Search

Total Tayangan Halaman

Kamis, 05 Juli 2012

HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

DAFTAR ISI

BAB I PENGANTAR HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar dan Definisi
1. Definisi
a.       Definisi Schmitthoff
b.      Definisi Rafiqul Islam
c.       Definisi Michelle Sanson
d.      Definisi Hercules Booysen
2. Pendekatan Hukum Perdagangan Internasional
a.       Hubungan Hukum Perdagangan Internasional dan Bidang Hukum Lainnya
b.      Hukum Perdagangan Internasional bersifat Interdisipliner
B. Prinsip-prinsip Hukum Perdagangan Internasional
1.      Prinsip Dasar Kebebasan Berkontrak
2.      Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda
3.      Prinsip Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
4.      Prinsip Kebebasan Komunikasi (Navigasi)
C. Eksistensi dan Tujuan Hukum Perdagangan Internasional
D. Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional
E. Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional
1.      Perlunya Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional
2.      Lembaga-lembaga Yang Bergerak dalam Unifikasi dan Harmonisasi Hukum
a.       World Trade Organization (WTO)
b.      The International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT)
c.       The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL)
d.      Kamar Dagang Internasional (ICC)
F. Penutup
BAB II. SUBYEK HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
B. Negara
1.      Peran Negara
2.      Imunitas Negara
C. Organisasi Perdagangan Internasional
D. Individu
1.      Perusahaan Multinasional
2.      Bank
E. Penutup
BAB III. SUMBER HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
B. Sumber Hukum Perdagangan Internasional
1.      Perjanjian Internasional
2.      Hukum Kebiasaan Internasional
3.      Prinsip-prinsip Hukum Umum
4.      Putusan Badan Pengadilan dan Doktrin
5.      Kontrak
6.      Hukum Nasional
C. Penutup
BAB IV. ATURAN-ATURAN HUKUM PERDAGANGAN MENURUT GATT
A. Pengantar
B. Sejarah GATT
C. Ketentuan-ketentuan Perdagangan dalam GATT
D. Prinsip-prinsip GATT
E. Garis-garis besar Ketentuan GATT
F. Penutup
BAB V. LETTER OF CREDIT DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
B. Bentuk-bentuk Pembiayaan Perdagangan Internasional
1.      Kredit Berdokumen (Documentary Credit)
2.      Bentuk Khusus Kredit Berdokumen
C. Penutup
BAB VI. E-COMMERCE MENURUT UNCITRAL MODEL LAW ON ELECTRONIC
COMMERCE 1996
A. Pengantar
B. Masalah Hukum: Pengawasan
C. UNCITRAL Model Law
1.      Pengantar
2.      Penerapan Persyaratan Hukum terhadap Pesan Data
3.      Kekuatan Pembuktian Pesan Data
4.      Penyimpanan Pesan Data
5.      Komunikasi Pesan Data
6.      Bentuk dan Keabsahan Kontrak
7.      Pengakuan terhadap Pesan Data
8.      Pengakuan Penerimaan
9.      Waktu dan Tempat Pengiriman dan Penerimaan Pesan Data
10.  Bagian II: Obyek tertentu: Pengiriman Brg
11.  Dokumen Pengangkutan (Bill of Lading)
12.  Tanda Tangan Digital dan Pejabat Verifikasi
D. Penutup
BAB VII. PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
B. Para Pihak dalam Sengketa
C. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa
1.      Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)
2.      Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa
3.      Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
4.      Prinsip Itikad Baik (Good Faith)
5.      Prinsip Exhaustion of Local Remedies
D. Forum Penyelesaian Sengketa
1.      Negosiasi
2.      Mediasi
3.      Konsiliasi
4.      Arbitrase
5.      Pengadilan (Nasional dan Internasional)
E. Hukum Yang Berlaku
1.      Pengantar
2.      Kebebasan Para Pihak
F. Pelaksaan Putusan Sengketa Dagang
1.      Pengantar
2.      Pelaksanaan Putusan APS
3.      Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Asing)
4.      Pelaksanaan Putusan Pengadilan
G. Penutup

BAB I
PENGANTAR HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

A. Pengantar dan Definisi
Hukum perdagangan internasional adalah bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas. Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat mencakup banyak jenisnya. Dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari barter, jual beli barang atau komoditi (produk-produk pertanian, perkebunan, dan sejenisnya), hingga hubungan atau transaksi dagang yang kompleks. Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang internasional ini sedikit banyak disebabkan oleh adanya jasa teknologi (khususnya teknologi informasi). Sehingga, transaksi-transaksi dagang semakin berlangsung dengan cepat. Batas-batas negara bukan lagi halangan dalam bertransaksi. Bahkan dengan pesatnya teknologi, dewasa ini para pelaku dagang tidak perlu mengetahui atau mengenal siapa rekanan dagangnya yang berada jauh di belahan bumi lain. Hal ini tampak dengan lahirnya transaksi-transaksi yang disebut dengan e-commerce.
Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subyek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang internasional. Yang menjadi fakta adalah bahwa perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini sudah banyak terbukti dalam sejarah perkembangan dunia. Besar dan jayanya negara-negara di dunia tidak terlepas dari keberhasilan dan aktivitas negara-negara tersebut di dalam perdagangan internasional. Sebagai satu contoh, kejayaan Cina masa lalu tidak terlepas dari kebijakan dagang yang terkenal dengan nama ‘Silk Route’ atau jalan suteranya. Silk Route tidak lain adalah rute-rute perjalanan yang ditempuh oleh saudagar-saudagar Cina untuk berdagang dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Setelah kejayaan Cina, menyusul negara-negara lain seperti Spanyol dengan Spanish Conquistadors-nya, Inggris dengan The British Empire-nya (beserta perusahaan multinasionalnya yang pertama di dunia, yakni ‘the East-India Company’, Belanda dengan VOC-nya, dll. Kejayaan negara-negara ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintahnya untuk melakukan transaksi dagang internasional.
Kesadaran untuk melakukan transaksi dagang internasional ini juga telah cukup lama disadari oleh para pelaku pedagang di tanah air sejak. Adalah Amanna Gappa, seorang kepala suku Bugis yang sadar akan pentingnya dagang (dan pelayaran) bagi kesejahteraan sukunya. Keunggulan suku bugis dalam berlayar dengan hanya menggunakan perahu-perahu bugis yang kecil telah mengarungi lautan luas hingga ke Malaya (sekarang menjadi wilayah Singapura dan Malaysia). Yang menjadi esensi untuk bertransaksi dagang ini adalah dasar filosofinya. Telah dikemukakan bahwa berdagang ini adalah suatu “kebebasan fundamental” (fundamental freedom). Dengan kebebasan ini siapa saja harus memiliki kebebasan untuk berdagang. Kebebasan ini tidak boleh dibatasi oleh adanya perbedaan agama, suku, kepercayaan, politik, sistem hukum, dll. Piagam Hak-hak dan Kewajiban Negara (Charter of Economic Rights and Duties of States) juga mengakui bahwa setiap Negara memiliki hak untuk melakukan perdagangan internasional. (“Every State has the right to engage in international trade”) (Pasal 4).

1. Definisi
Cepatnya perkembangan bidang hukum ini ternyata masih belum ada kesepakatan tentang definisi untuk bidang hukum ini. Hingga dewasa ini terdapat berbagai definisi yang satu sama lain berbeda.
a. Definisi Schmitthoff
Definisi pertama adalah definisi yang dikeluarkan oleh Sekretaris Jenderal PBB dalam laporannya tahun 1966. Definisi ini sebenarnya adalah definisi buatan seorang guru besar ternama dalam hukum dagang internasional dari City of London College, yaitu Professor Clive M. Schmitthoff. Sehingga dapat dikatakan bahwa definisi yang tercakup dalam Laporan Sekretaris Jenderal tersebut tidak lain adalah laporan Schmitthoff. Schmitthoff mendefinisikan hukum perdagangan internasional sebagai: “... the body of rules governing commercial relationship of a private law nature involving different nations”. Dari definisi tersebut dapat tampak unsur-unsur berikut:
1) Hukum perdagangan internasional adalah sekumpulan aturan yang mengatur hubungan-hubungan komersial yang sifatnya hukum perdata,
2) Aturan-aturan hukum tersebut mengatur transaksi-transaksi yang berbeda negara.
Definisi di atas menunjukkan dengan jelas bahwa aturan-aturan tersebut bersifat komersial. Artinya, Schmitthoff dengan tegas membedakan antara hukum perdata (“private law nature”) dan hukum publik. Dalam definisinya itu, Schmitthoff menegaskan bahwa ruang lingkup bidang hukum ini tidak termasuk hubungan-hubungan komersial internasional dengan ciri hukum publik. Termasuk dalam bidang hukum publik ini yakni aturan-aturan yang mengatur tingkah laku atau perilaku negara-negara dalam mengatur perilaku perdagangan yang mempengaruhi wilayahnya.
Dengan kata lain, Schmitthoff menegaskan wilayah hokum perdagangan internasional tidak termasuk atau terlepas dari aturan-aturan hukum internasional publik yang mengatur hubungan-hubungan komersial. Misalnya, aturan-aturan hukum internasional yang mengatur hubungan dagang dalam kerangka GATT atau aturan-aturan yang mengatur blok-blok perdagangan regional, aturan-aturan yang mengatur komoditi, dsb. Dalam salah satu tulisannya Schmitthoff dengan jelas menegaskan sebagai berikut: “First, the modern law of international trade is not a branch of international law; it does not form part of the jus gentium, but it is applied in every national jurisdiction by tolerance of the national sovereign whose public policy may override or qualify a particular rule of that law.”
Dari latar belakang definisi tersebut pun berdampak pada ruang lingkup cakupan hukum dagang internasional. Schmitthoff menguraikan bidang-bidang berikut sebagai bidang cakupan bidang hukum ini:
1) Jual beli dagang internasional: (i) pembentukan kontrak; (ii) perwakilan-perwakilan dagang (agency); (iii) Pengaturan penjualan eksklusif;
2) Surat-surat berharga
3) Hukum mengenai kegiatan-kegiatan tentang tingkah laku mengenai perdagangan internasional
4) Asuransi
5) Pengangkutan melalui darat dan kereta api, laut, udara, perairan pedalaman
6) Hak milik industri
7) Arbitrase komersial.

b. Definisi M. Rafiqul Islam
Dalam upayanya memberi batasan atau definisi hukum perdagangan internasional, Rafiqul Islam menekankan keterkaitan erat antara perdagangan internasional dan hubungan keuangan (financial relations). Dalam hal ini Rafiqul Islam member batasan perdagangan internasional sebagai "... a wide ranging, transnational, commercial exchange of goods and services between individual business persons, trading bodies and States".
Hubungan finansial terkait erat dengan perdagangan internasional. keterkaitan erat ini tampak karena hubungan-hubungan keuangan ini mendampingi transaksi perdagangan antara para pedagang (dengan pengecualian transaksi barter atau countertrade). Pengecualian terhadap kedua bentuk transaksi tersebut karena memang untuk kedua transasi tersebut tidak terkait dengan adanya hubungan keuangan. Dengan adanya keterkaitan erat antara perdagangan internasional dan keuangan, Rafiqul Islam mendefinisikan "hukum perdagangan dan keuangan ("international trade and finance law") sebagai suatu kumpulan aturan, prinsip, norma dan praktek yang menciptakan suatu pengaturan (regulatory regime) untuk transaksi-transaksi perdagangan transnasional dan sistem pembayarannya, yang memiliki dampak terhadap perilaku komersial lembaga-lembaga perdagangan.
Kegiatan-kegiatan komersial tersebut dapat dibagi ke dalam kegiatan "komersial" yang berada dalam ruang lingkup hukum perdata internasional atau Conflict of Laws; perdagangan antar pemerintah atau antar negara, yang diatur oleh hukum internasional publik. Dari batasan tersebut tampak bahwa ruang lingkup hukum perdagangan internasional sangat luas.14 Karena ruang lingkup kajian bidang hukum ini sifatnya adalah lintas batas atau transnasional, konsekuensinya adalah terkaitnya lebih dari satu sistem hukum yang berbeda.

c. Definisi Michelle Sanson
Sarjana lainnya yang mencoba memberi batasan bidang hukum ini adalah sarjana Australia Sanson. Sanson memberi batasan bidang ini sesuai dengan pengeritan kata-kata dari bidang hukum ini, yaitu hukum, dagang dan internasional (dengan kata dasar nasion atau negara). Hukum perdagangan internasional menurut definisi Sanson ‘can be defined as the regulation of the conduct of parties involved in the exchange of goods, services and technology between nations.’ Definisi di atas sederhana. Ia tidak menyebut secara jelas bidang hukum ini jatuh ke bidang hukum yang mana: hukum privat, publik, atau hukum internasional. Sanson hanya menyebut bidang hukum ini adalah the regulation of the conduct of parties. Para pihaknya pun dibuat samar, hanya disebut parties. Sedangkan obyek kajiannya, Sanson agak jelas: yaitu jual beli barang, jasa dan teknologi.
Meskipun memberi definisi yang mengambang tersebut, Sanson membagi hukum perdagangan internasional ini ke dalam dua bagian utama, yaitu hukum perdagangan internasional publik (public interntional trade law) dan hukum perdagangan internasional privat (private international trade law). Yang pertama, public international trade law adalah hukum yang mengatur perilaku dagang antar negara. Sedangkan yang kedua, private international trade law adalah hukum yang mengatur perilaku dagang secara orang perorangan (private traders) di negara-negara yang berbeda. Meskipun ada pembedaan ini, namun para sarjana mengakui bahwa batas-batas kedua istilah ini pun sangat sulit untuk dibuat garis batasnya. Sanson menyatakan bahwa ‘the modern development is that the distinction between publik and privat international trade law has less meaning.’

d. Definisi Hercules Booysen
Booysen sarjana Afrika Selatan tidak memberi definisi secara tegas. Beliau menyadari bahwa ilmu hukum sangatlah kompleks. Karena itu, upaya untuk membuat definisi bidang hukum, termasuk hukum perdagangan internasional, sangatlah sulit dan jarang tepat. Karena itu dalam upayanya memberi definisi tersebut, beliau hanya mengungkapkan unsur-unsur dari definisi hukum perdagangan internasional. Menurut beliau ada tiga unsur, yakni:
(1) Hukum perdagangan internasional dapat dipandang sebagai suatu cabang khusus dari hukum internasional (international trade law may also be regarded as a specialised branch of international law).
(2) Hukum perdagangan internasional adalah aturan-aturan hukum internasional yang berlaku terhadap perdagangan barang, jasa dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI). (International trade law can be described as those rules of international law which are applicable to trade in goods, services and the protection of intellectual property). Bentuk-bentuk hukum perdagangan internasional seperti ini, misalnya saja adalah aturan-aturan WTO, perjanjian multilateral mengenai perdagnagan mengenai barang seperti GATT, perjanjian mengenai perdagangan di bidang jasa (GATS/WTO, dan perjanjian mengenai aspek-aspek yang terkait dengan HAKI (TRIPS). Dalam lingkup definisi ini diakui bahwa negara bukanlah semata-mata pelaku utama dalam bidang perdagangan internasional. Negara lebih berperan sebagai regulator (pengatur). Karena itu hukum perdagangan internasional juga mencakup aturan-aturan internasional mengenai transaksitransaksi nyata yang bersifat internasional dari para pedagang (international law merchants). Karenanya, international law merchants ini adalah bagian dari hokum perdagangan internasional.
(3) Hukum perdagangan internasional terdiri dari aturan-aturan hukum nasional yang memiliki atau pengaruh langsung terhadap perdagangan internasional secara umum. Karena sifat aturan-aturan hukum nasional tersebut, maka atura-aturan tersebut merupakan bagian dari hukum perdagangan internasional. Contoh dari aturan hukum nasional seperti itu adalah perundang-undangan yang ekstrateritorial (the extraterritorial legislation).
Dari 3 (tiga) definisi di atas tampak semuanya ada benarnya. Tetapi penulis lebih pro kepada definisi Rafiqul Islam. Dari batasan Rafiqul Islam di atas, tampak adanya keterkaitan erat antara hukum perdagangan internasional dengan hokum internasional publik. Memang sekilas tampak bahwa dampak dan pengaruh hukum internasional publik ini tidak langsung. Namun demikian pengaruh ini dapat berdampak cukup luas terhadap beberapa aspek dari hukum perdagangan internasional. Hal ini disebabkan karena hukum internasional publik dalam beberapa hal telah membentuk dan sedang dalam proses pembentukan ketentuan-ketentuan yang mengatur aspek-aspek perdata dari transaksi perdagangan internasional.

2. Pendekatan Hukum Perdagangan Internasional
a. Hubungan antara Hukum Perdagangan Internasional dan Bidang Hukum lainnya
Satu catatan lain yang juga penting adalah hubungan antara hukum perdagangan internasional dan hukum lainnya yang terkait dengan perdagangan internasional. Di bagian awal tulisan ini tampak luasnya bidang cakupan hukum perdagangan internasional ini. Luasnya bidang cakupan membuat cakupan yang dikajinya sulit untuk tidak tumpang tindih dengan bidang-bidang lainnya. Misalnya dengan hukum ekonomi internasional, hukum transaksi bisnis internasional, hukum komersial internasional, dll.
Catatan di atas menunjukkan kedudukan penulis yang mengakui adanya keterkaitan antara hukum perdagangan internasional dengan hukum internasional. Di sisi lain, penulis berpendirian bahwa hukum ekonomi internasional adalah juga bagian atau cabang dari hukum internasional. Masalahnya adalah di mana letak atau garis batas di antara hukum perdagangan dengan bidang-bidang hukum lain disebut di atas, khususnya hukum ekonomi internasional. Ada bidang-bidang yang sama-sama tunduk pada dua bidang hukum ini. Misalnya saja, pembahasan mengenai subyek-subyek dan sumber-sumber dari kedua bidang hukum sedikit banyak hampir sama.
Sementara ini pendekatan yang ditempuh untuk membedakan kedua bidang hukum ini adalah melihat subyek hukum yang tunduk kepada kedua bidang hukum tersebut. Hukum ekonomi internasonal lebih banyak mengatur subyek hukum yang bersifat publik (policy), seperti misalnya hubungan-hubungan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh negara atau organisasi internasional. Sedangkan hukum perdagangan internasional lebih menekankan kepada hubunganhubungan hukum yang dilakukan oleh badan-badan hukum privat.
Dalam kenyataannya pendirian tersebut tidak begitu valid. Hukum ekonomi internasional dalam kenyataannya juga mengatur kegiatan-kegiatan atau transaksi-transaksi badan hukum privat atau yang terkait dengan kepentingan privat, misalnya mengenai perlindungan dan nasionalisasi atau ekspropriasi perusahaan asing. Selain itu, meskipun hukum ekonomi internasional mengatur subyek-subyek hukum publik atau negara, namun aturan-aturan tersebut bagaimana pun juga akan berdampak pada individu atau subyek-subyek hukum lainnya di dalam wilayah suatu negara.

b. Hukum Perdagangan Internasional Bersifat Interdisipliner
Karakteristik lain dari hukum perdagangan internasional ini adalah pendekatannya yang interdisipliner. Untuk dapat memahami bidang hukum ini secara komprehensif, dibutuhkan sedikit banyak bantuan disiplin-disiplin (ilmu) lain. Dalam bidang hukum ini terkait dengan bidang pengangkutan (darat, udara dan khususnya laut). Hal ini membutuhkan bantuan dan pemahaman disiplin ilmu pelayaran. Keterkaitan dengan pembayaran dalam perdagangan internasional akan terkait dengan praktik perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Hal ini membutuhkan bantuan dan pemahaman disiplin ilmu perbankan dan keuangan. Keterkaitan dengan perdagangan itu sendiri akan terkait dengan praktik dan teknik-teknik perdagangan. Hal ini membutuhkan bantuan dan pemahaman ilmu praktik perdagangan.
Disiplin-disiplin ilmu lainnya yang terkait lainnya misalnya adalah teknologi, ekonomi. Yang juga penting adalah ilmu politik, yaitu bagaimana kebijakan politik suatu negara yang berpengaruh terhadap kebijakan dagang suatu negara.

B. Prinsip-prinsip Dasar Hukum Perdagangan Internasional
Prinsip-prinsip dasar (fundamental principles) yang dikenal dalam hukum perdagangan internasional diperkenalkan oleh sarjana hukum perdagangan internasional Profesor Aleksancer Goldštajn. Beliau memperkenalkan 3 (tiga) prinsip dasar tersebut, yaitu (1) prinsip kebebasan para pihak dalam berkontrak (the principle of the freedom of contract); (2) prinsip pacta sunt servanda; dan (3) prinsip penggunaan arbitrase.

1. Prinsip Dasar Kebebasan Berkontrak
Prinsip pertama, kebebasan berkontrak, sebenarnya adalah prinsip universal dalam hukum perdagangan internasional. Setiap sistem hukum pada bidang hukum dagang mengakui kebebasan para pihak ini untuk membuat kontrak-kontrak dagang (internasional). Schmitthoff menanggapi secara positif kebebasan pertama ini. Beliau menyatakan: “The autonomy of the parties’ will in the law of contract is the foundation on which an autonomous law of international trade can be built. The national sovereign has,..., no objection that in that area an autonomous law of international trade is developed by the parties, provided always that that law respects in every national jurisdiction the limitations imposed by public policy.”
Kebebasan tersebut mencakup bidang hukum yang cukup luas. Ia meliputi kebebasan untuk melakukan jenis-jenis kontrak yang para pihak sepakati. Ia termasuk pula kebebasan untuk memilih forum penyelesaian sengketa dagangnya. Ia mencakup pula kebebasan untuk memilih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak, dll. Kebebasan ini sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan UU, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan, dan lain-lain persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing sistem hukum.

2. Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda
Prinsip kedua, pacta sunt servanda adalah prinsip yang mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak yang telah ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan itikad baik). Prinsip ini pun sifatnya universal. Setiap system hukum di dunia menghormati prinsip ini.

3. Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
Prinsip ketiga, prinsip penggunaan arbitrase tampaknya terdengar agak ganjil. Namun demikian pengakuan Goldštajn menyebut prinsip ini bukan tanpa alasan yang kuat. Arbitrase dalam perdagangan internasional adalah forum penyelesaian sengketa yang semakin umum digunakan. Klausul arbitrase sudah semakin banyak dicantumkan dalam kontrak-kontrak dagang. Oleh karena itulah prinsip ketiga ini memang relevan.
Goldštajn menguraikan kelebihan dan alasan mengapa penggunaan arbitrase ini beliau jadikan prinsip dasar dalam hukum perdagangan internasional: “Moreover, to the extent that the settlement of differences is referred to arbitration, a uniform legal order is being created. Arbitration tribunals often apply criteria other than those applied in courts. Arbitrators appear more ready to interpret rules freely, taking into account customs, usage and business practice. Further, the fact that the enforcement of foreign arbitral awards is generally more easy than the enforcement of foreign court decisions is conducive to a preference for arbitration.”

4. Prinsip Dasar Kebebasan Komunikasi (Navigasi)
Di samping tiga prinsip dasar tersebut, prinsip dasar lainnya yang menurut penulis relevan adalah prinsip dasar yang dikenal dalam hukum ekonomi internasonal, yaitu prinsip kebebasan untuk berkomunikasi (dalam pengertian luas, termasuk di dalamnya kebebasan bernavigasi). Komunikasi atau navigasi adalah kebebasan para pihak untuk berkomunikasi untuk keperluan dagang dengan siapa pun juga dengan melalui berbagai sarana navigasi atau komunikasi, baik darat, laut, udara, atau melalui sarana elektronik. Kebebasan ini sangat esensial bagi terlaksananya perdagangan internasional. Aturan-aturan hukum (internasional) memfasilitasi kebebasan ini.
Dalam berkomunikasi untuk maksud berdagang ini kebebasan para pihak tidak boleh dibatasi oleh sistem ekonomi, sistem politik, atau sistem hukum. Bandingkan dengan pendapat professor Goldštajn di bawah ini ketika beliau membahas hubungan antara sistem ekonomi dan politik dalam kaitannya dengan hokum perdagangan internasional: “The law governing trade transactions is neither capitalist nor socialist; it is a means to an end, and therefore, the fact that the beneficiaries of such transactions are different in this or that country is no obstacle to the development of international trade. The law of international trade is based on the general principles accepted in the entire world.” Pernyataan terakhir Goldštajn di atas, yaitu bahwa hukum perdagangan internasional didasarkan pada prinsip-prinsip umum
yang diterima di seluruh dunia menyatakan seolah-seolah hukum perdagangan internasional dapat diterima oleh sistem hukum di dunia. Pendapat ini benar. Sarjana terkemuka lainnya, Profesor Tammer, memperkuat pernyataan tersebut: “The law of external trade of the countries of planned economy does not differ in its fundamental principles from the law of external trade of other countries, such as, e.g., Austria or Switzerland. Consequently, international trade law specialists of all countries have found without difficulty that they speak a ‘common language.”

C. Eksistensi dan Tujuan Hukum Perdagangan Internasional
Hubungan-hubungan perdagangan internasional antar Negara sudah ada sejak lama. Hubungan-hubungan ini sudah ada sejak adanya negara-negara dalam arti negara kebangsaan, yaitu bentuk-bentuk
awal negara dalam arti modern. Perjuangan negara-negara ini untuk memperoleh kemandirian dan pengawasan (kontrol) terhadap ekonomi internasional telah memaksa negara-negara ini untuk mengadakan hubungan-hubungan perdagangan yang mapan dengan negara-negara lainnya. Mereka menyadari bahwa perdagangan adalah satu-satunya cara untuk pembangunan ekonomi mereka.
Seperti telah dikemukakan di awal tulisan ini, sejak dulu dan bahkan dewasa ini semakin banyak negara sadar bahwa kebijakan menutup diri sudah jauh-jauh ditinggalkan. Pendirian ini semakin mendorong negara untuk memperluas aktivitas perdagangannya. Cara pandang ini sedikit banyak dilatarbelakangi dan dipengaruhi oleh beberapa aliran atau teori ekonomi. Pada awal perkembangannya, terutama abad ke 15 dan 16, teori atau aliran yang mula lahir adalah teori merkantilisme. Para merkantilis berpendirian perdagangan internasional sebagai instrumen kebijakan nasional. Mereka menekankan pentingnya ekspor sebesar-besarnya dan menekan impor serendah-rendahnya. Keuntungan dari selisih ekspor-impor merupakan keuntungan bagi negara (yang waktu itu diwujudkan dalam bentuk emas).
Reaksi dari aliran itu adalah teori keunggulan komparatif yang diperkenalkan oleh David Ricardo (1772-1823). Ricardo menekankan spesialisasi dari hasil suatu produk. Smith menganggap perdagangan internasional sebagai salah satu bagian dari keunggulan komparatif (principle of comparative advantage). Teori beliau menyatakan bahwa untuk menjadi pemain utama dalam perdagangan, faktor yang penting bukanlah ukuran, tetapi bagaimana memaksimalkan potensi. Contoh klasik adalah Jepang. Dari segi geografis, kekayaan alam dan luas wilayah, Jepang relatif kurang beruntung. Tetapi dengan kekuatan manajemen dalam perdagangan internasionalnya, negeri ini berhasil menjadikannya sebuah negara yang paling penting di dunia dewasa ini.
Semakin luasnya aktivitas perdagangan ini yang dewasa ini dikenal dengan "liberalisasi perdagangan", sistem keuangan atau pasar internasional yang stabil untuk memberikan modal untuk melaksanakan perdagangan internasional tersebut. Karena itu, keterkaitan antara perdagangan internasional dan sistem keuangan atau moneter internasional menjadi semakin penting. Tidak terlalu mengherankan apabila masyarakat internasional kemudian menyelenggarakan konperensi Bretton Woods guna mendirikan Bank Dunia - IMF untuk maksud ini. Berdirinya ke-2 lembaga keuangan ini semata-mata untuk menjaga agar system moneter internasional dapat terpelihara (stabil) dan juga member pinjaman jangka pendek guna menanggulangi kesulitan neraca pembayaran yang disebabkan oleh adanya defisit perdagangan ekspor-impor negara-negara. Krisis keuangan internasional pada tahun 1970-an juga telah mempertegas pentingnya hubungan erat ini.
Dalam upaya negara-negara ini meningkatkan pertumbuhan ekonomi mereka, dewasa ini mereka cenderung membentuk blok-blok perdagangan baik bilateral, regional maupun multilateral. Dalam kecenderungan ini pun peran perjanjian internasional menjadi semakin penting.
Semakin pentingnya peran perjanjian-perjanjian di bidang ekonomi atau perdagangan ini pun telah melahirkan aturan-aturan yang mengatur perdagangan internasional di bidang barang, jasa dan penamaman modal di antara negara-negara. Tujuan hukum perdagangan internasional sebenarnya tidak
berbeda dengan tujuan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade, 1947) yang termuat dalam Preambule-nya. Tujuan tersebut adalah:
(a) untuk mencapai perdagangan internasional yang stabil dan menghindari kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek perdagangan nasional yang merugikan negara lainnya.
(b) untuk meningkatkan volume perdaganan dunia dengan menciptakan perdagangan yang menarik dan menguntungkan bagi pembangunan ekonomi semua negara;
(c) meningkatkan standar hidup umat manusia; dan
(d) meningkatkan lapangan tenaga kerja.
Tujuan lainnya yang juga relevan adalah:
(e) utk mengembangkan sistem perdagangan multilateral, bukan sepihak suatu negara tertentu, yang akan mengimplementasikan kebijakan perdagangan terbuka dan adil yg bermanfaat bagi semua negara; dan
(f) meningkatkan pemanfaatan sumber-sumber kekayaan dunia dan meningkatkan produk dan transaksi jual beli barang.
Ada pula yang menyatakan bahwa aturan-aturan perdagangan internasional juga pada analisis akhirnya akan menciptakan perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini antara lain dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri AS, Hull. Tesis ini tampaknya benar. Manakala dua atau lebih negara berhubungan dan bertransaksi dagang dan mereka memperoleh keuntungan dari perdagangan tersebut, otomatis keadaan dunia menjadi sedikit banyak lebih baik. Artinya, situasi dan kondisi dunia akan semakin kondusif.
Sebenarnya tesis Hull tersebut sudah lama dikumandangkan oleh Immanuel Kant, yang selama ini dikenal juga sebagi bapak hukum internasional. Dalam tulisannya berjudul ‘On Eternal Peace,’ Kant menyatakan bahwa ‘spirit of trade could not co-exist with war.’ Yang juga cukup menarik adalah tesis Hull di atas juga telah cukup lama disadari di tanah air. Salah seorang kepala suku Bugis ternama, yaitu Amanna Gappa, juga menyadari bahwa tujuan (unifikasi) hukum dagang adalah untuk mencegah persaingan di antara suku bangsanya dan juga memajukan kerjasama di antara mereka guna kesejahteraan di antara mereka.45 Terjemahan saduran hasil penelitian terhadap suku terkenal Bugis ini yang terkenal dengan hukum pelayaran dan dagangnya tergambarkan sebagai berikut: “One of thse chiefs was Amanna Gappa (=father of Gappa) who headed his countrymen at Makassar. Most probably he was a very intelligent and energetic man and he may have been the first to realize the great importance of navigation and trade for his people as the only fields of endeavour in which they could earn a living. We may assume that this was the bacground of his taking initiative in inviting his colleagues from other parts of Indonesia in order to collect the different rules which were in force in their respective regions and to compile a uniform navigation and trade law. By doing so he tried to prevent heavy competition among his countrymen and to stimulate cooperation for their own welfare.”
Meskipun adanya tujuan bagus tersebut di atas, hokum perdagangan internasional masih memiliki cukup banyak kelemahan. Kelemahan tersebut tampaknya juga dapat ditemui dalam bidang-bidang hukum lainnya, yakni terdapatnya pengecualian-pengecualian atau klausul-klausul 'penyelamat' yang bersifat memperlonggar kewajiban-kewajiban hukum. Kelemahan spesifik tersebut yaitu:
(a) hukum perdagangan internasional sebagian besar bersifat pragmatis dan permisif. Hal ini mengakibatkan aturan-aturan hukum perdagangan internasional kurang obyektif di dalam 'memaksakan' negara-negara untuk tunduk pada hukum. Dalam kenyataannya, negara-negara yang memiliki kekuatan politis dan ekonomi memanfaatkan perdagangan sebagai sarana kebijakan politisnya.
(b) Aturan-aturan hukum perdagangan internasional bersifat mendamaikan dan persuasif (tidak memaksa). Kelemahan ini sekaligus juga kekuatan bagi perkembangan hukum perdagangan internasional yang menyebabkan atau memungkinkan perkembangan hukum ini di tengah krisis.

D. Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional
Dari uraian di atas tampak bahwa hukum perdagangan internasional telah ada sejak lahirnya negara dalam arti modern. Sejak saat itu, hukum perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang cukup pesat sesuai dengan perkembangan hubungan-hubungan perdagangan. Dilihat dari perkembangan sumber hukumnya (dalam arti materil), maka perkembangan hukum perdagangan internasional dapat dikelompokkan ke dalam 3 tahap, yakni:
(1) Hukum perdagangan internasional dalam masa awal pertumbuhan.
Hukum perdagangan internasional lahir pada awalnya dari praktek para pedagang. Hukum yang diciptakan oleh para pedagang ini lazim disebut pula sebagai lex mercatoria (law of merchant). Pada awal perkembangannya ini Lex Mercatoria tumbuh dari adanya 4 faktor berikut:
(a)    lahirnya aturan-aturan yang timbul dari kebiasaan dalam berbagai pekan raya (the law of the fairs);
(b)   lahirnya kebiasaan-kebiasaan dalam hukum laut;
(c)    lahirnya kebiasaan-kebiasaan yang timbul dari praktek penyelesaian sengketa-sengketa di bidang perdagangan; dan
(d)   berperannya notaris (public notary) dalam memberi pelayanan jasa-jasa hukum(dagang).
(2) Hukum perdagangan internasional yang dicantumkan dalam hokum nasional
Dalam tahap perkembangan ini, negara-negara mulai sadar perlunya pengaturan hukum perdagangan internasional. Mereka lalu mencantumkan aturan-aturan perdagangan internasional dalam kitab undang-undang hukum (perdagangan internasional) mereka. Aturan-aturan tersebut sedikit banyak adalah aturan-aturan yang mereka adopsi dari lex mercatoria. Misalnya saja Perancis membuat Kitab Undang-undang Hukum Dagang-nya (code de commerce) tahun 1807, Jerman menerbitkan Allgemeine Handelsgezetbuch tahun 1861, dll.
(3) Lahirnya aturan-aturan hukum perdagangan internasional dan Munculnya Lembaga-lembaga Internasional yang mengurusi Perdagangan Internasional. Dalam perkembangan ketiga ini, aturan-aturan hukum perdagangan internasional lahir sebagian besar karena dipengaruhi oleh semakin banyaknya berbagai perjanjian internasional yang ditandatangani baik secara bilateral, regional, maupun
multilateral.
Secara khusus tahap ketiga ini muncul secara signifikan setelah berakhirnya Perang Dunia II. Salah satu perjanjian multilateral yang ditandangani pada masa ini adalah disepakati lahirnya GATT tahun 1947. Tahap ketiga ini disebut juga dengan tahap “internationalism”. Schmitthoff menyatakan sebagai berikut: “We are beginning to rediscover the international character of commercial law and the circle now contemplates it self: the general trend of commercial law everywhere is to move away from the restrictions of national law to a universal, international conception of the law of international trade.”
Sejak berdiri hingga dewasa ini aturan-aturan perdagangan GATT telah berkembang dan mengalami pembangunan yang cukup penting. Bahkan dalam putaran perundingan tahun 1986-1994, negara-negara anggota GATT telah sepakat untuk membentuk suatu badan atau lembaga internasional baru, yaitu WTO. Perubahan dari GATT ke WTO berdampak luas terhadap bidang hukum perdagangan internasional. Alasannya, bidang pengaturan yang tercakup di dalam WTO sekarang ini adalah kompleks. Ia tidak semata-mata lagi mengatur tarif dan barang, tetapi juga mengatur jasa, hak kekayaan intelektual, penanaman modal, lingkungan, dll.
Ciri kedua dalam perkembangan tahap ketiga ini yakni munculnya organisasi internasional. Salah satu badan yang menonjol adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebetulnya peran PBB di bidang perdagangan internasional tidaklah langsung.
Peran PBB di bidang ekonomi dan perdagangan ini termuat dalam pasal 1:3 Piagam PBB, yakni aturan tentang tujuan PBB yakni mencapai kerjasama internasional di dalam antara lain menyelesaikan masalah-masalah ekonomi internasional. Tujuan-tujuan PBB di atas diupayakan pemenuhannya melalui berbagai langkah berikut:
i. Negara-negara anggota PBB mendirikan the United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) pada tahun 1964. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih besar kepada negara sedang berkembang untuk ikut serta dalam merumuskan kebijakan-kebijakan perdagangan, dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan khusus negara-negara sedang berkembang ini.
ii. negara-negara anggota PBB mengesahkan the Charter of Economic Rights and Duties of States pada tahun 1974 (serta disahkannya the Declaration and Programme of Action on the Establishment of the New International Economic Order). Pembentukan Piagam ini diawali dengan langkah Majelis Umum PBB mengesahkan the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights pada tahun 1966. Dokumen-dokumen penting ini pada pokoknya mengakui dan memberi perlakuan khusus kepada negara-negara sedang berkembang di bidang perdagangan, keuangan dan penanaman modal.
Ciri ketiga yang juga menonjol adalah disepakatinya pendirian badan-badan ekonomi regional di suatu kawasan region tertentu. Blok perdagangan regional yang mula-mula membawa pengaruh cukup luas adalah the European Single Market (1992) dan segera diikuti oleh blok perdagangan Amerika Utara (The North American Free Trade Agreeement atau NAFTA) (1994). Di kawasan Asia Tenggara, negara-negara ASEAN mengikuti langkah serupa dengan membentuk Asean Free Trade Area (AFTA). AFTA berlaku efektif sejak 1 Januari 2003.
Kecenderungan pembentukan kelompok-kelompok regional ini di satu sisi positif. Namun di sisi lain organisasi-organisasi regional tersebut menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat internasional karena terdapatnya blok-blok perdagangan tersebut melahirkan peraturan-peraturan regional eksklusif yang ternyata menyimpangi ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam GATT/WTO.

E. Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional
1. Perlunya Unifikasi dan Harmonisasi Hukum
Di atas dikemukakan bahwa negara-negara mencantumkan aturan-aturan hukum perdagangan internasional dalam hokum nasionalnya. Aturan-aturan hukum nasional di bidang perdagangan internasional ini karenanya menjadi sumber hukum yang cukup penting dalam hukum perdagangan internasional. Tetapi adanya berbagai aturan hukum nasional ini sedikit banyak kemungkinan dapat berbeda antara satu sama lainnya.
Perbedaan ini kemudian dikhawatirkan akan juga mempengaruhi kelancaran transaksi perdagangan itu sendiri. Masalah ini sebelumnya sudah cukup lama disadari oleh bangsa-bangsa di dunia, termasuk organisasi dunia PBB. Dalam resolusi Majelis Umum PBB No 2102 (XX), PBB menyatakan bahwa: "Conflicts and divergencies arising from the laws of different states in matters relating to international trade constitute an obstacle to the development of world trade." Untuk menghadapi masalah ini, sebenarnya ada 3 teknik yang dapat dilakukan.
Pertama, negara-negara sepakat untuk tidak menerapkan hukum nasionalnya. Sebaliknya mereka menerapkan hukum perdagangan internasional untuk mengatur hubungan-hubungan hokum perdagangan mereka.
Kedua, apabila aturan hukum perdagangan internasional tidak ada dan atau tidak disepakati oleh salah satu pihak, maka hokum nasional suatu negara tertentu dapat digunakan. Cara penentuan hukum nasional yang akan berlaku dapat digunakan melalui penerapan prinsip choice of laws. Choice of Laws adalah klausul pilihan hukum yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan dalam kontrak (internasional) yang mereka buat.
Ketiga, teknik yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum aturan-aturan substantif hokum perdagangan internasional. Teknik ketiga ini dipandang cukup efisien. Cara ini memungkinkan terhindarnya konflik di antara sistem-sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara.
Kedua kata ini hampir sama maksudnya, namun ada nuansa atau perbedaan yang perlu untuk dicatat. Kedua kata sama-sama berarti upaya atau proses menyeragamkan substansi pengaturan sistem-sistem hukum yang ada. Penyeragaman tersebut mencakup pengintegrasian sistem hukum yang sebelumnya berbeda. Perbedaan kedua kata tersebut terletak pada derajat penyeragaman tersebut. Dalam unifikasi hukum, penyeragaman mencakup penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan sistem hukum yang baru. Contohnya adalah pemberlakuan Perjanjian TRIPS/WTO.
Dengan diperkenalkannya substansi bidang-bidang perjanjian TRIPS/WTO yang mencakup ketentuan mengenai hak cipta, merek dagang, indikasi geografis, disain industri, paten, dll., meletakkan kewajiban kepada negara anggota untuk membuat aturan-aturan HAKI nasionalnya yang sesuai dengan substansi perjanjian TRIPS/WTO. Harmonisasi hukum tidak sedalam unifiksi hukum. Tujuan utama harmonisasi hukum hanya berupaya mencari keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari berbagai sistem hukum yang ada (yang akan diharmonisasikan).
Untuk dapat melaksanakan unifikasi dan harmonisasi hukum ini karenanya hanya dapat dicapai oleh para ahli hukum yang mendalami atau menguasai perbandingan hukum. Upaya ini dapat dilakukan oleh suatu tim ahli perbandingan hukum yang terdiri dari para ahli hukum yang berlatar belakang sistem hukum yang berbeda-beda yang hendak diupayakan unifikasi dan harmonisasi hukumnya. Dalam upaya unifikasi dan harmonisasi hukum, masalah esensialnya adalah bagaimana metode yang akan diterapkannya. Dalam kaitan itu, masalah-masalah mengenai perbedaan konsepsi dan perbedaan bahasa yang terdapat dalam berbagai sistem hukum tersebut hanya dapat ditanggulangi dengan cara menerapkan metoda komparatif.
Menurut Schmitthoff, dalam metode komparatif, dikenal 3 metode, yaitu metode dengan memberlakukan:
a.       perjanjian/konvensi internasional (international convention);
b.      hukum seragam (uniform laws); dan
c.       aturan seragam (uniform rules).

Ad. a. Perjanjian atau Konvensi Internasional
Penerapan atau pemberlakuan perjanjian atau konvensi internasional adalah cara yang paling banyak digunakan dalam mengemukakan pula (1) perjanjian bilateral sebagai instrumen untuk unifikasi hukum (bandingkan dengan perjanjian internasional dari konsep Schmitthoff); dan (2) aturan-aturan yang bersifat rekomendatif. Pistor mengungkapkan pula, dengan adanya upaya ini maka biaya utnuk transaksi dagang dapat menjadi berkurang. Selain itu, yang juga penting, unifikasi hukum dapat mencapai unifikasi hukum. Cara ini dipandang tepat untuk memperkenalkan suatu ketentuan hukum yang bersifat memaksa ke dalam sistem hukum nasional. Pemberlakuan perjanjian TRIPS/WTO di atas merupakan salah satu contoh. Gambaran lainnya adalah CISG 1980 atau Konvensi mengenai Kontrak Jual Beli Barang Internasional. Konvensi ini dapat dipandang sebagai upaya mengunifikasi hukum kontrak jual beli barang internasional. Para perancang konvensi ini telah berupaya mengkawinkan prinsip-prinsip kontrak yang dikenal dalam sistem hukum Civil Law dan sistem hukum Common Law.
Salah satu pembatasan cara ini adalah adanya kehendak dari sesuatu negara untuk mengikatkan diri atau meratifikasi perjanjian atau konvensi internasional tersebut. Dalam kenyataannya, untuk mencapai kehendak tersebut banyak bergantung pada faktor ekonomi, politis, juridis, dll.

b. Hukum seragam (Uniform Laws)
Hukum seragam tidak lain adalah model-model hukum yang dapat kita lihat misalnya dalam model hukum arbitrase UNCITRAL 1985 (Model Law on International Commercial Arbitration). Model hukum ini memberikan keleluasaan kepada negara-negara yang hendak menerapkannya ke dalam hukum nasionalnya. Keleluasaan tersebut mencakup keleluasaan kepada Negara yang bersangkutan apakah akan menerapkan secara penuh aturan-aturan substantif Model Law. Kemungkinan lain, negara tersebut memutuskan untuk menerapkannya dengan melakukan beberapa revisi atau menerapkan beberapa pengecualian terhadap aturan-aturan di dalamnya.
Sifat hukum seragam tidak mengikat. Ia hanya bersifat persuasif. Karena itu derajat pengadopsian atau penerapannya sangat bergantung kepada masing-masing negara. Model hukum ini memberi sumbangan bagi perbaikan kualitas (lembaga-lembaga) hukum di suatu negara (ibid). Pada saat suatu negara turut serta, aksesi atau meratifikasi suatu perjanjian atau konvensi internasional, maka pada prinsipnya seluruh aturan perjanjian mengikat negara tersebut.

c. Aturan Seragam (Uniform Rules)
Aturan-aturan seragam lebih rendah tingkatannya daripada hukum seragam (Uniform Laws). Bentuk aturan seragam tampak antara lain dalam modal-model kontrak standar atau kontrak baku. Contoh bentuk aturan seperti ini adalah the Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (1974) yang dikeluarkan oleh ICC. Aturan hukum ini telah diterapkan dan dipraktekkan oleh para subyek hukum perdagangan internasional di dunia.
Bentuk lainnya adalah klausul standar (baku) yang dicantumkan oleh para pihak dalam kontrak-kontrak yang mereka buat. Tidak jarang pula lembaga-lembaga atau asosiasi-asosiasi memperkenalkan klausul-klausul yang perlu dicantumkan dalam suatu kontrak apabila para pihak hendak memanfaatkan fasilitas lembaga atau asosiasi yang bersangkutan.
Hal ini antara lain banyak ditemui dalam klausul-klausul arbitrase baik nasional maupun asing. Klausul-kluasul standar arbitrase tersebut dimaksudkan agar para pihak tidak perlu lagi merancang klausul choice of forum-nya, dalam hal ini arbitrase. Bagaimana unifikasi dan harmonisasi dapat bekerja, agak sulit untuk dipaparkan di sini. Namun demikian, Katerina Pistor, guru besar di Columbia Law School, mengemukakan istilah yang dinamakannya standardization of law (standardisasi hukum).
Maksud standardisasi di sini mengacu kepada suatu tahap dari kekhususan dari suatu hukum (the level of specificity of law). Standar hanya mencakup prinsip-prinsip hukum (legal principles), bukan atau tidak aturan-aturan hukumnya (legal rules).
Upaya unifikasi dan harmonisasi hukum ini telah cukup serius dilakukan khususnya oleh the World Trade Organization (WTO), the International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT), The Hague Conference of Private International Law dan PBB khususnya the United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) dan the United Nations Conference on International Trade and Law (UNCTAD).
Di samping itu terdapat pula lembaga-lembaga internasional non-pemerintah yang juga berkepentingan dengan upaya unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional, yakni, antara lain, International Chamber of Commerce (ICC atau Kamar Dagang Internasional), dan International Law Association (ILA atau Asosiasi Hukum Internasional).

2. Lembaga-lembaga yang Bergerak dalam Unfikasi dan Harmoniasi Hukum
Berikut adalah uraian secara ringkas beserta upaya badan-badan atau organisasi-organisasi internasional tersebut di bidang unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional. Tidak semua upaya badan atau organisasi internasional akan diuraikan.
a. World Trade Organization (WTO)
1. Pengantar
World Trade Organization atau WTO dihasilkan dari Putaran Uruguay GATT (1986-1993). Organisasi ini memiliki kedudukan yang unik karena ia berdiri sendiri dan terlepas dari badan kekhususan PBB. Pembentukan WTO ini merupakan realisasi dari cita-cita lama negara-negara pada waktu merundingkan GATT pertama kali (1948). Yakni hendak mendirikan suatu organisasi perdagangan internasional (yang dulu namanya adalah International Trade Organization atau ITO).
Struktur WTO akan dikepalai oleh suatu badan tertinggi yang disebut Konperensi Tingkat Menteri (Ministerial Conference). Badan ini akan bersidang sedikitnya sekali dalam dua tahun. Badan ini terdiri dari para perwakilan dari semua anggota WTO. Semua keputusan mengenai kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan multilateral dilakukan melalui badan ini. Untuk pelaksanaan pekerjaannya sehari-hari, badan tertinggi ini dibantu oleh badan-badan kelengkapan utama, yaitu Dewan Umum (General Council) yang terdiri dari semua anggota WTO. Badan ini bertugas memberikan laporan mengenai kegiatan-kegiatannya kepada the Ministerial Conference. General Council memiliki dua fungsi lainnya.
Pertama, sebagai suatu Badan Penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Body). Fungsi kedua, sebagai badan peninjau kebijakan perdagangan Negara-negara anggota GATT (Trade Policy Review Body). Selain itu, badan ini juga bertugas mengamati masalah-masalah perdagangan yang akan dicakup oleh WTO. Ia akan menetapkan tiga badan subsider yakni The Council for Trade in Goods, Council for Trade in Services, dan Council for TRIPs. The Council for Trade in Goods mengawasi pelaksanaan dan berfungsinya semua perjanjian mengenai perdagangan barang (Annex 1A Perjanjian WTO) meskipun sebetulnya untuk perjanjian-pejanjian tertentu umumnya mereka memiliki badan pengawasnya sendiri. Dua dewan lainnya memiliki tanggung jawabnya masing-masing berkaitan dengan perjanjian WTO dan badan-badan tersebut dapat mendirikan badan-badan subsider lainnya manakala dipandang perlu. Tiga badan lainnya didirikan oleh the Ministerial Conference dan mereka melaporkan pekerjaannya kepada the General Council. Ketiga badan tersebut adalah the Committee on Trade and Development, yakni badan yang bertanggung jawab untuk masalah-masalah yang terdapat di negara-negara sedang berkembang.
Kedua, the Committee on Balance of Payments bertanggung jawab untuk menyelenggarakan konsultasi di antara negara-negara anggota WTO dan negara-negara yang melaksanakan tindakan-tindakan restriktif perdagangan (Pasal XII dan XVII GATT), yakni tindakan- tindakan untuk menghadapi kesulitan-kesulitan neraca pembayarannya.
Ketiga, the Committee on Budget, Finance and Administration bergerak dalam mengatur masalah-masalah keuangan dan anggaran WTO. Di samping badan-badan tersebut, WTO membentuk pula badan-badan khusus yang mengawasi pelaksanaan perjanjian-perjanjian plurilateral (yang sifatnya sukarela), yakni badan untuk perdagangan pesawat udara sipil, badan untuk pengadaan barang pemerintah (government procurement), badan untuk produk susu dan daging (dairy products and bovine meat). Badan-badan khusus ini melaporkan tugas-tugasnya kepada the General Council.
Sekretariat WTO berkedudukan di Jenewa, Swiss. Sampai tulisan ini dibuat, Sekretariat WTO memiliki sekitar 450 staf dan diketuai oleh seorang Direktur Jenderal (Diretor General) dan 4 orang pembantu Direktur Jenderal. Dalam membuat putusan, WTO melanjutkan praktek yang telah lama dilakukan dalam GATT, yaitu melalui konsensus. Namun dalam hal konsensus ini gagal, maka putusan akan diambil melalui pemungutan suara atau voting.
Di samping itu, ada 4 hal atau situasi dalam perjanjian WTO yang memungkinkan dilakukannya voting. Pertama, mayoritas 2/3 dari anggota WTO diperlukan untuk mengesahkan suatu penafsiran perjanjian perdagangan multilateral. Kedua, mayoritas 2/3 dari anggota WTO diperlukan bagi the Ministerial Conference untuk memutuskan penanggalan suatu kewajiban yang dikenakan terhadap suatu negara oleh suatu perjanjian multilateral. Ketiga, keputusan untuk merubah ketentuan perjanjian multilateral dapat disahkan melalui kesepakatan seluruh anggotanya atau melalui mayoritas 2/3 dari anggota WTO. Perubahan-perubahan demikian hanyalah berlaku bagi negara-negara yang menerimanya saja. Keempat, suatu mayoritas 2/3 dari negara anggota WTO diperlukan untuk menerima masuknya suatu negara menjadi anggota WTO.

2. Kebijakan Unifikasi dan Harmonisasi WTO
WTO adalah salah satu contoh yang telah di sebut di atas, di mana unifikasi aturan-aturan atau hukum perdagangan internasional diterapkan terhadap negara-negara anggotanya. Pasal XVI Perjanjian Pembentukan WTO menyatakan: "Each member shall ensure the conformity of its laws, regulations and administrative procedures with its obligations as provided in the annexed Agreements." (Pasal XVI ayat 4 Agreement Establishing the World Trade Organization).
Ketentuan pasal tersebut menjadi indikator penting bagaimana WTO mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menyesuaikan aturan-aturan atau hukum perdagangannya dengan aturan-aturan yang termuat dalam Annex perjanjian WTO. Bahkan ketentuan pasal XVI tersebut juga mewajibkan negara anggotanya untuk menyesuaikan administrative procedures-nya (birokrasi) sesuai dengan administrative procedure-nya WTO.

3. Perjanjian-perjanjian di Bawah Piagam WTO
Perjanjian-perjanjian yang termuat dalam lampiran (Annex) WTO adalah perjanjian dalam TRIPS (telah diuraikan secara singkat di atas). Perjanjian-perjanjian lainnya adalah:
GATT 1994; Agreement on Agriculture; Sanitary and Phytosanitary Measures; Textiles and Clothing; Technical Barriers to Trade; Trade-Related Investment Measures (TRIMs); Anti-dumping (Article VI of GATT 1994); Customs valuation (Article VII of GATT 1994); Preshipment Inspection; Rules of Origin; Import Licensing; Subsidies and Countervailing Measures; Safeguards; General Agreement on Trade in Services (GATS); Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS); Dispute Settlement
Understanding.
Sebenarnya di samping unifikasi hukum, WTO juga berupaya mendorong harmonisasi hukum, termasuk harmonisasi standar-standar teknis-nya. Upaya harmonisasi ini telah lama diupayakan GATT (pendahulu WTO). Pada tahun 1979, GATT berhasil mengeluarkan The GATT Code on Technical Standards (Standard Code). Aturan Standard Code ini mendorong negara-negara anggotanya untuk mengharmonisasikan standar-standar produk domestiknya. Upaya ini ditempuh agar kebijakan negara-negara mengenai standar produk tidak malah menjadi penghalang bagi perdagangan dunia.
Perjanjian lainnya yang dapat digolongkan ke dalam harmonisasi hukum adalah perjanjian-perjanjian yang berada di bawah 'Plurilateral Agreement'(Annex 4 Perjanjian WTO). Perjanjian-perjanjian ini adalah: Agreement on Trade in Civil Aircraft (Annex 4 (a)); Agreement on Government Procurement (Annex 4 (b)); International Dairy Agreement (Annex 4 (c)); International Bovine Meat Agreement (Annex 4 (d)).

b. The International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT).
1. Pengantar
The International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT) adalah sebuah organisasi antar pemerintah yang sifatnya independen. UNCITRAL dibentuk pada tahun 1926 sebagai suatu badan pelengkap Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Sewaktu LBB bubar, UNIDROIT dibentuk kembali pada tahun 1940 berdasarkan suatu perjanjian multilateral yakni Statuta UNIDROIT (the UNIDROIT Statute). UNIDROIT berkedudukan di kota Roma.
Tujuan utama pembentukannya adalah melakukan kajian untuk memodernisasi, mengharmonisasi dan mengkoordinasikan hokum privat, khususnya hukum komersial (dagang) di antara negara atau di antara sekelompok negara. Keanggotaan UNIDROIT terbatas hanya untuk negara-negara yang menundukkan dirinya kepada Statuta UNIDROIT. Negara-negara ini berasal dari 5 benua dan mewakili berbagai sistem hukum, ekonomi, politik dan budaya yang berbeda.
Dewasa ini UNIDROIT memiliki 59 negara anggota, yakni: Argentina, Australia, Austria, Belanda, Belgium, Bolivia, Brazil, Bulgaria, Canada, Chile, China, Colombia, Croatia, Cuba, Cyprus, Republik Czech, Denmark, Mesir, Estonia, Federasi Rusia Finlandia, Perancis, Jerman, Holy See (Tahta Suci), Hungaria, India, Iran, Iraq, Ireland, Israel, Italy, Japan, Luxembourg, Malta, Mexico, Nikaragua, Nigeria, Norwegia, Pakistan, Paraguay, Poland, Portugal, Republik Korea, Romania, San Marino, Slovakia, Slovenia, Africa Selatan, Spanyol, Swedia, Swiss, Tunisia, Turki, Inggris, Amerika Serikat, Uruguay, Venezuela, Yugoslavia (Federal Republic of), Yunani.

2. Kebijakan Harmonisasi dan Unifikasi UNIDROIT
Tujuan utama UNIDROIT sebenarnya adalah mempersiapkan harmonisasi aturan-aturan hukum privat. Upaya ini dipandang penting mengingat perkembangan teknologi baru, praktek-praktek pedagangan, dll memerlukan aturan hukum yang baru. Biasanya aturan-aturan baru tersebut juga dibuat oleh negara-negara. Masalahnya adalah peraturan tersebut bisa saja berbeda antara satu aturan hukum dengan aturan hukum lainnya. Karen itu aturan tersebut perlu diharmonisasi, atau bahkan diunifikasi guna memperlancar perdagangan internasional.
Masalahnya adalah harmonisasi atau unifikasi hukum tersebut banyak bergantung kepada keinginan dan kerelaan negara-negara untuk mau menerimanya. Meskipun menyadari adanya kesulitan upaya tersebut, UNIDROIT memiliki kedudukannya yang menguntungkan sebagai organsiasi antar pemerintah. Dalam kaitan ini, UNDIROIT menerapkan pemberlakuan konvensi atau perjanjian internasional yang mensyaratkan penerimaan dari negara-negara anggotanya.
Tujuannya adalah menerapkan aturan-aturan konvensi tersebut ke dalam sistem hukum negara-negara anggota yang menundukkan dirinya kepada konvensi tersebut. Penerimaan suatu aturan konvensi oleh negara akan jauh lebih memudahkan pemberlakuan aturan-aturan konvensi tersebut ke dalam wilayah negara anggotanya (termasuk kepada warga Negara atau subyek-subyek hukum di wilayah negara tersebut).

3. Konvensi atau Perjanjian Yang Dihasilkan UNIDROIT
Selama berdiri UNIDROIT telah melakukan lebih dari 70 kajian. Kajian-kajian ini ada yang telah menghasilkan berbagai perjanjian atau konvensi internasional berikut:
(1) Convention relating to a Uniform Law on the Formation of Contracts for the International Sale of Goods (The Hague 1964);
(2) Convention relating to a Uniform Law on the International Sale of Goods (The Hague, 1964);
(3) International Convention on the Travel Contract (Brussels, 1970);
(4) Convention providing a Uniform Law on the Form of an International Will (Washington, 1973);
(5) Convention on Agency in the International Sale of Goods (Geneva, 1983);
(6) UNIDROIT Convention on International Financial Leasing (Ottawa, 1988);
(7) UNIDROIT Convention on International Factoring (Ottawa, 1988);
(8) UNIDROIT Convention on Stolen or Illegally Exported Cultural Objects (Rome, 1995);
(9) Convention on International Interests in Mobile Equipment (Cape Town, 2001);
(10) Protocol to the Convention on International Interests in Mobile Equipment on Matters specific to Aircraft Equipment (Cape Town, 2001).

c. The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL)
1. Pengantar
The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) adalah badan kelengkapan khusus dari Majelis Umum PBB. Badan ini dibentuk pada tahun 1966. Pembentukannya didasarkan pada Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2205 (XXI) tanggal 17 Desember 1966. Tugas utamanya adalah mengurangi perbedaan-perbedaan hukum di antara negara-negara anggota yang dapat menjadi rintangan bagi perdagangan internasional. Untuk melaksanakan tugas tersebut UNCITRAL berupaya memajukan perkembangan harmonisasi dan unifikasi hukum perdagangan internasional secara progresif (the progressive harmonization and unification of the law of international trade). Sejak berdiri UNCITRAL telah mempersiapkan berbagai Konvensi, Model Hukum dan instrumen hukum lainnya yang mengatur transaksi perdagangan atau aspek-aspek hukum bisnis lainnya yang memiliki pengaruh terhadap perdagangan internasional.

2. Kebijakan Harmonisasi dan Unifikasi UNCITRAL
Dua kata harmonisasi dan unifikasi di atas memiliki pengertian tersendiri bagi UNICTRAL. UNCITRAL beranggapan mandat "Harmonization" dan "unification" hukum perdagangan internasional ini dimaksudkan agar perdagangan internasional dapat berlangsung secara lancar. Hal ini penting mengingat perdagangan internasional acapkali terhalang atau tidak lancer karena faktor-faktor seperti tidak adanya kepastian hukum (lack of a predictable governing law), hukum yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Karena itu upaya badan ini tidak lain adalah berupaya membuat produk atau instrumen hukum yang modern yang dapat memberi kebutuhan hukum untuk memperlancar perdagangan internasional dan perkembangan ekonomi dunia. UNCITRAL merancang dan mengesahkan setiap instrumen hukum. Dalam upaya ini, tidak semua negara anggota UNCITRAL turut serta. Hanya negara-negara tertentu saja yang merupakan wakil dari region-regiona di dunia.
Pihak lain yang juga dapat turut serta dalam proses perancangan tersebut adalah LSM internasional atau organisasi-organisasi antar pemerintah yang berminat. Keputusan untuk mengesahkan instrumen hukum dilakukan secara konsensus. Instrumen hukum yang dirancang UNCITRAL bisa berupa legislative texts umumnya berupa Konvensi.
Terdapat lima kelompok regional yang terwakili dalam UNCITRAL. Mereka adalah:
(1) Negara-negara Afrika, yakni: Benin, Burkina Faso, Cameroon, Kenya, Morocco, Rwanda, Sierra Leone, Sudan and Uganda;
(2) Negara-negara Asia: China, Fiji, India, Iran (Islamic Rep. of), Japan, Singapore, and Thailand;
(3) Negara-negara Eropa Timur: Hungary, Lithuania, Romania, Russian Federation, The former Yugoslav Republic of Macedonia;
(4) Amerika Latin dan Karibia: Argentina, Brazil, Colombia, Honduras, Mexico, Paraguay and Uruguay;
(5) Eropa Barat dan Lainnya: Austria, Canada, France, Germany, Italy, Spain, Sweden, United States of America and United Kingdom.
Konvensi tersebut adalah: Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods (New York, 1974); United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods (Vienna, 1980); United Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea, 1978 (Hamburg Rules); United Nations Convention on the Liability of Operators of Transport Terminals in International Trade (1991); United Nations Convention on International Bills of Exchange and International Promissory Notes (New York, 1988); United Nations Convention on Independent Guarantees and Stand-by Letters of Credit New York, 1995); Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (New York 1958) (the "New York" Convention); United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods (Vienna 1980) ("CISG"); Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods (New York 1974); United Nations Convention on International Bills of Exchange and International Promissory Notes (New York, 1988); United Nations Convention on Independent Guarantees and Stand-by Letters of Credit (New York, 1995); United Nations Convention on the Assignment of Receivables in International Trade (2001); United Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea (1978) (the "Hamburg Rules"); United misalnya saja: United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods; Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods; United Nations Convention on Independent Guarantees and Stand-by Letters of Credit; United Nations Convention on International Bills of Exchange and International Promissory Notes; United Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea, 1978 (Hamburg); United Nations Convention on the Liability of Operators of Transport Terminals in International Trade; and the United Nations Convention on the Assignment of Receivables in International Trade.
Sedangkan instrumen hukum lainnya berupa legislative guides dan non-legislative guides. Legislative guides misalnya adalah instrumen-instrumen hukum berupa model law dan rules. Instrumen ini merupakan instrumen yang tidak mengikat negara anggota. Negara anggota bebas untuk mengikui atau tidak mengikuti legislative guides tersebut.
Non-legislative texts adalah instrumen hukum lainnya yang sifatnya juga tidak mengikat. Contoh instrumen hukum seperti ini misalnya saja: UNCITRAL Arbitration Rules; UNCITRAL Conciliation Rules; UNCITRAL Notes on Organizing Arbitral Proceedings; UNCITRAL Legal Guide on Drawing Up International Contracts for the Construction of Industrial Works; and UNCITRAL Legal Guide on International Countertrade Transactions. Nations Convention on the Liability of Operators of Transport Terminals in International Trade (Vienna, 1991).

d. Kamar Dagang Internasional (ICC)
1. Pengantar
The International Chamber of Commerce (ICC) didirikan pada tahun 1919. Badan ini berkedudukan di Paris. Tujuannya pada waktu itu, dan sampai sekarang masih terus berlaku, adalah melayani dunia usaha dengan memajukan perdagangan, penanaman modal, membuka pasar untuk barang dan jasa, serta memajukan aliran modal (to serve world business by promoting trade and investment, open markets for goods and services, and the free flow of capital).
Selama ini ICC dipandang sebagai corongnya dunia usaha (pengusaha) untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan kemakmuran. Peran ini sangat penting dalam kaitannya dengan keadaan dunia saat ini. Negara-negara di dunia kerap membuat kebijakan atau keputusan-keputusan yang dapat mempengaruhi perdagangan. Karena itulah, peran atau adanya suatu badan dunia yang menyuarakan para pedagang yang terkena oleh kebijakan atau keputusan (suatu) negara menjadi sangat penting. Untuk itu, ICC memiliki akses langsung kepada pemerintah negara-negara di dunia melalui national committee ICC (KADIN Nasional) yang terdapat hampir di setiap negara di dunia.
Peran penting lain ICC adalah sebagai badan dalam membuat kebijakan-kebijakan atau aturan-aturan yang dapat memfasilitasi perdagangan internasional. Peran lain yang juga cukup penting adalah:
(1) sebagai forum penyelesaian sengketa khususnya melalui arbitrase;
(2) sebagai forum untuk menyebarluaskan informasi dan kebijakan serta aturan-aturan hukum dagang internasional di antara pengusaha-pengusaha di dunia; dan
(3) memberikan pelatihan-pelatihan dan teknik-teknik dalam merancang kontrak serta keahlian-keahlian praktis lainnya dalam perdagangan internasional.

2. Kebijakan Harmonisasi Hukum ICC
ICC tidak berupaya menciptakan unifikasi hukum. Kebijakan yang ditempuhnya adalah memberikan aturan-aturan dan standar-standar (Rules and Standards) di bidang hukum perdagangan internasional. Kedua bentuk aturan ini sifatnya tidak mengikat. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari pendirian ICC bahwa dunia usaha sebaiknya tidak atau dipengaruhi sedikit mungkin oleh campur tangan penguasa (pemerintah). ICC karenanya tidak mau menjadi penguasa seperti itu. Ia berpendirian, biarlah dunia usaha saja yang mengatur atau membuat aturan bagi mereka sendiri.
Dan aturan-aturan yang sifatnya atau yang datang dari luar, termasuk aturan-aturan yang dibuat ICC, haruslah bersfiat sukarelah saja. Namun demikian aturan-aturan ICC (termasuk standar-standar ICC) ini memiliki pengaruh yang cukup tinggi. Bahkan beberapa aturan (Rules)-nya telah diikuti dengan sukarela dan seksama oleh para pelaku dagang, seperti misalnya perbankan. Bahkan standarstandar yang dikeluarkan oleh ICC telah banyak dimasukkan ke dalam kontrak-kontrak dagang yang dibuat oleh para pelaku bisnis.

3. Aturan-aturan dan Standar yang Dikeluarkan ICC
Dewasa ini ICC memiliki 16 Komisi para ahli yang berasal dari sektor swasta. Para ahli ini terdiri berbagai bidang keahlian di bidang bisnis internasional. Keahlian bidang mereka antara lain mencakup teknis-teknis perbankan (jasa keuangan), perpajakan, hukum persaingan, telekomunikasi, HAKI, teknologi informasi, pengangkutan (udara dan laut), penanaman modal dan kebijakan perdagangan.
Para ahli dalam komisi-komisi tersebut berperan cukup penting dalam merumuskan kebijakan, aturan-aturan dan standar-standar yang digunakan atau diterapkan terhadap perdagangan internasional, termasuk kontrak internasional, meskipun sifatnya tidak mengikat. Maksud utama dengan adanya aturan-aturan tersebut adalah untuk mempermudah perusahaan-perusahaan atau para pedagang di seluruh dunia untuk bertransaksi dagang. Selain itu yang juga penting adalah untuk mempermudah mereka membuat kontrak-kontrak dagang. Selama ini, aturan-aturan yg sifatnya tdk mengikat atau sukarelah tsb adalah:
(1) ICC International Code on Sponsorship (September 2030);
(2) Compendium of ICC Rules on Children and Young People and Marketing (April 2003);
(3) Rules for Expertise (Januari 2003);
(4) Paction - the online model sales contract application Create, negotiate and sign your model contracts online, 2002
(5) ICC DOCDEX Rules (Oktober 1997 dan Maret 2002);
(6) ICC International Code of Sales Promotion (Mei 2002);
(7) GUIDEC II: General Usage for International Digitally Ensured Commerce (Oktober 2001); dan GUIDEC I (6 November 1997);
(8) Compendium of Rules for Users of the Telephone in Sales, Marketing and Research (Juni 2001);
(9) ICC International Code of Direct Marketing (September 1998 dan Juni 2001);
(10) ICC International Code of Direct Selling (Juni 1999);
(11) ICC Rules of Conduct to Combat Extortion and Bribery (1999);
(12) ICC Recommended Code of Practice for Competition Authorities on Searches and Subpoenas of Computer Records (16 Oktober 1998);
(13) Model Clauses for use in Contracts involving Transborder Data Flows (23 September 1998);
(14) ICC Guidelines on Advertising and Marketing on the Internet (April 1998);
(15) The Rules of Arbitration of the ICC (1 Januari 1998);
(16) ICC International Code of Advertising Practice (April 1997);
(17) ICC International Customs Guidelines (10 Juli 1997);
(18) The Business Charter for Sustainable Development (1996);
(19) Rules for Pre-arbitral referee, (1 Januari 1990);
(20) The Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) 1933 dan 1994.
(21) The International Commercial Terms (Incoterms) (1936, 2000).
Dua produk hukum ICC yang disebut terakhir, yaitu UCP dan Incoterms perlu mendapat sedikit catatan. UCP mengalami beberapa kali revisi. Revisi terakhir adalah UCP 500, yang mulai berlaku Januari 1994. UCP telah digunakan oleh bank di seluruh dunia. Suatu tambahan terhadap UCP 500, yaitu the eUCP, ditambahkan pada tahun 2002. eUCP mengatur penampilan semua atau sebagian dokumen elektronik. Incoterms dibentuk untuk memberikan definisi baku secara universal mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam transaksi perdagangan internasional, seperti misalnya Ex quay, CIF dan FOB.
Seperti halnya UCP, Incoterms telah mengalami beberapa revisi. Revisi terakhir dilakukan pada tahun 2000 (Incoterms 2000), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2000. Schmitthoff memuji peran badan ini dalam upayanya merumuskan unifikasi hukum perdagangan internasional dengan menyatakan bahwa “(ICC) contribution to the unification of international trade law has been singular successful.”
Sebagai catatan akhir dari bagian ini, penting pula mengutip nasihat Schmitthoff. Beliau melihat keberadaan lembaga-lembaga internaisonal yang berupaya mengunifikasi aturan-aturan perdagangan internasional ini adalah positif. Namun beliau mengingatkan agar lembaga-lembaga ini harus saling kerjasama agar upaya unifikasi efektif.

F. Penutup
Dari uraian di atas tampak bahwa hukum perdagangan internasional adalah bidang hukum yang sangat luas ruang lingkupnya. Hal ini sudah barang tentu merupakan tantangan bagi para mahasiswa dan sarjana hukum untuk mendalami bidang ini. Dari perkembangannya, tersirat pula pertumbuhan bidang hukum ini yang sudah ada sejak manusia mulai merasakan kekurangannya dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Untuk itu manusia mulai berdagang. Metode transaksi awalnya sangatlah sederhana: barter atau tukar menukar. Dalam perkembangannya, orang sudah transaksi dengan menerapkan teknologi canggih: perdagangan dengan sarana telekomunikasi.
Canggihnya transaksi perdagangan merupakan tantangan bagi hukum perdagangan internasional. Bidang hukum ini ditantang untuk mengakomodasi perkembangan cepat ini melalui aturan-aturan hukumnya. Adanya aturan-aturan ini sangat dibutuhkan bagi pelaku perdagangan untuk adanya kepastian hukum, sekaligus mendapatkan perlindungan hukumnya.
Upaya hukum nasional sudah barang tentu sangat terbatas kewenangan hukumnya untuk mengatur transaksi-tansaksi lintas batas atau internasional. Peran hukum nasional hanya mencakup aturan-aturan yang mengikat bagi kegiatan dan transaksi dagang dalam wilayahnya. Karena itu, upaya-upaya pengaturan perdagangan internasional sedikit banyak bergantung pada peran organisasi internasional baik yang sifatnya antar negara, misalnya WTO, maupun yang sifatnya privat, misalnya Kamar Dagang Internasional (International Chamber of Commerce).
Upaya organisasi internasional pun hingga dewasa ini lebih banyak pada upaya harmonisasi hukum daripada upaya unifikasi hukum. Upaya ini tampaknya wajar dilakukan mengingat perkembangan hukum perdagangan internasional yang cukup progresif. Upaya mengkristalisasi aturan hukum perdagangan internasional dalam suatu dokumen perjanjian internasional yang sifatnya stabil dan berlaku lama tampaknya sangat sulit. Tujuan akhir dari hukum perdagangan internasional sebenarnya adalah tujuan dari eksistensi hukum perdagangan internasional itu sendiri.
B. Eksistensi dan Tujuan Hukum Perdagangan Internasional), terungkap beberapa tujuan bidang hukum perdagangan internasional ini yang terdengar sangat positif, yaitu antara lain, mensejahterakan negara-negara (dan warga negaranya). Satu hal yang perlu digaris bawahi di sini adalah bahwa untuk mencapai tujuan positif tersebut mau tidak mau harus dibarengi dengan pemahaman terhadap hukum perdagangan itu sendiri. Artinya, masyarakat atau negara yang tidak mengetahui aturan-aturan hukum perdagangan internasional janganlah berharap dapat mengambil manfaat dari hukum perdagangan internasional.


BAB II
SUBYEK HUKUM DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
Dalam aktivitas perdagangan internasional terdapat beberapa subyek hukum yang berperan penting di dalam perkembangan hukum perdagangan internasional. Maksud subyek hukum disini adalah:
(1) para pelaku (stake holders) dalam perdagangan internasional yang mampu mempertahankan hak dan kewajibannya di hadapan badan peradilan; dan
(2) para pelaku (stake holders) dalam perdagangan internasional yang mampu dan berwenang untuk merumuskan aturan-aturan hukum di bidang hukum perdagangan internasional.
Dari batasan tersebut sebagai tolak ukur, maka subyek hukum yang dapat tergolong ke dalam lingkup hukum perdagangan internasional adalah negara, organisasi internasional, individu, dan bank. Uraian berikut akan menganalisa lebih lanjut tiga subyek hukum ini.

B. Negara
1. Peran Negara
Negara merupakan subyek hukum terpenting di dalam hukum perdagangan internasional. Sudah dikenal umum bahwa negara adalah subyek hukum yang paling sempurna.
Pertama, ia satu-satunya subyek hukum yang memiliki kedaulatan. Berdasarkan kedaulatan ini, negara memiliki wewenang untuk menentukan dan mengatur segala sesuatu yang masuk dan keluar dari wilayahnya. Booysen menggambarkan kedaulatan negara ini sebagai berikut: “... a state can absolutely determine whether anything from outside the state. The state would also have the power to determine the conditions on which the goods may be imported into the state or exported to another country. ... Every state would have the power to regulate arbitrarily the conditions of trade.”
Dengan atribut kedaulatannya ini, negara antara lain berwenang membuat hukum (regulator) yang mengikat segala subyek hukum lainnya (yaitu individu, perusahaan), mengikat benda dan peristiwa hukum yang terjadi di dalam wilayahnya, termasuk perdagangan, di wilayahnya.
Kedua, negara juga berperan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembentukan organisasi-organisasi (perdagangan) internasional di dunia, misalnya WTO, UNCTAD, UNCITRAL, dll. Organisasi-organisasi internasional di bidang perdagangan internasional inilah yang kemudian berperan dalam membentuk aturan-aturan hukum perdagangan internasional.
Ketiga, peran penting negara lainnya adalah negara juga bersama-sama dengan negara lain mengadakan perjanjian internasional guna mengatur transaksi perdagangan di antara mereka. Contoh perjanjian seperti ini adalah perjanjian Friendship, Commerce and Navigation, perjanjian penanaman modal bilateral, perjanjian penghindaran pajak berganda, dll.
Keempat, negara berperan juga sebagai subyek hukum dalam posisinya sebagai pedagang. Dalam posisinya ini, negara adalah salah satu pelaku utama dalam perdagangan internasional. Dalam awal tulisan ini, negara dengan perusahaan negaranya mengadakan transaksi dagang dengan negara lainnya. Negara memiliki sumber daya alam, perkebunan, pertambangan, dll. Bahan-bahan alam ini disamping dikelola untuk kebutuhan di dalam negeri juga diperdagangkan (dijual) ke subyek hukum lainnya yang memerlukannya.
Dalam melaksanakan fungsinya ini, tidak jarang Negara membuat badan-badan hukum milik negara. Di tanah air misalnya, untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi dan memasarkan hasil pertambangan minyak, negara mendirikan Pertamina. Untuk mengelola sumber daya air untuk kepentingan rakyat negara mendirikan perusahaan air minum, dst.
Sebagai suatu institusi yang besar, negara membutuhkan teknologi, infrastruktur, kendaraan, pesawat kenegaraan, sumber-sumber kebutuhan yang dibutuhkan rakyatnya (pengadaan barang dan jasa atau procurement). Untuk memenuhi semua ini, Negara membelinya dari para pihak yang menyediakannya (penjual atau supplier). Dengan demikian, negara dapat bertindak sebagai pelaku dalam transaksi perdagangan.
Semua transaksi perdagangan tersebut tunduk pada aturan-aturan hukum yang bentuk dan muatan pengaturannya bergantung pada jenis transaksi. Manakala negara bertransaksi dagang dengan negara lain, kemungkinan hukum yang akan mengaturnya adalah hokum internasional. Manakala negara bertransaksi dengan subyek hokum lainnya, maka hukum yang mengaturnya adalah hukum nasional (dari salah satu pihak).

2. Imunitas Negara
Salah satu masalah yang kerap timbul dalam kaitannya dengan negara adalah atribut kedaulatan negara itu sendiri. Prinsip umum yang diakui adalah bahwa dengan atribut kedaulatan, Negara memiliki imunitas terhadap pengadilan negara lain. Arti imunitas di sini adalah bahwa negara tersebut memiliki hak untuk mengklaim kekebalannya terhadap tuntutan (klaim) terhadap dirinya. Sheldrick dengan tepat menggambarkan imunitas negara ini sebagai berikut: “Sovereign immunity is a long-established precept of public international law which requires that a foreign government or head of state cannot be sued without its consent. In its traditional form, this rule applied to all types of suit, criminal and civil, including those arising out of purely commercial transactions undertaken by the foreign sovereign.”
Dalam perkembangannya, konsep imunitas ini mengalami pembatasan. Minimal ada 4 pembatasan terhadap muatan imunitas suatu negara ini.
Pertama, pembatasan oleh hukum internasional. Dalam bertransaksi dagang, hukum internasional meskipun mengakui imunitas negara ini, tetapi juga sekaligus membatasinya. Hukum internasional regional di Eropa misalnya memiliki the European Convention on State Immunity (16 Mei 1972). Konvensi beranggotakan Austria, Belgia, Belanda, Siprus, Jerman, Inggris, Luxemburg, dan Swis.
Hukum internasional juga mensyaratkan negara-negara untuk bekerjasama dengan negara lain untuk memajukan ekonomi. Deklarasi mengenai prinsip-prinsip hukum internasional antara lain menyatakan bahwa: “... states have the duty to co-operate with one another, irrespective of the difference in their political, economic and social system,...”
Kedua, pembatasan oleh hukum nasional. Dewasa ini beberapa negara memiliki UU mengenai imunitas yang sifatnya membatasi imunitas negara-negara (asing) yang melakukan transaksi dagang di dalam wilayahnya atau dengan warga negaranya. Negara-negara yang memiliki UU seperti ini misalnya: Canada (State Immunity Act 1982); Australia (Foreign States Immunity Act 1985), Amerika Serikat (Foreign Sovereign Immunities Act 1976), dan Inggris (State Immunity Act 1978). UU Inggris tahun 1978 menyatakan bahwa suatu negara tidak dapat lagi mengklaim imunitasnya dalam persidangan yang terkait dengan:
(a) sengketa-sengketa mengenai transaksi komersial (dagang) yang dilakukan oleh suatu negara;
(b) sengketa-sengketa yang lahir dari adanya kontrak yang dilaksanakan sebagian atau seluruhnya di Inggris;
(c) kontrak-kontrak ketenagakerjaan yang dibuat di Inggris atau yang berkaitan dengan jasa-jasa yang dilaksanakan sebagian atau seluruhnya di Inggris;
(d) tindakan-tindakan mengenai tort (dalam sistem hukum kita semacam perbuatan melawan hukum) untuk menuntut ganti rugi karena meninggal, luka-luka, atau kerugian terhadap harta benda, di mana tindakan tersebut terjadi di Inggris;
(e) sengketa-sengketa yang terkait dengan keanggotaan dalam suatu perusahaan baik yang terdaftar atau yang memiliki kegiatan usaha utamanya di Inggris;
(f) sengketa-sengketa yang terkait dengan klaim-klaim pengangkutan di laut terhadap kapal atau muatan atau yang digunakan untuk tujuan-tujuan komersial; dan
(g) sengketa-sengeta yang terkait dengan perpajakan atau cukai.
Ketiga, pembatasan secara diam-diam dan sukarela. Pembatasan ini dianggap terjadi manakala suatu negara secara sukarela menundukkan dirinya ke hadapan suatu badan peradilan yang mengadili sengketanya. Apabila pengadilan memanggil Negara tersebut untuk mengadiri persidangan dan negara tersebut mematuhinya, maka negara tersebut dianggap telah dengan sukarela menanggalkan imunitasnya.
Keempat, kemungkinan lain yang menjadi indikasi pembatasn imunitas ini adalah apabila negara memasukkan klausul arbitrase ke dalam kontrak dagangnya. Dengan demikian dapat dianggap bahwa negara tersebut telah menanggalkan imunitasnya untuk menghadap ke badan arbitrase yang dipilihnya untuk menyelesaikan sengketa dagangnya.
Dengan adanya pembatasan-pembatasan tersebut, kekebalan suatu negara untuk hadir di hadapan badan peradilan (nasional asing, internasional atau arbitrase) tidak lagi berlaku. Namun masalah sesungguhnya dalam kaitanya dengan pembatasan negara di hadapan badan peradilan adalah pelaksanaan putusan pengadilannya. Hal inilah yang menjadi nasalah utama yang justru sangat krusial.
Percumalah doktrin dan aturan-aturan mengenai imunitas ini terhadap imunitas ini kemudian lahir teori yang disebut dengan teori pembatasan imunitas negara (“restrictive theory doctrine”). Teori ini juga menyatakan apabila di kemudian hari ternyata putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan. Berdasarkan hukum internasional, suatu badan peradilan tidak dapat menyita harta milik negara lain atau memaksakan putusannya terhadap harta milik negara lain yang digunakan atau yang memiliki fungsi pelayanan publik (public services). Hukum internasional melarang suatu negara menahan kapal perang asing yang sedang menyandar di pelabuhan suatu negara asing atau menyita bangunan kedutaan negara asing. Menurut Houtte, pelaksanaan putusan pengadilan hanya memungkinkan terhadap aset-aset yang negara asing yang bersangkutan tidak dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan publik.

C. Organisasi Perdagangan Internasional
1. Organisasi Internsional Antar Pemerintah (Publik)
Organisasi internasional yang bergerak di bidang perdagangan internasional memainkan peran yang signifikan. Organisasi internasional dibentuk oleh dua atau lebih ngara guna mencapai tujuan bersama. Untuk mendirikan suatu organisasi internasional perlu dibentuk suatu dasar hukum yang biasanya adalah perjanjian internasional. Dalam perjanjian inilah termuat tujuan, fungsi, dan struktur organisasi perdagangan internasional yang bersangkutan.
Biasanya peran organisasi internasional dalam perdagangan internasional kurang begitu signifikan. Memang organisasi internasional membeli kebutuhan-kebutuhannya dari penjual (procurement). Misalnya komputer, peralatan kantor/administrasi, telekomunikasi, transportasi, dll. Namun procurement organisasi internasional tidak terlalu besar kuantitasnya. Dari segi hukum perdagangan internasional pun organisasi seperti ini lebih banyak bergerak sebagai regulator. Dalam kapasitasnya ini organisasi internasional lebih banyak mengeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat rekomendasi dan guidelines. Biasanya pun aturan-aturan seperti rekomendasi atau guidelines tersebut lebih banyak ditujukan kepada negara. Jarang dimaksudkan untuk mengatur individu.
Di antara berbagai organisasi internasional yang ada dewasa ini, organisasi perdagangan internasional di bawah PBB, seperti UNCITRAL atau UNCTAD. UNCITRAL adalah organisasi internasional yang berperan cukup penting dalam perkembangan hukum perdagangan internasional. Badan ini didirikan pada tahun 1966 berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2205 (XXI), 12 Desember 1966. Tujuan atau mandat utama badan ini adalah mendorong harmonisasi dan unifikasi hukum perdagangan internasional secara progresif.
Dalam upayanya tersebut UNCITRAL disyaratkan juga untuk mempertimbangkan kepentingan semua negara khususnya negara sedang berkembang dalam mengembangkan perdagangan internasional secara ekstensif. Dalam teks aslinya, mandat dalam Resolusi tahun 1966 tersebut berbunyi:
“With a mandate to further the progressive development of the law of internatonal trade and in that respect to bear in mind the interests of all people, in particular those of developing countries, in the extensive development of international trade.”
UNCITRAL misalnya, telah melahirkan Vienna Convention on the International Sale of Goods (1980); Convention on the international Multi-moda Transport (1980); UNCITRAL Arbitration Rules (1976); UNCITRAL Model Law on Arbitration (1985), dll. UNCTAD telah melahirkan berbagai kesepakatan internasional di bidang perdagangan yang juga cukup penting, antara lain misalnya: UN Convention on a Code of Conduct for Liner Conference (1974); GSP (1968); UN Convention on Carriage of Goods by Sea (1978).
Di luar keluarga PBB, organisasi perdagangan internasional yang dewasa ini berpengaruh luas adalah GATT (1947). GATT dengan 20 Selama ini PBB lebih dikenal sebagai organisasi internasional yang bersifat politis. Bab IX Piagam PBB sebenarnya memuat aturan-aturan khusus untuk pengembangan dan majuan ekonomi dan sosial yang bertujuan,  antara lain, meningkatkan standar hidup dan pembangunan ekonomi dan sosial.

2. Organisasi Internasional Non-Pemerintah
Di samping organisasi internasional antar pemerintah di atas, terdapat subyek hukum lainnya yang juga cukup penting yaitu NGO (Non-Governmental Organization) swasta (non-pemerintah atau yang kerap kali disebut pula dengan LSM internasional). NGO Internasional dibentuk oleh pihak swasta (pengusaha) atau asosiasi dagang. Peran penting NGO dalam mengembangkan aturan-aturan hukum perdagangan internasional tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Misalnya, ICC (International Chamber of Commerce atau Kamar Dagang Internasional), telah berhasil merancang dan melahirkan berbagai bidang hukum perdagangan dan keuangan internasional, misalnya: INCOTERMS, Arbitration Rules dan Court of Arbitration, serta Uniform Customs and Practices for Documentary Credits (UCP).
Khusus untuk UCP, misalnya, aturan-aturannya sekarang sudah menjadi acuan hukum sangat penting bagi pengusaha dalam melaksanakan transaksi perdagangan internasional. Aturan-aturan UCP yang terkait dengan sistem pembayaran melalui perbankan telah ditaati dan dihormati oleh sebagian besar pengusaha-pengusaha besar di dunia.
Gambaran lainnya adalah ICC Arbitration Rules. Banyak pengusaha besar di dunia telah memanfaatkan aturan arbitrase ICC untuk menyelesaikan sengketa-sengketa dagang mereka. Dalam klausul-klausul kontrak dagang internasional, para pengusaha telah cukup banyak mencantumkan klausul arbitrase dengan mengacu kepada ICC Arbitration Rules untuk hukum acara badan arbitrasenya.

D. Individu
Individu atau perusahaan adalah pelaku utama dalam perdagangan internasional. Adalah individu yang pada akhirnya akan terikat oleh aturan-aturan hukum perdagangan internasional. Selain itu, aturan-aturan hukum yang dibentuk oleh Negara memiliki tujuan untuk memfasilitasi perdagangan internasional yang dilakukan individu. Dibanding dengan negara atau organisasi internasional, status individu dalam hukum perdagangan internasional tidaklah terlalu penting. Biasanya individu dipandang sebagai subyek hukum dengan sifat hukum perdata (legal persons of a private law nature).
Individu itu sendiri hanya (akan) terikat oleh ketentuan-ketentuan hukum nasional yang negaranya buat. Karena itu individu tunduk pada hukum nasionalnya (tidak pada aturan hokum perdagangan internasional). Dia pun hanya dapat mempertahankan hak dan kewajibannya yang berasal dari hukum nasionalnya tersebut di hadapan badan-badan peradilan nasional.Negara jarang sekali membuat kesepakatan-kesepakatan yang mengikat individu. Umumnya kesepakatan negara-negara hanya mengikat mereka. AFTA antara lain adalah organisasi yang hanya mengatur komitmen negara-negara anggotanya saja. Dalam hukum perdagangan internasional, ia adalah subyek hukum dalam arti yang terbatas.
Apabila individu merasa bahwa hak-hak dalam bidang perdagangannya terganggu atau dirugikan, maka yang dapat ia lakukan adalah meminta bantuan negaranya untuk memajukan klaim terhadap negara yang merugikannya ke hadapan badan-badan peradilan internasional. Mekanisme seperti ini misalnya tampak pada GATT/ WTO dan Mahkamah Internasional.
Hanya dalam keadaan-keadaan tertentu saja suatu individu dapat mempertahankan hak-haknya berdasarkan suatu perjanjian internasional. Individu misalnya diperkenankan untuk mengajukan tuntutan kepada negara berdasarkan Konvensi ICSID. Konvensi ICSID mengakui hak-hak individu untuk menjadi pihak di hadapan badan arbitrase ICSID. Namun demikian hak ini bersifat terbatas.
Pertama, sengketanya hanya dibatasi untuk sengketa-sengketa di bidang penanaman modal yang sebelumnya tertuang dalam kontrak.
Kedua, negara dari individu yang bersangkutan harus juga disyaratkan untuk telah menjadi anggota Konvensi ICSID (Konvensi Washington 1965).
Persyaratan ini sifatnya mutlak. RI telah meratifikasi dan mengikatkan diri terhadap Konvensi ICSID melalui UU Nomor 5 tahun 1968. Status individu sebagai subyek hukum perdagangan internasional tetaplah tidak boleh dipandang kecil. Aturan-aturan di bidang perdagangan yang mereka buat sendiri kadang-kadang memiliki kekuatan mengikat seperti halnya hukum nasional. Contoh nyata adalah aturan-aturan yang tergolong ke dalam Lex Mercatoria atau hukum para pedagang. Salah satu wujudnya, seperti telah diutarakan di atas, adalah the Uniform Customs and Practice for Documentay Credit (UCP). Meskipun UCP tidak diundangkan sebagaimana layaknya hukum nasional, namun para pengusaha sangat menghormati dan menaati ketentuan-ketentuan dalam UCP. Disebutkan di atas bahwa individu adalah subyek hokum dengan sifat hukum perdata (legal persons of a private law nature). Subyek hukum lainnya yang termasuk ke dalam kategori ini adalah (a) perusahaan multinasional; dan (b) bank.

1. Perusahaan Multinasional
Perusahaan multinasional (MNCs atau Multinational Corporations) telah lama diakui sebagai subyek hukum yang berperan penting dalam perdagangan internasional. Peran ini sangat mungkin karena kekuatan finansial yang dimilikinya. Dengan kemampuan finansialnya, hukum (perdagangan) internasional berupaya mengaturnya. Pasal 2 (2) (b) Piagam Hak dan Kewajiban Ekonomi Negara-negara antara lain menyebutkan bahwa MNCs tidak boleh campur tangan terhadap masalah-masalah dalam negeri dari suatu negara. Pasal 2 (2) (b) Piagam antara lain berbunyi sebagai berikut: “...Transnational corporation shall not intervene in the internal affairs of a host State.”
Alasan pengaturan ini tampaknya masuk akal. Tidak jarang MNCs seperti Freport McMoran Company (yang beroperasi di Papua), Mitsubishi, atau MNCs di bidang telekomunikasi, ABC, CNN, Singapore Telecommunication (Singtel yang memiliki saham mayoritas PT Indosat), sedikit banyak dapat mempengaruhi situasi dan kondisi politik dan ekonomi di Indonesia.
Kekuatan dan kekayaan yang sangat besar ini memang dapat berdampak yang cukup besar. The Economist menggambarkan dengan tepat peran dan keberadaan MNCs: “Many people ... now think of multinationals as more powerful than nation states, and see them as bent on destroying livelihoods, the environment, left-wing political opposition and anything else that stands in the way of their profits.”
Perlunya aturan-aturan yang mengontrol aktivitas MNCs memang perlu untuk menjembatani perbedaan kepentingan. kepentingan negara tuan rumah, apalagi negara sedang berkembang, biasanya adalah mengharapkan masuknya MNCs ke dalam wilayah negaranya dapat memberi kontribusi bagi pembangunannya.
Sedangkan perspektif MNCs berbeda. Sebagaimana halnya dengan perusahaan umumnya, MNCs bertujuan mencapai target utama perusahaan, yaitu mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Karena itu agar kedua kepentingan ini pada titik tertentu dapat bertemu, maka perlu aturan-aturan hukum untuk menjembataninya.

2. Bank
Memang agak mengherankan bahwa para sarjana memasukkan bank sebagai subyek hukum dengan kategori private law nature. Sama seperti individu atau MNCs, bank dapat digolongkan sebagai subyek hukum perdagangan internasional dalam arti yang terbatas. Bank pun tunduk pada hukum nasional di mana bank tersebut didirikan. Yang membuat subyek hukum ini penting adalah:
(a) peran bank dalam perdagangan internasional dapat dikatakan sebagai pemain kunci. Tanpa bank, perdagangan internasional mungkin tidak dapat berjalan.
(b) Bank menjembatani antara penjual dan pembeli yang satu sama lain mungkin saja tidak mengenal karena mereka berada di negara yang berbeda. Perannya di sini adalah peran bank dalam memfasilitasi pembayaran antara penjual dan pembeli.
(c) Bank berperan penting dalam menciptakan aturan-aturan hukum dalam perdagangan internasional khususnya dalam mengembangkan hukum perbankan internasional. Salah satu instrumen hukum yang bank telah kembangkan adalah sistem pembayaran dalam transaksi perdagangan internasional. Misalnya adalah terbentuknya ‘kredit berdokumen’ yang disebut ‘documentary credit’. Mekanisme dan praktek ini kemudian dikodifikasi dan dirumuskan secara sistematis oleh ICC menjadi UCP.
E. Penutup
Uraian di atas menggambarkan stake-holders, aktor, atau subyek hukum dalam hukum perdagangan internasional, yaitu negara, organisasi internasional dan individu (yang terdiri dari perusahaan multinasional dan bank). Subyek-subyek hukum tersebut di atas menunjukkan terbatasnya subyek hukum dalam hukum perdagangan internasional. Hal ini tidak terlepas dari realita pragmatis dari perdagangan internasional. Imunitas negara dengan statusnya sebagai subyek hukum penuh atau lengkap dalam hukum perdagangan internasional tampak semakin terbatas. Hukum nasional, hukum internasional, dan penundukan diri kepada suatu lembaga peradilan (arbitrase) menghendaki dan mensyaratkan tidak mungkinnya bagi suatu negara untuk membawa atribut imunitasnya dalam perdagangan internasional.
Dari ketiga stake-holders hukum perdagangan internasional, yang paling unik adalah bank. Bank hanyalah suatu lembaga keuangan. Ia bukan pelaku utama perdagangan internasional. Fungsinya menjembatani dan memfasilitasi pembayaran antara penjual dan pembeli. Namun demikian bank telah menciptakan suatu praktek kebiasaan di bidang perdagangan yang mengikat stakeholders lainnya yang berhubungan dengannya.

BAB III
SUMBER HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
Sumber hukum perdagangan internasional merupakan bab yang penting. Dari sumber hukum inilah kita dapat menemukan hokum tersebut untuk dapat diterapkan kepada suatu fakta tertentu dalam perdagangan internasional. Dalam Bab I buku ini, penulis mengikuti pendirian Houtte, Rafiqul Islam, dan Booysen. Inti dari pendirian para sarjana terkemuka ini adalah bahwa ada keterkaitan erat antara hokum perdagangan internasional dan hukum internasional.
Keterkaitan antara dua bidang hukum ini membawa konsekuensi bahwa sumber-sumber hukum internasional yang dikenal dalam lapangan ini, yaitu:(1) perjanjian internasional; (2) hukum kebiasaan internasional; (3) prinsip-prinsip hukum umum; dan (4) putusan-putusan pengadilan dan publikasi sarjana-sarjana terkemuka (doktrin), juga dapat diadopsi sebagai sumber-sumber hukum dalam hukum perdagangan internasional.
Namun demikian, di samping keempat sumber hukum tersebut, khusus dalam bidang hukum perdagangan internasional, terdapat satu bidang hukum lainnya yang juga berperan penting dalam mengatur transaksi perdagangan internasional. Hukum ‘kelima’ ini adalah hukum nasional. Hukum nasional dalam banyak hal ternyata justru memiliki peran ‘lebih’ dibandingkan ke-4 sumber hukum yang tersebut sebelumnya. peran dan diakuinya hukum nasional sebagai sumber hukum perdagangan internasional tidaklah terelakan karena sejak awal atau tahap awal suatu pihak akan memulai transaksitransaksinya, selalu atau acapkali diawali dengan keterkaitannya pada hukum nasional negaranya.

B. Sumber Hukum Perdagangan Internasional
1. Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional adalah salah satu sumber hukum yang terpenting. Secara umum, perjanjian internasional terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu perjanjian multilateral, regional dan bilateral. Perjanjian internasional atau multilateral adalah kesepakatan tertulis yang mengikat lebih dari dua pihak (negara) dan tunduk pada aturan hukum internasional. Beberapa perjanjian internasional membentuk suatu pengaturan perdagangan yang sifatnya umum di antara para pihak. Ada juga perjanjian internasional yang memberikan kekuasaan tertentu di bidang perdagangan atau keuangan kepada suatu organisasi internasional.
Perjanjian internasional kadang kala juga berupaya mencari suatu pengaturan yang seragam guna mempercepat transaksi perdagangan. Perjanjian regional adalah kesepakatan-kesepakatan di bidang perdagangan internasional yang dibuat oleh negara-negara yang tergolong atau berada dalam suatu regional tertentu. Di Asia Tenggara misalnya, perjanjian-perjanjian seperti ini adalah perjanjian pembentukan AFTA.
Suatu perjanjian adalah bilateral manakala perjanjian tersebut hanya mengikat hanya dua subyek hukum internasional (negara atau organisasi internasional). Termasuk dalam kelompok perjanjian ini adalah perjanjian penghindaraan pajak berganda. Dalam perjanjian persahabatan bilateral, kedua Negara memberikan beberapa preferensi atau perlakuan khusus tertentu berkaitan dengan kegiata ekspor-impor kedua negara. Perjanjian ini bisanya disebut juga dengan nama FCN-Treaties (Friendship, Navigation and Commerce).

a. Daya Mengikat Perjanjian (Perdagangan) Internasional
Suatu perjanjian perdagangan internasional mengikat berdasarkan kesepakatan para pihak yang membuatnya. Karena itu, sebagaimana halnya perjanjian internasional pada umumnya, perjanjian perdagangan internasional pun hanya akan mengikat suatu negara apabila negara tersebut sepakat untuk menandatangani atau meratifikasinya. Manakala suatu negara telah meratifikasinya, maka adalah kewajiban negara tersebut untuk mengundangkannya ke dalam aturan hukum nasionalnya. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi tersebut kemudian menjadi bagian dari hukum nasional negara tersebut.
Kadangkala perjanjian internasional membolehkan suatu negara untuk tidak menerapkan atau mengecualikan beberapa pengaturan atau pasal dari perjanjian internasional. Atau sebaliknya, suatu perjanjian internaisonal tidak mengijinkan adanya pensyaratan ini. GATT atau Perjanjian WTO misalnya tidak menghendaki adanya pensyaratan ini. Artinya, GATT dan Perjanjian WTO mensyaratkan pemberlakuan keseluruhan pasal-pasalnya. Salah satu cara lainnya bagi suatu negara untuk terikat kepada suatu perjanjian internasional adalah melalui penundukan secara diam-diam. Artinya, tanpa mengikatkan diri secara tegas melalui penandatanganan dan ratifikasi (yang biasanya instrumen ratifikasi tersebut didepositkan kepada suatu badan yang berwenang, misalnya Sekjen PBB), suatu negara dapat saja mengikatkan dirinya dengan cara mengadopsi muatan suatu perjanjian internasional ke dalam hukum nasionalnya.
Biasanya penundukan secara diam-diam dilakukan antara lain karena negara tersebut tidak mau secara tegas terikat terhadap suatu perjanjian internasional. Misalnya, RI tidak meratifikasi Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. Tetapi dalam UU Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, sebagian besar muatannya sama dengan Konvensi Win 1969 tersebut.
Tetapi perlu pula diingat bahwa penundukan diri secara diam-diam ini tidak akan berlaku apabila perjanjian internasional tersebut secara tegas mensyaratkan demikian. Atau, apabila muatan perjanjian internasional tersebut memberikan hak-hak (konsesi) tertentu kepada suatu negara anggotanya, dan tidak kepada nonanggota. Negara-negara non-anggota yang berupaya secara diam-diam untuk menundukan dirinya kepada aturan tersebut karenanya tidak akan efektif. GATT, Misalnya, adalah suatu kesepakatan umum di bidang perdagangan dan tarif. Siapa saja yang menjadi anggota harus terlebih dahulu bernegosiasi dengan negara-negara anggota GATT mengenai konsesi-konsesi yang akan diberikannya sebelum ia dapat memanfaatkan ke-38 pasal GATT.

b. Isi Perjanjian
Dari muatan yang terkandung di dalamnya, perjanjian perdagangan internasional pada umumnya memuat hal-hal berikut:
1) liberalisasi perdagangan
Perjanjian yang memuat liberalisasi perdagangan adalah meliberalisasi perdagangan. Dalam hal ini, negara-negara anggota suatu perjanjian internasional berupaya menanggalkan berbagai rintangan pengaturan atau kebijakan (negara) yang dapat menghambat atau mengganggu kelancaran transaksi perdagangan internasional.
2) Integrasi ekonomi
Perjanjian seperti ini berkembang belum begitu lama. Negara-negara anggota dalam suatu perjanjian internasional berupaya mencapai suatu integrasi ekonomi melalui pencapaian kesatuan kepabeanan (customs union), suatu kawasan perdagangan bebas (free trade zone), atau bahkan suatu kesatuan ekonomi (economic union). Perjanjian seperti ini biasanya member kewenangan kepada suatu organisasi internasional guna mencapai tujuan integrasi ekonomi ini.
3) Harmonisasi Hukum
Tujuan utama harmonisasi hukum hanya berupaya mencari keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari berbagai sistem hukum yang ada (yang akan diharmonisasikan).
4) Unifikasi Hukum
Dalam unifikasi hukum, penyeragaman mencakup penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan sistem hukum yang baru. Contohnya adalah pemberlakuan Perjanjian TRIPS/WTO.
Dengan diperkenalkannya substansi bidang-bidang perjanjian TRIPS/WTO yang mencakup ketentuan mengenai hak cipta, merek dagang, indikasi geografis, disain industri, paten, dll.,meletakkan kewajiban kepada negara anggota untuk membuat aturan-aturan HAKI nasionalnya yang sesuai dengan substansi perjanjian TRIPS/WTO.
5) Model Hukum dan Legal Guide
Pembentukan Model Hukum dan Legal Guide sebenarnya tidak terlepas dari upaya harmonisasi di atas. Bentuk hukum seperti ini biasanya ditempuh karena didasari sulitnya bidang hukum yang akan disepakati atau diatur. Karena itu mereka membuat Model Hukum ini yang sifatnya tidak mengikat. Pembuat atau perancang Model Hukum berharap, meski namanya model hukum atau legal guide, Negara-negara dapat mengacu muatan aturan-aturan model hukum atau legal guide ini ke dalam hukum nasionalnya. Dengan (semakin) banyaknya negara yang mengadopsi model hukum atau legal guide ini, akhirnya diharapkan akan tercipta keseragaman atau harmonisasi di bidang muatan model hukum atau legal guide tersebut.
Contoh terkenal Model Hukum seperti ini adalah UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration tahun 1985. Model Hukum 1985 ini memuat aturan-aturan model (acuan) bagi negara-negara di dunia dalam mengundangkan peraturan perundangannya di bidang arbitrase komersial internasional. Dengan diadopsinya model hukum arbitrase ini diharapkan akan tercipta pengaturan arbitrase yang bersifat universal. Artinya, diharapkan aturan-aturan UU arbitrase suatu negara sedikit banyak tidak akan berbeda dengan aturan UU arbitrase negara lainnya. Legal guide yang cukup terkenal adalah UNCITRAL Legal Guide on Drawing Up International Contracts for the Construction of Industrial Works 1988. Legal Guide 1988 bertujuan terciptanya keseragaman pengaturan klausul-klausul dalam menyusun kontrak di bidang konstruksi.

c. Standar Internasional
Standar internasional adalh norma-norma yang disyaratkan untuk ada di dalam perjanjian internasional, yang merupakan syarat penting di dalam tata ekonomi internasional, serta syarat suatu negara untuk berpartisipasi di dalam transaksi ekonomi internasional. Syarat-syarat dasar tersebut adalah:
i.                    Minimumstandard or equitable treatment;
ii.                  Most-favoured nation clause;
iii.                Equal Treatment; dan iv. Preferential Treatment.

ad. i. Minimum-standard atau equitable treatment
Minimum-standard atau equitable treatment adalah norma atau aturan dasar yang semua negara harus taati untuk dapat turut serta dalam transaksi-transaksi perdagangan internasional.
Contoh standar minimum ini antara lain tampak dalam perjanjian-perjanjian di bidang perlindungan hak kekayaan intelektual. Misalnya Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works. Konvensi ini meletakkan persyaratan standar minimum mengenai perlindungan hukum bagi karya cipta dan karya seni.

ad. ii. Most-Favoured Nation Clause
Klausul Most-Favoured Nation (MFN) adalah klausul yang mensyaratkan perlakun non-diskriminasi dari suatu negara terhadap negara lainnya. Perlakuan ini diberikan karena masing-masing negara terikat dalam suatu perjanjian internasional. Berdasarkan klausul ini salah satu negara yang memberikan perlakuan khusus atau preferensi kepada suatu negara, maka perlakuan tersebut harus juga diberikan kepada negara-negara lainnya yang tergabung dalam suatu perjanjian.
Peran klausul ini penting. Klausul ini menurut Houtte, memberikan suatu derajat perlakuan sama (equitable treatment) dalam hubungan ekonomi internasional. Dengan klausul ini, hubungan-hubungan perdagangan internasional dapat berkembang. Menurut Houtte, klausul MFN biasanya diikuti oleh dua sifat cukup penting, yaitu:
(a) reciprocal (timbal balik), artinya pemberian MFN ini diberikan dan disyaratkan oleh masing-masing negara. Jadi sifatnya timbal balik; dan
(b) unconditional (tidak bersyarat), artinya negara anggota lainnya dalam suatu perjanjain berhak atas perlakuan-perlakuan khusus yang diberikan kepada negara ketiga.

Ad. iii. Equal treatment
Equal treatment (perlakuan sama) adalah klausul lainnya yang juga disyaratkan harus ada dalam perjanjian-perjanjian internasional. Menurut klausul ini, negara-negara peserta dalam suatu perjanjian disyaratkan utuk memberikan perlakuan yang sama satu sama lain. Klausul ini karena itu menyatakan bahwa warga negara dari suatu negara anggota harus juga diperlakukan sama halnya seperti warga negara di negara anggota lainnya.
Klausul seperti ini hingga sekarang ini jarang ditemukan dalam praktek perjanjian antar negara. Memang, sulit untuk menemukan klausul ini dalam praktik. Suatu negara bagaimana pun juga memiliki kewajiban utama kepada negaranya daripada kepada warga negara asing. Adalah kewajiban suatu negara untuk mensejahterakan warga negaranya (daripada mensejahterakan warga negara anggota lain yang berada di dalam wilayahnya).
Namun demikian klausul ini tampak nyata dalam kesepakatan-kesepakatan hukum internasional di bidang penyelesaian sengketa, misalnya arbitrase internasional. Misalnya pasal 18 UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration. Pasal 18 ini yang berada di bawah judul ‘Equal Treatment of Parties’, menyebutkan: “The parties shall be treated with equality and each party shall be given a full opportunity of presenting his case.” Pasal 18 ini menggambarkan prinsip universal mengenai perlakuan sama di depan hukum. Pasal ini mensyaratkan perlakuan sama terhadap para pihak yang bersengketa. Mereka pun harus diberi kesempatan yang sama untuk membela perkaranya di hadapan badan arbitrase. Dalam berbagai sistem hukum di dunia, tidak ada ketentuan yang dapat mengenyampingkan prinsip ini.

Ad. iv. Preferential Treatment
Prinsip ini sebenarnya adalah pengecualian terhadap prinsip non-diskriminasi. Prinsip ini biasanya diterapkan di antara negara-negara yang memiliki hubungan politis atau ekonomis. Berdasarkan prinsip ini suatu negara dapat saja memberikan perlakuan khusus yang lebih menguntungkan (preferential treatment) kepada suatu negara daripada kepada negara lainnya. Biasanya perlakuan demikian diberikan kepada negara-negara yang sedang berkembang atau miskin. Perlakuan berbeda dan khusus biasa juga diberikan kepada negara-negara yang memiliki keterkaitan sejarah sebelumnya. Misalnya, negara-negara eks jajahan atau eks-koloninya.

d. Resolusi-resolusi Organisasi Internasional
Dewasa ini berbagai organisasi internasional acap kali pula mengeluarkan keputusan-keputusan berupa resolusi-resolusi yang sifatnya tidaklah mengikat. Daya mengikat resolusi-resolusi seperti ini biasanya disebut juga sebagai soft-law. Karena memang negara-negara pesertanya tidak menginginkan keputusan-keputusan yang dibuat oleh organisasi internasional tidak mengikat mereka secara hukum. Tetapi resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh organisasi internasional kadang kala juga mengikat. Salah satu contoh instrumen terkenal yang dipandang soft-law oleh negara-negara (maju) tetapi ternyata daya berlakunya sangat luas adalah Piagam Hak-hak dan Kewajiban Ekonomi Negara-negara (Charter on the
Economic Rights and Duties of States atau CERDS). Sepertiga bagian (11 pasal) dari dari keseluruhan pasal Piagam ini mengatur mengenai perdagangan internasional. Meskipun CERDS bersifat soft law, namun jiwa dan nilai-nilai hukum yang terdapat di dalamnya berpengaruh cukup luas terhadap aturan-aturan atau perjanjian-perjanjian internasional yang lahir kemudian.

2. Hukum Kebiasaan Internasional
Sebagai suatu sumber hukum, hukum kebiasaan perdagangan merupakan sumber hukum yang dapat dianggap sebagai sumber hokum yang pertama-tama lahir dalam hukum perdagangan internasional. Dari awal perkembangannya, yang disebut dengan hukum perdagangan internasional justru lahir dari adanya praktek-praktek para pedagang yang dilakukan berulang-ulang sedemikian rupa sehingga kebiasaan yang berulang-ulang dengan waktu yang relatif lama tersebut menjadi mengikat. Dalam studi hukum perdagangan internasional, sumber hukum ini disebut juga sebagai lex mercatoria atau hukum para pedagang (the law of the merchants). Istilah ini logis karena memang para pedaganglah yang mula-mula ‘menciptakan’ aturan hukum yang berlaku bagi mereka untuk transaksi-transaksi dagang mereka. Contoh (lembaga hukum) yang mula-mula para pedagang lakukan dan kembangkan adalah barter dan counter-trade.
Suatu kebiasaan tidak selamanya menjadi mengikat dan karenanya menjadi hukum. Suatu praktek kebiasaan untuk menjadi mengikat harus memenuhi syarat-syarat berikut:
(1) Suatu praktek yang berulang-ulang dilakukan dan diikuti oleh lebih dari 2 pihak (praktek negara); dan
(2) Praktek ini diterima sebagai mengikat (opnio iuris sive necessitatis).
Ketentuan Lex Mercatoria dapat ditemukan antara lain di dalam kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dan dituangkan dalam kontrak-kontrak perdagangan internasional, misalnya berupa klausul-klausul kontrak standar (baku), atau kontrak-kontrak di bidang pengangkutan (maritim).
Kontrak-kontrak atau klausul kontrak perdagangan yang biasanya dirancang oleh asosiasi atau organisasi perdagangan tertentu (misalnya oleh ICC, FIDIC, dll) dan diikuti oleh anggota dari organisasi atau asosiasi tersebut. Kebiasaan-kebiasaan perdagangan memiliki peran yang sangat penting di dalam sesuatu transaksi perdagangan internasional. Misalnya, kebiasaan tersebut terkodifikasi dalam kontrak konstruksi atau pengiriman barang, fob, cif, dll. Masalah utama yang menjadi ganjalan bagi pemberlakuan lex mercatoria ini adalah masih disangsikannya kekuatan mengikatnya.
Seperti dapat dimaklumi, bagi para pedagang atau pelaku perdagangan, daya atau kekuatan mengikat lex mercatoria tidaklah sulit bagi mereka. Mereka secara sukarelah menaati dan melaksanakan serta memandangnya mengikat karena merekalah yang menciptakannya. Kekuatan mengikat karena kebiasaan praktek perdagangan ini sebenarnya juga diakui oleh berbagai hukum nasional. Tidaklah sulit menemukan hukum nasional mengakui kekuatan hukum adanya praktek kebiasaan ini. Hukum Indonesia misalnya mengakui praktek kebiasaan ini. Pasal 1339 tentang akibat suatu perjanjian misalnya menyatakan: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”
Bunyi pasal di atas secara tegas mengakui kebiasaan. Tetapi khusus untuk kebiasaan internasional, banyak negara yang mengambil jarak. Bahkan untuk kebiasaan dagang internasional seperti ini, pengadilan tidak jarang masih mempertanyakan keabsahannya. Pendirian ini antara lain disebabkan karena kebiasaan perdagangan internasional, meskipun terkodifikasi oleh upaya lembaga-lembaga internasional seperti ICC atau Kamar Dagang Internasional, UNCITRAL, dll., bukanlah bersifat perjanjian internasional. Aturan-aturan internasional yang dibuat oleh ICC menurut badan pengadilan dapat digolongkan soft-law. Aturannya tidak mengikat. Misalnya, ICC merumuskan UCP 500 untuk Letter of Credit. UCP 500 tidak mensyaratkan ratifikasi oleh negara-negara untuk mengikat. Karena sifatnya itu pula, UCP tidak pernah meletakkan kewajiban bagi negara untuk terikat terhadapnya. Hal ini logis saja karena ICC adalah lembaga yang anggotanya adalah swasta, bukan negara.
Di negara-negara sedang berkembang yang pengadilannya masih kental menganut aliran positif hukum, kerap kali memandang bahwa setiap aturan yang tidak dibuat sesuai dengan konstitusi, misalnya melalui proses pengundangan suatu ketentuan secara formal, misalnya melalui pengumuman di lembaran negara, bukanlah hukum dan karenanya tidak mengikat.
3. Prinsip-prinsip Hukum Umum
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hokum umum belum ada pengertian yang diterima luas. Peran sumber hukum ini biasanya diyakini lahir baik dari sistem hukum nasional maupun hukum internasional. Sumber hukum ini akan mulai berfungsi manakala hukum perjanjian (internasional) dan hukum kebiasaan internasional tidak memberi jawaban atas sesuatu persoalan. Karena itu prinsip-prinsip hukum umum ini dipandang sebagai sumber hukum penting dalam upaya mengembangkan hukum, termasuk sudah barang tentu hukum perdagangan internasional. Beberapa contoh dari prinsip-prinsip hukum umum ini antara lain adalah prinsip itikad baik, prinsip pacta sunt servanda, dan prinsip ganti rugi. Ketiga prinsip ini terdapat dan diakui dalam hampir semua sistem hukum di dunia, dan terdapat pula dalam hukum (perdagangan) internasional.

4. Putusan-putusan Badan Pengadilan dan Doktrin
Sumber hukum ke-4 ini tampaknya memiliki fungsi dan peran pelengkap seperti halnya prinsip-prinsip hukum umum. Sumber hokum ini akan memainkan perannya apabila sumber-sumber hukum terdahulu tidak memberi kepastian atau jawaban atas suatu persoalan hukum (di bidang perdagangan internasional). Putusan-putusan pengadilan dalam hukum perdagangan internasional tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat seperti yang dikenal dalam sistem hukum Common Law (Anglo Saxon).
Statusnya sedikit banyak sama seperti yang kita kenal dalam sistem hukum kontinental (Civil Law). Bahwa putusan pengadilan sebelumnya hanya untuk dipertimbangkan. Jadi ada semacam ‘kewajiban’ yang tidak mengikat bagi badan-badan pengadilan untuk mempertimbangkan putusan-putusan pengadilan sebelumnya (dalam sengketa yang terkait dengan perdagangan internasional).
Sifat putusan pengadilan ini ditegaskan dalam sengketa Japan-Taxes on Alcoholic Beverages yang diputus oleh Badan Penyelesaian Sengketa (DSB atau Dispute Settlement Body) WTO. Dalam tahap banding di DSB, Badan Banding (Appellate Body) antara lain menyatakan: “Adopted panel reports ... are often considered by subsequent panels. They create legitimate expectations among WTO members, and, therefore, should be taken into account where they are relevant to any dispute.”
Begitu pula dengan doktrin, yaitu pendapat-pendapat atau tulisan-tulisan sarjana terkemuka (dalam hal ini di bidang hukum perdagangan internasional). Peran dan fungsinya cukup penting dalam menjelaskan sesuatu hukum perdagangan internasional. Bahkan doktrin dapat pula digunakan untuk menemukan hukum. Doktrin ini penting manakala sumber-sumber hukum sebelumnya ternyata juga tidak jelas atau tidak mengatur sama sekali mengenai suatu hal di bidang perdagangan internasional.

5. Kontrak
Sumber hukum perdagangan internasional yang sebenarnya merupakan sumber utama dan terpenting adalah perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh para pedagang sendiri. Seperti kita dapat pahami, kontrak tersebut adalah ‘undang-undang’ bagi para pihak yang membuatnya. Dapat pula kita sadari bahwa para pelaku perdagangan (pedagang) atau stake-holders dalam hukum perdagangan internasional dalam melakukan transaksi-transaksi perdagangan internasional, mereka menuangkannya dalam perjanjian-perjanjian tertulis (kontrak). Karena itu, kontrak adalah sangat esensial. Karena itu kontrak berperan sebagai sumber hukum yang perlu dan terlebih dahulu mereka jadikan acuan penting dalam melaksanakan hak dan kewajiban mereka dalam perdagangan internasional.
Dalam hukum kontrak, kita mengenal penghormatan dan pengakuan terhadap prinsip konsensus dan kebebasan para pihak (party autonomy). Syarat-syarat perdagangan dan hak serta kewajiban para pihak seluruhnya diserahkan kepada para pihak dan hukum menghormati kesepakatan ini yang tertuang dalam perjanjian. Meskipun kebebasan para pihak sangatlah esensial, namun kebebasan tersebut ada batas-batasnya. Ia tunduk pada berbagai pembatasan yang melingkupinya.
Pertama, pembatasan yang utama adalah bahwa kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, dan dalam taraf tertentu, dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan kesopanan.
Pembatasan kedua adalah status dari kontrak itu sendiri. Kontrak dalam perdagangan internasional tidak lain adalah kontrak nasional yang ada unsur asingnya. Artinya, kontrak tersebut, meskipun di bidang perdagangan internasional, sedikit banyak tunduk dan dibatasi oleh hukum nasional (suatu negara tertentu).
Ketiga, menurut Sanson, pembatasan lain yang juga penting dan mengikat para pihak adalah kesepakatan-kesepakatan atau ‘kebiasaan’ dagang yang sebelumnya dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan. Daya mengikat kesepakatan-kesepakatan sebelumnya ini meskipun tidak tertulis tetapi mengikat ini, digambarkannya sebagai berikut: “In addition to the contractual terms agreed by the parties, the course of past dealings between traders may result in terms becoming part of an agreement between them. These past dealings, or trade ‘usages’ between the parties, may apply to the contractual relationship despite their not being incorporated into it in written form.”

6. Hukum Nasional
Signifikansi hukum nasional sebagai sumber hukum dalam hukum perdagangan internasional tampak dalam uraian mengenai kontrak sebagai sumber hukum perdagangan internasional di atas. Peran hukum nasional ini antara lain akan mulai lahir manakala timbul sengketa sebagai pelaksanaan dari kontrak. Dalam hal demikian ini maka pengadilan (badan arbitrase) pertama-tama akan melihat klausul pilihan hukum dalam kontrak untuk menentukan hukum yang akan digunakan untuk menyelesaikan sengketanya. Peran hukum nasional sebenarnya sangatlah luas dari sekedar mengatur kontrak dagang internasional. Peran signifikan dari hukum nasional lahir dari adanya jurisdiksi (kewenangan) negara. Kewenangan ini sifatnya mutlak dan eksklusif. Artinya, apabila tidak ada pengecualian lain, maka kekuasaan itu tidak dapat diganggu gugat.
Jurisdiksi atau kewenangan tersebut adalah kewenangan suatu negara untuk mengatur segala (a) peristiwa hukum, (b) subyek hukum, dan (c) benda yang berada di dalam wilayahnya. Kewenangan mengatur ini mencakup membuat hukum (nasional) baik yang sifatnya hukum publik maupun hukum perdata (privat). Kewenangan atas peristiwa hukum di sini dapat berupa transaksi jual beli dagang internasional, atau transaksi dagang internasional. Dalam hal ini maka hukum nasional yang dibuat suatu negara dapat mencakup hukum perpajakan, kepabeanan, ketenaga-kerjaan, persaingan sehat, perlindungan konsumen, kesehatan, perlindungan HAKI (intellectual property rights), hingga perizinan ekspor-impor suatu produk.
Kewenangan atas subyek hukum (pelaku atau stake-holders) dalam perdagangan internasional, mencakup kewenangan negara dalam membuat dan meletakkan syarat-syarat (dan izin) berdirinya suatu
perusahaan, bentuk-bentuk perusahaan beserta syarat-syaratnya, hingga pengaturan pengakhiran perusahaan (dalam hal perusahaan pailit, dsb).
Kewenangan suatu negara untuk mengatur atas suatu benda yang berada di dalam wilayahnya mencakup pengaturan obyek-obyek apa saja yang dapat atau tidak dapat untuk diperjual-belikan. Termasuk di dalamnya adalah larangan untuk masuknya produk-produk yang dianggap membahayakan moral, kesehatan manusia, tanaman, lingkungan, produk tiruan, dll.

C. Penutup
Sumber-sumber hukum perdagangan internasional adalah materi bahasan yang penting. Dari sumber-sumber inilah kita dapat menemukan hukum perdagangan internasional. Dari sumber-sumber inilah kita dapat mengomentari, menganalisis dan menilai sesuatu persoalan dalam hukum perdagangan internasional. Dibanding dengan sumber-sumber hukum konvensional yang terdapat dalam hukum internasional, dalam hukum perdagangan internasional dapat ditemui sumber-sumber yang dibuat secara
khusus oleh para pihak (aktor) dalam perdagangan internasional.
Sumber hukum ini yaitu kontrak (dan kebiasaan-kebiasaan dagang) memang sesungguhnya adalah hukum bagi para pihak yang membuatnya. Pengakuan terhadap kontrak sebagai salah satu sumber dalam
hukum perdagangan internasional mencerminkan dua hal berikut.
Pertama, kontrak sebagai salah satu sumber hukum perdagangan internasional merefleksikan unsur private law nature dari hokum perdagangan internasional.
Kedua, kontrak sebagai salah satu sumber dari hokum perdagangan internasional mencerminkan saling keterkaitan antara bidang hukum perdagangan internasional dengan bidang hukum lain, khususnya hukum kontrak internasional di samping hukum internasional, hukum ekonomi internasional, hukum penanaman modal, dll.

BAB IV
ATURAN-ATURAN HUKUM PERDAGANGAN MENURUT GATT
A. Pengantar
Salah satu sumber hukum yang penting dalam hukum perdagangan internasional adalah Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariff and Trade atau GATT). Muatan di dalamnya tidak saja penting dalam mengatur kebijakan perdagangan antar negara tetapi juga dalam taraf tertentu aturannya menyangkut pula aturan perdagangan antara pengusaha. Contoh yang terakhir ini adalah pengaturan mengenai barang tiruan atau kepabeanan.
GATT dibentuk pada Oktober tahun 1947. Lahirnya WTO pada tahun 1994 membawa dua perubahan yang cukup penting bagi GATT. Pertama, WTO mengambil alih GATT dan menjadikannya salah satu lampiran aturan WTO. Kedua, prinsip-prinsip GATT menjadi kerangka aturan bagi bidang-bidang baru dalam perjanjian WTO, khususnya Perjanjian mengenai Jasa (GATS), Penanaman Modal (TRIMs), dan juga dalam Perjanjian mengenai Perdagangan yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (TRIPs). Tujuan pembentukan GATT adalah untuk menciptkan suatu iklim perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta untuk menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan, lapangan kerja dan iklim perdagangan yang sehat.
Untuk mencapai tujuan itu, sistem perdagangan internasional yang diupayakan GATT adalah sistem yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di seluruh dunia. Tujuan utama GATT dapat tampak dengan jelas pada preambulenya. Pada pokoknya ada empat tujuan penting yang hendak dicapai GATT:
1) meningkatkan taraf hidup umat manusia;
2) meningkatkan kesempatan kerja;
3) meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia; dan
4) meningkatkan produksi dan tukar menukar barang.
Ada tiga fungsi utama GATT dalam mencapai tujuannya:
pertama, sebagai suatu perangkat ketentuan (aturan) multilateral yang mengatur transaksi perdagangan yang dilakukan oleh Negara-negara anggota GATT dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan (the ‘rules of the road’ for trade).
Kedua, sebagai suatu forum (wadah) perundingan perdagangan. Di sini diupayakan agar praktek perdagangan dapat dibebaskan dari rintangan-rintangan yang mengganggu (liberalisasi perdagangan). Selain itu, GATT mengupayakan agar aturan atau praktek perdagangan demikian itu menjadi jelas (predictable) baik melalui pembukaan pasar nasional atau melalui penegakan dan penyebarluasan pemberlakuan peraturannya.
Dalam perundingan tersebut, keputusan-keputusan mengenai materi-materi yang penting khususnya yang menyangkut ketentuan-ketentuan atau pasal-pasal GATT, keputusannya dibuat berdasarkan mayoritas biasa (Pasal XXV). Namun pada umumnya keputusan-keputusan demikian diambil tanpa harus mengikuti suatu cara pengambilan putusan yang formal: umumnya keputusan diambil berdasarkan konsensus. Sejak berdiri, GATT telah mensponsori berbagai macam perundingan-perundingan utama/pokok yang biasanya disebut juga dengan istilah putaran (rounds). Tujuan dari putaran atau perundingan ini bertujuan untuk mempercepat liberalisasi perdagangan internasional. Putaran perundingan perdagangan ini mempunyai keuntungankeuntungan sebagai berikut:
Pertama, perundingan perdagangan memungkinkan para pihak secara bersama-sama dapat memecahkan masalah-masalah perdagangan yang cukup luas;
Kedua, para pihak akan lebih mudah membahas komitmen-komitmen perdagangan di suatu putaran perundingan daripada membahasnya dalam lingkup bilateral;
Ketiga, negara-negara sedang berkembang dan negara-negara kurang maju akan lebih memiliki kesempatan yang lebih luas dalam membahas sistem perdagangan multilateral dalam lingkup suatu perundingan dan akan lebih menguntungkan negara-negara sedang berkembang dibandingkan apabila mereka berunding langsung dengan negara-negara maju; dan
Keempat, dalam merundingkan sektor perdagangan dunia yang sensitif, pembahasan atau perundingan akan relatif dapat lebih mudah dalam konteks suatu forum yang sifatnya global. Misalnya adalah pembahasan isu pertanian dalam Perundingan Uruguay.
Putaran-putaran pertama GATT pada umumnya difokuskan kepada upaya penurunan tarif. Penurunan tarif ini sudah berlangsung sejak pembentukan GATT pada tahun 1947. Sejak tahun 1947, putaran yang telah dilaksanakan adalah Putaran Jenewa (1947 – diikuti oleh 23 negara); Putaran Annecy-Perancis (1947 – 13 negara); Putaran Torquay-Inggris (1951 – 38 negara); Putaran Jenewa (1956 – 26 negara); Putaran Jenewa atau Putaran Dillon (1960-61 – 26 negara). Proses liberalisasi perdagangan ini terus berlanjut dalam putaran-putaran berikutnya, yaitu Putaran Kennedy (1964-67 diikuti oleh 62 negara yang khusus membahas tarif dan antidumping), Putaran Tokyo (1973-1979, diikuti 102 negara) dan Putaran Uruguay (1986 – 1994 diikuti oleh 123 negara).
Putaran Tokyo (1973 – 1979) dapat pula dianggap sebagai putaran yang terpenting sebelum Putaran Uruguay. Putaran Tokyo dipandang sebagai suatu ‘percobaan pertama’ yang berupaya mereformasi sistem perdagangan internasional. Seperti umumnya putaran-putaran perdagangan GATT sebelumnya, Putaran Tokyo bertujuan untuk terus menurunkan tarif secara progresif. Di akhir perundingan, negara-negara sepakat untuk memotong 1/3 dari tingkat tarif yang berlaku pada waktu itu. Putaran Tokyo mengalami kegagalan dan beberapa kesepakatan. Kegagalan yang dialaminya antara lain, tidak tercapainya kesepakatan negara-negara mengenai masalah-masalah yang melilit sektor pertanian dan kegagalan untuk membuat rumusan aturan mengenai ‘safeguards’, (tindakan-tindakan pengamanan). Keberhasilan Putaran Tokyo yang patut dicatat antara lain tercapainya serangkaian kesepakatan aturan-aturan GATT, dan berhasilnya dicapainya 9 kesepakatan lainnya yakni :
1) Subsidi dan tindakan balasan (Subsidies and countervalling measures), yakni kesepakatan yang menafsirkan Pasal VI, XVI dan XXIII GATT;
2) Rintangan-rintangan teknik terhadap perdagangan (technical barrier to trade), yang kadang-kala disebut pula sebagai Standard Code’);
3) Prosedur lisensi impor;
4) Kesepakatan mengenai pengadaan barang dan jasa pemerintah (Government procurement);
5) Penaksiran bea cukai (Customs Valuation) yang menafsirkan pasal VII GATT;
6) Anti-Dumping, yang menafsirkan Pasal VI dan menggantikan the Kennedy Round Anti-Dumping Code;
7) Pengaturan mengenai daging olahan (Bovine Meat Arrangement);
8) Perdagangan dalam pesawat udara sipil (Trade in Civil Aircraft).
Pada waktu putaran Tokyo dirampungkan, hanya sedikit Negara yang mengikatkan diri kepada perjanjian-perjanjian atau kesepakatan hasil putaran Tokyo tersebut. Itu pun umumnya adalah
negara-negara maju saja.
Di putaran Uruguay, sebagian dari kesepakatan tersebut di atas telah mengalami pembahasan dan perluasan. Kesepakatan-kesepakatan mengenai subsidi dan countervailing measures, rintangan-rintangan teknis terhadap perdagangan, lisensi impor, penaksiran bea cukai dan kesepakatan anti-dumping sekarang telah terlebur ke dalam komitmen WTO.
Hal tersebut berarti bahwa semua negara anggota WTO mau tidak mau tunduk dan terikat terhadap semua kesepakatan atau perjanjian tersebut. Sedangkan kesepakatan mengenai pengadaan barang-barang bagi pemerintah (government procurement), bovine meat, dairy products dan pesawat udara sipil masih tetap berada di bawah kesepakatan ‘plurilateral’ yang sifatnya terbuka bagi negara anggota WTO untuk tunduk atau tidak (sukarela) terhadap kesepakatan-kesepakatan yang disebut terakhir tersebut. Fungsi ketiga GATT adalah sebagai suatu ‘pengadilan’ internasional dimana para anggotanya menyelesaikan sengketa dagangnya dengan anggota-anggota GATT lainnya.
Fungsi penyelesaian sengketa ini sifatnya penting dan pengaturannya mengalami perkembangan yang menarik. Telah dikemukakan di atas, GATT semula hanyalah aturan kesepakatan mengenai perdagangan internasional. GATT bukan lembaga khusus yang dilengkapi dengan badan khusus atau aturan khusus tentang penyelesaian sengketa perdagangan multilateral.

B. Sejarah GATT
GATT dibentuk sebagai suatu dasar (atau wadah) yang sifatnya sementara setelah Perang Dunia II. Pada masa itu timbul kesadaran masyarakat internasional akan perlunya suatu lembaga multilateral di samping Bank Dunia dan IMF. Kebutuhan akan adanya suatu lembaga multilateral yang khusus ini pada waktu itu sangat dirasakan benar. Pada waktu itu masyarakat internasional menemui kesulitan untuk mencapai kata sepakat mengenai pengurangan dan penghapusan berbagai pembatasan kuantitatif serta diskriminasi perdagangan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terulangnya praktek proteksionisme yang
berlangsung pada tahun 1930-an yang memukul perekonomian dunia.
Seperti disebutkan di muka, pada waktu pembentukannya, negara-negara yang pertama kali menjadi anggota adalah 23 negara. Ke-23 ini juga yang membuat dan merancang Piagam International Trade Organization (Organisasi Perdagangan Internasional) yang pada waktu itu direncanakan sebagai suatu badan khusus PBB.
Piagam tersebut dimaksudkan bukan saja untuk memberikan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan dalam perdagangan dunia tetapi juga membuat keputusan-keputusan mengenai ketenagakerjaan (employment), persetujuan komoditi, praktek-praktek restriktif (pembatasan) perdagangan, penanaman modal internasional dan jasa. Benih sejarah pembentukan GATT sebenarnya berawal dari pada waktu ditandatanganinya Piagam Atlantik (Atlantic Charter) pada bulan Agustus 1941. Salah satu tujuan dari piagam ini adalah menciptakan suatu sistem perdagangan dunia yang didasarkan pada non-diskriminasi dan kebebasan tukar menukar barang dan jasa.
Dengan tujuan tersebut, serangkaian pembahasan dan perundingan telah berlangsung antara tahun 1943-1944, khususnya antara Amerika Serikat, Inggris dan Kanada. Pada tanggal 6 Desember, Amerika Serikat pertama kalinya mengusulkan perlunya pembentukan suatu Organisasi Perdagangan Internasional (ITO). Tujuan organisasi ini, menurut versi Amerika Serikat pada waktu itu, adalah untuk menciptakan liberalisasi perdagangan  secara bertahap, memerangi monopoli, memperluas permintaan komoditi dan mengkoordinasi kebijakan perdagangan negara-negara. Usul pembentukan suatu organisasi perdagangan ini disambut baik oleh ECOSOC (Economic and Social Council). Badan khusus PBB ini menyatakan keinginannya untuk menyelenggarakan suatu konperensi. Untuk maksud itu, negara-negara berhasil membentuk suatu komisi persiapan. Persidangan-persidangan komisi berlangsung di London dari tanggal 18 Oktober sampai dengan 26 Desember 1946.7 Komisi berhasil mengeluarkan suatu Rancangan Piagam London (the London Draft Charter). Namun para anggota peserta pertemuan ini gagal mencapai kata sepakat untuk mengesahkan Rancangan Piagam tersebut.
Dengan adanya kegagalan ini kemudian negara-negara besar tersebut membentuk suatu komisi perancang yang beranggotakan Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Perancis dan negara-negara Benelux. Tugas komisi ini adalah mencari rumusan baru untuk merancang suatu organisasi perdagangan baru. Komisi baru ini mengadakan pertemuan kedua yang berlangsung di Lake Succes, New York dari tanggal 20 Januari sampai 25 Februari 1947. Pertemuan ini membahas masalah-masalah tertentu atau terbatas saja. Pertemuan tidak membahas hal-hal penting.
Pertemuan penting diselenggarakan di Jenewa dari bulan April sampai November 1947. Dari tanggal 10 April sampai dengan 22 Agustus, panitia persiapan melanjutkan tugasnya membuat rancangan Piagam ITO, dan dari tanggal 10 April sampai 30 Oktober, perundingan-perundingan bilateral berlangsung antar negara-negara anggota komisi, antara lain, Brazil, Burma, Ceylon, Pakistan dan Rhodesia Selatan. Hasil perundingan mengenai konsesi timbal balik (reciprocal tariff concession) dicantumkan ke dalam GATT yang ditandatangani pada tanggal 30 Oktober 1947. Hasil perundingan tersebut berisi pula suatu kodifikasi sementara mengenai hubungan-hubungan perdagangan di antara negara-negara penandatangan. Berdasarkan persyaratan-persyaratan protokol tanggal 30 Oktober 1947, GATT ditetapkan sejak tanggal 1 Januari 1948, sambil berlakunya ITO.
Pertemuan penting keempat berlangsung di Havana (21 November 1947 – 24 Maret 1948). Pertemuan ini membahas Piagam ITO oleh delegasi dari 66 negara. Pertemuan berhasil mengesahkan Piagam Havana. Namun sampai dengan pertengahan tahun 1950-an, negara-negara peserta menemui kesulitan dalam meratifikasinya. Hal ini lebih disebabkan karena Amerika Serikat, pelaku utama dalam perdagangan dunia, pada tahun 1958, menyatakan bahwa negaranya tidak akan meratifikasi Piagam tersebut. Sejak itu pulalah ITO secara efektif menjadi tidak berfungsi sama sekali.
Meskipun tidak pernah berlaku, namun minimnya ratifikasi tersebut tidak menyebabkan GATT menjadi tidak berlaku. Para perunding GATT mengeluarkan suatu perjanjian internasional baru yaitu the Protocol of Provisional Application, yaitu suatu protokol (perjanjian) yang memberlakukan GATT untuk sementara (provisional). Sejak dikeluarkannya protokol inilah, GATT kemudian terus berlaku sampai saat ini. Pada tahun 1954 – 1955, teks GATT mengalami perubahan. Ada dua perubahan penting yang terjadi. Pertama, dikeluarkannya protokol yang merubah bagian 1 dan Pasal XXIX dan XXX dan protokol yang merubah preambule dan bagian 2 dan 3. Protokol pertama mensyaratkan penerimaan oleh semua negara peserta. Namun karena Uruguay tidak meratifikasinya, protokol ini menjadi tidak berlaku sejak tanggal 1 Januari 1968. Sedangkan protokol kedua mulai berlaku sejak tanggal 28 November 1957.
Pada tahun 1965, GATT mendapat tambahan bagian baru, yaitu bagian keempat. Bagian ini berlaku secara de facto tanggal 8 Februari 1965 dan mulai berlaku efektif tanggal 27 Juni 1965. Bagian ini khusus mengatur kepentingan perluasan ekspor bagi negara-negara sedang berkembang (Pasal XXXVI – XXXVIII).

C. Ketentuan-ketentuan Perdagangan dalam GATT.
Ketentuan-ketentuan perdagangan yang membentuk suatu system perdagangan multilateral yang terkandung dalam GATT, memiliki 3 ketentuan utama. Pertama, dan yang paling penting adalah GATT itu sendiri beserta ke-38 pasalnya. Ketentuan kedua, yang dihasilkan dari perundingan putaran Tokyo (Tokyo Round 1973-1979) adalah ketentuan-ketentuan yang mencakup anti-dumping, subsidi dan ketentuan non-tarif atau masalah-masalah sektoral. Meskipun keanggotaan pada ketentuan ke- 2 ini terbatas sifatnya, yaitu berkisar 30-an negara, namun demikian negara-negara ini menguasai sebagian besar perdagangan dunia. 13 Putaran Tokyo menghasilkan 6 kesepakatan yang tertuang dalam dokumen berjudul the Tokyo Round Codes. Keenam kesepakatan tersebut yaitu
1) the Agreement on technical Barrier to Trade (Standards Code); yaitu kesepakatan bahwa pemerintah maupun badan-badan lainnya dalam membuat dan menerapkan peraturan dan standar teknis, tidak menimbulkan hambatan terhadap perdagangan;
2) the Agreement on Government Procurement, yaitu kesepakatan mengenai jaminan terlaksananya kesempatan secara internasional yang lebih luas dalam tender untuk mendapatkan kontrak-kontrak pemerintah;
3) the Agreement on Interpretation and Application of Article VI, XVI and XXIII (Subsidies Codes), yaitu kesepakatan untuk menjamin bahwa setiap pelaksanaan kebijakan subsidi tidak menimbulkan akibat negatif terhadap perdagangan negara lain;
4) the Agreement on Implementation of Article VII (Customs Valuation Code), yaitu kesepakatan mengenai sistem penilaian barang yang netral, seragam dan adil untuk kepentingan bea dan cukai;
5) the Agreement on Import Licensing Procedures, yaitu kesepakatan mengenai jaminan bahwa pemberian lisensi tidak menimbulkan hambatan terhadap impor; dan terakhir,
6) the Agreement on Implementation of Article VI (Anti Dumping Code), yakni kesepakatan mengenai perubahan Anti Dumping Code
Yang ketiga adalah ketentuan mengenai “multi fibre arrangements”. Ketentuan ini merupakan pengecualian terhadap ketentuan-ketentuan GATT umumnya terutama menyangkut tekstil dan pakaian.

D. Prinsip-prinsip GATT.
Untuk mencapai tujuan-tujuannya, GATT berpedoman pada 5 prinsip utama. Prinsip yang dimaksud adalah:
1. Prinsip most-favoured-nation.
Prinsip ‘most-favoured-nation (MFN) ini termuat dalam pasal I GATT. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non-diskriminatif. Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya. Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera dan tanpa syarat (‘immediately and unconditionally’) terhadap produk yang berasal atau yang diajukan kepada semua anggota GATT. Karena itu sesuatu negara tidak boleh memberikan perlakuan istimewa kepada negara lainnya atau melakukan tindakan diskriminasi terhadapnya. Prinsip ini tampak dalam pasal 4 perjanjian yang terkait dengan hak kekayaan intelektual (TRIPS) dan tercantum pula dalam pasal 2 Perjanjian mengenai Jasa (GATS).
Pendek kata, semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya prinsip ini mendapat pengecualian-pengecualiannya, khususnya dalam menyangkut kepentingan negara sedang berkembang. Jadi, berdasarkan prinsip itu, suatu negara anggota pada pokoknya dapat menuntut untuk diperlakukan sama terhadap produk impor dan ekspornya di negara-negara anggota lain. Namun demikian ada beberapa pengecualian terhadap prinsip ini.
Pengecualian tersebut sebagian ada yang ditetapkan dalam pasal-pasal GATT itu sendiri dan sebagian lagi ada yang ditetapkan dalam putusan-putusan dalam konperensi-konperensi GATT melalui suatu penanggalan (waiver) dan prinsip-prinsip GATT berdasarkan Pasal XXV. Pengecualian yang dimaksud adalah:
(a) keuntungan yang diperoleh karena jarak lalu lintas (frontier traffic advantage), tidak boleh dikenakan
terhadap anggota GATT lainnya (Pasal VI);
(b) perlakuan preferensi di wilayah-wilayah tertentu yang sudah ada (misalnya kerjasama ekonomi dalam ‘British Commonwealth’; the French Union (Perancis dengan Negara-negara bekas koloninya); dan Banelux (Banelux Economic Union), tetap boleh terus dilaksanakan namun tingkat batas preferensinya tidak boleh dinaikan (Pasal I ayat 2- 4);
(c) anggota-anggota GATT yang membentuk suatu Customs Union atau Free Trade Area yang memenuhi persyaratan Pasal XXIV tidak harus memberikan perlakuan yang sama kepada negara anggota lainnya. Untuk negara-negara yang membentuk pengaturan-pengaturan preferensial regional dan bilateral yang tidak memenuhi persyaratan Pasal XXIV, dapat membentuk pengecualian dengan menggunakan alasan ‘penanggalan’ (waiver) terhadap ketentuan GATT. Penanggalan ini dapat pula dilakukan atau diminta oleh suatu negara anggota. Menurut prinsip ini suatu Negara dapat, manakala ekonominya atau keadaan perdagangannya dalam keadaan yang sulit, dapat memohon pengecualian dari kewajiban tertentu yang ditetapkan oleh GATT.
(d) pemberian prefensi tarif olef negara-negara maju kepada produk impor dari negara yang sedang berkembang atau negara-negara yang kurang beruntung (least developed) melalui fasilitas Generalised System of Preference (sistem preferensi umum).
Pengecualian lainnya adalah apa yang disebut dengan ketentuan ‘pengamanan’ (safeguard rule). Pengecualian ini mengakui bahwa suatu pemerintah, apabila tidak mempunyai upaya lain, dapat melindungi atau memproteksi untuk sementara waktu industri dalam negerinya.
Pengaturan ‘safeguard’ ini yang diatur dalam Pasal XIX, memperbolehkan kebijakan demikian namun hanya dipakai dalam keadaan-keadaan tertentu saja. Suatu negara anggota dapat membatasi atau menangguhkan suatu konsesi tarif pada produk-produk yang diimpor dalam suatu jumlah (kuantitas) yang meningkat dan yang menyebabkan kerusakan serius (serious injury) terhadap produsen dalam negeri.
Dalam tahun-tahun belakangan ini, cukup banyak anggota GATT yang menerapkan pengaturan bilateral diskriminatif yang juga seringkali disebut dengan ‘voluntary export restraints’ (VERs). Kebijakan perdagangan ini dilakukan untuk menghindari salah satu isu yang cukup hangat dibahas dalam Putaran Uruguay yakni perdagangan tekstil. VERs adalah cara 'halus' negara maju untuk menekan Negara sedang berkembang yang umumnya adalah penghasil tekstil. Untuk membatasi masuknya produk tekstil ke dalam pasar dalam negerinya, negara maju secara halus menyatakan kepada negara berkembang untuk mengekspor tekstilnya dalam jumlah tertentu saja. Dalam hal ini, negara maju menekankan bahwa pembatasan jumlah tersebut semata-mata haruslah sukarela sifatnya yang datang atau berasal dari kehendak negara berkembang.

2. Prinsip National Treatment.
Prinsip National Treatment terdapat dalam pasal III GATT. Menurut prinsip ini, produk dari suatu negara yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri. Prinsip ini sifatnya berlaku luas. Prinsip ini juga berlaku terhadap semua macam pajak dan pungutan-pungutan lainnya. Ia berlaku pula terhadap perundang-undangan, pengaturan dan persyaratan-persyaratan (hukum) yang mempengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan produk-produk di pasar dalam negeri. Prinsip ini juga memberikan perlindungan terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya atau kebijakan administratif atau legislatif. Prinsip national treatment dan prinsip MFN merupakan prinsip sentral dibandingkan dengan prinsip-prinsip lainnya dalam GATT. Kedua prinsip ini menjadi prinsip pada pengaturan bidang-bidang perdagangan yang kelak lahir di dalam perjanjian putaran Uruguay. Misalnya, prinsip ini tercantum dalam pasal 3 Perjanjian TRIPs. Kedua prinsip diberlakukan pula dalam the General Agreement on Trade in Service (GATS). Dalam GATS, negara-negara anggota WTO diwajibkan untuk memberlakukan perlakuan yang sama (MFN treatment) terhadap jasa-jasa atau para pemberi jasa dari suatu negara dengan negara lainnya.
Meskipun demikian, perjanjian WTO membolehkan suatu Negara untuk meminta pembebasan dari penerapan kewajiban MFN ini yang mencakup upaya-upaya tertentu (specific measures) yang pada mulanya tidak dapat menawarkan perlakuan demikian. Untuk maksud tersebut, manakala suatu negara meminta pembebasan kewajiban MFN, maka permintaan tersebut akan ditinjau setiap lima tahun. Pembebasan dari penerapan kewajiban MFN ini hanya boleh dilakukan untuk jangka waktu 10 tahun. Prinsip national treatment merupakan suatu kewajiban dalam GATS yang mana negara-negara secara eksplisit harus menerapkan prinsip ini terhadap jasa-jasa atau kegiatan jasa-jasa tertentu. Oleh karena itulah prinsip national treatment atau perlakuan nasional ini pada umumnya merupakan hasil dari negosiasi atau perundingan di antara negara-negara anggota.

3. Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif.
Yang menjadi ketentuan dasar GATT adalah larangan restriksi kuantitatif yang merupakan rintangan terbesar terhadap GATT. Restriksi kuantitatif terhadap ekspor atau impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota impor atau ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor, pengawasan pembayaran produk-produk impor atau ekspor), pada umumnya dilarang (Pasal IX). Hal ini disebabkan karena praktek demikian mengganggu praktek perdagangan yang normal.
Restriksi kuantitatif dewasa ini tidak begitu meluas di negara maju. Namun demikian, tekstil, logam, dan beberapa produk tertentu, yang kebanyakan berasal dari negara-negara sedang berkembang masih acapkali terkena rintangan ini. Namun demikian dalam pelaksanaannya, hal tersebut dapat dilakukan dalam hal: pertama, untuk mencegah terkurasnya produk-produk esensial di negara pengekspor; kedua, untuk melindungi pasal dalam negeri khususnya yang menyangkut produk pertanian dan perikanan; ketiga, untuk mengamankan, berdasarkan escape clause (Pasal XIX), meningkatnya impor yang berlebihan (increase of imports) di dalam negeri sebagai upaya untuk melindungi, misalnya, terancamnya produksi dalam negeri. keempat, untuk melindungi neraca pembayaran (luar negerinya) (Pasal XII).
Meskipun demikian restriksi tersebut tidak boleh diterapkan di luar yang diperlukan untuk melindungi neraca pembayarannya. Restriksi itu pun secara progesif harus dikurangi bahkan dihilangkan apabila tidak dibutuhkan kembali. Dengan adanya pengakuan sebagaimana diatur dalam Pasal XVII, pengecualian itu telah diperluas pada negara-negara sedang berkembang. Dalam hal ini negara tersebut dapat memberlakukan restriksi kuantitatif untuk mencegah terkurasnya valuta asing (devisa) mereka yang disebabkan oleh adanya permintaan untuk impor yang diperlukan bagi pembayaran atau karena mereka sedang mendirikan atau memperluas produksi dalam negerinya. Bagi kepentingan negara tersebut, GATT menyelenggararakan konsultasi secara reguler yang diadakan dengan negara yang mengajukan restriksi impor untuk melindungi neraca pembayarannya. Menurut Pasal XIII, restriksi kuantitatif ini, meskipun diperbolehkan, tidak boleh diterapkan secara diskriminatif.

4. Prinsip Perlindungan melalui Tarif.
Pada prinsipnya GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui tarif (menaikan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melalui upaya-upaya perdagangan lainnya (non-tarif commercial measures). Perlindungan melalui tarif ini menunjukan dengan jelas tingkat perlindungan yang diberikan dan masih memungkinkan adanya kompetisi yang sehat.
Sebagai kebijakan untuk mengatur masuknya barang ekspor dari luar negeri, pengenaan tarif ini masih dibolehkan dalam GATT. Negara-negara GATT umumnya banyak menggunakan cara ini untuk melindungi industri dalam negerinya dan juga untuk menarik pemasukan bagi negara yang bersangkutan. Meskipun dibolehkan, penggunaan tarif ini tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan GATT. Misalnya saja, pengenaan atau penerapan tarif tersebut sifatnya tidak boleh diskriminatif dan tunduk pada komitmen tarifnya kepada GATT/WTO.
Komitmen tarif ini maksudnya adalah tingkat tarif dari suatu negara terhadap suatu produk tertentu. Tingkat tarif ini menjadi komitmen negara tersebut yang sifatnya mengikat. Karena itu, suatu negara yang telah menyatakan komitmennya atas suatu tarif, ia tidak dapat semena-mena menaikkan tingkat tarif yang telah ia sepakati, kecuali diikuti dengan negoisasi mengenai pemberian mengenai kompensasi dengan mitra-mitra dagangnya (Pasal XXVII).
Perlu dikemukakan di sini bahwa negoisasi tarif di antara negara-negara merupakan salah satu pekerjaan GATT (yang juga sekarang dilanjutkan oleh WTO). Tujuan GATT dalam hal ini adalah berupaya menurunkan tingkat tarif ke titik atau level yang serendah-rendahnya. Ketika GATT terbentuk pada tahun 1948 sampai dengan disahkannya perjanjian hasil Putaran Uruguay, tingkat tarif yang diterapkan negara-negara telah turun cukup tajam. Dari rata-rata sebesar 38% di tahun 1948, pada tahun 1994 telah jatuh menjadi sekitar 4% saja.
Dalam putaran Uruguay, komitmen negara-negara terhadap akses pasar yang lebih besar dicapai, antara lain, melalui penurunan suku bunga yang dilakukan oleh lebih dari 120 negara. Komitmen negara-negara ini dituangkan dalam 22.500 halaman national tarif schedules. Dalam pengurangan tarif ini, WTO mensyaratkan agar pengurangan tersebut dapat diturunkan sampai 40% (khususnya terhadap produk-produk industri di negara-negara maju) untuk jangka waktu 5 tahun (tahun 2000). Pada waktu putaran Uruguay ditutup (1994), tingkat tarif yang umumnya berlaku adalah sekitar 6,8%. Dengan tingkat tarif yang menurun demikian, diharapkan akan terjadi peningkatan penerimaan produk-produk industri maju yang memperoleh pembebasan bea masuk (yakni dari 20% menjadi 4% di negara-negara maju). Seperti halnya tarif, GATT juga mensyaratkan negara-negara anggotanya untuk menerapkan prinsip transparansi.
Prinsip ini pula yang menjadi kunci bagi prasyarat perdagangan yang pasti (predictable). Prinsip transparansi ini mensyaratkan keterbukaan atau transparansi hukum atau perundang-undangan nasional dan praktek perdagangan suatu negara. Cukup banyak aturan dalam perjanjian WTO memuat prinsip transparansi yang mensyaratkan negara-negara anggotanya untuk mengumumkan pada lingkup nasional dengan menerbitkan pada lembaran-lembaran resmi negara atau dengan cara memberitahukannya secara formal kepada WTO.

5. Prinsip Resiprositas.
Prinsip ini merupakan prinsip fundamental dalam GATT. Prinsip ini tampak pada preambule GATT dan berlaku dalam perundingan-perundingan tarif yang didasarkan atas dasar timbale balik dan saling menguntungkan kedua belah pihak. Paragraph 3 Preambul GATT menyatakan: "Being desirous of contributing to these objectives by entering into reciprocal and mutually advantageous arrangements directed to the substantial reduction of tarifs and other varriers to trade and to the eliminations of discriminatory treatment in international commerce."

6. Perlakuan Khusus Bagi Negara Sedang Berkembang.
Sekitar dua pertiga negara-negara anggota GATT adalah negara-negara sedang berkembang yang masih berada dalam tahap awal pembangunan ekonominya. Untuk membantu pembangunan mereka, pada tahun 1965, suatu bagian baru yaitu Part IV yang memuat tiga pasal (Pasal XXXVI-XXXVIII), ditambahkan ke dalam GATT. Tiga pasal baru dalam bagian tersebut dimaksudkan untuk mendorong negara-negara industri membantu pertumbuhan ekonomi negara-negara sedang berkembang.
Bagian IV ini mengakui kebutuhan negara sedang berkembang untuk menikmati akses pasar yang lebih menguntungkan. Bagian ini juga melarang negara-negara maju untuk membuat rintangan-rintangan baru terhadap ekspor negara-negara sedang berkembang. Negara-negara industri juga mau menerima bahwa mereka tidak akan meminta balasan dalam perundingan mengenai penurunan atau penghilangan tarif dan rintangan-rintangan lain terhadap perdagangan negara-negara sedang berkembang.
Pada waktu Putaran Tokyo 1979 berakhir, negara-negara sepakat dan mengeluarkan putusan mengenai pemberian perlakuan yang lebih menguntungkan dan partisipasi yang lebih besar bagi negara sedang berkembang dalam perdagangan dunia (‘enabling clause’). Keputusan tersebut mengakui bahwa negara sedang berkembang juga adalah pelaku yang permanen dalam system perdagangan dunia. Pengakuan ini juga merupakan dasar hukum bagi negara industri untuk memberikan GSP (Generalized System of Preferences atau sistem preferensi umum) kepada negara-negara sedang berkembang.

E. Garis-garis Besar Ketentuan GATT22
GATT memiliki 38 pasal. Secara garis besarnya, dari pasal-pasal tersebut dibagi ke dalam 4 bagian: Bagian Pertama mengandung dua pasal, yaitu:
a) Pasal I, berisi pasal utama yang menetapkan prinsip utama GATT, yaitu keharusan negara anggota untuk menerapkan klausul ‘most favoured nation’ treatment, kepada semua anggotanya.
b) Pasal II berisi tentang penurunan tarif yang disepakati berdasarkan penurunan tarif yang disepakati.
Kesepakatan penurunan tarif dicantumkan dalam lampiran ketentuan GATT dan menjadi bagian dari GATT. Bagian dua memuat 30 pasal, dari Pasal III sampai Pasal XXII. Pasal III berisi larangan pengenaan pajak dan upaya-upaya lainnya yang diskriminatif terhadap produk-produk impor dengan tujuan untuk melindungi produksi dalam negeri. Pengertian upaya-upaya lainnya disini adalah segala upaya, apa itu pungutan di dalam negeri atau penerbitan Undang-undang, peraturan atau persyaratan-persyaratan administratif yang mempengaruhi penjualan, penawaran pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan produk.
Berdasarkan prinsip perlakuan nasional ini, semua produk impor yang sudah memenuhi aturan-aturan kepabeanan harus mendapat perlakuan yang sama seperti halnya produk-produk dalam negeri di negara tersebut. Pasal IV berada di bawah judul ketentuan-ketentuan khusus mengenai film sinematografi (cinematograph film). Pasal ini membolehkan suatu negara untuk menetapkan kuota terhadap film-film melalui peraturan tentang pembatasan film. Namun demukian pembatasan-pembatasan atau kuota ini harus tetap tunduk kepada negoisasi dengan pihak-pihak yang terpengaruh oleh adanya pembatasan-pembatasan dalam bentuk kuota ini.
Pasal V mengatur kebebasan transit. Pasal ini mengakui adanya kebebasan transit barang-barang, termasuk perahu dan sarana angkutan lainnya melalui wilayah suatu negara anggota dengan menggunakan rute-rute yang digunakan untuk transit internasional guna melakukan transit ke atau dari wilayah Negara anggota GATT lainnya (ayat 2).
Dalam hal adanya transit ini, setiap negara anggota dapat mengenakan bea-bea dan menetapkan peraturan-peraturan terhadap transit ke dan dari wilayah-wilayah negara anggota lainnya. Pengenaan biaya dan pembuatan peraturan tersebut haruslah wajar dengan memperhatikan keadaan-keadaan atau kondisi dari lalu lintas transit (ayat 4).
Pasal VI mengatur anti-dumping dan bea masuk tambahan. Pasal ini berperan cukup penting dan cukup banyak digunakan oleh negara-negara maju terhadap produk-produk negara sedang berkembang. Negara maju menuduh negara sedang berkembang (tertentu) telah memasukkan barangnya ke pasar mereka dengan harga dumping. Dumping adalah praktek suatu negara yang menjual produknya di negara lain dengan harga yang lebih murah (di bawah harga normal) dengan maksud untuk merebut pasar (persaingan tidak jujur). Pasal VI ini dengan tegas memberikan batasan mengenai pengertian harga di bawah harga normal, yaitu:
a. lebih rendah dari harga untuk produk di negara di mana produk tersebut akan dikonsumsi di negara pengekspor (harga domesik);
b. manakala tidak ada petunjuk mengenai harga domestik, maka harga normal adalah harga tertinggi untuk produk tersebut yang ditunjuk atau diekspor ke Negara ketiga; atau
c. biaya produksi untuk produk tsB ditambah biaya tambahan (ongkos-ongkos) dan keuntungan yg layak.
Apabila suatu negara menemukan bukti-bukti positif bahwa suatu produk tertentu adalah dumping, maka negara tersebut dapat mengenakan bea masuk anti dumping dan bea masuk tambahan atas produk tersebut. Pasal VII (valuation for custom purposes atau penilaian atas barang impor untuk maksud-maksud kepabeanan). Pasal ini menetapkan kriteria mengenai penilaian atas barang impor oleh pejabat-pejabat (bea cukai) dari negara-negara anggota GATT terhadap barang impor. Pasal ini mensyaratkan bahwa nilai barang-barang impor untuk maksud kepabeanan harus didasarkan pada nilai nyata barang (actual value of the imported merchandise), bukan pada nilai asal barang atau pada nilai yang tanpa dasar atau dibuat-buat (arbitrary or fictitious values). Pasal VIII berada di bawah judul fees and formalities (biaya-biaya dan formalitas-formalitas).
Pasal ini mensyaratkan agar semua biaya dan pungutan (selain daripada bea masuk impor dan ekspor serta pajak yang diatur dalam pasal III) yang dikenakan atas atau dalam hubungannya dengan impor atau ekspor harus dibatasi. Pasal ini menegaskan bahwa pungutan-pungutan seperti itu tidak boleh dijadikan sebagai proteksi tidak langsung terhadap produk-produk domestik atau merupakan suatu pemajakan terhadap impor atau ekspor untuk maksud fiskal (Pasal VIII ayat 1 (a). Ayat 1 (b) pasal ini mensyaratkan negara-negara anggota untuk mengurangi jumlah-jumlah biaya dan pungutan seperti itu.
Pasal VIII ayat 1 (c) mensyaratkan negara-negara anggota untuk: 1) menyederhanakan pengaturan dan rumitnya formalitasformalitas impor dan ekspor; 2) mengurangi dan menyederhanakan persyaratan-persyaratan dokumentasi impor dan ekspor. Ketentuan-ketentuan pasal ini berlaku pula terhadap biayabiaya, pungutan, formalitas dan persyaratan-persyaratan yang dikenakan oleh pejabat-pejabat pemerintah berkaitan dengan impor dan ekspor, termasuk:
a) transaksi-transaksi konsuler, seperti faktur-faktur dan sertifikat konsuler;
b) pembatasan kuantitatif;
c) lisensi;
d) pengawasan devisa (exchange control);
e) jasa-jasa statistik;
f) dokumen, dokumentasi dan sertifikasi;
g) analisis dan inspeksi;
h) karantina atau sanitasi.
Pasal IX mengatur tanda asal (marks of origin). Pada prinsipnya pasal ini mensyaratkan agar semua negara anggota harus memberikan perlakuan yang sama (no lees favourable treatment) berkaitan dengan persyaratan asal barang ini terhadap semua produk dari negara-negara anggota seperti halnya perlakuan terhadap produk serupa dari negara ketiga (ayat 1). Ayat 6 pasal IX ini mensyaratkan agar negara-negara anggota harus bekerja sama dalam mencegah penggunaan nama dagang yang tidak menggambarkan asal barang suatu produk, dengan merugikan nama-nama regional atau geografis dari produk suatu Negara anggota yang dilindungi oleh hukum.
Pasal X mengatur persyaratan publikasi dan administrasi pengaturan-pengaturan perdagangan. Pasal ini menegaskan bahwa Undang-undang, peraturan-peraturan, putusan-putusan pengadilan dan administratif mengenai klasifikasi atau penilaian produk untuk tujuan kepabeanan, pajak, pungutan, atau segala persyaratan yang mempengaruhi penjualan, distribusi, transportasi, asuransi, inspeksi, pemrosesan, penggunaan, dll., harus dipublikasikan secara wajar sehingga para negara anggota dan para pedagang mengetahuinya.
Pasal XI sampai XV mengatur restriksi atau pembatasan kuantitatif. Restriksi kuantitatif yang sering dipraktekkan adalah pengenaan kuota, lisensi impor atau ekspor atau upaya lainnya disamping bea masuk, pajak atau pungutan lainnya. Pasal XI menegaskan bahwa praktek seperti ini dilarang. Pasal XII membolehkan suatu negara untuk menerapkan pembatasan pembatasan masuknya produk impor demi untuk mengamankan neraca pembayarannya (restriction to safeguard the balance of payment).
Pasal XIII mensyaratkan bahwa penerapan restriksi kuantitatif tersebut harus dilaksanakan tanpa diskriminasi. Jadi, misalnya suatu negara membatasi masuknya suatu produk dari suatu negara, misalnya dari B, maka pembatasan tersebut harus juga diberlakukan terhadap negara ketiga, misalnya C.
Pasal XIV mengatur pengecualian-pengecualian penerapan restriksi kuantitatif dalam hal pembatasan masuknya produk-produk impor karena alasan-alasan moneter tertentu. Pasal XV mengatur pengaturan mengenai pembayaran. Pasal ini mensyaratkan perlunya kerjasama antara GATT dengan IMF. Pasal XVI mengatur subsidi. Pasal ini mengakui adanya praktek negara-negara yang masih memberikan subsidi terhadap produk-produk dalam negerinya dengan maksud agar dapat bersaing di pasar internasional. Namun pasal ini mewajibkan Negara tersebut untuk memberitahu GATT tentang adanya subsidi ini. Dalam perkembangan pengaturan GATT sebagaimana kemudian tercantum dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal XVI ini, GATT mensyaratkan negara-negara anggotanya untuk menghapus subsidi ini.
Pasal XVII mengatur perusahaan dagang negara (state trading enterprises). GATT menyadari bahwa perusahaan dagang negara dapat menimbulkan praktek-praktek perdagangan yang tidak ‘fair’. Oleh karena itu, pasal ini dengan tegas menyatakan bahwa perusahaanperusahaan seperti ini harus bertindak sesuai dengan prinsipprinsip umum mengenai perlakuan non-diskriminatif dalam kaitannya dengan upaya-upaya pemerintah yang mempengaruhi impor dan ekspor oleh para pedagang.
Pasal XVIII berada di bawah judul ‘governmental assistance to economic development’ (bantuan pemerintah kepada pembangunan ekonomi). Pasal ini mengakui bahwa negara-negara sedang berkembang membutuhkan tarif yang fleksibel dan dapat menerapkan beberapa restriksi kuantitatif untuk mempertahankan alat tukar luar negerinya untuk kebutuhan pembangunannya.
Pasal XIX mengatur tindakan darurat atas impor produk-produk tertentu. Pasal ini memberi hak atau pembenaran bagi suatu negara untuk menangguhkan sebagian atau seluruh kewajibannya berdasarkan GATT atau menarik atau memodifikasi sebagian atau seluruh konsesinya. Pasal baru ini dapat diterapkan apabila suatu produk impor masuk ke dalam suatu negara yang kehadiran jumlah produk tersebut telah mengakibatkan atau mengancam akan memukul secara serius produsen dalam negerinya. Ayat 2 pasal ini mensyaratkan negara yang hendak menerapkan pasal ini untuk terlebih dahulu memberitahu dan mengkonsultasikannya dengan GATT.
Pasal XX mengatur pengecualian umum (general exeptions), yakni pengecualian-pengecualian yang dimungkinkan untuk menanggalkan aturan-aturan atau kewajiban-kewajiban suatu Negara terhadap GATT, khususnya dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk:
(a) melindungi moral masyarakat;
(b) melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan atau tanaman;
(c) impor atau ekspor emas atau perak;
(d) perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual;
(e) produk-produk yang berasal dari hasil kerja para narapidana;
(f) perlindungan kekayaan nasional, kesenian, sejarah atau purbakala;
(g) konservasi kekayaan alam yang dapat habis;
(h) dalam kaitannya dengan adanya kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian komoditi antar pemerintah; dll.
Pasal XXI GATT membenarkan suatu negara untuk menanggalkan kewajibannya berdasar GATT dengan alasan keamanan (security exeption). Pasal XXII dan XXIII mengatur penyelesaian sengketa di
dalam GATT. Bagian ketiga berisi 11 pasal. Pasal XXIV mengatur bagaimana customs union and free trade area dapat memanfaatkan pengecualian-pengecualian terhadap prinsip most favored nation. Pasal XXV menetapkan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pemerintah dari negara-negara anggota GATT. Pasal ini mengakui pula diperbolehkannya beberapa pengecualian (waiver) terhadap aturan GATT.
Pasal XXVI sampai XXXV adalah pasal-pasal berisi tentang pemberlakuan GATT, berupa penerimaan dan berlakunya ketentuan GATT (Pasal XXVI); status (kondisi) tarif dari negara bukan anggota (Pasal XXVII); ketentuan untuk perundingan tarif dan perubahan-perubahan dalam daftar tarif (Pasal XXVIII), hubungan antara GATT dengan Piagam Havana (Pasal XXIX), perubahan terhadap GATT (Pasal XXX), penarikan atau pengunduran diri anggota dari GATT (Pasal XXXI), batasan contracting parties (keanggotaan GATT) (Pasal XXXII), masuknya menjadi anggota GATT (Pasal XXXIV), dan tidak diterapkannya beberapa aturan GATT di antara anggotaanggota GATT tertentu (Pasal XXXV).
Bagian keempat terdiri dari 3 pasal (Pasal XXXVI-XXXVIII) yang ditambahkan pada tahun 1965. pasal XXXVI menyadari adanya kebutuhan-kebutuhan khusus negara-negara sedang Berkembang di bidang perdagangan internasional. Pasal XXXVII mengatur komitmen negara-negara (maju), kecuali ada alasan-alasan mendesak untuk tidak melaksanakan pasal ini, untuk memberikan bantuan ekonomi dan perdagangan kepada negara sedang berkembang. Pasal XXXVIII mengatur tindakan bersama oleh para anggota untuk membantu perdagangan negara sedang berkembang.

F. Penutup
Uraian di atas menyiratkan beberapa catatan berikut. GATT sebagai aturan perdagangan yang dibuat pada tahun 1947 ternyata masih relevan bahkan masih terus relevan untuk masa yang akan datang. Aturan dan prinsip yang diaturnya memuat aturanaturan yang dapat diterima oleh hampir banyak negara (meskipun dari keanggotaannya masing-masing negara memiliki sistem hukum yang berbeda). Khususnya prinsip non-diskriminasi merupakan prinsip yang memang dapat diterima universal.
Sebenarnya masalah utama dari adanya aturan GATT ini adalah bagaimana dapat memanfaatkannya, khususnya bagi negara sedang berkembang. Dari preambul GATT tersirat tujuan pentingnya, yaitu meningkatkan taraf hidup umat manusia; meningkatkan kesempatan kerja; meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia; dan meningkatkan produksi dan tukar menukar barang.
Aturan-aturan GATT tampaknya telah memberi aturan yang seimbang, antara hak dan kewajiban bagi negara-negara para pesertanya. Bagi negara sedang berkembang, meskipun aturannya tidak jelas dan tidak memberi ‘muatan’ yang jelas, tetapi yang penting aturan khusus untuk negara sedang berkembang sudah ada. Tujuan penting itu menyiratkan satu hal penting. Tujuan tersebut hanya akan dapat terealisasi apabila negara (berkembang) yang bersangkutan memahami aturan-aturan GATT. Pemahaman yang baik akan memungkinkan negara tersebut untuk dapat memanfaatkan aturan-aturan GATT bagi kepentingan perdagangannya.
Sebaliknya kekurang-pahaman aturan-aturan GATT akan mengakibatkan sulitnya pemanfaatan aturan-aturan tersebut bagi kepentingan perdagangan negara yang bersangkutan. Artinya, tujuan-tujuan yang baik di atas, tidak akan tercapai. Ketidak-tegasan pengaturan untuk kepentingan negara sedang berkembang sebenarnya juga adalah kelemahan dari aturan GATT itu sendiri.

BAB V
LETTER OF CREDIT DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
Perdagangan internasional terwujud karena adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli yang mereka tuangkan dalam kontrak. Dalam kontrak ini biasanya mereka juga cantumkan bagaimana cara, sistem atau klausul pembayarannya. Sistem pembayaran ini merupakan salah satu hal yang penting dalam transaksi perdagangan. Dalam transaksi dagang yang sifatnya terbatas di mana penjual dan pembeli berada dalam wilayah atau tempat yang sama, pembayaran dan penyerahan barang dapat dilakukan secara langsung. Lain halnya dengan perdagangan internasional. Para pihak mungkin kurang begitu saling kenal. Domisili mereka berjauhan.
Di samping sistem pembayaran, sistem pembiayaannya pun akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran perdagangan internasional. Karena itu pula dapat dinyatakan bahwa perdagangan Internasional akan lebih berjalan lancar dengan tersedianya fasilitas pembiayaan (kredit) bagi jual beli barang dalam perdagangan internasional.
Dalam perdagangan Internasional, pembeli dan penjual terpisah oleh jarak yang jauh. Mereka juga acap kali memiliki praktek pembiayaan yang berbeda di masing-masing negara. Di samping itu pula, terdapat kepentingan para pihak yang berbeda dalam perdagangan internasional. Penjual berupaya dan berkepentingan untuk menguasai dan mengontrol barangnya sampai ia menerima harga yang disepakati dalam kontrak. Selain itu penjual juga berkepentingan agar pembayaran (proceeds atau dana hasil ekspor) dapat segera diterimanya tanpa harus menunggu berbulan-bulan lamanya tatkala barangnya masih dalam perjalanan di kapal (in transit).
Di pihak lain, pembeli berkepentingan untuk tidak segera membayar sejumlah uang yang dia janjikan sesuai kontrak selama ia belum memeriksa barangnya apakah sesuai dengan spesifikasi yang dicantumkan dalam kontrak, atau setidaknya ada bukti tertulis bahwa barangnya telah dikapalkan. Hal ini berarti menimbulkan kesulitan bagi penjual untuk menentukan cara pembayaran yang akan digunakan oleh pembeli asing. Demikian juga bagi pembeli mengalami kesulitan untuk mempercayai reputasi dan integritas penjual asing. Dalam hal demikian, Bank memainkan peran penting yang dapat menjembatani kedua kepentingan yang berbeda antara penjual dan pembeli. Dalam hal ini Bank memberi jaminan kelaikan kredit sebagai jaminan untuk transaski jual beli barang tersebut. Peran bank ini tampak pula pada upayanya dalam mengembangkan sistem pembiayaan dan pembayaran selama bertahun-tahun lamanya dengan semakin meningkatnya permintaan kredit bagi perdagangan internasional.

B. Bentuk-bentuk Pembiayaan Perdagangan Internasional
Disebutkan di atas bahwa Bank telah mengembangkan berbagai sistem pembiayaan dalam perdagangan internasional. Di antara berbagai sistem yang cukup banyak tersebut, berikut adalah sistem-sistem yang umum digunakan:
1. Kredit berdokumen (Documentary Credit);
2. Kredit komersial jangka pendek, menengah dan panjang (Short, Medium and Long term commercial credit);
3. Bentuk-bentuk pembiayaan khusus (Particular financing techniques), terutama:
(i) factoring internasional (Intenasional factoring);
(ii) Forfaiting; dan
(iii) Leasing internasional (International leasing).
4. Jaminan Bank (Bank Guarantee atau Auotonomous Guarantee)
Dalam bab ini, pembahasan hanya akan mengkonsentrasikan pada kredit berdokumen. Alasan utama dan alas an praktis adalah kredit berdokumen ini lebih banyak digunakan (penting) dan telah lama mengalami perkembangan pengaturannya. Praktil menggunakan kredit berdokumen ini telah lama dilakukan, khususnya sejak awal tahun 1700-an. Pengaturannya pun telah berkembang lama. Ellinger menyatakan bahwa aturan mengenai kredit berdokujmen ini telah sedikit banyak mencapai harmoniasi
dan keseragaman pengaturan.

1. Kredit Berdokumen (Documentary Credit)
a. Pendahuluan
Di atas dikemukakan tentang beda kepentingan antara pembeli dan penjual. Pembeli (importir) tidak mau membayar sebelum ia memiliki barangnya dan memeriksa barangnya apakah barang tersebut sesuai dengan kontrak. Penjual (eksportir) juga tidak akan mengirim barangnya selama ia belum mendapat kepastian bahwa harga yang telah disepakati dalam kontrak dibayar.
Karena jarak kedua pihak, praktek perdagangan yang mungkin berbeda dan mungkin saja satu sama lain tidak kenal, maka semua perbedaan ini dapat menjadi hambatan bagi perdagangan internasional.
Namun dengan lahirnya sistem kredit berdokumen (documentary credits), yang juga dikenal dengan Letters of Credit (L/C), perbedaan-perbedaan itu dapat dijembatani. Kredit berdokumen ini terus berkembang. Sistem inilah yang paling banyak digunakan dan berperan penting sangat penting untuk membayar barang-barang dalam perdagangan internasional.
Dalam kaitannya dengan perdagangan internasional, L/C memainkan peran yang cukup penting. Pengadilan Inggris misalnya telah lama mengakui bahwa L/C adalah mekanisme pembayara yang paling penting dalam perdagangan internasional. Pengadilan Inggris memandang L/C sebagai “the life blood of international commerce.” Peran tersebut adalah:
(1) memudahkan pelunasan pembayaran transaksi ekspor;
(2) mengamankan dana yang disediakan importir untuk membayar barang impor;
(3) menjamin kelengkapan dokumen pengapalan.
Karena itu tampak bahwa L/C merupakan jaminan atas pelunasan barang yang akan dikirim oleh penjual (eksportir). Jadi untuk kepentingan eksportir, L/C harus dibuka terlebih dahulu sebelum barang dikirim. Di pihak lain, pembukaan L/C merupakan jaminan pula bagi importir untuk memperoleh pengapalan barang secara utuh sesuai dengan kontrak. Sedangkan dana L/C tersebut tidak akan dicairkan tanpa penyerahan dokumen pengapalan. Dengan demikian L/C tampak sebagai suatu instrumen yang ditawarkan bank devisa untuk memudahkan lalu lintas pembiayaan dalam transaksi dagang internasional.
Dari uraian di atas, tampak bahwa sangatlah wajar bila L/C kemudian menjadi lebih banyak disukai oleh para pihak, khususnya penjual dan pembeli dalam bertransaksi dagang secara lintas batas. Alasan utama para pedagang menyukai sistem ini, adalah karena adanya unsur janji bayar yang ada pada sistem ini. Ramlan Ginting menggambarkan sebagai berikut: “Penerima yang menjual barang kepada pemohon merasa aman dibayar dengan cara L/C karena adanya janji pembayaran dari bank penerbit kepadanya. Sebaliknya, pemohon juga merasa aman membeli barang dengan cara L/C karena akan menerima dokumen-dokumen yang dikehendakinya sebab pemenuhannya merupakan syarat pembayaran langsung.”

b. Batasan
Hans van Houtte mendefinisikan kredit berdokumen ini sebagai berikut: "... an arrangement in which the bank, acting for and on behalf of the buyer (customer), undertakes to pay the seller (beneficiary) a sum of money or to accept a bill of exchange drawn by the seller, or to authorize another bank to do so on presentation by the seller of specified document and on condition that all other credit terms are met."
Amir M.S. menggambarkan L/C sebagai berikut: "L/C adalah suatu surat yang dikeluarkan oleh bank devisa atas permintaan importir nasabah bank devisa bersangkutan dan ditujukan kepada eksportir di luar negara yang menjadi relasi dari importir tersebut. Isi surat itu menyatakan bahwa eksportir penerma L/C diberi hak oleh importir untuk menarik wewel (surat perintah untuk melunasi utang) atas importir bersangkutan untuk sejumlah uang yang disebut dalam surat itu. Bank yang bersangkutan menjamin untuk megnakseptir atau menghonorir wesel yang ditarik tersebut asal sesuai dan memenuhi semua syarat yang tercantum di dalam surat itu."
UCP (Pasal 2 UCP 500) memberi definisi L/C sebagai berikut: "L/C adalah janji membayar dari bank penerbit kepada penerima yang pembayarannya hanya dapat dilakukan oleh bank penerbit jika penerima menyerahkan kepada bank penerbit dokumen-dokumen yang sesuai dengan persyaratan L/C.”
Beberapa hal penting dari definisi di atas yaitu:
(a) Bank yang memberikan jaminan pembayaran tersebut adalah bank yang menerbitkan Kredit Dokumenter L/C tersebut (bank penerbit atau Issuing Bank).
(b) Dokumen-dokumen yang disyaratkan dapat berupa dokumen perdagangan ataupun dokumen yang diterbitkan instansi-instansi pemerintah, asuransi maupun pengangkutan.
(c) Karena Kredit Dokumenter (L/C) merupakan Jaminan bersyarat, maka pembayaran sudah tentu dilakukan atas nama Buyer (pembeli), dan pembayaran itu dilaksanakan bila dokumen-dokumen yang disyaratkan telah diserahkan.
(d) Karena dokumen-dokumen tersebut mewakili barang, maka penyerahan dokumen itu berarti memberikan hak kepada buyer (pembeli) atas pemilikan barang-barang yang dikapalkan tersebut.
(e) Karena Kredit Dokumenter (L/C) merupakan jaminan bank, maka segera setelah pengapalan barang, Seller akan meminta pembayaran dari Bank, bukan mengandalkan kemampuan dan kesediaan Buyer (pembeli) untuk membayar. Namun sekalipun demikian, berhubung jaminan tersebut adalah jaminan bersyarat, maka seller (penjual) hanya berhak meminta pembayaran apabila dia sudah memenuhi semua syarat yang telah ditetapkan dalam Kredit Dokumenter tersebut.
(f) Untuk kelancaran pembayaran atas dasar Kredit Berdokumen (L/C) diperlukan paling tidak dua buah bank, yaitu Bank pembeli sebagai penerbit L/C (Issuing Bank atau bank penerbit) dann Bank penjual yang terletak di negara penjual itu sendiri.

c. Kontrak Penjualan Sebagai Dasar Terbitnya L/C
Persiapan yang harus ada untuk terbitnya L/C adalah kesepakatan antara Seller dan Buyer untuk membuat dan menandatangani sebuah sales contract (kontrak penjualan). Yang mendasari terbitnya sebuah L/C adalah kontrak jual beli atau sales contract yang sudah disepakati bersama dan kemudian disahkan dengan penandatanganan oleh masing-masing pihak antara penjual dan pembeli. Kontrak penjualan tersebut biasanya mencantumkan pula bagaimana barang tersebut akan dikirim: apakah melalui darat, laut atau udara; dan pihak mana yang akan menutup asuransi.
Kredit berdokumen juga dikeluarkan untuk proyek-proyek konstruksi internasional jangka panjang dan proyek-proyek investasi. Pasal 4 UCP memberlakukan kredit berdokumen ini terhadap bukan saja untuk barang tetapi juga terhadap jasa dan bentuk-bentuk lainnya ('services and/or other performances'), meskipun untuk hal-hal yang terakhir ini lebih banyak digunakan Standby L/C atau Bank Garansi. L/C sendiri adalah dokumen kontrak. Namun demikian, kedudukan L/C sebagai suatu kontrak dan kontrak jual belinya sifatnya adalah terpisah atau independen. Sifat independen L/C tampak pada aplikasi L/C dan realisasi pembayaran L/C.
Dalam aplikasi L/C, bank penerbit (issuing bank) tidak meminta atau mensyaratkan diperlihatkannya kontrak penjualan dari pemohon (buyer atau pembeli). Dalam realisasi pembayaran L/C, bank hanya memeriksa apakah dokumen-dokumen yang dipersyaratkan L/C telah terpenuhi. Hal inilah yang disebut juga sebagai prinsip otonomi dari L/C.
Pasal 3 UCP 500 menegaskan sifat independen ini: "Credits, by their nature, are separate transactions from the sales or other contract(s) on which they may be based and banks are in no way concerned with or bound by such contract(s), even if any reference whatsoever to such contract(s) is included in the Credit. Consequently, the undertaking of a bank to pay, accept and pay Draft(s) or negotiate and/or to fulfill any other obligation under the Credit, is not subject to claims or defences by the Applicant resulting from his relationships with the issuing bank or the beneficiary."  (‘the principle of the autonomy of the L/C’. Prinsip ini didasarkan pada fakta bahwa bank lebih berkepentingan atau lebih peduli dengan dokumen-dokumen, bukan denga barang-barang yang tercantum di dalamnya).

d. Hubungan Hukum antara Para Pihak dalam Transaksi L/C
Pada umumnya, para pihak yang terlibat dalam pembukaan transaksi L/C adalah:
(1) Applicant (buyer atau pembeli): adalah pihak yang meminta kepada sebuah bank untuk membuka L/C atas namanya (sebagai pembeli).
(2) Penerima (Beneficiary) adalah pihak yang disebutkan dalam L/C (sebagai penjual).
(3) Bank penerbit (Opening Bank atau issuing bank) adalah bank yang membuka atau menerbitkan L/C (Bank pembeli).
(4) Bank penerus atau Advising Bank adalah Bank yang meneruskan L/C yang diterima dari opening bank kepada beneficiary (bisa Bank penjual).

Di antara para pihak tersebut di atas, hubungan hukum yang timbul adalah sebagai berikut:
(1) Nasabah dengan Bank
Nasabah atau disebut juga pemohon dengan banknya biasanya menandantangani kesepakatan atau perjanjian tentang permintaan penerbitan L/C. Kesepakatan ini sudah barang tentu tunduk pada syarat yang ditetapkan oleh pihak bank. Dalam hal ini biasanya bank mensyaratkan adanya jaminan dari nasabahnya. Misalnya, bank mensyaratkan dokumen-dokumen pengapalan (bill of lading atau konosemen). Bank, jika menurutnya diperlukan, menahan dokumendokumen ini sampai klien telah membayar.
Di samping 4 pihak tersebut di atas, pihak-phak lain yang dapat terkait adalah:
(1) Negotiating Bank adalah Bank yang melakukan negosiasi atas draft (wesel) dan dokumen pengapalan milik seller (biasanya advising bank juga merupakan negotiating bank).
(2) Reimbursing Bank adalah Bank kepada siapa penagihan atas pengapalan barang dilakukan (bisa opening bank atau bank lain yang berfungsi sebagai imbursing bank). Penunjukan bank ini biasanya terjadi apabila antara eksportir dan importir tidak ada hubungan rekening untuk menyelesaikan pembayarannya.
(3)Confirming Bank (bank pengkonfirmasi) adalah Bank yang diminta oleh bank untuk menambahkan konfirmasi pada L/C.
(4) Pihak lainnya yang tidak langsung terlibat dalam pelaksanaan L/C, yakni: Perusahaan Pelayaran/Perkapalan; Bea dan Cukai/Pabean; Perusahaan Asuransi; Badan-badan pemeriksa (perwakilan Sucofindo); Badan-badan penelitian lainnya. (Amir M.S).

(2) Bank Penerbit dan Penerima
Bank penerbit menandatangani L/C untuk kepentingan penjual. L/C di dalamnya mengandung persyaratan dari Bank untuk membayar atau menerima atau menegosiasikan suatu bill of exchange segera setelah dokumen yang dipersyaratkan dalam kontrak dasar diperlihatkan. L/C menetapkan tanggal jatuh tempo dan tempat untuk mengajukan dokumen untuk pembayaran.
Dalam hal ini, hukum nasional negara-negara berbeda mengenai hubungan hukum antara bank penerbit dan penerima ini. Misalnya, menurut negara-negara Common Law (misalnya hukum Inggris dan Amerika Serikat), hubungan hukum antara bank penerbit dan penerima termuat dalam kontrak (kontraktual). Sedangkan menurut negara dengan sistem hukum Civil, misalnya hukum Belgia dan Belanda, hubungan hukum tersebut tampak pada kehendak tegas dari para pihak. Perbedaan dalam sistem hukum ini menjadi penting dalam praktek.
Jika prestasi bank bersifat kontraktual, maka dalam hal demikian itu prestasi tersebut harus diperlihatkan bahwa penerima telah menerima usulan tersebut. Eksportir atau penjual dapat mengajukan gugatan terhadap bank penerbit berasarkan L/C. Dalam hal ini ia berhak atas pembayaran jika ia telah memenuhi syaratsyarat dalam L/C.

(3) Bank Penerbit dan Bank Penerus
Hubungan hukum antara bank penerbit dan bank penerus seperti halnya antara seorang prinsipal dan agen. Dalam hal ini bank penerbit bertindak atas nama dan untuk bank penerbit. Jika bank penerbit telah membayar sejumlah uang kepada penerima sesuai dengan mandatnya, atau telah menerima suatu bill of exchange (wesel) yang ditarik oleh penerima, maka ia berhak atas pembayaran dari bank penerbit.

(4) Penerima dan Bank Penerus
Terhadap penerima, bank penerus seolah-olah bertindak sebagai agen dari bank penerbit. Karenanya, penerima tidak berhak untuk menggugat bank penerbit.

(5) Bank Penerbit dan Bank Pengkonfirmasi
Jika bank lain menjadi Confirming Bank (Bank Pengkonfirmasi), yakni bank yang turut menjamin pembayaran L/C, maka ia bersama-sama dengan bank penerbit bertanggung jawab untuk membayar suatu bill of exchange.

e. Pembukaan L/C
1). Aplikasi (Application)
Segera setelah penjual dan pembeli menandatangani kontrak penjualan. Dalam kontrak tersebut memuat kesepakatan bahwa transaksi akan diselesaikan dengan Letter of Credit (L/C), maka pembeli akan meminta kepada banknya untuk membuka L/C. Data-data yang harus tercantum dalam formulir aplikasi
terdiri dari:
(1) Nama dan alamat Beneficiary;
(2) Nama dan alamat pembeli/pemohon;
(3) Nilai L/C yang dibuka dengan shipping terms yang telah disetujui (FOB/CIF/C&F);
(4) Jenis L/C (Revocable/Irrevocable);
(5) Syarat pembayaran (Sight/Usance);
(6) Uraian barang;
(7) Dokumen-dokumen yang diperlukan, baik jenis maupun jumlahnya;
(8) Masa berlakunya L/C (Validity of the Credit) dengan menetapkan “expire date”;
(9) Tanggal pengapalan terakhir;
(10) Pelabuhan bongkar muat;
(11) Persyaratan barang yang harus dikirim oleh penjual;
(12) Ketentuan-ketentuan khusus yang diperlukan (misalnya: boleh tidaknya penggantian kapal; atau boleh tidaknya pengapalan sebagian);
(13) Cara penyampaian L/C lewat surat atau teleks, dan sebagainya.

2) Pembukaan/Penerbitan L/C (Opening/Issuing of the Credit)
Atas dasar aplikasi pembukaan L/C yang telah disetujui, bank penerbit membuka dan menerbitkan L/C yang ditujukan kepada penerima, yang isinya sesuai benar dengan apa yang telah tercantum pada formulir aplikasi. Ketentuan-ketentuan yg ditambahkan oleh bank penerbit tersebut umumnya terdiri dari:
(1) Syarat pengapalan, seperti: larangan terhadap penggunaan kapal-kapal berbendera negara tertentu;
(2) jangka waktu penyerahan dokumen;
(3) ketentuan-ketentuan tentang endorsement terhadap dokumen-dokumen yang negotiable seperti B/L, Draft dan sebagainya;
(4) reimbursement instruction (perintah kepada negotiating bank untuk penagihan terhadapnya);
(5) ketentuan pengiriman dokumen, ke mana dan berapa kali pengiriman,.

3) Syarat-syarat L/C
L/C yang dibuka oleh suatu bank harus memenuhi syarat-syarat umum yaitu:
(1) Menyebutkan nama dan alamat penerima dan pemohon dengan jelas;
(2) Menyebutkan masa berlakunya L/C;
(3) mencantumkan nama bank penerus (advising bank) yang dituju;
(4) Mencantumkan dengan tegas jenis L/C;
(5) Uraian barang harus jelas dan tegas;
(6) Ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat dalam L/C harus jelas tidak berbelit-belit dan tidak mensyaratkan hal-hal yang tidak mungkin dipenuhi oleh penerima (beneficiary); dan
(7) Menyatakan bahwa L/C tunduk pada UCPDC dengan mencantumkan klausul yang berbunyi: “This credit is subject to Uniform Costums and Practice for Documentary Credit 1993 revision, ICC Publication 500.”

f. Aturan Hukum Yang Berlaku (Applicable Rules)
Kredit berdokumen digunakan untuk membiayai transaksi perdagangan internasional. Karena itu masalah hukum apa yang akan mengaturnya merupakan salah satu persoalan yang penting. Di samping itu, ada juga negara-negara yang mengeluarkan hukumnya sendiri guna mengatur Kredit Dokumenter. Dalam hal demikian, dapat saja antara hukum nasional suatu negara akan menjadi konflik dengan hukum nasional negara lainnya.
Guna mencegah agar konflik tersebut tidak menjadi hambatan bagi perdagangan internasional, suatu pemecahan atau jalan keluar perlu ditempuh. Salah satu pemecahan yang acapkali ditempuh adalah dengan mengacu kepada prinsip-prinsip hukum perdata internasional yang relevan dalam mengatur L/C.
Ada juga keinginan agar hukum yang mengatur kredit berdokumen itu tercipta adanya suatu keseragaman hukum. Salah satu upaya ke arah unifikasi hukum tersebut adalah lahirnya UCP oleh ICC.
Berdasarkan uraian di atas, aturan hukum yang mengatur kredit berdokumen ini adalah: (1) Ketentuan-ketentuan Hukum Perdata Internasional; dan (2) The Uniform Customs and Practice (UCP).

(1) Hukum Perdata Internasional
Hukum yang berlaku terhadap L/C sebenarnya harus dibedakan dengan hukum yang berlaku terhadap kontrak induk (yakni kontrak penjualan yang menjadi dasar lahirnya L/C). Menurut van Houtte, prinsip-prinsip berikut adalah yang biasanya berlaku dalam praktek:
(a) Dalam hubungan antara nasabah dan bank penerbit (the issuing bank), jika kesepakatan atau perjanjian kredit memuat klausul pilihan hukum, maka hukum yang dipilih para pihaklah yang akan berlaku terhadap kontrak. Bila tidak ada hukum yang dipilih, maka hubungan hukum antara nasabah dan bank penerbit (the issuing bank) pada umumnya diatur oleh hukum di negara di mana 'the most characteristic performance' (pelaksanaan kontrak yang paling berkarakteristik) adalah yang akan digunakan, atau di mana pihak melaksanakan performance (prestasi) berdomisi, yaitu biasanya negara di mana bank yang memberikan kredit berada;
(b) dalam hal kaitannya antara bank penerbit (the issuing bank), bank penerus (the adivising bank) dan penerima (the beneficiary), maka hukum yang berlaku adalah hukum yang dipilih mereka. Bila tidak ada hukum yang dipilih, maka hukum yang berlaku adallah hukum di negara di mana kredit tersebut dicairkan. Hal ini adalah hukum di (negara) mana penerima (beneficiary) atau penjual menerima dokumen dan menerima pembayaran, yaitu biasanya negara dari bank penerus (the adivising bank) atau
bank pengkonfirmasi (confirming bank).
(c) Jika tidak ada hukum yang dipilih oleh bank, maka hubungan antara bank penerbit (the issuing bank) dan bank penerus (the advising bank) diatur oleh hukum di mana bank penerbit (advising bank) berada (didirikan). Hal ini biasanya berlaku terhadap hubungan antara bank penerus (the advising bank) dan penerima (the beneficiary). Sulit untuk diterima bila sistem hukum yang berbeda diterapkan terhadap dua aspek dari satu atau transaksi yang sama.

 (2) Uniform Customs and Practice
International Chamber of Commerce (ICC) yaitu Kamar Dagang International telah menerbitkan ketentuan mengenai kredit berdokumen. Ketentuan tersebut yakni Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCPDC). Aturan-aturan yang termuat di dalamnya merupakan kodifikasi dari praktek-praktek perdagangan internasional dan praktek perbankan. ICC untuk pertama kali menerbitkan UCP pada tahun 1933. UCP mengalami beberapa kali revisi. Revisi dilakukan pada tahun 1951, 1962, 1974, 1983 dan terakhir 1993 (UCP DC No 500 tahun 1993 yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 1994). Revisi ini dilakukan untuk mengakomodasi perkembangan teknologi, perkembangan teknik dan perkembangan di bidang pengangkutan. Dalam pelaksanaan Kredit Dokumenter, bank-bank pada umumnya di lebih dari 170 negara telah menundukkan diri kepada UCP. Dalam dokumen L/C mereka mencantumkan klausul berbunyi: "This credit is subject to Uniform Custems and practice for Documentary Credit, ICC Publication No 500 1993 Revision."
UCP 500 memuat ketentuan-ketentuan dan penjelasan-penjelasan tentang Kredit Dokumenter (L/C). UCP terdiri dari 49 pasal, yang dikelompokkan ke dalam sub bagian berikut:
A. General provisions and definitions
B. Form and notification of credits
C. Liabilities and responsibilities
D. Documents
E. Miscellaneuous provisions
F. Transferable credits
G. Assignment of proceeds.
Aturan-turan UCP sifat atau kekuatan hukumnya semata-mata mengatur. Kesepakatan para pihak masih tetap berlaku. Bahkan kesepakatan para pihak dapat mengenyampingkan beberapa aturan ketentuan dari UCP. Hal ini dapat terjadi manakala mereka beranggapan bahwa aturan tertentu dari UCP tidak sesuai dengan keinginan mereka. Meskipun UCP telah diimplementasikan di banyak negara, UCP sendiri memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut:
(1) UCP pada prinsipnya akan berlaku hanya atau sepanjang bank penerbit mencantumkan atau memilih UCP secara tegas sebagai aturan yang mengatur L/C.40 Dalam kaitan ini Ellinger menyatakan bahwa:
“... it would appear advisable to regard the Code ... as being applicable by reason of its incorporation in documentary credit transaction. It would, thus, constitute a contractual document and would not enjoy the status of a set of norms consecreated by usage.”
(2) UCP tidak mengatur masalah penipuan dalam transaksi L/C. Menurut Ginting, unsur penipuan ini merupakan alasan hukum bagi bank penerbit atau kuasanya untuk menolak melakukan pembayaran L/C kepada penerima meskipun semua dokumen yang disyaratkan sesuai dengan persyaratan.
(3) UCP tidak memuat aturan mengenai pilihan hukum. Disebutkan di atas, bahwa negara-negara pun kadang kala memiliki aturan hukum nasional yang mengatur kredit berdokumen. Dalam hal terjadinya konflik hukum, UCP tidak memuat aturan tegas mengenai penyelesaiannya.

g. Klasifikasi L/C
(1). Jenis-jenis L/C.
(1) Revocable L/C
Jenis L/C dapat berupa Irrevocable L/C dan Revocable L/C. Menurut UCP, para pihak harus menegaska apakah suatu L/C adalah Revocable atau Irrevocable. Revocable L/C adalah L/C yang dapat diubah atau dibatalkan oleh penerbit secara sepihak tanpa persetujuan dari pihak penerima. Pasal 8 UCP menyatakan: “A revocable credit may be amended or cancelled by the Issuing Bank at any moment and
without prior notice to the Beneficiary.”
Dalam hal ini, kedudukan penerima lemah. Ia menanggung resiko yang tidak ringan. Hal ini antara lain karena sifatnya, maka L/C tersebut tiba-tiba dibatalkan atau diubah oleh penerbit. Namun demikian UCP tetap melindungi penerima (bank penerima) yang beritikad baik. Bank penerima (negotiating bank) yang telah membayar L/C kepada penerima sebelum ia diberitahu adanya pembatalan sepihak dari penerbit, ia tetap berhak atas pembayaran dari penerbit. Pembayaran L/C dapat dilakukan dengan cara pembayaran secara unjuk (sight payment), akseptasi (acceptance), negosiasi (negotiation), dan pembayaan kemudian (deferred payment). Pasal 8 UCP menyatakan:
“...the Issuing Bank must:
i. reimburse another bank with which revocable Credit has been made available for sight payment, acceptance or negotiation – for any payment, acceptance or negotiation made by such bank – prior to receipt by it of notice of amendment or cancellation against documents which appear on their face to be in compliance with the terms and conditions of the Credit;
ii. reimburse another bank with which a revocable Credit has been made available for deferred payment, if such a bank has, prior to receipt by it of notice of amndment or cancellation, taken up documents which appear on their face to be in compliance with the terms and conditions of the Credit.

(2) Irrevocable L/C
Disebutkan di atas bahwa para pihak harus menegaskan jenis L/C-nya. Dalam hal tidak ada penegasan tersebut, maka suatu L/C dianggap sebagai Irrevocable L/C.46 Contoh klausul Irrevocable L/C memuat ketentuan atau bunyi klausul berikut:
We undertake to honour such drafts on presentation provided that they are drawn and presented in conformity with the terms of this credit.”
Irrevocable L/C adalah L/C yang tidak dapat dibatalkan atau diubah secara sepihak tanpa persetujuan dari pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi L/C yaitu penerima dan bank penerbit. Kedudukan penerima lebih terjamin dari risiko. Tiap-tiap perubahan harus ada persetujuannya. Karena sifatnya yang tidak dapat diubah secara sepihak, maka jenis L/C ini yang paling banyak disukai oleh penerima dan bank (bank penerima yang menyediakan kredit ekspor).

 (3) Irrevocable Confirmed L/C
Jenis L/C adalah Irrevocable apabila L/C tersebut mendapatkan konfirmasi sebuah bank pengkonfirmasi (Confirming Bank). Dalam hal ini bank pengkonfirmasi turut menjamin kewajiban bank penerbit dengan memberikan konfirmassi atau janjinya untuk membayar L/C. Tampak bahwa jenis L/C ini memberi kepastian jaminan kepada penerima. Jika bank penerbit tidak melakukan pembayaran atas barang yang dikapalkan, maka bank pengkonfirmasi akan membayar barang yang telah dikapalkan.
Permintaan demikian demikian biasanya dituliskan dengan kata-kata sebagai berikut dalam L/C: “Please advice beneficiary with adding your confirmation”. Yang dapat menjadi bank pengkonfirmasi bisa bank penerus atau bank lain yang diminta oleh bank penerbit. Dengan adanya permohonan korfirmasi tersebut, dan jika bank yang diminta confirm L/C tersebut menyepakatinya, maka ia akan menambahkan
konfirmasinya dalam L/C, sebelum L/C diserahkan kepada penerima.

(4) Sight (Payment) L/C
Jenis Sight L/C (Payment L/C) adalah L/C yang pembayaranya dilakukan secara tunai segera setelah dokumen-dokumen yang disyaratkan diajukan atau diserahkan. Setelah penerima mengapalkan barang, maka dia dapat langsung minta pembayaran kepada negotiating bank dengan menyerahkan dokoumen-dokumen pengapalan yang diperlukan disertai dengan wesel/draf-nya. Atas pembayaran yang dilakukan, maka bank penegosiasi (negotiating bank) segera melakukan penagihan/reimbursement kepada bank penerbit (opening/issuing bank). Bank penerbit akan segera pula melakukan pembayaran pada saat menerima dokumen-dokumen tersebut.

(5) Acceptance L/C
Jenis Acceptance L/C atau L/C berjangka adalah L/C yang pembayarannya dilakukan pada suatu jangka waktu tertentu setelah wesel diunjukan atau setelah barang dikapalkan. Acceptance L/C merupakan pemberian kredit kepada pembeli oleh penjual sebab pembeli di luar negeri akan menerima barang-barang tanpa melakukan pembayaran pada saat yang sama melainkan pada jangka waktu tertentu sesuai dengan yang ditetapkan dalam L/C.

2. Bentuk Khusus Kredit Berdokumen
(1) Standby L/C
Jenis Standby L/C lebih dikenal sebagai alat atau sarana penjamin. Jenis L/C ini acapkali disebut pula sebagai Guarantee L/C. Jenis ini cenderung digunakan di wilayah suatu negara di mana isu jaminan itu tidak dimungkinkan atau tidak dibolehkan. Jenis L/C ini dimaksudkan untuk melindungi penerima jika pihak lainnya wanresptasi (berdasarkan kontrak). Menurut Ginting, jenis L/C ini adalah “bahwa bank penerbit bersiap-siap untuk melaksanakan kewajibannya dalam hal pemohon wanprestasi.”
Perlu pula dinyatakan di sini bahwa Standby L/C dalam hal tertentu berbeda dengan bank guarantee (garansi bank). Perbedaan tersebut Standby L/C merupakan kewajiban utama dari bank penerbit. Yang membedakan jenis L/C ini dengan jaminan bank adalah bahwa Standby L/C tunduk pada UCP. Sedangkan Bank garansi tunduk pada hukum nasional. Di samping itu, dalam hal adanya default (non-performance), pencairan dana langsung dilaksanakan oleh Bank berdasarkan klaim yang diterima. Sedangkan pada bank garansi, bank penerbit garansi bank baru mencairkan dana atau membayar penerima (beneficiary) setelah berhasil dibuktikan adanya default (non performance).

 (2) Transferable L/C
Transferable L/C adalah jenis L/C yang dapat dialihkan dari penerima I kepada satu atau lebih penerima lainnya. Kredit yang dialihkan dapat seluruh atau sebagiannya. Dalam hal ini penerima 1 hanya dapat mengajukan permohonan. Ia tidak dapat memerintah bank-nya untuk mengalihkan kredit. Keputusan untuk mengahlihkan atau tidak tetap berada pada keputusan bank penerus (atau bank pengkonfirmasi).
Jenis L/C ini diatur dalam pasal 48 UCP. Pasal ini menyatakan:
A transferable Credit is a Credit under which the Beneficiary (First Beneficiary) may request the bank
authorised to pay, incur a deferred payment undertaking, accept or negotiate (the “Transferring Bank” or in the case of a freely negotiable Credit, the bank specifically authorised in the Credit as a Transferring Bank, to make the Credit available in whole or in part to one or more other Beneficiary(ies) (Second Beneficiary(ies)).”

 (3) Back to Back L/C
Back to Back L/C adalah L/C yang dibuka oleh penerima I dari sebuah L/C kepada penerima lainnya. Di dalam jenis ini, transaksi L/C melibatkan dua L/C, L/C induk (Master L/C) dan L/C anak (Baby L/C). Dalam L/C back to Back penerima I semata-mata bertindak sebagai pemohon. Ia bertanggung jawab penuh terhadap pembayarannya kepada penerima II. Kewajiban penerima II adalah memenuhi ketentuan-ketentuan sesuai dengan yang ditetapkan dalam Back to Back L/C, tanpa melihat syarat dan ketentuan yang ada pada L/C induknya (Master L/C).
L/C induk dan L/C anak masing-masing terpisah, meskipun persyaratannya sama. Yang berbeda adalah nilai L/C dan tanggal jatuh tempo L/C. L/C induk lainnya relatif lebih besar daripada L/C anak. L/C Induk memiliki jatuh tempo yang lebih lama dibandingkan jatuh tempo L/C anak. Jenis L/C ini lebih banyak digunakan jika kredit yang ditransfer tidak dapat digunakan karena berbagai alasan. Misalnya adanya perbedaan dalam nilai mata uang pembelian dan nilai mata uang penjualan barang dan dokumen-dokumen pengapalan barang yang harus diubah atau diganti.

(4) Revolving L/C
Revolving L/C adalah L/C yang secara otomatis berlaku secara berulang-ulang oleh penerima dalam jumlah tertentu selama jangka waktu tertentu, tanpa harus memasukkan permohonan penerbitan L/C baru atau memohon perubahan terhadap L/C. Revolving L/C dapat bersifat Kummulatif atau Non-kummulatif. Dalam hal Revolving L/C kumulatif, bila nilai L/C tidak direalisasi seluruhnya, maka sisa nilai L/C tersebut akan ditambahkan dengan nilai L/C semula untuk pengapalan periode berikutnya. Dalam hal Non-kummulatif, sisa L/C yang tidak direalisasi dihapus, dan untuk masa berlaku/ periode berikutnya adalah sebesar nilai L/C semula.

(5) Red Clause L/C
Red Clause L/C adalah jenis L/C yang dibayar di muka setelah terpenuhinya syarat-syarat tertentu. Misalnya, dengan diperlihatkannya tanda terima yang sederhana (yang ada), invoice dan dokumen pengapalan. Nilai pembayaran di muka ini dinyatakan dalam L/C. misalnya, 30 % atau 40 % dari nilai barang. Jenis L/C ini memuat klausul khusus yang memberi wewenang kepada bank penerus (advising bank) untuk melakukan pembayaran sejumlah uang muka kepada penerima sebelum dokumen-dokumen diserahkan atau pun sebelum barang dikapalkan. Klausul Red Clause yang dicantumkan dan dicetak dgn “warna merah” (red clause) yg isinya memungkinkan penerima menarik pembayaran L/C di muka.

C. Penutup
Dari uraian di atas dapat dikemukakan beberapa catatan berikut:
(1) Kredit berdokumen (L/C) merupakan salah satu instrumen pembayaran yang lahir dari praktek kebiasaan yang sangat dibutuhkan oleh para pihak (penjual dan pembeli).
(2) Kredit berdokumen merupakan salah satu instrumen yang lahir karena peran perbankan dalam memfasilitasi transaksi perdagangan internasional. Peran inilah yang menjadikan indikasi mengapa dalam hukum perdagangan internasional bank dipandang pula sebagai salah satu subyek hukum yang cukup penting.
(3) Sebagai sarana pembayaran, salah satu keunikan dari L/C ini adalah sifatnya yang independen atau terlepas dari kontrak penjualan. Dengan sifatnya ini, ketidakabsahan suatu kontrak penjualan tidak mengakibatkan tidak sahnya pembayaran yang dilakukan melalui L/C.
(4) Yang dapat menjadi masalah dalam L/C ini adalah kekuatan hukumnya, khususnya aturan-aturan L/C yang tercantum dalam UCPDC (UCP). UCP pun sebenarnya adalah instrumen hukum yang lahir karena kebiasaan dagang. Kebiasaan dagang yang dilakukan terus menerus dan kemudian adanya perasaan atau anggapan bahwa kebiasaan tersebut mengikat, maka sebenarnya kebiasaan tersebut adalah hukum. Namun khusus untuk UCP ini, meskipun hukum, tetapi masih perlu adanya penegasan dari para pihak untuk menundukkan dirinya secara tegas pada UCP.
(5) Yang mungkin dapat pula menjadi masalah adalah bagaimana posisi badan peradilan terhadap penundukan diri para pihak terhadap UCP. Sesuai dengan prinsip hukum perdagangan internasional, khususnya prinsip kebebasan para pihak, maka seyogyanyalah badan peradilan menghormati kehendak para pihak tersebut terhadap aturan-aturan UCP yang mengikat mereka.

BAB VI
E-COMMERCE MENURUT UNCITRAL MODEL LAW ON ELECTRONIC
COMMERCE 1996
A. Pengantar
Perkembangan perdagangan internasional tidak akan pernah terlepas dari perkembangan teknologi. Karenanya dalam upaya bangsa-bangsa mencapai kemakmuran, teknologi tidak terlepas dari upaya tersebut. Perkembangan aturan-aturan perdagangan juga tidak terlepas dari pengaruh perkembangan teknologi. Pengaruh tersebut dewasa ini semakin nyata dengan lahirnya e-commerce (electronic commerce). Perkembangan ini cukup signifikan antara lain tampak dari kuantitas transaksi melalui sarana ini. John Nielson, salah seorang pimpinan perusahaan Microsoft, menyatakan bahwa dalam kurun waktu 30 tahun, 30 % dari transaksi penjualan kepada konsumen akan dilakukan melalui e-commerce. Batasan e-commerce adalah transaksi-transaksi dalam perdagangan internasional yang dilakukan melalui pertukaran data elektronik dan cara-cara komunikasi lainnya. Pertukaran data elektronik tersebut dilakukan melalui berbagai teknologi. Salah satunya adalah melalui electronic data interchange (EDI). Perkembangan e-commerce mulai berkembang secara signifikan ketika internet mulai diperkenalkan. Perkembangan internet ini mendorong transaksi-transaksi perdagangan internasional semakin cepat. Dengan internet batas-batas wilayah negara dalam melakukan transkasi dagang menjadi tidak lagi signifikan. Praktek perdagangan melalui internet digambarkan juga sebagai 'final frontiers of commerce' pada abad ke-21 ini. Transaksi melalui e-commerce ini memiliki beberapa cirri berikut:
(1) transaksi secara e-commerce memungkinkan para pihak memasuki pasar global secara cepat tanpa dirintangi oleh batas-batas negara;
(2) transaksi secara e-commerce memungkinkan para pihak berhubungan tanpa mengenal satu sama lainnya;
(3) transaksi melalui e-commerce sangat bergantung pada sarana (teknologi) yang keandalannya kurang dijamin. Karena itu transaksi secara e-commerce ini keamanannya belum atau tidak begitu dapat diandalkan.
Transaksi melalui e-commerce memiliki beberapa keuntungan:
(1) transaksi dagang menjadi lebih efektif dan cepat;
(2) transaksi dagang menjadi lebih efisien, produktif dan bersaing;
(3) lebih memberi kecepatan dan ketepatan kepada konsumen;
(4) mengurangi biaya administratif;
(5) memperkecil masalah-masalah sebagai akibat perbedaan budaya, bahasa dan praktek perdagangan;
(6) meningkatkan pendistribusian logistik; dan
(7) Memungkinkan perusahaan-perusahaan kecil untuk menjual produknya secara global.

B. Masalah Hukum: Pengawasan
Meningkatnya transaksi-transaksi dagang melalui e-commerce ternyata juga telah melahirkan berbagai masalah lain dalam hukum perdagangan internasional. Masalah ini timbul mengingat transaksi secara e-commerce adalah praktik baru di bidang perdagangan dan berkembang progresif. Sedangkan aturan-aturan hukum dibuat untuk mengatur hal-hal atau hubungan-hubungan hukum yang sedang atau telah terjadi sehingga sifatnya agak statis. Masalah utamanya adalah apakah ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan hukum yang ada dapat mengakomodasi lahirnya transaksi-transkasi yang dilahirkan melalui media e-commerce ini yang sifatnya transnasional ini.
Di samping itu masalah lain yang juga penting adalah apakah peraturan hukum perdagangan inernasional yang ada sekarang dapat memberi perlindungan atau keseimbangan pengaturan antara pengusaha, konsumen dan pemerintah. Secara khusus masalah-masalah tersebut dapat diuraikan lebih lanjut menjadi masalah-maalah berikut:
a.       masalah pembuktian mengenai data-data yang terdapat dalam e-commerce;
b.      masalah keabsahan suatu kontrak dan bentuk kontrak e-commerce ini, khususnya mengenai pembuktian orisinalitas data (originality); syarat tertulis (writing); dan masalah tanda tangan (signature);
c.       masalah kapan kata sepakat telah terjadi dalam transaksitransaksi yang dilakukan secara e-commerce;
d.      masalah pengesahan, pengakuan penerimaan, penyimpanan data elektronik;
e.       masalah hilangnya wewenang bank sentral untuk mengawasi nilai tukar mata uang dan penerimaan pemerintah dari transaksitransaksi dagang yang dikeluarkan secara elektronik; dan
f.       masalah rintangan-rintangan (perdagangan) dari adanya kebijakan-kebijakan (perdagangan) negara yang mengakibatkan transaksi-transaksi e-commerce ini menjadi tidak lancar (terganggu).
Negara-negara di dunia menjadi semakin sadar tentang masalah-masalah yang lahir dari transaksi-transaksi e-commerce ini. Kekhawatiran ini tidak bisa tidak harus segera diantisipasi mengingat transaksi-transkasi e-commerce menjadi semakin meningkat sehubungan dengan meningkatnya globalisasi ekonomi dan hubungan-hubungan dagang.
Menghadapi perkembangan ini, umumnya negara-negara di dunia mengeluarkan aturan-aturan hukum nasionalnya untuk mengantisipasinya. Namun aturan hukum nasional tersebut yang cenderung berbeda dengan aturan hukum nasional negara lainnya dapat menjadi rintangan cukup serius terhadap perdagangan internasional.Sebenarnya ada cara efektif yang dapat ditempuh Negara-negara untuk membuat atau menciptakan aturan internasional di bidang e-commerce. Cara tersebut adalah membuat suatu perjanjian atau konvensi internasional yang berlaku bagi negara-negara di dunia. (Sudah barang tentu setelah menempuh cara-cara atau prosedur normal untuk terikatnya suatu perjanjian internasional terhadap suatu negara). Badan atau organisasi internasional yang berkpentingan dengan aturan internasional antara lain adalah UNCITRAL. Tetapi yang ditempuh UNCITRAL adalah justru menempuh cara yang tidak tersebut di atas, tetapi merumuskan suatu Model Law.
Sesuai dengan namanya, yaitu Model Law, aturan-aturannya tidak mengikat negara. Negara-negara bebas untuk mengikuti sepenuhnya mengikuti sebagian atau menolak Model Law tersebut. 10 Negara yang mula-mula berinisiatif menyusun aturan-aturan hukum di bidang e-commerce ini adalah Amerika Serikat yang kemudian diikuti negara-negara Eropa Barat.
Pada tahun 1996,UNCITRAL berhasil merumuskan suatu aturan hukum cukup penting yakni UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce. Tujuan dari Model Law ini adalah menggalakkan aturanaturan hukum yang seragam dalam penggunaan jaringan komputer guna transaksi-transaksi komersial. Alasan utama digunakannya instrumen Model Law tampak dalam resolusi No 51/162 tahun 1996 yang menyatakan sebagai berikut: “Convinced that the establishment of a model law facilitating the use of electronic commerce that is acceptable to States with different legal, social and economic systems, could contribute significantly to the development of harmonious international economic relations, Noting that the Model Law on Electronic Commerce was adopted by the Commission at its twenty-ninth session after consideration of the observations of Governments and interested organizations, Believing that the adoption of the Model Law on Electronic Commerce by the Commission will assist all States significantly in enhancing their legislation governing the use of alternatives to paper-based methods of communication and storage of information and in formulating such legislation where none currently exists,...”.
Dari bunyi resolusi di atas, terdapat 3 (tujuan) alas an utama pemilihan Model Law ini, yaitu:
(1) Model Law yang sifatnya dapat diterima oleh negara-negara dengan sistem hukum, sosial dan ekonomi yang berbeda. Model Law dapat pula memberi perkembangan secara signifikan terhadap perkembangan hubungan-hubungan ekonomi internasional yang harmonis;
(2) Model Law dipilih karena memang sebelumnya negara-negara (dan organisasi internasional yang berkepentingan) mengusulkan digunakannya instrumen hukum ini; dan
(3) Digunakannya Model Law dapat membantu negara-negara di dalam membuat perundangan nasionalnya di bidang e-commerce.
Sebenarnya organisasi internasional yang memperhatikan masalah hukum e-commerce ini tidak hanya UNCITRAL. Berbagai lembaga internasional yang juga menjadikan masalah (hukum) e-commerce ini dalam agendanya antara lain adalah WTO, International Telecommunication Union (ITU); World Intellectual Property Organization (WIPO); Kamar Dagang Internasional (International Chamber of Commerce atau ICC), dll.

C. UNCITRAL MODEL LAW
1. Pengantar
Majelis Umum PBB mengesahkan UNCITRAL Model Law dengan Resolusi 51/162 tanggal 16 Desember 1996. UNCITRAL Model Law ini dibentuk sebagai aturan dasar untuk mengatur keabsahan, pengakuan, dan akibat dari pesan-pesan elektronik (electronic messaging) yang didasarkan pada penggunaan komputer dalam perdagangan.
Tujuan utama atau tujuan khusus dari Model Law ini adalah:
(1) memberikan aturan-aturan mengenai e-commerce yang ditujukan kepada badan-badan legislatif nasional atau badan pembuat UU suatu negara;
(2) memberikan aturan-aturan yang besifat lebih pasti untuk transaksi-transaksi perdagangan secara elektronik.
Model Law terdiri dari 17 pasal yang terbagi ke dalam 2 bagian dan 4 Bab. Bagian I Bab 1 memuat ketentuan umum. Bab 2 mengatur penerapan persyaratan-persyaratan hukum terhadap pesan data. Bab 3 mengatur komunikasi pesan data. Bagian II mengatur e-commerce dalam bidang-bidang khusus. Bagian II ini hanya terdiri dari 1 bab saja, yaitu bab mengenai pengangkutan barang.
Maksud "pesan data elektronik (electronic data message) adalah pengiriman dan penerimaan dan penyimpananan informasi melalui cara-cara elektronik, optik atau cara-cara lainnya seperti EDI, electronic mail, telegram, telex atau telecopy. (Dalam tulisan ini selanjutnya, penggunaan data elektronik dan pesan data mempunyai pengertian yang sama).
Sedangkan kata perdagangan (commerce) mengandung pengertian luas, yakni semua hubungan yang bersifat komersial. Hubungan-hubungan tersebut dapat lahir karena adanya hubungan-hubungan yang bersifat kontraktual atau bukan. Lebih lanjut Model Law memberikan ilustrasi hubungan-hubungan komersial (dagang) yang luas tersebut, yakni: “Relationships of a commercial nature include, but are not limited to, the following transactions: any trade transaction for the supply or exchange of goods or services; distribution agreement; commercial representation or agency; factoring; leasing; construction of works; consulting; engineering; licensing; investment; financing; banking; insurance; exploitation agreement or concession; joint venture and other forms of industrial or business cooperation; carriage of goods or passengers by air, sea, rail or road.”
Model Law mensyaratkan penafsiran secara itikad baik terhadap aturan-aturannya. Penafsiran tersebut harus sesuai dengan:
(1) prinsip hukum internasional tentang penafsiran;
(2) kebutuhan-kebutuhan khusus untuk memajukan keseragaman dalam penerapannya.
Dalam mengesahkan Model Law ini, para pihak dapat mengubah atau menyesuaikan aturan-aturan muatan Model Law berdasarkan kesepakatan, sesuai dengan kebutuhannya, terutama Bab II dan III. UNCITRAL Model Law memuat dua prinsip pendekatan penting yang menjadi landasan pengaturannya. Dua prinsip pendekatan tersebut adalah (i) functional equivalence approach; dan (ii) technology neutrality approach. Maksud functional equivalence approach (pendekatan yang secara fungsinya sama) adalah bahwa dokumen dan komunikasi-komunikasi elektronik memiliki fungsi dan tujuan yang sama seperti halnya dokumen-dokumen kertas dan komunikasi.
Maksud technology neutrality approach (pendekatan kenetralan suatu teknologi) berarti bahwa suatu komunikasi elektronik diperlakukan sama terhadap teknologi komunikasi elektronik lainnya. Dengan demikian persyaratan-persyaratan umum untuk dianggap sebagai teknologi berlaku secara umum.
Pada intinya muatan UNCITRAL Model Law memuat ketentuan-ketentuan umum berikut:
(1) suatu data elektronik seperti halnya dokumen-dokumen hokum lainnya harus mengikat secara hukum;
(2) suatu data elektronik dapat berisikan informasi yang dapat digunakan sebagai referensi;
(3) suata data elektronik adalah suatu tulisan untuk tujuan hukum, apabila dapat diakses sebagai referensi di kemudian hari;
(4) suatu data elektronik mencakup suatu tanda tangan, apabila dapat diidentifikasi orang yang mengirim pesan tersebut dan indikasi bahwa orang tersebut telah menyetujui informasi dalam data tersebut;
(5) suatu data elektronik merupakan suatu dokumen asli (original) apabila informasi yang dikandung dapat secara terpercaya dipertahankan dalam bentuk aslinya; dan
(6) suatu pertukaran data elektronik dapat menimbulkan suatu penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance) dan karenanya membentuk suatu kontrak yang sah.

2. Penerapan Persyaratan Hukum Terhadap Pesan Data
Bab 2 Model Law diawali dengan judul ‘Penerapan Persyaratan Hukum terhadap Pesan Data.’ Bab ini diawali dengan pasal 5 yang juga dianggap sebagai inti dari Model Law. Pasal ini mengakui akibat hukum, keabsahan dan dapat dipaksanakannya informasi dalam bentuk pesan/data elektronik (electronic message) yang digunakan dalam transaksi-transaksi dagang. Model Law meletakkan aturan-aturan hukum mengenai kapan suatu pesan data elektronik (electornic data messages) memenuhi persyaratan hukum mengenai syarat "tertulis", tanda tangan atau keasliannya (original). Ketiga syarat ini termuat dalam pasal 6-8 Model Law. Dan ketiga pasal tersebut harus dibaca bersama-sama (satu kesatuan). Maksud dari pengaturan-pengaturan ini adalah untuk memecahkan masalah pembuktian, khususnya bukti-bukti dokumen atau persyaratan dokumen asli dalam sistem hukum di dunia. Model Law mengakui atau memperbolehkan dokumen-dokumen elektronik ini sbg bukti yg diakui keabsahannya (menurut hukum).

a. Syarat Tertulis
Persyaratan hukum tertulis terpenuhi oleh adanya pesan data ini apabila informasi yang terkandung di dalamnya dapat diakses ("accessible") setiap saat. Selain itu pula, pesan data tersebut selanjutnya atau dapat digunakan dan dirujuk sebagai referensi (bahan acuan) selanjutnya.

b. Syarat Tanda Tangan
Persyaratan tanda tangan terpenuhi oleh adanya pesan data apabila:
(1) si pembuat (originator) dapat mengenali informasi yang terdapat di dalamnya oleh suatu metode tertentu; dan Pasal 5 UNCITRAL Model Law.
(2) Metoda tertentu tersebut dapat diandalkan dan layak untuk dapat mengetahui pesan data tersebut.

c. Syarat Keaslian
Persyaratan hukum dari presentasi (penampilan) atau penyimpanan suatu informasi dalam bentuk aslinya terpenuhi pada suatu pesan data, apabila:
(1) Terdapat jaminan mengenai integritas informasi pada waktu pertama kali dituangkan dalam bentuk akhir sebagai suatu pesan data; dan
(2) informasi dapat ditampilkan kepada suatu pihak yang disyaratkan untuk ditampilkan terhadapnya. Integritas suatu informasi ditentukan berdasarkan pada sifat pesan data tersebut yaitu, bahwa informasi tersebut tetap atau tidak berubah. Jadi di sini yang ditekankan adalah status atau kestabilan muatan dari pesan data tersebut. Model Law disini mensyaratkan bahwa pesan data atau data elektronik tersebut harus tidak dapat diubah.
Model Law melihat ke-3 syarat ini cukup sulit sebab syarat keaslian suatu ‘dokumen’ dari suatu pesan data sudah barang tentu sangat berbeda denga dokumen-dokumen asli yang pada umumnya disyaratkan untuk transaksi-transaksi tertentu, misalnya akte tanah, polis asuransi, dll. Dokumen-dokumen tertulis terakhir ini relatif agak sulit untuk dipalsukan atau diubah oleh salah satu pihak. Hal ini berbeda dengan pesan data atau data elektronik.
Oleh karena itu, pendekatan yang ditempuh oleh Model Law adalah mengenakan persyaratan minim (‘minimum requirement’), seperti tampak dalam pasal 8 tersebut di atas. Pendekatan ini dianggap juga sama sebagai ‘functional equivalent” dari suatu sifat atau tujuan dari keaslian dokumen.

3. Kekuatan Pembuktian Pesan Data
Model Law secara tegas menyatakan bahwa untuk masalah pembuktian, pengadilan nasional tidak boleh mempermasalahkan pesan data ini sebagai bukti semata-mata karena bukti tersebut terdapat dalam bentuk pesan data. Pengaturan ini tampaknya sederhana. Tetapi justru inilah yang akan menjadi masalah khususnya di negara-negara yang secara tradisional telah lama mengakui bukti-bukti konvensional yang diakui oleh sistem hukum nasionalnya. Kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan nilai-nilai dari suatu pesan data adalah:
(1) asal dari pesan data, disimpan atau dikomunikasikan;
(2) integritas dari informasi;
(3) dikenalnya si pembuat aslinya (originator);
(4) faktor-faktor lainnya yang relevan dengan informasi.

4. Penyimpanan Pesan Data
Manakala suatu informasi atau dokumen disimpan dan dibuka (ditampilkan) melalui media elektronik, Model Law meletakkan kritieria atau syarat-syarat hukum mengenai penyimpanan data (record retention) dan penampilannya (kembali). Kriteriakriteria ini adalah:
(1) informasi yang terkandung di dalamnya dapat diakses sehingga dapat digunakan untuk rujukan (referensi) selanjutnya;
(2) pesan data disimpan dalam format yang sama dengan semula, dikirim atau diterima, atau dalam bentuk yang dapat ditampilkan sehingga informasi yang akurat sejak awal, dikirim atau diterima; dan
(3) informasi tersebut disimpan guna memungkinkan atau mengidentifikasi asal mula dan tujuan dari suatu pesan data, dan tanggal dan waktu data tersebut dikirim atau diterima.

5. Komunikasi Pesan Data
Bab III menguraikan aturan-aturan mengenai masalah-masalah kontraktual yang timbul dalam penggunaan teknologi komputer dalam transaksi internasional. Maksud Bab ini sebenarnya tidak untuk mempermasalahkan hukum mengenai pembentukan suatu kontrak. Bab ini hanya menyinggung isu-isu pembentukan kontrak dan bagaimana para pihak dalam kontrak dapat mengemukakan offer dan acceptance mereka dalam kontrak melalui berbagai cara (khususnya melalui sarana elektronik).
Tujuan Bab ini adalah untuk menciptakan kepastian dalam hubungan-hubungan komersial dan kepercayaan dalam perdagangan secara elektronik. Dengan tujuan ini diharapkan perdagangan internasional dapat berkembang. Model Law bermaksud menghapus keragu-raguan yang mungkin timbul dari pengungkapan offer dan acceptance melalui sarana elektronik tersebut. Masalahnya adalah penyampaian kehendak (offer dan acceptance) tersebut tidak diungkapkan secara langsung oleh para pihak tetapi diungkapkan melalui ‘cara’ lain (yaitu komunikasi elektronik dan tidak adanya dokumen tertulis).

6. Bentuk dan Keabsahan Kontrak
Model Law mengakui prinsip otonomi para pihak (party autonomy) dan kebebasan berkontrak. Para pihak berhak untuk membuat kontrak mereka melalui offer dan acceptance yang dinyatakan oleh cara-cara elektronik. Pembuatan kontrak melalui e-commerce adalah sah dan mengikat (valid and enforceable contract). Penegasan tentang keabsahan berkontrak ini ditegaskan dalam pasal 11 ayat (1) yang berbunyi: “(1) In the context of contract formation, unless otherwise agreed by the parties, an offer and the acceptance of an offer may be expressed by means of data messages. Where a data message is used in the formation of a contract, that contract shall not be denied validity or enforceability on the sole ground that a data message was used for that purpose.
Begitu pula suatu pernyataan kehendak atau pernyataan lainnya yang dinyatakan dalam bentuk suatu pesan data oleh si pembuat (originator) dan alamat si penerima (addressee) dari suatu pesan harus mempunyai akibat hukum, keabsahan dan daya mengikatnya (enforceability).
Dilihat dari syarat-syarat yang ditetapkannya, tampak bahwa Model Law lebih cenderung mengacu kepada syarat-syarat sahnya suatu kontrak berdasarkan sistem Common Law. Berdasarkan Common Law, syarat sahnya suatu kontrak adalah:
(1) kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri. Syarat ini mencakup: “(a) adanya suatu penawaran (offer) dari pihak offeror sebagai pihak pertama; (b) adanya penyampaian penawaran tersebut kepada offeree sebagai pihak kedua; (c) adanya penerimaan penawaran oleh pihak kedua yang menyatakan kehendaknya untuk terikat pada persyaratan dalam penawaran tersebut; dan (d) adanya penyampaian penerimaan (acceptance) oleh pihak kedua kepada pihak pertama;
(2) Consideration (‘something of value’) yang dipertukarkan antara para pihak;
(3) kecakapan untuk membuat perjanjian; dan
(4) suatu obyek yang halal.”

7. Pengakuan terhadap Pesan Data
Masalah pengakuan terhadap pesan data menjadi relevan manakala timbul masalah mengenai apakah suatu pesan data benar-benar dikirim oleh si pembuat asli (originator). Untuk menjawab masalah ini Model Law memberi jawabannya dalam pasal 13. Pasal ini menyatakan bahwa suatu pesan data dianggap berasal dari orang yang membuatnya manakala:
(1) pesan data tersebut dikirim oleh: (a) pihak pembuat sendiri; (b) orang yang memiliki wewenang atau kuasa untuk bertindak atas nama pihak originator (pembuat asli) atau (c) suatu sistem informasi yang terprogram oleh atau atas nama pihak pembuat asli (originator) untuk mengoperasikannya secara otomatis;
(2) bahwa pihak penerima (addressee) sebelumnya memberikan persetujuan mengenai suatu prosedur untuk memastikan bahwa suatu pesan data berasal dari pembuat asli (originator); atau
(3) bahwa pesan data yang diterima oleh pihak penerima (addressee) berasal dari tindakan-tindakan agent dari pembuat asli yang memungkinkan agent tersebut untuk memperoleh akses terhadap suatu metoda yang digunakan oleh pihak originator untuk mengidentifikasi data-data sebagai miliknya.
Ketentuan terakhir pasal 13, yaitu ayat (6) memuat aturan mengenai duplikasi pesan data yang salah. Ayat ini meletakkan kewajiban kepada pihak penerima untuk melakukan tindakan kehati-hatian (‘standard of care’) untuk membedakan apakah suatu pesan data duplikasi yang keliru (salah) dan pesan data yang terpisah (‘separate data message’). Model Law dalam hal ini menyatakan bahwa pihak penerima (addressee) berhak untuk menduga bahwa suatu pesan data berasal/milik pemilik asli yang bermaksud untuk mengirimnya kepadanya. Pihak penerima berhak untuk memperlakukan setiap pesan data yang diterimanya sebagai suatu pesan data yang terpisah, kecuali pesan data tersebut adalah atau berupa salinan dari yang aslinya tersebut. Namun si penerima menjadi tidak berhak manakala:
(1) ia telah menerima pemberitahuan dari originator (pihak pembuat asli) bahwa pesan datanya bukan berasal darinya, dan waktu yang layak tidak digunakannya untuk pesan data; atau
(2) ia mengetahui atau seharusnya telah mengetahui dengan menggunakan tata cara dan prosedur yang disepakati bahwa: (a) pesan data tidak berasal dari pembuat asli (originator); (b) transmisi pengirim pesan data gagal; atau (c) pesan data merupakan salinan.

8. Pengakuan Penerimaan
Ketentuan mengenai pengakuan penerimaan suatu pesan data semata-mata merupakan masalah persyaratan mengenai adanya bukti bahwa offer telah diterima. Masalah ini bukan mengenai akibat hukum dari adanya penerimaan suatu pesan data (dalam hal ini adalah offer). Pihak originator dapat meminta pada saat atau sebelum mengirim suatu data atau telah setuju dengan pihak penerima (addressee), bahwa penerimaan pesan data diakuinya dan bahwa mereka masing-masing sepakat mengenai bentuk khusus atau metode tertentu untuk maksud itu. Dalam hal tidak adanya bentuk atau metode, suatu pengakuan dapat diberikan oleh setiap alat komunikasi tertentu itu, yang cukup untuk menunjukkan kepada originator bahwa pesan data telah diterima. Jika pesan data dibuat dengan persyaratan mengenai penerima pengakuan, maka pesan data dianggap tidak pernah dikirimkan sampai pengakuan telah diterima.
Dalam hal tidak adanya persyaratan atau kesepakatan yang ditentukan/disepakati, orginator yang belum menerima suatu pengakuan dapat memberikan pemberitahuan dalam jangka waktu yang layak kepada pihak penerima bahwa ia akan mengirim pemberitahuan kepada pihak penerima. Dan dengan memberikan jangka waktu yang layak, ia mengharapkan penerimaan pengakuan dari penerima. Kelalaian untuk memenuhi jangka waktu ini akan dianggap bahwa pesan data dianggap belum pernah dikirim oleh pihak originator.
Dalam hal suatu pengakuan diterima oleh pihak originator, asumsinya adalah bahwa pesan data diterima oleh pihak penerima. Apabila pengakuan menunjukkan bahwa pesan data diterima telah memenuhi standar atau persyaratan teknis yang berlaku, asumsinya adalah bahwa standar dan persyaratan-persyaratan tersebut telah terpenuhi.

9. Waktu dan Tempat Pengiriman dan Penerimaan Pesan Data
Model Law mengangkat masalah waktu dan tempat pengiriman dan penerimaan pesan data ini dalam pasal 15. Diaturnya masalah ini sebab transaksi-transaksi melalui elektronik ini sangatlah sulit untuk menentukan kapan secara pasti mengenai di mana dan kapan salah satu pihak telah menerima suatu pesan data. Seperti kita maklumi dalam sistem hukum pada umumnya, termasuk RI, kapan terjadinya kesepakatan dan dimana kesepakatan terjadi adalah faktor-faktor yang relevan yang dapat mempengaruhi
terjadinya suatu perikatan.
Kesulitan transaksi melalui elektronik ini adalah bahwa salah satu pihak tidak tahu di mana pihak lainnya berada. Apa yang diupayakan oleh Model Law di sini adalah bahwa lokasi di mana sistem informasi berada tidaklah relevan. Model Law hanya menyatakan bahwa kriteria obyektif untuk menentukan tempat adalah tempat usaha para pihak. Oleh karena itu ketentuan pasal mengenai waktu dan tempat tidak menjadi acuan bagi pengaturan dalam hokum perdata internasional.
Menurut pasal 15 Model Law, suatu pesan data dianggap telah dikirim ketika pesan data tersebut memasuki suatu sistem informasi di luar kontrol dari originator atau agen yang disepakati untuk bertindak atas namanya. Waktu penerimaan suatu pesan data terjadi karena keadaan-keadaan berikut:
(1) Segera setelah pesan data memasuki suatu sistem informasi yang dibuat/ditetapkan oleh pihak penerima (addressee) untuk maksud menerima pesan data tersebut;
(2) Jika pesan data dikirim kepada suatu sistem informasi dari pihak penerima yang tidak dibuat/ditetapkan untuk maksud itu, maka penerimaan suatu pesan data terjadi segera setelah pesan data dibuka (retrieved) olehnya; dan
(3) Jika tidak ada sistem informasi yang dibuat/ditetapkan oleh pihak penerima, maka waktu penerimaan pesan data terjadi segera setelah pesan data memasuki sistem informasi dari pihak penerima.
Aturan-aturan ini berlaku meski lokasi dari sistem informasi dan tempat di mana pesan data tersebut yang akan diterima ternyata berbeda. Tempat pengiriman dan penerimaan pesan data adalah tempat usaha dari pihak originator dan juga si penerima (addressee).
Dalam hal terdapat lebih dari satu tempat usaha (place of business), tempat usaha adalah tempat yang memiliki hubungan terdekat (closest link) dengan transaksi yang bersangkutan. Dalam hal tidak ada hubungan terdekat tersebut, maka tempat usahanyaadalah tempat usaha pokoknya (the principal place of business). Dalam hal tidak adanya tempat usaha, maka pengiriman dan penerimaan suatu pesan data akan berlangsung di tempat kediaman biasanya (their habitual residence). Namun demikian baik pihak originator dan pihak penerima (addressee) dapat menyepakati untuk membuat aturan-aturan tersendiri bagi mereka. Para pihak tidak perlu untuk menetapkan kriteria-kriteria tersebut di atas.

10. Bagian II: Obyek Tertentu: Pengiriman Barang
Bagian I Model Law di atas memuat aturan-aturan umum dari e-commerce. Dalam bagian kedua sekarang ini, Model Law memuat aturan-aturan khusus mengenai pengiriman barang yang dilakukan melalui pesan data melalui sistem komunikasi computer (elektronik). Informasi yang dikomputerkan dapat digunakan dalam hubungannya dengan suatu kontrak pengiriman barang dan dokumen-dokumen pengangkutan terkait. Perlu ditekankan di sini bahwa bagian dua ini sifatnya tidaklah eksklusif atau berdiri sendiri. Aturan dalam bagian I, khususnya aturan-aturan mengenai persyaratan tertulis, tanda tangan dan keaslian suatu ‘dokumen’ (pasal 6 – 8 Model Law) juga berlaku terhadap bagian II ini.
Pasal 16 memuat daftar mengenai hal-hal pesan data secara elektronik (electronic data message) yang dapat berlaku. Daftar tersebut adalah:
(1) pemberian tanda, angka, jumlah dan berat barang;
(2) memuat sifat atau nilai barang;
(3) penerbitan surat penerimaan untuk barang;
(4) perintah kepada kapal pengangkut;
(5) klaim pengiriman barang;
(6) perintah/kuasa untuk melepaskan barang
(7) memuat pemberitahuan mengenai hilang atau kerusakan terhadap barang;
(8) memberikan pemberitahuan lainnya mengenai pelaksanaan kontrak;
(9) upaya untuk mengirim barang kepada orang yang telah ditentukan atau seseorang yang mengklaim pengiriman; dan
(10) hal-hal lain yang terkait dengan hak atas barang, hak dan kewajiban berdasarkan kontrak.

11. Dokumen Pengangkutan (Bill of Lading)
Pasal 17 memuat aturan-aturan untuk memfasilitasi penggunaan bill of lading elektronis yang dapat digunakan untuk moda-moda pengangkutan lainnya di samping pengangkutan laut. Termasuk di dalamnya moda angkutan melalui jalan raya, kereta api, dan pengangkutan udara. Persyaratan hukum mengenai syarat tertulis dan penggunaan suatu dokumen kertas, dapat terpenuhi dengan penggunaan satu atau lebih pesan data. Model Law hanya mensyaratkan bahwa metode atau cara pengiriman pesan data tersebut dapat diandalkan. Model Law mengakui dokumen-dokumen pengangkutan secara elektronik ini. Dalam Model Law ternyata yang menjadi aturan-aturan khusus di sini baru atau hanya dokumen pengangkutan (laut, darat, kereta api, udara).
Dilihat dari kata yang digunakannya, yaitu areas, jelas bahwa Model Law masih melihat adanya kemungkinan pengaturan-pengaturan untuk bidang-bidang khusus lainnya di samping dokumen pengangkutan secara elektronik (e-bill of lading). Daftar-daftar di atas tidak bersifat sebagai ilustrasi semata. Daftar tersebut juga tidak hanya untuk sektor pengangkutan laut (maritim), tetapi juga moda-moda angkutan lainnya
12. Tanda Tangan Digital dan Pejabat Verifikasi
a. Tanda Tangan Digital (Digital Signature)
Di samping Model Law 1996 tersebut di atas, UNCITRAL telah pula secara aktif merancang aturan-aturan untuk tanda tangan digital dan pejabat verifikasi. Untuk itu, UNCITRAL membentuk suatu badan khusus, yaitu UNCITRAL Working Group. Sejak bulan Februari 1997, UNCITRAL Working Group telah mempersiapkan aturan-aturan mengenai 'digital signature' dan 'Certifying Authority' (CA atau pejabat atau lembaga sertifikasi). Pembentukan kelompok kerja ini sebagai implementasi dari pasal 7 Model Law 1996. Digital signature adalah ‘sejumlah karakter alphanumeric yang dihasilkan dari operasi matematik dan kriptografi’. Hingga saat ini "cryptography" masih dipandang cara terbaik untuk memproteksi data dari kemungkinan perubahan-perubahan yang tidak diinginkan.
Cryptography telah digunakan secara umum. Penggunaannya acapkali didasarkan pada penggunaan fungsi-fungsi 'algorithmic' (algoritma). Pada prinsipnya cara kerja cryptograhy sederhana saja. Cryptography mengubah informasi menjadi kode. Pengirim mengirim informasi melalui kode-kode. Penerima kode (informasi) kemudian membuka kode tersebut untuk dapat membacanya. Dalam mengirim-menerima code, dilakukan dengan menggunakan 2 kunci. Kunci ini tidak lain adalah angka-angka. Satu kunci digunakan untuk menerjemahkan data dan untuk mengkonfirmasi digital signature (kunci privat atau private keys). Kunci lainnya, yaitu kunci publik (public keys), digunakan untuk meverifikasi suatu tanda tangan digital dari pesan yang kembali ke bentuk aslinya (public key).

b. Certification Authority
Certification Authority (CA) adalah konsep yang baru berkembang, yakni suatu provider jasa pihak ke-3 yang netral dan independen. CA mengeluarkan serifikat 'untuk menghubungkan suatu kunci dengan si penandantangan. CA juga bertugas mendaftarkan suatu public key bersama-sama dengan nama dari pelanggan (pengguna) sertifikat sebagai 'subyek' sertifikat. Dengan dimulainya diskusi secara umum mengenai isu yang dibahas, Working Group mempersiapkan teks-teks mengenai aturan-aturan seragam pada akhir 1997. Aturan-aturan hukum seragam ini disahkan oleh Working Group pada sidangnya yang ke-32 di Wina pada tangggal 19-30 Januari 1998. UNCITRAL mengesahkannya pada sidangnya yang ke 31 di New York, pada tanggal 1 - 12 Juni 1998. Aturan-aturan hukum seragam ini antara lain mengatur ruang lingkup berlakunya aturan (Bab I), tanda tangan elektronik (Bab 2), pejabat sertifikasi dan isu-isu terkait (Bab 3), dan pengakuan tanda tangan elektronik asing (Bab 4).

D. Penutup
UNCITRAL telah menempuh suatu pendekatan fungsional dalam Model Law. UNCITRAL tidak menempuh upaya menyusun kembali aturan-aturan yang ada untuk mengakomodasi e-commerce. Namun yang dilakukan UNCITRAL adalah menemukan pemecahan secara teknis untuk memenuhi persyaratan-persyaratan hukum yang ada (dengan sedikit penyesuaian). Misalnya, masalah integritas dan keaslian (authenticity) dari suatu pesan data dari tanda tangan elektronis telah diselesaikan dengan penggunaan metode cryptography. Di samping penggunaan cryptography, sebenarnya apa yang Model Law sumbangkan secara signifikan adalah pengakuan hukum terhadap pesan data.51 Endeshaw mentakan bahwa Model Law ini semata-mata menetapkan “legal recognition of data message transmitted via electronic or other form.”
Oleh karena itulah mengapa beberapa negara telah membuat rancangan UU-nya mengenai perdagangan secara e-commerce ini dengan didasarkan kepada seluruh atau sebagian ketentuan dari Model Law ini. Termasuk antara lain Amerika Serikat dalam 'Uniform Commercial Code'-nya, the Illinois Electronic Commerce Security Act, dan the Danish Bill for an Act on Digital Signature. Malaysia telah mengundangkan perundang-undangannya mengenai electronic commerce dan tanda tangan digital. Negara-negara lainnya telah pula mempertimbangkan UU nasionalnya untuk bidang electronic commerce dan tanda tangan digital ini. Sejak bulan Oktober 1997, Inggris telah memperkenalkan perdagangan elektronik-nya di pasar modalnya (Stock Exchange). Di Jerman telah pula mengundangkan the Digital Signature Ordinance pada tahun 1997 (mulai berlaku pada tanggal 1 November 1997).
Salah satu tantangan yang dihadapi Indonesia adalah menyikapi hadirnya e-commerce ini. Sebenarnya masalah utamanya adalah sederhana, aturan hukum RI hanya perlu mengakui keabsahan transaksi-transaksi melalui e-commerce. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah pengakuan terhadap data elektronik sebagai alat bukti di hadapan pengadilan. Alat bukti yang diakui hukum Indonesia adalah: (1) bukti tulisan; (2) bukti saksi-saksi; (3) persangkaan-persangkaan; (4) pengakuan; dan (5) bukti sumpah.54 Bukti data elektronik hingga tulisan ini dibuat belum ada pengakuan.
Sebagai perbandingan, negara berkembang lainnya adalah Cina. Pada bulan Maret 1999, Cina mengeluarkan hukum kontrak yaitu the Contract Law of the People’s Republic of China. UU tahun 1999 ini menyatakan bahwa tulisan dapat berupa berbagai wujud atau bentuk, termasuk tulisan-tulisan yang ‘disimpan secara visual’ (‘visually recorded’). Dalam pengertian tersebut yang tercakup ke dalamnya adalah kontrak-kontrak elektronik. Karena kontrak-kontrak tersebut dapat ‘dilihat’, maka kontrak demikian sah menurut hukum kontrak Cina.

BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
Transaksi-tansaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya. Dari berupa hubungan jual beli barang, pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu kontrak, dll. Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan sengketa. Umumnya sengketa-sengketa dagang kerap didahului oleh penyelesaian oleh negosiasi. Manakala cara penyelesaian ini gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara-cara lainnya seperti penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase.
Penyerahan sengketa baik kepada pengadilan maupun ke arbitrase kerap kali didasarkan pada suatu perjanjian di antara para pihak. Langkah yang biasa ditempuh adalah dengan membuat suatu perjanjian atau memasukkan suatu klausul penyelesaian sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat, baik ke pengadilan atau ke badan arbitrase.
Yang menjadi dasar hukum bagi forum atau badan penyelesaian sengketa yang akan menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan inilah hukum. Kesepakatan tersebut diletakkan baik pada waktu kontrak ditandatangani atau setelah sengketa timbul.
Biasanya pula kelalaian para pihak untuk menentukan forum ini akan berakibat pada kesulitan dalam penyelesaian sengketanya. Karena, dengan adanya kekosongan pilihan forum tersebut akan menjadi alasan yang kuat bagi setiap forum untuk menyatakan dirinya berwewenang untuk memeriksa suatu sengketa. Pada umumnya di samping menyepakati lembaga atau forum yang akan menyelesaikan sengketa, para pihak perlu juga menyepakati hokum apa yang akan diterapkan oleh badan peradilan yang baru disepakati para pihak.
Lazimnya dalam sistem hukum (Common Law) dikenal dengan konsep 'long arm' jurisdiction. Dengan konsep ini, pengadilan dapat menyatakan kewenangannya untuk menerima setiap sengketa yang dibawa ke hadapannya meskipun hubungan antara pengadilan dengan sengketa tersebut tipis sekali. Misalnya, badan peradilan di Amerika Serikat dan Inggris kerapkali selalu menerima sengketa yang para pihak serahkan kehadapannya meskipun hubungan atau keterkaitan sengketa dengan badan peradilan sangatlah kecil.
Misalnya, pihak termohon memiliki usaha di Amerika Serikat atau dalam kontrak tersebut secara tegas atau diam-diam mengacu kepada salah satu negara bagian Amerika Serikat atau hukum Inggris.
Di samping forum pengadilan atau badan arbitrase, para pihak dapat pula menyerahkan sengketanya kepada cara alternatif penyelesaian sengketa, yang lazim dikenal sebagai ADR (alternative dispute resolution) atau APS (alternatif penyelesaian sengketa).
Pengaturan alternatif di sini dapat berupa cara altrnatif di samping pengadilan. Bisa juga berarti alternatif penyelesaian secara umum, yaitu berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang para pihak dapat gunakan, termasuk alternatif penyelesaian melalui pengadilan. Biasanya pula dalam klausul tersebut dimasukkan atau dinyatakan pula hukum yang akan diterapkan oleh badan penyelesaian sengketa. Bandingkan pula dengan prinsip hukum di Indonesia, bahwa badan peradilan tidak boleh menolak setiap sengketa yang dibawa ke hadapannya. Kata alternatif mencakup semua alternatif penyelesaian sengketa yang dapat digunakan para pihak, termasuk di dalamnya pengadilan.

B. Para Pihak dalam Sengketa
Bab 3 memuat beberapa stake-holders atau subyek hukum dalam hukum perdagangan internasional, yaitu negara, perusahaan atau individu, dll. Dalam uraian berikut, para pihak yang menjadi pembahasan dibatasi pada pihak pedagang (badan hukum atau individu) dan negara. Karena sifat dari hukum perdagangan internasional adalah lintas batas, pembahasan pun dibatasi hanya antara 1) pedagang dan pedagang; dan 2) Pedagang dan negara asing.

Ad. 1. Sengketa antara pedagang dan pedagang.
Sengketa antara dua pedagang adalah sengketa yang sering dan paling banyak terjadi. Sengketa seperti ini terjadi hampir setiap hari. Sengketanya diselesaikan melalui berbagai cara. Cara tersebut semuanya bergantung pada kebebasan dan kesepakatan para pihak. Kesepakatan dan kebebasan akan pula menentukan forum pengadilan apa yang akan menyelesaian sengketa mereka. Kesepakatan dan kebebasan pula yang akan menentukan hukum apa yang akan diberlakukan dan diterapkan oleh badan pengadilan yang mengadili sengketanya. Kesepakatan dan kebebasan para pihak adalah esensil. Hukum menghormati kesepakatan dan kebebasan tersebut. Sudah barang tentu, kesepakatan dan kebebasan tersebut ada batas-batasnya. Biasanya batas-batas tersebut adalah tidak melanggar UU dan ketertiban umum.

Ad.2. Sengketa antara pedagang dan negara asing
Sengketa antara pedagang dan negara juga bukan merupakan kekecualian. Kontrak-kontrak dagang antara pedagang dan Negara sudah lazim ditandatangani. Kontrak-kontrak seperti ini biasanya dalam jumlah (nilai) yang relatif besar. Termasuk di dalamnya adalah kontrak-kontrak pembangunan (development contracts). Misalnya, kontrak di bidang pertambangan. Yang menjadi masalah adalah adanya konsep imunitas Negara yang diakui hukum internasional. Dengan adanya konsep imunitas inilah yang sedikit banyak berpengaruh terhadap keputusan pedagang untuk menentukan penyelesain sengketanya. Masalah utamnya adalah dengan adanya konsep imunitas ini, suatu negara dalam situasi apapun, tidak akan pernah dapat diadili di hadapan badan-badan peradilan asing. Namun demikian hukum internasional ternyata fleksibel. Hukum internasional tidak semata-mata mengakui atribut negara sebagai subyek hukum internasional yang sempurna (par excellence). Hukum internasional menghormati pula individu (pedagang) sebagai subyek hukum internasional terbatas.
Karena itu dalam hukum internasional berkembang pengertian jure imperii dan jure gestiones. Yang pertama adalah tindakan-tindakan negara di bidang publik dalam kapasitasnya sebagai suatu negara yang berdaulat. Karena itu tindakan-tindakan seperti itu tidak akan pernah dapat diuji atau diadili di hadapan badan peradilan. Konsep kedua, jure gesiones, yaitu tindakan-tindaka negara di bidang keperdataan atau dagang. Karena itu, tindakan-tindakan seperti itu tidak lain adalah tindakan-tindakan negara dalam kapasitasnya seperti orang-perorangan (pedagang atau privat). Sehingga tindakan-tindakan seperti itu dapat dianggap sebagai tindakan-tindakan sebagaimana layaknya para pedagang biasa. Karena itu tindakan-tindakan seperti itu yang kemudian menimbulkan sengketa, dapat saja diselesaikan di hadapan badan-badan peradilan umum, arbitrase, dll. Sebaliknya negara-negara yang mengajukan bantahannya bahwa suatu badan peradilan tidak memiliki jurisdiksi untuk mengadili negara sebagai pihak dalam sengketa bisnis, biasanya ditolak.
C. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa
Dalam hukum perdagangan internasional, dapat dikemukakan di sini prinsip-prinsip mengenai penyelesaian sengketa perdagangan internasional.
1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)
Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar untuk dilaksanakan atau tidaknya suatu proses penyelesaian sengketa. Prinsip ini pula dapat menjadi dasar apakah suatu proses penyelesaian sengketa yang sudah berlangsung diakhiri. Jadi prinsip ini sangat esensial. Badan-badan peradilan (termasuk arbitrase) harus menghormati apa yang para pihak sepakati.
Termasuk dalam lingkup pengertian kesepaktan ini adalah:
(1) bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya menipu, menekan atau menyesatkan pihak lainnya;
(2) bahwa perubahan atas kesepakatan harus berasal dari kesepakatan kedua belah pihak. Artinya, pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan kesepakatan harus pula berdasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.

2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa
Prinsip penting kedua adalah prinsip dimana para pihak memiliki kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan (principle of free choice of means). Prinsip ini termuat antara lain dalam Pasal 7 The UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration. Pasal ini memuat definisi mengenai perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa ke suatu badan arbitrase. Menurut pasal ini  penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian para pihak. Artinya, penyerahan suatu sengketa ke badan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk memilihnya.

3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
Prinsip penting lainnya adalah prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan (bila sengketanya diselesaikan) oleh badan peradilan (arbitrase) terhadap pokok sengketa. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).
Yang terakhir ini adalah sumber di mana pengadilan akan memutus sengketa berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan suatu penyelesaian sengketa. Contoh kebebasan memilih ini yang harus dihormati oleh badan peradilan adalah pasal 28 ayat (1) UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration: “The arbitral tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of law as are chosen by the parties as applicable to the substance of the dispute. Any designation of the law or legal system of a given State shall be construed, unless otherwise expressed, as directly referring to the substantive law of that State and not to its conflict of laws rules.”
Pasal 1338 KUH Perdata Indonesia. Pasal 7 UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbtration: “Arbitration Agreement” is an agreement by the parties to submit to arbitration all or certain disputes which have arisen or which may arise between them in respect of a defined legal relationship , whether contractual or not. An arbitration agreement may be in the form of an arbitration clause in a contract or in the form of a separate agreement.’

4. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)
Prinsi itikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral dalam penyelesaian sengketa. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketanya. Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini tercemin dalam dua tahap. Pertama, prinsip itikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat mempengaruhi hubungan-hubungan baik di antara negara.
Kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum (perdagangan) internasional, yakni negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau cara-cara pilihan para pihak lainnya.

5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies
Prinsip Exhaustion of Local Remedies sebenarnya semula lahir dari prinsip hukum kebiasaan internasional. Dalam upayanya merumuskan pengaturan mengenai prinsip ini, Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commission) memuat aturan khusus mengenai prinsip ini dalam pasal 22 mengenai ILC Draft Articles on State Responsibility. Pasal 22 ini menyatakan sebagai berikut: “When the conduct of a State has created a situation not in conformity with the result of it by an international obligation concerning the treatment too be accorded to aliens, whether natural or juridical persons, but the obligation allows that this or an equivalent result may nevertheless be achieved by subsequent conduct of the State, there is a breach of the obligation only if the aliens concerned have exhausted the effective local remedies available to them without obtaining the treatment called for by the obligation or, where that is not possible, an equivalent treatment.”
Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional, maka langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional suatu negara harus terlebih dahulu ditempuh (exhausted). Dalam sengketa the Interhandel Case (1959), Mahkamah Internasional menegaskan: "Before resort may be had to an international court... the state where the violation occured should have an opportunity to redress it by its own means, within the framework of it’s own domestic legal system."

D. Forum Penyelesaian Sengketa
Forum penyelesaian sengketa dalam hukum perdagangan internasional pada prinsipnya juga sama dengan forum yang dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa (internasional) pada umumnya.
Forum tersebut adalah negosiasi, penyelidikan fakta-fakta (inquiry), mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian melalui hukum atau melalui pengadilan, atau cara-cara penyelesaian sengketa lainnya yang dipilih dan disepakati para pihak.
Cara-cara sengketa di atas telah dikenal dalam berbagai negara dan sistem hukum di dunia. Cara-cara tersebut dipandang sebagai bagian integral dari penyelesaian sengketa yang diakui dalam sistem hukumnya. Misalnya, hukum nasional RI yang dapat ditemukan dalam pasal 6 UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Negara lainnya adalah Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Berikut adalah uraian singkat mengenai forum-forum tersebut. Tidak semua forum dibahas, tetapi akan dibatasi pada negosiasi, mediasi, konsiliasi, pengadilan dan arbitrase. Sedangkan penyelidikan fakta (inquiry) atau cara-cara lainnya yang para pihak sepakati tidak termasuk dalam bahasan.
1. Negosiasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua digunakan. Penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan setiap hari oleh negosiasi ini tanpa adanya publisitas atau menarik perhatian publik. Alasan utamanya adalah karena dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya. Setiap penyelesaiannya pun didasarkan pada kesepakatan atau consensus para pihak. Senada dengan itu Kohona mengatakan bahwa negosiasi adalah "an efficacious means of settling disputes relating to an agreement, because they enable parties to arrive at conclusions having regard to the wishes of all the disputants."
Kelemahan utama dalam penggunaan cara ini dalam menyelesaikan sengketa adalah: pertama, manakala para pihak berkedudukan tidak seimbang. Salah satu pihak kuat, yang lain lemah. Dalam keadaan ini, salah satu pihak kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya. Hal ini acapkali terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketanya di antara mereka.
Kelemahan kedua adalah bahwa proses berlangsungnya negosiasi acapkali lambat dan bisa memakan waktu lama. Ini terutama karena sulitnya permasalahan-pemasalahan yang timbul di antara para pihak. Selain itu jarang sekali adanya persyaratan penatapan batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaian sengketanya melalui negosiasi ini.
Kelemahan ketiga, adalah manakala suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya. Keadaan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi ini menjadi tidak produktif. Mengenai pelaksanaan negosiasi, prosedur-prosedur yang terdapat di dalamnya perlu dibedakan sebagai berikut: pertama, negosiasi digunakan manakala suatu sengketa belum lahir (disebut pula sebagai konsultasi); dan kedua, negosiasi digunakan manakala suatu sengketa telah lahir, maka prosedur negosiasi ini merupakan proses penyelesaian sengketa oleh para pihak (dalam arti negosiasi).

2. Mediasi
Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Ia bisa individu (pengusaha) atau lembaga atau organisasi profesi atau dagang. Mediator ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi. Biasanya ia dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupa mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa.
Usulan-usulan penyelesaian melalui mediasi dibuat agak tidak resmi (informal). Usulan ini dibuat berdasarkan informasi-informasi yang diberikan oleh para pihak. Bukan atas penyelidikannya. Jika usulan tersebut tidak diterima, mediator masih dapat tetap melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati para pihak serta membuat usulah-usulan yang dapat mengakhiri sengketa.
Seperti halnya dalam negosiasi, tidak ada prosedur-prosedur khusus yang harus ditempuh dalam proses mediasi. Para pihak bebas menentukan prosedurnya. Yang penting adalah kesepakatan para pihak mulai dari proses (pemilihan) cara mediasi, menerima atau tidaknya usulah-usulan yang diberikan oleh mediator, sampai kepada pengakhiran tugas mediator.
Gerald Cooke menggambarkan kelebihan mediasi ini sebagai berikut: Di Indonesia cara mediasi juga cukup aktif diterapkan untuk sengketa-sengketa bisnis khususnya oleh pengadilan dan badan arbitrase. Dalam pengadilan dan “Where mediation is successfully used, it generally provides a quick, cheap and effective result. It is clearly appropriate, therefore, to consider providing for mediation or other alternative dispute resolution techniques in the contractual dispute resolution clause.”
Cooke juga dengan benar mengingatkan bahwa penyelesaian melalui mediasi ini tidaklah mengikat. Artinya, para pihak meski telah sepakat untuk menyelesaikan senketanya melalui mendiasi, namun mereka tidak wajib atau harus menyelesaikan sengketanya melalui mediasi.
Manakala para pihak gagal menyelesaikan sengketanya melalui mediasi, mereka masih dapat menyerahkan ke forum yang mengikat yaitu penyelesaian melalui hukum, yaitu pengadilan atau arbitrase.
arbitrase, adalah suatu ‘kewajiban’ bagi hakim dan arbiter untuk menawarkan terlebih dahulu kepada para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase. Mediasi juga aktif diperkenalkan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa lingkungan antara pengusaha dan penduduk setempat.

3. Konsiliasi
Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketanya secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit untuk dibedakan. Istilahnya acapkali digunakan dengan bergantian. Namun menurut Behrens, ada perbedaan antara kedua istilah ini: konsiliasi lebih formal daripada mediasi.
Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seroang individu atau suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi konsiliasi. Komisi konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan-persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun putusannya tidaklah mengikat para pihak.
Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap: tahap tertulis dan tahap lisan. Pertama, sengketa (yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya.
Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau badan konsiliasi akan menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan-usulan penyelesaian sengketanya. Sekali lagi, usulan ini sifatnya tidaklah mengikat. Karenanya diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak. Contoh komisi konsiliasi yang terlembaga adalah badan yang dibentuk oleh Bank Dunia untuk menyelesaikan sengketa-sengketa penanaman modal asing, yaitu the ICSID Rules of Procedure for Conciliaiton Proceedings (Conciliaiton Rules).31 Namun dalam prakteknya, penggunaan cara ini kurang populer.
Sejak berdiri (1966), badan konsiliasi ICSID hanya menerima dua kasus. Kasus pertama diterima pada 5 Oktober 1982. (Jadi selama 16 tahun kosong). Namun sebelum badan konsiliasi terbentuk, para pihak sepakat mengakhiri persengketaannya. Kasus kedua yaitu Tesoro Petroleum Corp. v. Government of Trinidad and Tobago diterima tahun 1983. Kasus ini berhasil diselesaikan pada tahun 1985 setelah para pihak sepakat untuk menerima usulan-usulan yang diberikan oleh konsiliator.

4. Arbitrase.
a. Mengapa Arbitrase Dipilih?
Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase sementara (ad hoc). Badan arbitrase dewasa ini sudah semakin populer. Dewasa ini arbitrase semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa dagang nasional maupun internasional.
Adapun alasan utama mengapa badan arbitrase ini semakin banyak dimanfaatkan adalah sebagai berikut:
(1) kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang pertama dan terpenting adalah penyelesaiannya yang relatif lebih cepat daripada proses berperkara melalui pengadilan. Dalam arbitrase tidak dikenal upaya banding, kasasi atau peninjauan kembali seperti yang kita kenal dalam sistem peradilan kita. Putusan arbitrase sifatnya final dan mengikat. Kecepatan penyelesaian ini sangat dibutuhkan oleh dunia usaha.
(2) Keuntungan lainnya dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini adalah sifat kerahasiaannya. Baik kerahasiaan mengenai persidangannya maupun kerahasiaan putusan arbitrasenya.
(3) Dalam penyelesaian melalui arbitrase, para pihak memiliki kebebasan untuk memilih ‘hakimnya’ (arbiter) yang menurut mereka netral dan akhli atau spesialis mengenai pokok sengketa yang mereka hadapi. Pemilihan arbiter sepenuhnya berada pada kesepakatan para pihak. Biasanya arbiter yang dipilih adalah mereka yang tidak saja ahli tetapi juga ia tidak selalu harus ahli hukum. Bisa saja ia menguasai bidang-bidang lainnya. Ia bisa insinyur, pimpinan perusahaan (manajer), ahli asuransi, ahli perbankan, dll.
(4) Keuntungan lainnya dari badan arbitrase ini adalah dimungkinkannya para arbiter untuk menerapkan sengketanya berdasarkan kelayakan dan kepatutan (apabila memang para pihak menghendakinya).
(5) Dalam hal arbitrase internasional, putusan arbitrasenya relative lebih dapat dilaksanakan di negara lain dibandingkan apabila sengketa tersebut diselesaikan melalui misalnya pengadilan. Hal ini dapat terwujud antara lain karena dalam lingkup arbitrase internasional ada perjanjian khusus mengenai hal ini, yaitu Konvensi New York 1958 mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.

b. Perjanjian Arbitrase
Dalam praktik, biasanya penyerahan sengketa ke suatu badan peradilan tertentu, termasuk arbitrase, termuat dalam klausul penyelesaian sengketa dalam suatu kontrak. Biasanya judul klausul tersebut ditulis secara langsung dengan ‘Arbitrase’. Kadang-kadang istilah lain yang digunakan adalah ‘choice of forum’ atau ‘choice of jurisdiction’.
Kedua istilah tersebut mengandung pengertian yang agak berbeda. Istilah choice of forum berarti pilihan cara untuk mengadili sengketa, dalam hal ini pengadilan atau badan arbitrase. Istilah choice of jurisdiction berarti pilihan tempat dimana pengadilan memiliki kewenangan untuk menangani sengketa. Tempat yang dimaksud misalnya Inggris, Belanda, Indonesia, dll.
Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir. Alternatif lainnya, atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause).
Baik submission clause atau arbitration clause harus tertulis. Syarat ini sangat esensial. Sistem hukum nasional dan internasional mensyaratkan ini sebagai suatu syarat utama untuk arbitrase. Dalam hukum nasional kita, syarat ini tertuang dalam pasal 1 (3) UU Nomor 3 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam instrumen hukum internasional, termuat dalam Pasal 7 ayat (2) UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration 1985, atau pasal II Konvensi New York 1958. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa klausul arbitrase melahirkan jurisdiksi arbitrase. Artinya, klausul tersebut memberi kewenangan kepada arbitrator untuk menyelesaikan sengketa. Apabila pengadilan menerima suatu sengketa yang di dalam kontraknya terdapat klausul arbitrase, maka pengadilan harus menolak untuk menangani sengketa.


c. Lembaga-lembaga Arbitrase
Pasal II ayat (3) Konvensi 1958 ini dipandang penting mengingat ketentuan ini dibuat sudah cukup relatif lama (sejak 1958). Pengakuan kewenangan arbitrase ini dalam suatu klausul arbitrase ini berbunyi sebagai berikut: “3. The court of a Contracting State, when seized of an action in a matter in respect of which the parties have made an agreement within the meaning of this article, shall, at the request of one of the parties, refer the parties to arbitration, unless it finds that the said agreement is null and void, inoperative or incapable of being performed.”
Peran arbitrase difasilitasi oleh adanya lembaga-lembaga arbitrase internasional terkemuka. Badan-badan tersebut misalnya adalah the London Court of International Arbitration (LCIA), the Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC) dan the Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of Commerce (SCC). Di samping kelembagaan, pengaturan arbitrase sekarang ini ditunjang pula oleh adanya sutau aturan berabitrase yang menjadi acuan bagi banyak negara di dunia, yaitu Model Law on International Commercial Arbitration yang dibuat oleh the United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL).

5. Pengadilan (Nasional dan Internasional)
Metode yang memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa selain cara-cara tersebut di atas adalah melalui pengadilan nasional atau internasional. Penggunaan cara ini biasanya ditempuh apabila cara-cara penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil. Penyelesaian sengketa dagang melalui badan peradilan biasanya hanya dimungkinkan manakala para pihak sepakat. Kesepakatan ini tertuang dalam klausul penyelesaian sengketa dalam kontrak dagang para pihak. Dalam klausul tersebut biasanya ditegaskan bahwa manakala timbul sengketa dari hubungan dagang mereka, maka mereka sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada suatu pengadilan (negeri) suatu negara tertentu.
Kemungkinan kedua, para pihak dapat menyerahkan sengketanya kepada badan pengadilan internasional. Salah satu badan peradilan yang menangani sengketa dagang ini misalnya saja adalah WTO. Namun perlu ditekankan di sini, WTO hanya menangani sengketa antar negara anggota WTO. Umumnya pun sengketanya lahir karena adanya suatu pihak (pengusaha atau negara) yang dirugikan karena adanya kebijakan perdagangan negara lain anggota WTO yang merugikannya. Alternatif badan peradilan lain adalah Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Namun penyerahan sengketa ke Mahkamah Internasional, menurut hasil pengamatan beberapa sarjana, kurang begitu diminati oleh negara-negara. Sebagai ilustrasi adalah peranan Mahkamah Internasional (the International Court of Justice). Peranan Mahkamah dalam menyelesaikan sengketa-sengketa ekonomi (termasuk perdagangan), menurut Mann, sangatlah 'suram'. Selama berdiri (sejak 1945) sampai tulisan ini dibuat, Mahkamah Internasional hanya mengadili 2 kasus di bidang ekonomi internasional, yakni the ELSI Case antara Amerika Serikat melawan Italia, dan the Barcelona Traction Case antara Belgia melawan Spanyol. Sengketa The Barcelona Traction adalah sengketa terkenal.
Dalam sengketa ini sebuah perusahaan Kanada, Barcelona Traction, Light and Power, Co., didirikan pada tahun 1911. Perusahaan ini mengoperasilan pembangunan dan pengadaan tenaga listrik di Spanyol. Pada tahun 1968, pengadilan Spanyol memutuskan perusahaan tersebut pailit. Keputusan ini ditindak-lanjuti oleh serangkaian tindakan dalam rangka kepailitan tersebut. Pemerintah Kanada kemudian turut campur dalam sengketa ini dalam upayanya melindungi kepentingan warga negaranya. Masalahnya menjadi rumit karena ternyata pemegang saham mayoritas dalam perusahaan tersebut dimiliki warga negara Belgia, yaitu sebesar 88 %. Pemerintah Belgia dalam upaya melindungi warga negaranya yang dirugikan oleh tindakan pemerintah Spanyol itu membawa sengketanya ke Mahkamah Internasional. Spanyol menolak gugatan pemerintah Belgia dengan dalil bahwa Belgia tidak memiliki dasar hukum yang sah (locus standi) untuk membawa kasus ini. Dalam putusannya, Mahkamah Internasional setuju dengan Spanyol. Alasan F.A. Mann menyatakan 'hasil kerja' Mahkamah Internasional ini 'suram', pada dasarnya karena dua alasan.
Pertama, kurang adanya penghargaan terhadap fakta-fakta spesifik mengenai duduk perkaranya. Kedua, kurangnya keahlian atau kemampuan Mahkamah pada permasalahan-permasalahan bidang (hukum) ekonomi atau perdagangan internasional. Selain itu, pengadilan-pengadilan permanen internasional ini juga jurisdiksinya kadangkala terbatas hanya kepada negara saja, misalnya Mahkamah Internasional. Sedangkan kegiatan-kegiatan atau hubungan-hubungan perdagangan internasional dewasa ini peranan subyek-subyek hukum perdagangan internasional non-negara juga penting.
Bentuk kedua adalah pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus. Dibandingkan dengan pengadilan permanen, pengadilan ad hoc atau khusus ini lebih populer, terutama dalam kerangka suatu organisasi perdagangan internasional. Badan pengadilan ini berfungsi cukup penting dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul dari perjanjian-perjanjian perdagangan internasional. Contoh yang menonjol adalah peranan badan-badan pengadilan khusus dalam kerangka GATT (kemudian digantikan oleh WTO), yakni dengan adanya badan-badan panel yang menyelesaikan sengketa-sengketa ekonomi internasional antar negara-negara anggota GATT/WTO. Faktor penting yang mendorong negara-negara untuk menyerahkan sengketanya kepada badan-badan peradilan seperti ini adalah karena hakim-hakimnya yang tidak harus seorang ahli hukum. Ia bisa saja seorang ahli atau spesialis mengenai pokok sengketa. Kedua, adanya perasaan dari sebagian besar negara yang kurang percaya kepada suatu badan peradilan (internasional) yang dianggap kurang tepat untuk menyelesaikan sengketa-sengketa dalam bidang perdagangan internasional.

E. Hukum Yang Berlaku
1. Pengantar
Masalah hukum yang akan diberlakukan atau diterapkan oleh badan peradilan termasuk arbitrase adalah salah satu masalah krusial dalam hukum kontrak internasional, termasuk dalam hukum perdagangan internasional. Masalahnya adalah hukum yang berlaku ini menjadi penentu kepastian hukum terutama bagi badan peradilan bahwa ia telah menerapkan hukumnya dengan benar. Dalam hal ini, badan peradilan tidak mengambil jalan pintas dalam menerapkan suatu hukum terhadap suatu sengketa yang dibawa ke hadapannya.
Perlu ditegaskan di sini bahwa pilihan hukum (choice of law, proper law atau applicable law) suatu hukum nasional dari suatu negara tertentu tidak berarti bahwa badan peradilan negara tesebut secara otomatis yang berwenang menyelesaikan sengketanya. Yang terakhir ini disebut juga choice of forum. Artinya, choice of law tidak sama dengan choice of forum. Peran choice of law di sini adalah hukum yang akan digunakan oleh badan peradilan (pengadilan atau arbitrase) untuk:
(1) menentukan keabsahan suatu kontrak dagang;
(2) menafsirkan suatu kesepakatan-kesepakatan dalam kontrak;
(3) menentukan telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu prestasi (pelaksanaan suatu kontrak dagang); dan
(4) menentukan akibat-akibat hukum dari adanya pelanggaran terhadap kontrak.
 Tetapi perlu dicatat di sini bahwa praktek negara (badan peradilannya) berbeda mengenai pandangannya terhadap choice of law dan choice of forum ini. Di Inggris dan Wales, pemilihan suatu hukum tertentu, dalam hal ini hukum Inggris atau Wales, mensyaratkan jurisdiksi pengadilan tersebut untuk mengadili suatu sengketa. Dasarnya dalah bahwa para pihak dianggap secara diam-diam telah memilih jurisdiksi (keweangan badan peradilan Inggris atau Wales) dengan memilih hukum Inggris atau hukum Wales untuk mengatur kontraknya.
Hukum yg akan berlaku ini dapat mencakup beberapa macam hukum. Hukum-hukum tsb adalah:
(1) hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa (applicable substantive law atau lex causae);
(2) hukum yang akan berlaku untuk persidangan (procedural law);
Hukum yang akan berlaku akan sedikit banyak bergantung pada kesepakatan para pihak. Hukum yang akan berlaku tersebut dapat berupa hukum nasional suatu negara tertentu. Biasanya hokum nasional tersebut ada atau terkait dengan nasionalitas salah satu pihak. Cara pemilihan inilah yang lazim diterapkan dewasa ini. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak sepakat mengenai salah satu hukum nasional tersebut, biasanya kemudian mereka akan berupaya mencari hukum nasional yang relatif lebih netral. Alternatif lainnya yang memungkinkan dalam hukum perdagangan internasional adalah menerapkan prinsip-prinsip kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono). Namun demikian penerapan prinsip ini pun harus berdasarkan pada kesepakatan para pihak.

2. Kebebasan Para Pihak
Di atas telah dikemukakan bahwa dalam menentukan hukum yang akan berlaku, prinsip yang berlaku adalah kesepakatan para pihak yang didasarkan pada kebebasan para pihak dalam membuat perjanjian atau kesepakatan (party autonomy). Kebebasan para pihak ini tampaknya sudah menjadi prinsip hukum umum. Artinya, hampir setiap sistem hukum di dunia, yaitu Common Law, Civil Law, dll., mengakui eksistensinya.
Bahkan, praktek para pelaku bisnis atau pedagang melihat prinsip kebebasan para pihak untuk menetapkan aturan-aturan dagang yang berlaku di antara mereka, merupakan suatu prinsip yang telah terkristalisasi. Prinsip inilah yang antara lain melahirkan prinsip atau doktrin lex mercatoria.
Kebebasan dalam memilih hukum yang berlaku ini (lex causae) sudah barang tentu ada batas-batasnya. Yang paling umum dikenal adalah bahwa kebebasan memilih hukum tersebut adalah:
(1) tidak bertentangan dengan UU atau ketertiban umum;
(2) kebebasan tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik;
(3) hanya berlaku untuk hubungan dagang;
(4) hanya berlaku dalam bidang hukum kontrak (dagang);
(5) tidak berlaku untuk menyelesaikan sengketa tanah; dan
(6) tidak untuk menyelundupkan hukum.
Menurut Cooke, kebebasan para pihak ini pun akan banyak dipengaruhi oleh sistem hukum nasional yang akan dipilih (baik oleh salah satu pihak atau kedua pihak). Tidak sekedar hanya menentukan hukum suatu negara, tetapi juga mempertimbangkan apakah hukum di negara tersebut konsisten atau tidak. Artinya, apakah hukum di sesuatu negara tertentu sering berubah-ubah tidak. Gerald Cooke dengan tepas menyatakan sebagai berikut: “The significance of needing to provide for the 'proper' law is that the parties will frequently prefer to have their disputes dealt with by a legal system which is perhaps independent of each of the parties or which is recognised to have highly sophisticated and consistent trading laws.”
Dalam hukum nasional Indonesia mengenai arbitrase, yaitu UU Nomor 30 tahun 1999 mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hukum yang akan diberlakukan oleh para pihak diserahkan sepenuhnya kepada mereka. Pasal 56 UU tersebut menyatakan:
(1) Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan.
(2) Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin telah timbul antara para pihak.
Model Arbitration Law 1985 juga menghormati kebebasan para pihak untuk memilih hukum yang akan berlaku. Pasal 28 Model Law menggariskan sebagai berikut:
(1) The arbitral tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of law as are chosen by the parties as applicable to the substance of the dispute. Any designation of the law or legal system of a given State shall be construed, unless otherwise expressed, as directly referring to the substantive law of that State and not to it’s conflict of laws rules.
(2) Failing any designation by the parties, the arbitral tribunal shall apply the law determined by the conflict of laws rules which it considers applicable.
(3) The arbitral tribunal shall decide ex aequo et bono or amiable compositeur only if the parties expressly authorized to do so.
(4) In all cases, the arbitral tribunal shall decide in accordance with the terms of the contract and shall take into account the usages of the trade applicable to the transaction.
Dari kedua instrumen hukum di atas, terdapat beberapa catatan pinggir yang cukup penting. Pertama, yang menonjol adalah bahwa kedua instrumen berbeda di dalam hal prioritas pengaturan mengenai hukum yang berlaku terhadap kontrak. UU Nomor 30 tahun 1999 menekankan bahwa arbitrator atau badan arbitrase harus menyandarkan pada hukum untuk mengambil putusan. Pasal ini tidak menentukan atau mensyaratkan bahwa hukum yang akan diterapkan tersebut haruslah pilihan hukum para pihak. Sedangkan Model Law dengan tegas menyatakan bahwa badan arbitrase harus menerapkan hukum yang dipilih para pihak. Tampaknya, ketentuan UU Nomor 30 tahun 1999 ini perlu disempurnakan dengan mengacu atau mencantumkan klausul Model Law ini.
Kedua, UU Nomor 30 tahun 1999 membolehkan arbitrator atau badan arbitrase untuk menerapkan ex aequo et bono (pasal 56 ayat 1). Ketentuan yang sama dalam Model Law tercantum dalam pasal 28 ayat 3. Bedanya adalah, UU nasional kita tidak tegas bahwa penerapan keadilan dan kepatutan ini hanya akan boleh dilakukan apabila para pihak dengan tegas diperintahkan oleh para pihak. Penjelasan pasal 56 hanya menyebut: 'Dalam hal arbiter diberi kebebasan...'). Rumusan ini tidak tegas siapa yang member kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan.
Ketiga, adalah masalah manakala para pihak tidak memilih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak. Dalam hal ini, UU nasional kita dan Model Law memuat aturan yang berbeda. UU nasional kita tampaknya menganut jalan pintas. Penjelasan pasal 56 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan, apabila para pihak tidak menentukan pilihan hukum, maka arbitrator atau badan arbitrase harus menerapkan hukum tempat arbitrase dilakukan. Sedangkan Model Law menyatakan bahwa apabila para pihak tidak memilih hukum, maka badan arbitrase atau arbitrator harus mengacu kepada hukum yang ditentukan berdasarkan aturan-aturan hukum perdata internasional (conflict of laws rules) yang oleh arbitrator atau badan arbitrase dianggap berlaku.

F. Pelaksanaan Putusan Sengketa Dagang
1. Pengantar
Masalah pelaksanaan putusan penyelesaian sengketa (khususnya yang dibuat di luar negeri) hingga kini masih menjadi suatu masalah yang tidak mudah. Hal ini disebabkan karena pihak yang kalah di dalam suatu sengketa tidak jarang merasa keberatan melaksanakan putusan tersebut. Bersamaan dengan itu, pengadilan di dalam negeri tersebut yang diharapkan dapat membantu proses pelaksanaan putusan ternyata kurang memberikan respon yang konstruktif. Masalah ini pula yang saat ini menjadi ciri utama kelemahan dari putusan-putusan penyelesaian sengketa oleh badan-badan penyelesaian sengketa asing. Inti masalahnya adalah dilaksanakan suatu putusan mencerminkan efektivitas suatu putusan. Dalam bagian ini, uraian akan melihat secara singkat pelaksanaan putusan dari masing-masing cara penyelesaian sengketa, yaitu putusan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase asing dan pengadilan (asing).

2. Pelaksanaan Putusan APS
Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa (APS) memiliki risiko yang cukup tinggi dalam hal pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan yang dikeluarkan. Pelaksanaan putusan melalui APS lebih banyak bergantung kepada itikad baik para pihaknya. Hal ini semata-mata karena sifat putusannya yang sejak awal dilandasi oleh asas konsensuil. Masalahnya akan menjadi lebih sulit apabila putusan APS tersebut dibuat di luar negeri. Upaya pihak yang menang yang berupaya agar putusan APS dapat dilaksanakan semakin sangat bergantung kepada itikad baik ini. Tidak ada kepastian hukum kapan dan apakah pihak yang kalah mau melaksanakan putusan APS tersebut.

3. Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Asing)
Pelaksanaan putusan arbitrase asing sudah menjadi isu yang lama. Masalah ini pula yang menjadi kelemahan utama dari cara penyelesaian melalui pengadilan atau hakim partikelir ini. Seperti telah disebut di muka, umumnya yang menjadi kendala dalam masalah ini adalah pelaksanaan (eksekusi) putusan oleh pihak yang kalah. Upaya masyarakat internasional dalam mengurangi dan memperbaiki kelemahan ini telah lama dilakukan, yaitu sejak tahun 1927. Waktu itu masyarakat internasional mengeluarkan Konvensi Jenewa tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase.
Konvensi ini kemudian direvisi oleh Konvensi New York 1958. Sebenarnya timbulnya masalah ini merupakan refleksi dari konvensi-konvensi internasional pada umumnya, termasuk Konvensi New York 1958 ini. Masalahnya adalah konvensi internasional seperti ini tidak mengatur peraturan-peraturan yang detail. Ia hanya mengatur hal-hal pokoknya saja. Dalam lingkup nasional, Konvensi internasional ini ibarat Undang-undang Pokok yang pelaksanaannya dijabarkan oleh Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan seterusnya (implementing legislation-nya).
Kalau di dalam lingkup nasional ada hierarki pengaturan yang jelas, sebaliknya dalam lingkup internasional tidak ada. Masing-masing negara memiliki cara melaksanakan implementing legislationnya. Keadaan demikian jelas menambah ruwetnya masalah pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing. Konvensi New York 1958 (Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards) ditandatangani 10 Juni 1958 di kota New York. Konvensi New York mulai berlaku pada 2 Juni 1959. Konvensi ini hanya mensyaratkan tiga ratifikasi agar berlaku. Selanjutnya Konvensi akan berlaku tiga bulan sejak jumlah ratifikasi ketiga terpenuhi.
Konvensi mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 (lima) prinsip berikut di bawah ini:
(1)   Konvensi ini menerapkan prinsip pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase luar negeri dan menempatkan putusan tersebut pada kedudukan yang sama dengan putusan peradilan nasional.
(2)   Konvensi ini mengakui prinsip putusan arbitrase yang mengikat tanpa perlu dicantumkan dalam putusannya.
(3)   Konvensi ini menghindari proses pelaksanaan ganda (double enforcement process).
(4)   Konvensi New York mensyaratkan penyederhanaan dokumentasi yang diberikan oleh pihak yang mencari pengakuan dan pelaksanaan putusan. Dalam hal ini Konvensi hanya mensyaratkan dua dokumen saja untuk dapat melaksanakan suatu putusan, yaitu: (a) Dokumen putusan atau salinannya yang sah dan (b) dokumen perjanjian arbitrase atau salinannya yang sah (pasal IV).
(5) Konvensi New York lebih lengkap dan komprehensif daripada hokum nasional pada umumnya. Konvensi New York di samping mengatur pelaksanaan, juga mengatur pengakuan (recognition) terhadap suatu putusan arbirase asing.

3. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Masalah pelaksanaan putusan pengadilan juga masih menjadi masalah yang cukup serius. Pengadilan adalah refleksi kedaulatan negara dalam mengadili sesuatu sengketa. Putusan pengadilan karenanya tidak secara otomatis dapat dilaksanakan di wilayah kedaulatan negara lain. Untuk supaya putusan tersebut dapat dilaksanakan di suatu negara lain, ada dua kemungkinan berikut:
(1)   menyidangkan kembali kasus tersebut dari awal sebagai suatu sengketa baru di pengadilan tersebut (di mana putusan dimintakan pelaksanaannya);
(2)   pelaksanaan putusan pengadilan di suatu negara dapat dilaksanakan apabila negara-negara yang terkait (kedua negara, dimana pelaksanaa putusan dimintakan) terikat baik pada suatu perjanjian bilateral atau perjanjian multilateral mengenai pelaksanaan putusan pengadilan di bidang sengketa-sengketa dagang (padanan kata asingnya yaitu sengketa-sengketa komersial).
Untuk hal yang pertama, sudah barang tentu sulit. Prosesnya jadi panjang dan berlarut-larut. Belum lagi pertimbangan biaya yang akan dikeluarkan untuk proses tersebut. Biasanya proses berperkara di pengadilan di luar negeri tidaklah murah. Belum lagi timbul ketidak-pastian apakah putusannya akan sama dengan putusan yang dikeluarkan oleh badan peradilan sebelumnya. Untuk hal yang kedua, adalah alternatif yang cukup layak. Sayangnya, perjanjian-perjanjian seperti ini baru berupa perjanjian bilateral dan regional di Eropa Barat. Perjanjian bilateral dapat ditemukan di antara negara-negara Eropa Barat dalam hal pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan secara bilateral.

a. Konvensi Brussel 1968
Perjanjian regional di Eropa Barat mengenai pelaksanaan putusan pengadilan ini adalah the Convention on Jurisdiction and the Enforcement of Judgment in Civil and Commercial Matters (Konvensi Brussel), 27 september 1968. Konvensi Brussel ini beranggotakan Belgia, Belanda, Luxembourg, Perancis, Jerman, dan Italia). Selanjutnya negara-negara yang bergabung adalah Inggris, Irlandia, dan Denmark (1978), Spanyol dan Portugal (26 Mei 1989).
Konvensi Brussel bertujuan:
(1)   mengatur jurisdiksi pengadilan di negara-negara anggotanya;
(2)   memperkenalkan prosedur sederhana untuk pengakuan dan pelaksanaan putusan; dan
(3)   mengatur pengakuan terhadap dokumen-dokumen otentik dari negara-negara anggotanya.

b. Konvensi Lugano 1988
Konvensi kedua yaitu the Convention on Jurisdiction and the Enforcement of Judgment in Civil and Commercial Matters (Konvensi Lugano) ditandatangani di Lugano, 16 September 1988. Negara anggota Konvensi ini adalah 12 negara Masyarakat Eropa dan 6 negara anggota European Free Trade Area (EFTA) yaitu Finlandia, Islandia, Norwegia, Austria, Swedia dan Swis. Tujuan Konvensi ini adalah sama dengan Konvensi Brussel, yaitu mendorong pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan di antara negara anggotanya. Fungsi ini umumnya berkaitan dengan hal-hal yang tidak diatur dalam Konvensi Brussel.

G. Penutup
Dari uraian di atas tampak bahwa hukum perdagagan internasional memberi kebebasan dan peluang yang cukup besar kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketanya. Dalam kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa termasuk pula kebebasan untuk memilih hukum yang akan diterapkan untuk menyelesaikan sengketa. Untuk kedua hal ini badan peradilan harus menghormatinya. Mengenai forum penyelesaian sengketa yang tersedia, tampak masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahannya. Baik itu APS atau pengadilan masing-masing memiliki cirinya. Hal inilah yang perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh para pihak yang hendak menyelesaikan sengketanya.
Mengenai kebebasan para pihak untuk menentukan hukumnya, faktor yang penting adalah kestabilan hukum tersebut. Di dalam pengertian ini adalah pengetahuan para pihak terhadap hokum tersebut. Selain itu pula perlu diperhatikan praktik dan pendekatan yang diterapkan badan peradilan yang akan menyelesaikannya. Seperti diuraikan di atas, para pihak perlu menyadari adanya praktik yang berbeda-beda antara badan peradilan di suatu negara dengan badan peradilan di negara lainnya. Pertimbangan penting lainnya yang justru sangat esensial adalah pertimbangan kemungkinan dapat atau tidak dapatnya dilaksanakannya putusan (ekseskusi). Kegagalan atau kealpaan untuk mempertimbangkan faktor ini akan membuat upaya-upaya penyelesaian sengketa yang dipilih berdasarkan kebebasan para pihak menjadi tidak berarti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar