat elastis, artinya
peraturan – peraturan dibidang pidana ekonomi itu disesuaikan dengan pasar.
Menurut Andi Hamzah,
Di Indonesia pada umumnya terlihat dalam praktek per UU
an dilapangan ekonomi ini berubah dengan cap silih berganti guna mengejar akal
licik pedagang dan pencatut.
Bahwa pejabat dilapangan ini seperti polisi, jaksa dan
hakim termasuk pengacara/advokat seringkali belum sempat membaca atau menemukan
suatu peraturan maka peraturan itu sudah diubah pula terutama yang berbentuk
PP, peraturan menteri.
Jadi perubahan sosial ekonomi serta merta diikuti oleh
peraturan pidana ekonomi yang bersifat temporer untuk mengatasi kesulitan pada
waktu tertentu.
ad. 2. perbedaan pengertian kejahatan dan pelanggaran dalam tpe.
Dalam TPE
klasifikasi kejahatan dan pelanggaran disesuaikan dengan penggolongan tindak
pidana yang dikemukakan sebelumnya.
Menurut ANDI
HAMZAH :
Bagi tindak
ekonomi golongan I dipakai klasifikasi dalam UU yg tercantum dalam pasal 1 ayat
1 itu :
- Jika dalam UU tersebut memberikan pengertian kejahatan dan pelanggaran
secara tersendiri maka diklasifikasikan itulah yang dipakai.
- Jika tidak memberi pengertian secara sendiri maka pengertian kejahatan dan
pelanggaran didalam hukum pidana umum yang dipakai.
Dalam hal ini
menurut Andi Hamzah, kita dapat melihat bahwa menurut UU TPE atau hukum pidana
ekonomi apa yang disebut oleh UU TPE sebagai kejahatan dan pelanggaran dapat
kita lihat berdasarkan penggolongan dari UU TPE tadi.
Ø Golongan I :
Apabila dalam UU
TPE itu disebut klasifikasi kejahatan maka dia adalah kejahatan, walaupun tidak
dijelaskan bahwa itu adalah perbuatan berupa pelanggaran hukum pidana umum.
Ex.: Makhoda kapal
yang tidak melaporkan isi dari kapalnya itu adalah perbuatan kejahatan dimiliki
perbuatan itu langsung perbuatan kejahatan, walaupun nakhoda itu lupa atau
lalai.
Kalau dalam
klasifikasi UU TPE itu dikatakan pelanggaran dan mungkin dalam KUHP itu
merupakan kejahtan maka dia adalah pelanggaran bukan kejahatan, sebaliknya jika
dalam UU TPE tersebut tidak dinyatakan secara tegas itu adalah kejahatan atau
pelanggaran maka yang berlaku adalah klasifikasi KUHP.
Artinya kalau
dalam KUHP itu ada kata “Barangsiapa dengan sengaja” maka itu adalah kejahatan
tapi kalau dinyatakan kata “ lalai atau lupa” maka itu adalah pelanggaran.
Ø Golongan II :
- Pasal 26
-
Pasal 32
- Pasal 33
Hal ini jelas
kalau dia dipakai sebagai klasifikasi kejahatan.
Ø Golongan III :
Sama seperti yang disebutkan untuk golongan I tersebut.
DASAR PEMIKIRAN
PERBEDAAN KEJAHATAN DENGAN PELANGGARAN
Ø Pasal 2 ayat 1 :
Tindak pidana
ekonomi tersebut dalam pasal 1 ayat 1 adalah kejahatan atau pelanggaran sekedar
tindak pidana itu menurut ketentuan dalam UU yang bersangkutan adalah kejahatan
atau pelanggaran TPE lainnya, yang tersebut dalam pasal 1 ayat 1 adalah
kejahatan apabila tindak pidana itu dilakukan dengan sengaja.
Ø Pasal 2 ayat 2 :
TPE tersebur dalam
pasal 1 ayat 2 adalah kejahatan apabila tindak itu mengandung anasir sengaja,
tindak pidana itu adalah pelanggaran satu dengan lainnya dengan UU itu tidak
ditentukan lain.
Ad.3. Perluasan berlakunya ketentuan pidana UU TPE
Pemberlakuan
ketentuan TPE pada umumnya lebih luas dari ketentuan berlakunya KUHP pasal 2
yang pasal 2 tersebut menganut asas TERITORIALITAS.
Bahwa TPE ini asas
pemberlakuannya lebih luas daripada asas teritorialitas seperti yang dianut
tindak pidana umum (Pasal 2 KUHP).
Pasal 2 KUHP : Ketentuan pidana dalam UU Indonesia
berlaku bagi tiap orang yang dalam indonesia melakukan suatu perbuatan yang
boleh dihukum/peristiwa pidana.
Dalam TPE asas pemberlakuan yang berbeda ditemukan dalam pasal 3 UU TPE
bahwa :
“Barangsiapa turut
melakukan suatu TPE yang diberlakukan dalam daerah hukum RI dapat dipidana
begitu pula jika turut melakukan TPE diluar negeri”.
Maksudnya : kalau
seandainya ada orang yang turut melakukan TPE baik berada di indonesia atau
tidak diindonesia maka orang itu dapat dipidana menurut hukum indonesia.
Mengenai turut
melakukan tsb ada beberapa sarjana yang telah memberikan pendapatnya antara
lain :
1. Menurut SOEPRAPTO
Dalam
bukunya hukum pidana ekonomi menyatakan bahwa : kami tidak mengerti mengapa
turut melakukan saja yang tersebut dalam pasal 3 untuk dijadikan delik sendiri
sedangkan hal menuyuruh lakukan (Doen Plegen) membujuk melakukan (Uit Lokken)
tidak dijadikan delik tersendiri dan masih mengikuti pasal 55 KUHP.
Sebenarnya
yang penting dalam pasal 3 UU TPE adalah perluasan berlakunya hukum TPE ke luar
negeri antara lain :
- Perhatikannlah
penjelasan umum bagian ke 5 dan UU TPE yang menyatakan bahwa
.................... sebagai perluasan pasal 2 KUHP .........
-
Maka perbuatan turut serta yang dilakukan diluar negeri
dapat dipidana juga.
Analisa yang sama
juga dikemukakan oleh : KARNI
Dalam bukunya
tindak pidana ekonomi : Pasal 55 KUHP terdapat dalam Bab 5 buku
I KUHP dengan judul turut serta melakukan perbuatan yang dapat dihukum. Maka sebaiknya pasal 55 KUHP ini juga dapat diberlakukan bagi seseorang
yang turut serta diluar negeri.
2.
Menurut ANDI HAMZAH
Dalam bukunya Tindak Pidana Ekonomi
Andi Hamzah menyatakan bahwa : dalam pasal 3 UU TPE ini pembuat UU memakai
istilah lain lagi yaitu ikut serta. Menurut Andi Hamzah, maksudnya bukalah
kata – kata serta dan turut melakukan yang disalin dengan kata MEDE PLEGEN akan
tetapi mestinya DEEL NEMING
MEDE PLEGEN bisa
diartikan :
-
Turut berbuat
- Serta berbuat
Dalam hal ini
ditemukan dalam pasal 55 ayat 1 KUHP.
DEEL NEMING adalah
:
Turut serta (dalam makna yang luas)
Yang bisa
ditemukan dalam pasal 55 – 62 KUHP
Ad.4. Percobaan dann pemberian bantuan
Hal ini diatur
dalam pasal 4 UU TPE bahwa :
Jika dalam UU TPE
pada umumnya atau TPE pada khususnya maka didalamnya termasuk pemberian bantuan
pada atau untuk melakukan tindak pidana itu dan percobaan melakukan tindak
pidana itu sekedar suatu ketentuan tidak menerapkan sebaliknya.
UU TPE tidak
memberikan penjelasan terhadap pasal 4 ini, namun bila dilihat materi pasal ini
ada 2 perbuatan yang diancam dengan pidana yaitu :
1.
Percobaan
2.
Pemberian bantuan (Pasal 53 KUHP dan 56 KUHP).
PERCOBAAN : Suatu perbuatan yg belum selesai, tidak
selesai krn bukan atas kehendak sipelaku.
Ex. : Mencongkel
pintu orang lain tapi diketahui oleh orang lain.
Pidananya :
dikurangi ½ nya karena deliknya belum selesai.
Menurut Pasal 4 UU TPE : Baik percobaan maupun pemberian bantuan seseorang dipidana dengan delik
selesai.
Menurut pasal 54 KUHP : Percobaan untuk pelanggaran tidak diancam hukuman
Percobaan
pelanggaran pada TPE dapat dipidana dasarnya pasal 2 UU TPE.
Terhadap pernyataan pasal 4 UU TPE :
- Kami menyatakan bahwa :
Percobaan pada delik ekonomi adalah
sama dengan delik telah selesai
- Menurut Andi Hamzah :
Tidak sepakat
dengan pendapat karena kami sama dengan delik selesai tetapi kalau dilihat dari
akibatnya yang berbahaya dari delik ekonomi yang dinyatakan sebagai alasan
menetapkan percobaan sama dengan delik selesai maka alasan itu dapat diterima.
- Menurut Kami :
Dia menyatakan
bahwa pasal 4 itu menyimpang dari pasal 53 dan 60 KUHP dianggap perlu khususnya
terhadap yang dipandang pelanggaran.
4. Menurut Andi
Hamzah :
Bagaimana hakim
dan jaksa bisa tiba pada pengurangan hukuman kalau tidak terlebih dahulu diklasifikasikan
delik yang bersangkutan sebagai percobaan pasal 53 KUHP atau memberi bantuan
pasal 56 KUHP.
Dan ketentuan pasal 4 UU TPE : Hanya diberlakukan untuk TPE yg digolongkan pada gol 1 dan 3.
Ad.5. Peradilan in – Absentia
Peradilan in
absentia ini ditemukan didalam pasal 16 ayat 1 sampai dengan pasal 16 ayat 8 UU
TPE dan ditambah dengan peraturan pemerintah pengganti UU No. 15 tahun 1992
dengan ayat 7 – 9.
Bunyi pasal 16 ayat 1 TPE menyatakan
bahwa :
Jika ada cukup
alasan untuk menduga bahwa seseorang yang meninggal dunia sebelum/perkaranya
ada putusan yang tidak dapat diubah lagi telah melakukan TPE maka hakim atas
tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat :
a.
Memutus perampasan barang – barang yang telah disita yang
dalam hal ini pasal 10 UU darurat ini berlaku sepadan
b.
Memutus bahwa tindakan tata tertib yang disebut dalam
pasal 8 sub C yang dilakukan dengan memberatkannya pada harta orang yang
meninggal tersebut.
Pasal 16 ayat 6 menyatakan bahwa :
Ketentuan dalam
pasal 1 diatas pada permulaan kalimat dan dibawah a berlaku juga jika
berdasarkan atas alasan – alasan dapat diterima bahwa TPE itu dilakukan oleh
seorang yang tidak dikenal orang, putusan itu diumumkan dalam berita negara dan
didalam satu atau lebih surat kabar yang akan ditunjukkan oleh hakim.
Ayat 1 : Yang bisa tidak perlu adil adalah orang yang telah meninggal
Ayat 6 : Disamping orang yang meninggal juga ada orang yang tidak dikenal orang.
Tentang masalah meninggal dunia :
Dapat diadili in
absentia relatif berbeda dengan apa yang ditentukan dalam pasal 77 KUHP (e) hak
menuntut hukuman gugur lantaran sitertuduh meninggal dunia. Mengenai pasal 16
(6) ini banyak menimbulkan kesulitan karena penafsiran terhadap orang tidak
dikenal (orang) sehingga dapat menimbulkan relatif ketidakpastian.
Dalam hal ini
penafsiran tersebut sangat tergantung kepada penafsiran tersebut. Mengenai
penafsiran terhadap pengertian orang tidak dikenal orang tersebut, oleh amir
Hamzah tidak dinyatakan bahwa penafsiran itu berdasarkan putusan pengadilan
yang dapat dibagi dua yaitu :
- Sempit
- Luas
Menurut Andi
Hamzah, penafsiran sempit ini ditemukan pada putusan PT. Surabaya dalam kasus
Malaya indonesia Grd. Co. Ltd. (Grading company ltd) dalam tahun 1960.
kesimpulan putusannya : bahwa orang yang tidak dikenal adalah sungguh – sungguh
tidak dikenal.
Sedangkan
penafsiran dalam arti luas ditemukan pada putusan PN Malang tahun 1961 yang
dalam putusannya berpendapat bahwa “Fisik ada tetapi setelah dicari dengan
perantaraan alat – alat negara tidak terdapat dimana alamatnya yang setepat –
tepatnya. Maka untuk diterima namanya dalam arti kata pasal 16 (6) yaitu
dikenal namanya akan tetapi melarikan diri atau sebab lain tidak lagi berada di
indonesia sehingga orang tidak mengenalnya sekalipun didalam pasal ini tidak
ditentukan dengan kata – kata yang tegas mengenai kata – kata orang yang tidak
dikenal itu.
Oleh Andi Hamzah,
kata – kata sebab yang lain tidak lagi berada di indonesia maka PN malang
berasumsi karena tidak ditemui di indonesia, berarti ia sudah pergi ke luar
negeri.
Maka untuk
keseragaman penafsiran, pemerintah mengeluarkan perpu No. 15 tahun 1962 yang
menambah pasal 16 itu dengan tiga pasal yaitu pasal 16 ayat 7,8 dan 9.
Maka pasal 16
tersebut berbunyi ayat 1 – 6, ayat 7 yang diartikan dengan seorang yang tidak
dikenal termasuk pula :
a.
Setiap orang yang diketahui namanya dan tempat
kediamannya diluar negeri yang telah dipanggil dengan perantaraan perwakilan RI
atau dengan surat panggilan yang ditempelkan pada tempat pengumuman di PN atau
ditempatkan dalam satu/lebih surat kabar dan tidak menghadap kepada instansi
yang memanggilnya.
b.
Setiap orang yang diketahui namanya, akan tetapi tidak
diketahui tempat kediamannya yang telah dipanggil dengan surat panggilan yang
ditempelkan pada papan pengumuman di PN atau yang ditempatkan dalam satu atau
lebih surat kabar tidak datang menghadap yang memanggilnya.
Kesimpulan : yang
disebut orang yang tidak dikenal relatif dikenal (Panggilan sehari – harinya
dikenal).
Bahwa hal yang 3,4
dan 5 dari pasal 16 tersebut dapat diperlakukan juga terhadap perkara – perkara
tersebut dalam ayat 6,7 dari pasal 16 ini, kemudian oleh pasal 16 : 6
dinyatakan berlaku sebagian daripada apa yang disebutkan dari pasal 3,4, dan 5
tadi.
Pasal 16 : 9 bahwa
orang – orang tersebut dalam ayat 6 dan 7 tidak boleh diwakili oleh siapapun
juga.
Ad. 6. PENYELESAIAN DILUAR ACARA/DENDA DAMAI
Denda damai dalam
bahasa aslinya Beshikhing ---à penyelesaian perkara dalam TPE.
Penyelesaian
diluar acara adalah penyelesaian kasus tanpa diajukan ke sidang pengadilan
dengan membayar denda damai yang disepakati antara tersangka dengan kejaksaan.
Maksud denda damai
ini ditemukan permulaannya dalam pasal 29 rechten ordonantie ( UU Bea) yang
dalam hal ini telah diganti dengan pasal 113 UU No. 10 tahun 1995 tentang
kepabeanan.
Pasal 113 :
Ayat 1 : Untuk
kepentingan penerimaan negara atas permintaan menteri keuangan, jaksa agung
dapat menghentikan penyidikan dibidang kepabeanan.
Ayat 2 : Penghentian, penyidikan dibidang kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat
1 hanya apabila yang bersangkutan melunasi bea masuk yang tidak atau kurang
dibayar, ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 4 x jumlah
bea masuk yang tidak/kurang dibayar.
Bagaimana
kepastian hukum denda damai ini ?
Apakah dalam denda
damai itu masih dapat dilakukan penuntutan. Apakah asas nebis in idem tidak
dapat diterapkan? Itulah masalahnya.
Ditemukan 2
pendapat sampai sekarang :
1. Denda damai ini tidak dimajukan lagi ke persidangan pengadilan. Alasannya
telah ada keputusan jaksa agung sesuai dengan asas opportunitas yang ada
padanya.
2. Terdapat tersangka telah membayar denda damai yang juga merupakan sanksi.
3. Sesuai dengan asas kepastian hukum, yang biasanya perkara yang telah
diselesaikan diluar acara tersebut, tidak dapat dimajukan lagi.
Sedangkan
peraturan yang kedua, denda damai itu belum merupakan keputusan hakim, maka
masih dapat dimajukan kepersidangan karena asas nebis in idem (putusan yang
telah diputuskan tidak bisa lagi diajukan ke pengadilan).
Ad.7. PERLUASAN OBJEK YANG DAPAT DIHUKUM
Dalam hukum pidana
umum subjek yang dapat dihukum adalah manusia saja, kecuali kalau telah berlaku
nantinya konsep hukum pidana nasional maka disamping subjek hukumnya manusia
juga badan hukum. Sedangkan dalam pidana khusus pertama dalam TPE, dinyatakan
sebagai subjek hukum adalah manusia dan badan hukum.
Kelainan/keistimewaan
adalah bahwa sanksi yang bisa dijatuhkan kepada TPE adalah bersifat
kumulasi/kumulatif, artinya suatu TPE biasanya dijatuhi pidana kumulasi yaitu
suatu penjatuhan pidana yang bersifat gabungan, antara pidana badan ditambah
dengan pidana denda. Namun, bisa juga sanksi TPE itu adalah bersifat
alternatif/pilihan, artinya bisa pidana badan saja atau pidana denda satu.
Contoh : Dijatuhi
pidana penjara atau denda.
Penjatuhan pidana
didalam TPE, biasanya dijatuhi pidana pokok dan kalau mungkin dijatuhi pidana
tambahan dan bisa juga dijatuhi pidana dalam bentuk seperti yang disebutkan
dalam pasal 8 yaitu tindakan tata tertib dan juga bisa ditambahkan dengan
tindakan tata tertib sementara dan disamping itu juga bisa dijatuhkan
berdasarkan hukum perdata. Dan juga bisa diikuti dengan penjatuhan menurut
hukum administrasi.
PENYIDIKAN
Kemudian mengenai
masalah PENYIDIKAN itu bisa dilihat bahwa sesuai dgn ketentuan hukum pidana
khusus penyidikan dilakukan b’dasarkan KUHAP kecuali apabila
ditentukan lain oleh UU ini.
Pada umumnya,
sebagai penyidik adalah pihak kejaksaan sendiri kalau penyidik tersebut
mempunyai kewenangan untuk menyita atau menyerahkan barang untuk disita atau
merampas ataupun memusnahkan barang yang disita tersebut.
PENYITAAN
Kalau dihapuskan,
maka jaksa membuat surat keterangan agar dalam menyidangkan nantinya akan jelas
mengenai status dari barang sitaan tersebut.
Penyitaan juga
berhak memasuki setiap tempat yang menurut pendapatnya akan membantu
penyidikannya. Apabila perlu dia bisa meminta bantuan kepada kekuasaan umum
(penegak hukum).
Dan dalam hal ini
yang tidak kalah pentingnya adalah dia wajib merahasiakan sesuatu hal yang
dapat menolak untuk memperhatikan surat – surat yang termasuk kewajiban
merahasiakan itu.
PENYIDANGAN
Mengenai
penyidangan TPE adalah pada PN yang hakim panitera jaksa disebut dikhususkan
dalam masalah perkara pidana ekonomi, maka pengadilan itu disebut pengadilan
ekonomi.
Sama seperti PN,
pengadilan ekonomi juga bisa bersidang diluar tempat kedudukan pengadilan
ekonomi tersebut. Pada pemeriksaan dipersidangan, ada satu hal yang berbeda
yaitu ada badan/pegawai penghubung., ARTINYA untuk kepentingan pengusutan,
penuntutan dan peradilan pidana TPE dengan persetujuan menteri kehakiman, HAM
dapat diangkat pegawai yang dianggap ahli dalam bidang perekonomian yang
berkewajiban memberikan bantuannya kepada hakim, kepada penyidik dan kepada
penuntut baik diluar persidangan maupun didalam persidangan.
MASALAH NARKOTIKA
Pengertian
Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997 (Pasal 1) :
Narkotika adalah
zat/obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi
sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, kehilangan
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan
ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan – golongan sebagaimana
terlampir dalam UU ini atau yang kemudian ditetapkan dengan keputusan menteri
kesehatan.
Keterangan :
Zat/obat ----à disebut dengan ‘Drug”
Adalah campuran
kimiawi yang bila dimasukkan ke dalam badan akan menimbulkan suatu efek.
Sintesis : Adalah suatu bahan yang berupa reaksi
kimia antara 2 atau lebih zat membentuk zat baru, yang biasanya tidak
diturunkan dari hasil alam, dan biasanya bersifat hasil pengolahan manusia.
Psikotropika : Adalah juga merupakan drug tapi dia
merupakan alat penenang.
Mengenai
narkotika, bisa kita temukan dalam KUHP, yaitu pasal 204 dan 205 tentang barang
yang berbayaha bagi jiwa dan kesehatan manusia, juga ditemukan dalam pasal 300
KUHP tentang meminum yang memabukkan dan dalam pasal 531, 538 dan 539 tentang
minuman keras.
Mengenai masalah
narkotika ini, jauh sebelum tahun 2000 sebelum masehi telah dikenal sebagai
alat ritual dan pengobatan yaitu berupa opium/candu yang berkembang pesat di
mesir, yunani dan beberapa daerah di timur tengah.
Pada waktu
sekarang, masalah narkotika terutama ganja, yang produksiya dari daerah
segitiga emas, daerah bulan sabit emas (iran, aganistan dan pakistan) dan
pegunungan Andes (Bolivia, chili, Ekuador, Barazil, Argentina dan peru) yang
ada izin menanamnya.
Indonesia, yang
mulanya merupakan daerah transit sekarang telah menjadi penghasil maka keadaan
ini menimbulkan kerugian bagi bangsa dan negara yaitu :
- Merugikan pribadi dan masyarakat terutama generasi penerus/muda
- Bisa membahayakan bagi kehidupan dan nilai budaya bangsa.
Kalau telah terjadi ABUSE OF NARCOTICS,
maka akan menimbulkan :
- Terjadi toleransi yaitu adanya perasaan yang makin menebal terhadap obat/drug. Toleransi ini akan menyebabkan dosis pemakaian harus di tingkatkan utk memperoleh efek yg sama.
- Dependen/ketergantungan Artinya seseorang itu merasakan didalam tubuhnya harus ada narkotika. Dependen tersebut dapat secara fisik, artinya dirasakan dalam dirinya tidak sempurna kalau tidak ada obat dalam dirinya.
- Secara psikis/kejiwaan. Yaitu merasa tidak sehat kalau tidak menggunakan obat
- Eforio Yaitu suatu perasaan yang berkelebihan kegembiraannya
- Bersifat halusinogen Yaitu zat yg menimbulkan perasaan tdk real sehingga menimbulkan persepsi yg salah & kalau kekuatan drug habis, timbul rasa takut atau tdk menyenangkan dirinya
- Bersifat Estalasi Artinya peningkatan pemakaian dari satu zat kepada zat yang lebih tinggi atau lebih kuat lagi.
Pada tahun 1912
dikenal “Leage of nations” liga bangsa – bangsa pada saat itu diadakan
pertemuan yang bernama “The hague convention” untuk mengatasi candu supaya
dicekal masuk ke eropa.
Kemudian pertemuan
itu dilanjutkan pada tahun 1925 dengan nama “The geneva internasional opium
convention”.
Kemudian
dilanjutkan dengan pertemuan tahun 1931 dengan nama The g. For limiting
manufactures and regulating the distribution of n drugs (Pengaturan dijenewa
untuk mengatasi dan mengatasi distribusi dari narkotika).
Kemudian pada
tahun 1936 diadakan The convention for the suppressions of the illicitraffic au
dangerous drug (Pelarangan secara luas tentang zat – zat berbahaya).
Pada tahun 1961
diadakan United nations tentang single on d
drugs (konvensi tunggal tentang narkotika).
Yang kemudian
diubah dan ditambha dengan protokol 1961 yang bernama Protokol amending the
.................... (Protokol perubahan konvensi tunggal tentang narkotika).
Yang dalam hal ini
teah disyahkan oleh pemerintahan indonesia dengan UU No. 8 tahun 1976 dengan
nama Pengesahan konvensi tunggal indonesia tahun 1961 beserta protokol yang
mengubahnya.
Akibat pengesahan
itu, pemerintah mengeluarkan UU No. 9 tahun 1976 tentang narkotika.
Sesudah konvensi
tunggal narkotika tahun 1988, diadakan convention on psychotropic substances,
di Wina “disini mulai diadakan perhatian
terhadap narkotika.
Kemudian juga
tahun 1988 diadakan konvensi diwina yang bernama the convention against ilucit
traffic in narcotics drugs and psychotropic substances (konvensi menentang
perdagangan gelap tentang narkotika dan xat adiktif).
Konvensi diwina
ini diratifikasi oleh pemerintah dengan UU No. 7 tahun 1997 dengan judul
tentang pengesahan UU konvensi 1988. Pengesahan konvensi wina ini
menimbulkan UU No. 22 tahun 1997 tentang narkotika dan juga sebelumnya UU No. 5
tahun 1997 tentang psikotropika.
Di indonesia ada 2 nama narkotika sekarang ini
:
- Narkoba -------à narkotika dan obat – obatan terlarang
- Nopza ------à narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.
Keduanya adalah
narkotika secara garis besar.
Narkotika
sebelumnya belum dikenal di Eropa, tapi setelah perang candu mereka mulai
memperhatikan tentang ganja yaitu pada tahun 1912.
Narkotika tersebut
adalah relatif berbahaya jika disalahgunakan.
KETENTUAN – KETENTUAN TENTANG MASALAH
NARKOTIKA
(BISA DALAM ARTI LUAS DAN DALAM ARTI
SEMPIT)
Dalam artian yang
luas itu ditemukan didalam KUHP sedangkan artian yang sempit (narkotika saja)
atau psikotropika saja ditemukan didalam UU No. 22 tahun 1997 tentang
narkotika, dapat dilihat pada lembaran negara No. 67 dan tambahan lembaran
negara no. 3698, yang dalam hal ini UU No. 22 tahun 1997 mencabut UU no. 9
tahun 1976 tanggal 01 September 1997.
UU No. 9 tahun
1976 adalah mencabut ordonantie tentang obat bius, tahun 1927 dalam Stb. No.
278 Jo. No. 536 dengan nama VERDOOVENDE MIDELEN ORDONANTIE atau (VMO) atau
ordonansi obat bius/UU tentang obat bius.
Sedangkan tentang
psikotropika, dapat ditemukan dalam lembaran negara no. 10 dan dalam tambahan
lembaran negara No. 3671 dengan nama UU tentang psikotropika.
Mengenai isi dari
ordonantie obat bius yang diartikan dengan obat bius itu dilarang menanam,
memelihara tanaman papaper atau coca dan ganja / indische hennep.
Disamping
melarang, juga ditujukan untuk peraturan lalu lintas perdagangan ganja papaper,
juga melarang pemakaian dan pemberian ganja dan coca itu kepada yang tidak
berhak dan juga ditemukan sanksi kalau apa yang disebutkan diatas tidak
diikuti/dilanggar.
Kemudian pada UU
No. 9 tahun 1976 telah ditemukan beberapa zat atau bahan yang pada umumnya
lebih luas dan lebih lengkap apabila kita bandingkan dengan PMO, antara lain :
- Telah ditemukan adanya pelayanan kesehatan dalam rangka pemyembuhannya.
- Ada narkotika sebagai bahan / zat baru, sedangkan sanksinya tergantung kepada bahaya dari narkotika tersebut kalau disalahgunakan.
- Pengaturan bukan saja dibidang lalu lintas perdagangan tapi lebih luas lagi, yaitu tentang menanam, meracik narkotika tersebut.
- Kalau PMO acaranya bersifat umum, maka UU No. 9 tahun 1976 tidak lagi mengikuti HIR, akan tetapi sudah bersifat khusus.
- Adanya insentif terhadap mereka yang mengungkapkan narkotika ini
- Mulai adanya kerjasama secara internasional dalam menanggulangi narkotika
- Adanya beberapa ketentuan yang menyimpang dari pidana umum antara lain dapat dipidana badan hukum
- Ancaman pidananya diperberat, bahkan bisa pidana mati. Dan berikut dend ditingkatkan dari Rp. 1 juta bisa menjadi Rp. 50 juta.
Tetapi oleh karena
berkembangnya narkotika itu dan semakin banyaknya jenis – jenis narkotika, maka
oleh UU No. 22 tahun 1997 dicabut UU No. 9 tahun 1976 tadi, sehingga UU No.
22 tahun 1997
melengkapi, menambah isi UU No. 9
tahun 1976 tadi, antara lain :
- Adanya penggolongan narkotika yang bisa kita lihat dalam pasal 2 UU No. 22 tahun 1997 itu.
Yang dalam hal ini penggolongan
narkotika itu didasarkan kepada dapat tidaknya dijadikan obat dan ataupun
akibat ketergantungan pemakai terhadap narkotika tersebut. Dalam pasal 2 ayat 2
nya dinyatakan bahwa narkotika ini ada 3 golongannya yaitu :
- Narkotika golongan I
Narkotika yang
hanya dapat untuk kepentingan ilmu pengetahuan saja tidak boleh digunakan dalan
terapi serta mempunyai potensi yang sangat tinggi dalam mengakibatkan
ketergantunga.
- Narkotika golongan II
Narkotika yang
berkhasiat didalam pengobatan dengan catatan sebagai ultimum remedium dan juga
digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan mempunyai potensi yang tinggi
untuk menimbulkan ketergantungan.
- Narkotika golongan III
Narkotika yang
berkhasiat oengobatan biasanya digunakan didalam terapi dan ilmu pengetahuan
dan potensi ringan untuk ketergantungan.
- Mengenai Pengadaan narkotika
Pasal 6 : 2 UU No. 22 tahun 1997
mengatakan :
Untuk keperluan tersedianya
narkotika demi untuk kepentingan pelayanan ksesehatan atau untuk pengembangan
ilmu pengetahuan meneliti kesehatan harus menyusun rencana kebutuhan narkotika
tadi akan dapat dijadikan pedoman dalam pengadaan, pengendalian dan pengawasan
narkotika secara nasional.
- Adanya harus pencantuman label dari obat narkotika
Ini dilihat pada
pasal 41 dan juga mengenai publikasi dari narkotika yang ditemukan pada pasal
42.
Pasal 41 berbunyi
:
Pada kemasan narkotika harus dibuat label/merek.
Pasal 42 berbunyi
:
Hanya media tertentu saja yang boleh mengiklankan narkotika,
yaitu media cetak ilmu kedokteran dan media cetak ilmu farmasi.
- Lebih menegaskan peran serta dari masyarakat
Yang ditemukan dalam pasal 57 yang
berbunyi : Masyarakat mempunyai kesempatan yang
sangat luas dalam rangka membantu pencegahan/pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika.
Penyalahgunaan narkotika : Artinya orang yang menggunakan
narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter
Peredaran gelap :
Adalah setiap kegiatan/serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak
pidana narkotikan
Pengertian tanpa hak :
Adalah semua perbuatan syah asal dilegalisir oleh UU
kecuali yg tidak boleh
Melawan hukum : Adalah menunjukkan tidak sah suatu tindakan atau suatu maksud
Pasal 57 ayat 2 :
Wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang, apabila mengetahui adanya
penyalahgunaan dan peredaran tersebut.
Pasal 57 ayat 3 : Pemerintah wajib memberikan jaminan keamanan dan perlindungan kpd pelapor
tsb
- Pemusnahan narkotika sebelum putusan yang incracht :
Hal ini terlihat dalam pasal 61 – 66 pemusnahan
narkotika ittu dilakukan oleh pemerintah ataupun bisa oleh mereka – mereka yang
bertanggung jawab atas produksi/peredaran narkotika ataupun bisa dilakukan oleh
sarana kesehatan tertentu ataupun oleh lembaga ilmu pengetahuan yang tertentu
oleh karena produksi narkotika itu tidak memenuhi standar atau karena lewat
waktu ataupun bisa juga oleh karena tidak memenuhi syarat untuk dipakai sebagai
pelayanan kesehatan ataupun narkotika itu berkaitan dengan tindak pidana.
Sedangkan hal –
hal yang perlu dilakukan sebelum narkotika itu dimusnahkan, hendaklah dicatat
dalam berita acara :
- Nama, jenis, merek
- Kapan dimusnahkan dan dimana tempatnya
- Tandatangan dan identitas yang melaksanakan dan menyaksikan pemusnahan tersebut.
Jika seandainya
narkotika itu masih dalam taraf
penyelidikan, penyidikan oleh pejabat penyidik polisi, maka pemusnahannya
disamping disaksikan oleh pejabat yang mewakili kejaksaan, begitupun pejabat
kesehatan yg ditunjuk oleh menteri ataupun bisa oleh pejabat PNS yang menguasai
barang tsb
Kalau putusan
sudah mempunyai kekuatasn hukum tetap oleh pengadilan, pemusnahannya dilakukan
oleh pejabat kejaksaan dan pejabat yangmewakili POLRI dan departemen sosial.
- Perpanjangan jangka waktu penangkapan
Ditemukan dalam pasal 67 ayat 2
dapat diperpanjang 48 jam
- Mengenai penyadapan telepon oleh penyidik ataupun alat komunikasi lain yang dilakukan oleh orang yang diduga keras telah melakukan tindak pidana narkotika. Ditemukan dalam pasal 66 ayat 2.
- Adanya teknik penyerahan yang diawasi dan pembelian yang terselubung
Pembelian yang terselubung ---------à penyidik dalam hal penyamarannya membeli barang tersebut, dengan catatan
teknik pembelian yang terselubung ini hanya diketahui oleh atasannya saja.
PENYIDIKAN MENGENAI NARKOTIKA
Dalam hal ini,
pada umumnya, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan, itu
didasarkan oleh KUHAP kecuali jik aditentukan lain.
Sedangkan
persidangan itu diutamakan dari yang lain mengenai penyidik bisa dari POLRI
sesuai dengan KUHAP juga petugas penyidik PNS, yang dalam hal ini lebih
difokuskan pada petugas BPOM.
Khusus penyidik
dari POLRI, disamping dia mempunyai kewenangan dalam KUHP tapi mereka itu juga
mempunyai kewenangan dalam hal menyadap telepom dan memeriksa surat – surat
juga bisa melakukan teknik penyerangan dan pembelian terselubung tadi.
Sedangkan bagi
penyidik PNS itu ditambah kewenangan berdasarkan pasal 65 UU No. 22 tahun 1997
yaitu :
- Kewenangan memeriksa lapora dan keterangan tentang TPN
- Memeriksa mereka yang diduga melakukan TPN
- Meminta keterangan dan barang bukti dari org/ badan hukum sehubungan dengan TPN itu tadi
- Memeriksa dan menyita barang bukti tentang TPN tersebut
- Memeriksa atas surat – surat dan atau dokumen yang berhubungan dengan narkotika sebagai tindak pidana tadi
- Meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan TPN
- Menangkap dan menahan orang yang disangka melakukan TPN
Kemudian dalam
persidangan, itu relatif sama dengan KUHAP, yang bermasalah adalah mengenai
putusan hakim, putusan hakim yang bermasalah itu adalah relatif bagi mereka
pecandu narkotika.
Kemudian yang
istimewa, tentang mereka yang disidangkan oleh hakim sebagai pecandu narkotika
(orang yang telah menyalahgunakan narkotika) mengenai putusan hakim tadi, itu
ditemukan dalam pasal 47.
Pasal 47 menyebutkan :
Ayat 1 : Hakim
yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat :
- Memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan perawatan apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan TPN
- Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan, menjalani pengobatan dan atau perawatan apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti berusaha melakukan TPN.
Penjelasan pasal 47 ini sbb :
·
Penggunaan kota memutuskan bagi pecandu
narkotika yang terbukti bersalah, mengandung pengertian bahwa putusan hakim
tersebut merupakan vonis/hukuman bagi pecandu
·
Sedangkan kata menetapkan mengandung
pengertian bahwa itu bukan vonis / hukuman tapi untuk memberikan suatu
penekanan bahwa walau tidak terbukti bersalah tapi tetap wajib menjalani
pengobatan dan perawatan yang biayanya selama dalam status tahanan tetap beban
negara, kecuali tahanan rumah dan kota.
·
Sedang yang terbukti, beban sepenuhnya
tanggung jawab negara karena pengobatan dan perawatan tersebut merupakan
bahagian dari masa menjalani pidana.
Kalau di indonesia
ada RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat) di jakarta.
Bahwa dalam
persidangan dan begitupun dalam penyidikan tersangka ataupun terdakwa tadi
harus memberikan keterangan mengenai harta bendanya dan ataupun harta anak
istinya/suaminya ataupun setiap orang atau badan yang diketahuinya ataupun yang
diduganya mempunyai hubungan atau kaitan terhadap TPN dari yang bersangkutan
(Pasal 74 UU Narkotika).
Sedangkan pasal 75
UUN adalah merupakan salah satu hal yang dianggap baru yaitu pembalikan beban
pembuktian.
Dalam hal tertentu
hakim berwenang meminta terdakwa membuktikan bahwa seluruh harta bendanya dan
harta benda istri/suami/anak dan setiap orang atau badan bukan berasal dari
hasil TPN yang dilakukan terdakwa.
KETENTUAN PIDANA YANG ADA DALAM TPN
Mengenao ketentuan
pidana itu ditemukan dalam pasal 78 – 100 yang pada umumnya penjatuhan pidana
lebih banyak yang bersifat kumulasi dibanding dengan yang bersifat alternatif,
namun disamping pidana bisa juga dijatuhkan sanksi berupa tindakan adminstrasi
yang dapat dilihat pada pasal 11 ayat 4 dan pasal 56 ayat 3,
pasal 11 ayat 4
menyatakan :
kalau terjadi pelanggaran terhadap ketentuan mengenai
penyimpanan mengenai pelaporan yang telah ditetapkan dalam UU ini oleh menteri
kesehatan dapat dikenakan sanksi administratif berupa :
- Teguran
- Peringatan
- Denda administrasi
- Penghentian sementara kegiatan ybs
- Pencabutan izin usha ybs
Sedangkan pasal 56
ayat 3 menyatakan : Bahwa apabila ditemukan adanya bukti
permulaan yang cukup atau berdasarkan petunjuk permulaan yang patut diduga
telah terjadi pelanggaran terhadap adanya pengawasan dalam bidang kegiatan yang
berhubungan dengan narkotika maka menteri kesehatan berwenang dalam bentuk
seperti yang dimaksud dalam pasal 11 ayat 4 mengenakan sanksi administratif.
Disamping itu juga
apabila terjadi kekhilafan pemerintah dalam pemusnahan barang (narkotika) yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap itu sebetunya dimiliki/diperoleh secara
syah maka pemerintah memberikan ganti rugi kepada pemilik barang yang syah itu
tadi.
Kedua: Bahwa penjatuhan pidana bisa dalam
bentuk kumulasi, kemudian bentuk pidana yang maksimal (pidana mati) ditemukan
dalam TPN yaitu dalam pasal 80 ayat 1a dan 2a.
Ayat 1a : memiliki
/ memproduksi narkotika golongan I
Ayat 2a : Apabila
ayat 1a tadi didahului dengan pemufakatan jahat
Sedangkan pidana
minimum ditemukan dalam pasal 86 yaitu kurungan paling lama 6 bulan yaitu
orangtua/wali dari pecandu yang tidak melaorkan si pecandu kepada yang
berwenang.
Sedangkan pidana
denda yang paling tinggi bagi orang adalah Rp. 5 M (Pasal 80 : 3a).
Sedangkan bagi
korporasi /Badan hukum paling tinggi dendanya Rp. 7 M (Pasal 80 : 4a) paling
rendah dendanya Rp. 1 jt.
Ketiga : Pada umumnya kita bisa menemukan bentuk
/ klasifikasi dari Tindak pidana ini :
- T.P.N ditentukan sendiri oleh pembuat UU, dilihat dalam pasal 78 – 89 dan ditambah pasal 99.
- TPN yang ada kaitan/hubungan dengan masalah narkotika ditemukan dalam pasal 92 dan 93.
- Pasal 92 : mereka – mereka yang tanpa hak dan melawan hukum yang tidak
melaksanakan ketentuan tentang penyimpanan harus dalam pembungkusan yang khusus
kalau barang tersebut dibawa didalam kapal yang harus disegel oleh nakhoda
kapal dengan disaksikan oleh yang mengirim.
- Pasal 93 : Barang itu dikirim melalui pesawat udara
- T.P yang berhubungan proses peradilan itu ditemukan dalam pasal 94 – 98.
- Pasal 94 : Pejabat PNS yang secara melawan hukum tidak melaksanakan
penyegelan terhadap yang diduga atau mengandung narkotika dan tidak membuat
berita acara yang resmi dan ataupun kewajiban – kewajiban lain yang harus
dilakukannya maka PNS tersebut bisa dikenakan hukuman kurungan 6 bulan ataupun
mereka – mereka yang sebagai penyidik dari POLRI.
- Pasal 95 : Saksi yang tidak memberikan keterangan yang benar dimuka
pengadilan pidananya pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp.
300 juta.
- Pasal 96 : Tentang Residivis. pemidanaannya ditambah 1/3 dari pidana
Pokok
-
Pasal 97 : Mereka2yg melakukan tindak pidana diluar
wilayah NKRI diberlakukan pula UU ini.
- Pasal 98 :
Ayat 1 : WNA yang telah selesai menjalani pidana langsung
diusir ke luar wilayah RI
Ayat 2 : Mereka itu tadi tidak boleh
lagi memasuki wilayah RI (dilarang)
Ayat 3 : Mereka yang melakukan TPN
diluar negeri dilarang memasuki wilayah RI
- Bahwa didalam pemidanaan terutama yang disebutkan pasal 78 – 82 :
a.
Bisa disebut sebagai alasan pemberat dari pidana yang
dikarenakan adanya permufakatan jahat sebelum melakukan TPN (Ayat 2) dan dilakukan
secara terorganisasi (Ayat 3 )
b. Pernyataan tentang pemidanaan yg dilakukan oleh korporasi yg dinyatakan sbgai
pidana denda saja.
Bentuk perumusan dan bentuk pemidanaan
yang bisa dijatuhkan
Sebagaimana telah dikatakan terdahulu bahwa TPN ini dalam hal – hal
tertentu bisa ditemukan perumusan tanpa hak dan melawan hukum; antara lain
pasal 78 – 82 :
1. Pasal 78 :
ayat 1 : Mereka yang tanpa hak dan melawan hukum
:
a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau
menguasai narkotika Golongan I (Bukan dalam bentuk tanaman)
b. Memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan atau menguasai
narkotika golongan I bukan tanaman maksimal pidana penjara 10 tahun dan denda
maksimal Rp. 500 juta
Ayat 2 : Apabila ayat 1 tadi didahului dengan
permufakatan jahat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan
paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp. 25 juta dan paling tinggi Rp.
750 juta
Ayat 3 : Apabila Tindak pidana ayat 1 dilakukan secara terorganisir dipidana penjara
paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp.
100 juta dan paling banyak Rp. 2,5 M
Ayat 4 : Apabila tindak pidana ayat 1 dilakukan oleh korporasi pidana denda paling
banyak Rp. 5 M
2.
Pasal 79 :
a: Hanya memiliki
dst narkotika golongan 2 pidana penjara paling lama 7 tahun dan denda paling
banyak Rp. 250 juta
b : Yang memiliki
dst narkotika golongan 3 pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling
banyak Rp. 100 juta
a: Dilakukan dengan
permufakatan jahat paling lama penjara 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 400
juta
Ayat 2b : Yang dilakukan dengan permufakatan jahat pidana penjara paling lama 7 tahun
dan denda paling banyak Rp. 150 juta.
a : Secara
terorganisir melakukan tindak pidana narkotika golongan 2 paling lama 12 tahun
dan denda paling banyak Rp. 2M
b : Apabila
golongan3 dilakukan secara terorganisir penjara maks.10 tahun dan denda maks.
Rp. 400jt
Ayat 4 : Kalau dilakukan korporasi tentang narkotika golongan 2 paling banyak
dendanya Rp. 3 M, kalau golongan 3 Rp. 1M
3. Pasal 80 :
a : Mereka yang tanpak hak dan melawan hukum memproduksi,
mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit atau menyediakan narkotika
golongan 1 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara maks. 20 tahun dan denda mak. Rp. 1M
b : Memproduksi dst narkotika golongan 2 dipidana
dengan penjara maks 15 tahun dan denda maks Rp. 500 juta
c : Memproduksi narkotika golongan 3, dipidana
penjara maks 7 tahun dan denda maks Rp. 200 juta.
Ayat 2 :
a : Apabila didahului dengan permufakatan jahat dipidana
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara min. 4
tahun dan maks. 20 tahun dan denda min. Rp. 200 jt dan maks. Rp. 2M
b : Apabila golongan 2 pidana penjara 18 tahun dan denda paling banyak Rp.
1M
c : Golongan 3 pidana penjara maks, 10 tahun dan denda maks. Rp. 400 jt.
Ayat 3 :
a : Apabila dilakukan secara terorganisir pidananya
pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara min. 4 tahun dan maks. 20
tahun dan denda min. Rp. 500 jt dan maks. Rp. 5M
b : Apabila dilakukan secara
terorganisir pidana penjara maks. 20 thn dan denda maks. Rp. 3M
c : Bagi golongan III secara
terorganisir, pidana penjara maks. 15 tahun dan denda maks. Rp. 2M
Ayat 4 : dilakukan korporasi terhadap :
- golongan I denda maks. Rp. 7M
- golongan II denda maks. Rp. 4M
- golongan III denda maks. Rp. 3M
4. Pasal 81 :
Ayat 1 : tanpa hak
atau melawan hukum
a : Membawa,
mengirim, mengangkut atau mentransitokan narkotika golongan I pidana penjara
maks. 15 tahun, denda Rp. 750 jt
b : Membawa dst
narkotika golongan II pidana penjara maks. 10 tahun dan denda maks Rp. 500 Jt.
c : Membawa dst,
narkotika golongan III pidana penjara maks. 7 tahun dan denda maks Rp. 200 juta.
Ayat 2 : bila
dengan didahului permufakatan jahat :
a :Tindak pidana
gol.I Pidana penjara min.2 tahun, maks. 12 tahun, denda min. Rp.100jt maks Rp.
2M
b :Tindak pidana
gol. II Pidana penjara maks. 12 tahun,
denda maks Rp. 1M
c :Tindak pidana
gol. III Pidana penjara maks. 9 tahun,
denda maks Rp. 500 jt
Ayat 3 : dilakukan
secara terorganisir bagi :
a : Golongan I
pidana mati/penjara seumur hidup atau pidana penjara min. 4 thn maks. 20 thn,
denda min. Rp. 200 jt dan maks. Rp. 4M
b : Golongan II
pidana penjara maks. 15 thn dan denda maks. Rp. 2M
c : Golongan III pidana penjara maks. 10 thn dan
denda maks. Rp. 1M
Ayat 4 : narkotika
dilakukan korporasi :
a : Golongan I
dikenakan denda maks. Rp. 5M
b : Golongan II
dikenakan denda maks. Rp. 3M
c : Golongan III
dikenakan denda maks. Rp. 2M
5. Pasal 82 :
Ayat 1: a : Mereka yang tanpa hak dan melawan hukum mengimpor, mengekspor,
menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima
menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika golongan I, pidananya
pidana mati/seumur hidup maks. 20 tahun dan denda maks. Rp. 1M
b : Mengimpor dst golongan II Pidana penjara
maks. 15 tahun denda maks rp. 500 juta
c : Golongan III pidana penjara maks 10 tahun
dan denda maks Rp. 300 Juta
Ayat 2 : a : Apabila didahului dengan permufakatan jahat maks dipidana dengan pidana
mati/penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 thn dan maks 20 thn,
denda min Rp. 200 jt maks Rp. 2M
b : Golongan II,
penjara maks 18 tahun, denda maks Rp. 1M
c : Golongan III,
penjara maks 12 tahun, denda maks Rp. 750 juta
Ayat 3 : secara
terorganisir :
a : golongan I,
pidana mati/seumur hidup maks. Penjara min. 5 th dan maks 20 tahun, denda min
Rp. 500 Jt, maks Rp. 3M
b : Golongan II,
pidana penjara maks 20 th, denda maks Rp. 4M
c : Golongan III,
pidana penjara maks 15 th, denda maks Rp. 2M
Ayat 4 : Korporasi
:
a : golongan I
Pidana denda maks Rp. 7M
b : golongan II
Pidana denda maks Rp. 4M
c : golongan III
Pidana denda maks Rp. 3M
6.
Pasal 83 : Percobaan atau permufakatan jahat
pidananya adalah sama dengan pidana selesai.
7. Pasal 84 :
a : Mereka yang menggunakan narkotika terhadap orang lain
atau memberikan narkotika itu kepada orang lain pidana 15 th maks denda Rp. 750
juta
b : Golongan II,
penjara maks 10 thn denda maks Rp. 500 jt
c : Golongan III,
penjara maks 5 th, denda maks Rp. 250 juta
8.
Pasal 85 :
Tanpa hak dan
melawan hukum menggunakan narkotika:
-
golongan I untuk diri sendiri pidana penjara maks. 4 thn
-
golongan II pidana penjara maks 2 thn
- golongan III pidana penjara maks 1 thn
9.
Pasal 86 : Tentang orangtua/wali pecandu yang
belum cukup umur tidak melaporkan kepada yang berwajib maksimal 6 bulan denda
maks Rp. 1jt
Ayat 2 : Sedang mereka yang telah melaporkan tidak dituntut pidana
10. Pasal 87 :
Mereka yang memberi, menjanjikan sesuatu, memberikan
kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa
dengan kekerasan, melakukan dengan tipu muslihat atau membujuk atau yang belum
cukup umur untuk melakukan TPN dipidana penjara seumur hidup atau min. 5 thn
dan maks 20 thn, denda min Rp. 20 jt dan maks. Rp. 600 jt.
11. Pasal 89 : Mereka
yang merupakan pengurus pabrik obat tidak melaksanakan seperti yang disebutkan
dalam pemberian label dan publikasi, pidana penjara 7 thn dan denda maks Rp.
200 jt.
12. Pasal 99 : Mereka yang baik pimpinan rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, sarana
penyimpanan persediaan farmasi milik pemerintah, apotik dan dokter yang
mengedarkan narkotika gologan 2, 3 bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
begitupun pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, memberi, menyimpan
atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan atau
pimpinan pabrik yang memproduksi golongan I, bukan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan atau pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika
golongan bukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, narkotika golongan 2,3 untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dipidana penjara maks 10 thn, denda maks Rp.
200 jt.
13. Pasal 100 : Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam UU ini tidak dapat
dibayar oleh pelaku dojatuhkan pidana kurungan pengganti denda sebagaimana
diatur dalam peraturan per UU an lain.
TINDAK PIDANA LALU LINTAS JALAN (WEGVERKEER ORDONANTIE)
Sebagaimana telah
diketahui bahwa adanya kodifikasi hukum pidana belum tentu akan terpenuhi sifat
dari kodifikasi tersebut yaitu tuntas dan sudah mencerminkan tindak pidana yang
ada dalam masyarakat hal itu terlihat pada KUHP Belanda yang pada abag ke 20
tampak tidak bisa lagi mencerminkan tindak pidana yang ada dalam masyarakat
tidak bisa ditemukan didalam KUHP Belanda tersebut. Antara lain mengenai
pengaturan dibidang lalu lintas maka dalam tahun 1932 di Belanda dibuat suatu UU
pidana yang mengatur masalah lalu lintas yang nama UU itu adalah WEGVERKEER
ORDONANTIE (1932) maka untuk Indonesia dalam tahun 1933 yang terlihat dalam
Stb. 1933 no. 86 tertanggal 02 februari 1933 dengan nama yang sama dibuat pula
peraturan dibidang lalu lintas dengan nama yang sama yaitu WEGVERKEER
ORDONANTIE yang dalam hal ini peraturan pelaksanaannya mulai dibuat 1936 baik
dengan nama peraturan :
·
Penetapan lalu lintas jalan yang
ditemukan dalam stb. No. 452/1936 tertanggal 15 agustus 1936
·
Penetapan lalu lintas jalan perhubungan
berdasarkan SK direktur perhubungan dan pengairan tertanggal 20 September 1936
·
Penetapan lalu lintas jalan dalam
negeri berdasarkan SK direktur pemerintahan dalam negeri tertanggal 08 Oktober
1936
Setelah indonesia
merdeka wegverkeer ordonantie tetap tidak diganggu gugat (masih tetap berlaku)
namun karena perkembangan zaman wegverkeer ord. Sudah tidak sesuai lagi dibuat
oleh pemerintah RI UU yang baru dengan nama UU tentang lalu lintas dan angkutan
jalan raya yaitu UU No. 3 tahun 1965 yang dapat terlihat dalam lembaran negara
No. 25 dan tambahan lembaran negara No. 2742 dan dalam hal ini pada tahun 1992
UU No. 3 tahun 1965 diganti dengan UU tentang lalu lintas angkutan jalan yaitu
UU no. 14 tahun 1992 yang dinyatakan akan berlaku tanggal 17 September 1992.
Dalam
memberlakukan UU ini banyak ditemukan pendapat para ahli / pendapat anggota
masyarakat (orang awam) maupun pendapat pengusaha angkutan yang menentang
pemberlakuan UU No. 14 tahun 1992 itu.
Alasan mereka –
mereka yang menyanggah (orang awam, mahasiswa, pengusaha, ilmuan) adalah :
1.
Masalah UU itu belum dikenal oleh masyarakat awam
2. Kalau diperlakukan UU itu maka akan menimbulkan kerawanan dalam bidang
transportasi pada masyarakat
3. Masalah sanksi yang ada dalam UU tersebut kalau sebelumnya sanksi UU kalau
dilanggar hanya puluhan ribu saja bahkan ribuan saja.
Kemudian mengenai
sanksi ini ada upaya yang dilakukan oleh pemerintah yaitu setelah keluarnya
Perpu No. 1 tahun 1992 tentang penangguhan mulai berlakunya UU No. 14 tahun
1992 yang Perpu itu dapat ditemukan pada kebakaran negara no. 75 dan dalam
tambahan lembaran negara No. 3486, dalam hal ini sanksi yang berat tersebut
pengaturannya disesuaikan dengan kondisi dari daerah masing – masing yang dalam
hal ini untuk daerah sumbar telah ditetapkan jumlah yang harus dibayar oleh
pelanggar UU lalu lintas jalan tadi. Menurut ketua pengadilan tinggi Sumbar
uang denda karena melanggar itu adalah berkisar antara Rp. 5000 – Rp. 30.000
dan tergantung kepada jenis pelanggaran dan kenderaan yang melakukan
pelanggaran tersebut, kemudian berdasarkan SKB itu yaitu untuk menghindari
pungli di jalan raya maka jumlah uang denda itu bisa dibayarkan ke BRI dalam
bentuk uang titipan.
Juklak dari UU No. 14 tahun 1992 adalah
sbb :
- Peraturan pemerintah No. 41 tahun 1993 tentang angkutan jalan yang dapat dilihat pada lembaran negara No. 59 dan tambahanlembaran negara no. 3527
- PP no. 42 tahun 1993 tentang pemeriksaan kenderaan bermotor dijalan. Lembaran negara no. 60 tambahan lembaran negara no. 3528
- PP no. 43 tahun 1993 tentang prasarana dan lalu lintas jalan ditemukan dalam lembaran negara no. 63 tambahan lembaran negara no. 3529
- PP no. 44 tahun 1993 tentang kenderaan dan pengemudi lembaran negara no. 64 tambahan lembaran no. 3530.
Dalam hal ini
pengertian terhadap masalah traffic accident/peristiwa lalu lintas jalan
menurut M KARYADI dalam bukunya mengurus kejahatan lalu lintas menyebutkan
bahwa traffic accident itu ada 3 bentuk :
- Kejahatan lalu lintas
- Pelanggaran lalu lintas
- Kecelakaan lalu lintas
Menurut M. KARYADI
kejahatan lalu lintas itu bisa ditemukan dalam pasal 359, 360, 406, 408, 409
dan 410 KUHP.
Sedangkan
pelanggaran lalu lintas bisa ditemukan pada pasal 510, 511, 492 KUHP
Sedangkan
pelanggaran lalu lintas sendiri itu adalah menurut orang awam melanggar
ketentuan – ketentuan lalu lintas jalan sedangkan kecelakaan lalu lintas itu
adalah peristiwa dijalan raya yang berada diluar kemampuan manusia, sedangkan
pengertian kejahatan lalu lintas adalah apabila suatu kejadian dijalan raya
yang disengaja ataupun karena kelalaian manusia.
Mengenai
penyidikan dan penuntutan dan persidangan tindak pidana lalu lintas tidak
ditemukan didalam UU No. 14 akan tetapi ditemukan dalam KUHAP yaitu dalam Bab
ke 16 dengan judul pemeriksaan disidang pengadilan pada bahagian ke 6 dengan
judul acara pemeriksaan singkat pada paragraf 2 dengan judul acara pemeriksaan
perkara pelanggaran lalu lintas jalan yang dalam pasal – pasal dari paragraf 2
bagian ke 6 dan bab 16 itu terlihat penuntutan pembuktian terhadap pelanggaran
lalu lintas jalan sedangkan ketentuan pidana memang ditemukan dalam UU No. 14
yaitu dari pasal 54 – 70 yang bentuk sanksinya bisa berupa pidana baik dalam
pidana penjara kurungan ataupun pidana denda.
Dalam bentuk
pencabutan hak – hak tertentu yang ditemukan dalam pasal 70 yaitu pencabutan
SIM paling lama selama 2 tahun sedangkan bentuk ketentuan pidananya hanya 1
yang bersifat kumulasi yaitu ditemukan dalam pasal 55 karena mengenai masalah
memasukkan beberapa merek kenderaan bermotor ataupun jenis kenderaan bermotor
yang tidak sesuai penuntutannya di indonesia yaitu pidana kurungan paling lama
1 tahun dan denda setinggi – tingginya Rp. 12 juta sedangkan yang lainnya
semuanya bersifat alternatif dan pasal 68 semua hal yang dilarang menurut pasal
– pasal sebelumnya itu adalah klasifikasinya adalah pelanggaran.
Sedangkan pasal 69
adalah mengenai mereka yang residiv/residivis dalam hal ini mereka melakukan
pelanggaran yang sama dengan pelanggaran yang pertama belum lewat jika waktu 1
tahun maka pelanggaran itu bisa ditambah pidana kurungannya 1/3 dari pidana
pokok atau kalau denda ½ nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar