DAFTAR ISI
BAB
I PENGANTAR HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar dan Definisi
1. Definisi
a.
Definisi
Schmitthoff
b.
Definisi
Rafiqul Islam
c.
Definisi
Michelle Sanson
d.
Definisi
Hercules Booysen
2. Pendekatan Hukum
Perdagangan Internasional
a.
Hubungan
Hukum Perdagangan Internasional dan Bidang Hukum Lainnya
b.
Hukum
Perdagangan Internasional bersifat Interdisipliner
B. Prinsip-prinsip Hukum Perdagangan
Internasional
1.
Prinsip
Dasar Kebebasan Berkontrak
2.
Prinsip
Dasar Pacta Sunt Servanda
3.
Prinsip
Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
4.
Prinsip
Kebebasan Komunikasi (Navigasi)
C. Eksistensi dan Tujuan Hukum Perdagangan
Internasional
D. Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional
E. Unifikasi dan Harmonisasi Hukum
Perdagangan Internasional
1.
Perlunya
Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional
2.
Lembaga-lembaga
Yang Bergerak dalam Unifikasi dan Harmonisasi Hukum
a.
World
Trade Organization (WTO)
b.
The
International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT)
c.
The
United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL)
d.
Kamar
Dagang Internasional (ICC)
F. Penutup
BAB
II. SUBYEK HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
B. Negara
1.
Peran
Negara
2.
Imunitas
Negara
C. Organisasi Perdagangan Internasional
D. Individu
1.
Perusahaan
Multinasional
2.
Bank
E. Penutup
BAB
III. SUMBER HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
B. Sumber Hukum Perdagangan Internasional
1.
Perjanjian
Internasional
2.
Hukum
Kebiasaan Internasional
3.
Prinsip-prinsip
Hukum Umum
4.
Putusan
Badan Pengadilan dan Doktrin
5.
Kontrak
6.
Hukum
Nasional
C. Penutup
BAB
IV. ATURAN-ATURAN HUKUM PERDAGANGAN MENURUT GATT
A. Pengantar
B. Sejarah GATT
C. Ketentuan-ketentuan Perdagangan dalam GATT
D. Prinsip-prinsip GATT
E. Garis-garis besar Ketentuan GATT
F. Penutup
BAB
V. LETTER OF CREDIT DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
B. Bentuk-bentuk Pembiayaan Perdagangan
Internasional
1.
Kredit
Berdokumen (Documentary Credit)
2.
Bentuk
Khusus Kredit Berdokumen
C. Penutup
BAB
VI. E-COMMERCE MENURUT UNCITRAL MODEL LAW ON ELECTRONIC
COMMERCE
1996
A. Pengantar
B. Masalah Hukum: Pengawasan
C. UNCITRAL Model Law
1.
Pengantar
2.
Penerapan
Persyaratan Hukum terhadap Pesan Data
3.
Kekuatan
Pembuktian Pesan Data
4.
Penyimpanan
Pesan Data
5.
Komunikasi
Pesan Data
6.
Bentuk
dan Keabsahan Kontrak
7.
Pengakuan
terhadap Pesan Data
8.
Pengakuan
Penerimaan
9.
Waktu
dan Tempat Pengiriman dan Penerimaan Pesan Data
10. Bagian II: Obyek tertentu: Pengiriman Brg
11. Dokumen Pengangkutan (Bill of Lading)
12. Tanda Tangan Digital dan Pejabat Verifikasi
D. Penutup
BAB
VII. PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
B. Para Pihak dalam Sengketa
C. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa
1.
Prinsip
Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)
2.
Prinsip
Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa
3.
Prinsip
Kebebasan Memilih Hukum
4.
Prinsip
Itikad Baik (Good Faith)
5.
Prinsip
Exhaustion of Local Remedies
D. Forum Penyelesaian Sengketa
1.
Negosiasi
2.
Mediasi
3.
Konsiliasi
4.
Arbitrase
5.
Pengadilan
(Nasional dan Internasional)
E. Hukum Yang Berlaku
1.
Pengantar
2.
Kebebasan
Para Pihak
F. Pelaksaan Putusan Sengketa Dagang
1.
Pengantar
2.
Pelaksanaan
Putusan APS
3.
Pelaksanaan
Putusan Arbitrase (Asing)
4.
Pelaksanaan
Putusan Pengadilan
G. Penutup
BAB I
PENGANTAR HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar dan Definisi
Hukum perdagangan
internasional adalah bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang
hukum ini pun cukup luas. Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas
dapat mencakup banyak jenisnya. Dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari
barter, jual beli barang atau komoditi (produk-produk pertanian, perkebunan,
dan sejenisnya), hingga hubungan atau transaksi dagang yang kompleks. Kompleksnya
hubungan atau transaksi dagang internasional ini sedikit banyak disebabkan oleh
adanya jasa teknologi (khususnya teknologi informasi). Sehingga,
transaksi-transaksi dagang semakin berlangsung dengan cepat. Batas-batas negara
bukan lagi halangan dalam bertransaksi. Bahkan dengan pesatnya teknologi,
dewasa ini para pelaku dagang tidak perlu mengetahui atau mengenal siapa
rekanan dagangnya yang berada jauh di belahan bumi lain. Hal ini tampak dengan
lahirnya transaksi-transaksi yang disebut dengan e-commerce.
Ada berbagai motif
atau alasan mengapa negara atau subyek hukum (pelaku dalam perdagangan)
melakukan transaksi dagang internasional. Yang menjadi fakta adalah bahwa
perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjadi
makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini sudah banyak terbukti dalam sejarah
perkembangan dunia. Besar dan jayanya negara-negara di dunia tidak terlepas dari
keberhasilan dan aktivitas negara-negara tersebut di dalam perdagangan
internasional. Sebagai satu contoh, kejayaan Cina masa lalu tidak terlepas dari
kebijakan dagang yang terkenal dengan nama ‘Silk Route’ atau jalan suteranya.
Silk Route tidak lain adalah rute-rute perjalanan yang ditempuh oleh
saudagar-saudagar Cina untuk berdagang dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Setelah kejayaan Cina, menyusul negara-negara
lain seperti Spanyol dengan Spanish Conquistadors-nya, Inggris dengan The
British Empire-nya (beserta perusahaan multinasionalnya yang pertama di
dunia, yakni ‘the East-India Company’, Belanda dengan VOC-nya,
dll. Kejayaan negara-negara ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintahnya
untuk melakukan transaksi dagang internasional.
Kesadaran untuk
melakukan transaksi dagang internasional ini juga telah cukup lama disadari
oleh para pelaku pedagang di tanah air sejak. Adalah Amanna Gappa, seorang
kepala suku Bugis yang sadar akan pentingnya dagang (dan pelayaran) bagi kesejahteraan
sukunya. Keunggulan suku bugis dalam berlayar dengan hanya menggunakan
perahu-perahu bugis yang kecil telah mengarungi lautan luas hingga ke Malaya
(sekarang menjadi wilayah Singapura dan Malaysia). Yang menjadi esensi untuk
bertransaksi dagang ini adalah dasar filosofinya. Telah dikemukakan bahwa
berdagang ini adalah suatu “kebebasan fundamental” (fundamental freedom).
Dengan kebebasan ini siapa saja harus memiliki kebebasan untuk berdagang.
Kebebasan ini tidak boleh dibatasi oleh adanya perbedaan agama, suku,
kepercayaan, politik, sistem hukum, dll. Piagam Hak-hak dan Kewajiban Negara (Charter
of Economic Rights and Duties of States) juga mengakui bahwa setiap Negara
memiliki hak untuk melakukan perdagangan internasional. (“Every State
has the right to engage in international trade”) (Pasal 4).
1. Definisi
Cepatnya
perkembangan bidang hukum ini ternyata masih belum ada kesepakatan tentang
definisi untuk bidang hukum ini. Hingga dewasa ini terdapat berbagai definisi
yang satu sama lain berbeda.
a. Definisi Schmitthoff
Definisi pertama
adalah definisi yang dikeluarkan oleh Sekretaris Jenderal PBB dalam laporannya
tahun 1966. Definisi ini sebenarnya adalah definisi buatan seorang guru besar
ternama dalam hukum dagang internasional dari City of London College, yaitu
Professor Clive M. Schmitthoff. Sehingga dapat dikatakan bahwa definisi yang
tercakup dalam Laporan Sekretaris Jenderal tersebut tidak lain adalah laporan
Schmitthoff. Schmitthoff mendefinisikan hukum perdagangan internasional sebagai:
“... the body of rules governing commercial relationship of a private
law nature involving different nations”. Dari definisi tersebut dapat
tampak unsur-unsur berikut:
1) Hukum perdagangan internasional adalah
sekumpulan aturan yang mengatur hubungan-hubungan komersial yang sifatnya hukum
perdata,
2) Aturan-aturan hukum tersebut mengatur
transaksi-transaksi yang berbeda negara.
Definisi di atas
menunjukkan dengan jelas bahwa aturan-aturan tersebut bersifat komersial.
Artinya, Schmitthoff dengan tegas membedakan antara hukum perdata (“private
law nature”) dan hukum publik. Dalam definisinya itu, Schmitthoff
menegaskan bahwa ruang lingkup bidang hukum ini tidak termasuk
hubungan-hubungan komersial internasional dengan ciri hukum publik. Termasuk
dalam bidang hukum publik ini yakni aturan-aturan yang mengatur tingkah laku
atau perilaku negara-negara dalam mengatur perilaku perdagangan yang
mempengaruhi wilayahnya.
Dengan kata lain,
Schmitthoff menegaskan wilayah hokum perdagangan internasional tidak termasuk
atau terlepas dari aturan-aturan hukum internasional publik yang mengatur
hubungan-hubungan komersial. Misalnya, aturan-aturan hukum internasional yang
mengatur hubungan dagang dalam kerangka GATT atau aturan-aturan yang mengatur
blok-blok perdagangan regional, aturan-aturan yang mengatur komoditi, dsb.
Dalam salah satu tulisannya Schmitthoff dengan jelas menegaskan sebagai
berikut: “First, the modern law of international trade is not a branch of
international law; it does not form part of the jus gentium, but it is
applied in every national jurisdiction by tolerance of the national sovereign
whose public policy may override or qualify a particular rule of that law.”
Dari latar belakang
definisi tersebut pun berdampak pada ruang lingkup cakupan hukum dagang internasional.
Schmitthoff menguraikan bidang-bidang berikut sebagai bidang cakupan bidang hukum
ini:
1) Jual beli dagang internasional: (i)
pembentukan kontrak; (ii) perwakilan-perwakilan dagang (agency); (iii)
Pengaturan penjualan eksklusif;
2) Surat-surat berharga
3) Hukum mengenai kegiatan-kegiatan tentang
tingkah laku mengenai perdagangan internasional
4) Asuransi
5) Pengangkutan melalui darat dan kereta api,
laut, udara, perairan pedalaman
6) Hak milik industri
7) Arbitrase komersial.
b. Definisi M. Rafiqul Islam
Dalam upayanya
memberi batasan atau definisi hukum perdagangan internasional, Rafiqul Islam
menekankan keterkaitan erat antara perdagangan internasional dan hubungan
keuangan (financial relations). Dalam hal ini Rafiqul Islam member batasan
perdagangan internasional sebagai "... a wide ranging, transnational,
commercial exchange of goods and services between individual business
persons, trading bodies and States".
Hubungan finansial
terkait erat dengan perdagangan internasional. keterkaitan erat ini tampak
karena hubungan-hubungan keuangan ini mendampingi transaksi perdagangan antara para
pedagang (dengan pengecualian transaksi barter atau countertrade).
Pengecualian terhadap kedua bentuk transaksi tersebut karena memang untuk kedua
transasi tersebut tidak terkait dengan adanya hubungan keuangan. Dengan adanya
keterkaitan erat antara perdagangan internasional dan keuangan, Rafiqul Islam
mendefinisikan "hukum perdagangan dan keuangan ("international
trade and finance law") sebagai suatu kumpulan aturan, prinsip, norma
dan praktek yang menciptakan suatu pengaturan (regulatory regime) untuk
transaksi-transaksi perdagangan transnasional dan sistem pembayarannya, yang
memiliki dampak terhadap perilaku komersial lembaga-lembaga perdagangan.
Kegiatan-kegiatan
komersial tersebut dapat dibagi ke dalam kegiatan "komersial" yang
berada dalam ruang lingkup hukum perdata internasional atau Conflict of Laws;
perdagangan antar pemerintah atau antar negara, yang diatur oleh hukum
internasional publik. Dari batasan tersebut tampak bahwa ruang lingkup hukum perdagangan
internasional sangat luas.14 Karena ruang lingkup kajian bidang hukum ini
sifatnya adalah lintas batas atau transnasional, konsekuensinya adalah
terkaitnya lebih dari satu sistem hukum yang berbeda.
c. Definisi Michelle Sanson
Sarjana lainnya
yang mencoba memberi batasan bidang hukum ini adalah sarjana Australia Sanson.
Sanson memberi batasan bidang ini sesuai dengan pengeritan kata-kata dari
bidang hukum ini, yaitu hukum, dagang dan internasional (dengan kata dasar nasion
atau negara). Hukum perdagangan internasional menurut definisi Sanson ‘can
be defined as the regulation of the conduct of parties involved in the
exchange of goods, services and technology between nations.’ Definisi
di atas sederhana. Ia tidak menyebut secara jelas bidang hukum ini jatuh ke
bidang hukum yang mana: hukum privat, publik, atau hukum internasional. Sanson
hanya menyebut bidang hukum ini adalah the regulation of the conduct of
parties. Para pihaknya pun dibuat samar, hanya disebut parties.
Sedangkan obyek kajiannya, Sanson agak jelas: yaitu jual beli barang, jasa dan teknologi.
Meskipun memberi
definisi yang mengambang tersebut, Sanson membagi hukum perdagangan
internasional ini ke dalam dua bagian utama, yaitu hukum perdagangan
internasional publik (public interntional trade law) dan hukum
perdagangan internasional privat (private international trade law). Yang
pertama, public international trade law adalah hukum yang mengatur
perilaku dagang antar negara. Sedangkan yang kedua, private international
trade law adalah hukum yang mengatur perilaku dagang secara orang
perorangan (private traders) di negara-negara yang berbeda. Meskipun ada
pembedaan ini, namun para sarjana mengakui bahwa batas-batas kedua istilah ini
pun sangat sulit untuk dibuat garis batasnya. Sanson menyatakan bahwa ‘the
modern development is that the distinction between publik and privat
international trade law has less meaning.’
d. Definisi Hercules Booysen
Booysen sarjana
Afrika Selatan tidak memberi definisi secara tegas. Beliau menyadari bahwa ilmu
hukum sangatlah kompleks. Karena itu, upaya untuk membuat definisi bidang
hukum, termasuk hukum perdagangan internasional, sangatlah sulit dan jarang
tepat. Karena itu dalam upayanya memberi definisi tersebut, beliau hanya
mengungkapkan unsur-unsur dari definisi hukum perdagangan internasional.
Menurut beliau ada tiga unsur, yakni:
(1) Hukum perdagangan internasional dapat
dipandang sebagai suatu cabang khusus dari hukum internasional (international
trade law may also be regarded as a specialised branch of international
law).
(2) Hukum perdagangan internasional adalah
aturan-aturan hukum internasional yang berlaku terhadap perdagangan barang,
jasa dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI). (International
trade law can be described as those rules of international law which are
applicable to trade in goods, services and the protection of
intellectual property). Bentuk-bentuk hukum perdagangan internasional
seperti ini, misalnya saja adalah aturan-aturan WTO, perjanjian multilateral
mengenai perdagnagan mengenai barang seperti GATT, perjanjian mengenai
perdagangan di bidang jasa (GATS/WTO, dan perjanjian mengenai aspek-aspek yang
terkait dengan HAKI (TRIPS). Dalam lingkup definisi ini diakui bahwa negara bukanlah
semata-mata pelaku utama dalam bidang perdagangan internasional. Negara lebih
berperan sebagai regulator (pengatur). Karena itu hukum perdagangan
internasional juga mencakup aturan-aturan internasional mengenai
transaksitransaksi nyata yang bersifat internasional dari para pedagang (international
law merchants). Karenanya, international law merchants ini adalah bagian
dari hokum perdagangan internasional.
(3) Hukum perdagangan internasional terdiri
dari aturan-aturan hukum nasional yang memiliki atau pengaruh langsung terhadap
perdagangan internasional secara umum. Karena sifat aturan-aturan hukum
nasional tersebut, maka atura-aturan tersebut merupakan bagian dari hukum
perdagangan internasional. Contoh dari aturan hukum nasional seperti itu adalah
perundang-undangan yang ekstrateritorial (the extraterritorial legislation).
Dari 3 (tiga)
definisi di atas tampak semuanya ada benarnya. Tetapi penulis lebih pro kepada
definisi Rafiqul Islam. Dari batasan Rafiqul Islam di atas, tampak adanya
keterkaitan erat antara hukum perdagangan internasional dengan hokum internasional
publik. Memang sekilas tampak bahwa dampak dan pengaruh hukum internasional
publik ini tidak langsung. Namun demikian pengaruh ini dapat berdampak cukup
luas terhadap beberapa aspek dari hukum perdagangan internasional. Hal ini disebabkan
karena hukum internasional publik dalam beberapa hal telah membentuk dan sedang
dalam proses pembentukan ketentuan-ketentuan yang mengatur aspek-aspek perdata
dari transaksi perdagangan internasional.
2. Pendekatan Hukum Perdagangan Internasional
a. Hubungan antara Hukum Perdagangan
Internasional dan Bidang Hukum lainnya
Satu catatan lain
yang juga penting adalah hubungan antara hukum perdagangan internasional dan
hukum lainnya yang terkait dengan perdagangan internasional. Di bagian awal
tulisan ini tampak luasnya bidang cakupan hukum perdagangan internasional ini.
Luasnya bidang cakupan membuat cakupan yang dikajinya sulit untuk tidak tumpang
tindih dengan bidang-bidang lainnya. Misalnya dengan hukum ekonomi
internasional, hukum transaksi bisnis internasional, hukum komersial
internasional, dll.
Catatan di atas
menunjukkan kedudukan penulis yang mengakui adanya keterkaitan antara hukum
perdagangan internasional dengan hukum internasional. Di sisi lain, penulis
berpendirian bahwa hukum ekonomi internasional adalah juga bagian atau cabang
dari hukum internasional. Masalahnya adalah di mana letak atau garis batas di
antara hukum perdagangan dengan bidang-bidang hukum lain disebut di atas,
khususnya hukum ekonomi internasional. Ada bidang-bidang yang sama-sama tunduk
pada dua bidang hukum ini. Misalnya saja, pembahasan mengenai subyek-subyek dan
sumber-sumber dari kedua bidang hukum sedikit banyak hampir sama.
Sementara ini
pendekatan yang ditempuh untuk membedakan kedua bidang hukum ini adalah melihat
subyek hukum yang tunduk kepada kedua bidang hukum tersebut. Hukum ekonomi
internasonal lebih banyak mengatur subyek hukum yang bersifat publik (policy),
seperti misalnya hubungan-hubungan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh negara
atau organisasi internasional. Sedangkan hukum perdagangan internasional lebih
menekankan kepada hubunganhubungan hukum yang dilakukan oleh badan-badan hukum
privat.
Dalam kenyataannya
pendirian tersebut tidak begitu valid. Hukum ekonomi internasional dalam
kenyataannya juga mengatur kegiatan-kegiatan atau transaksi-transaksi badan
hukum privat atau yang terkait dengan kepentingan privat, misalnya mengenai perlindungan
dan nasionalisasi atau ekspropriasi perusahaan asing. Selain itu, meskipun
hukum ekonomi internasional mengatur subyek-subyek hukum publik atau negara,
namun aturan-aturan tersebut bagaimana pun juga akan berdampak pada individu
atau subyek-subyek hukum lainnya di dalam wilayah suatu negara.
b. Hukum Perdagangan Internasional Bersifat
Interdisipliner
Karakteristik lain
dari hukum perdagangan internasional ini adalah pendekatannya yang
interdisipliner. Untuk dapat memahami bidang hukum ini secara komprehensif,
dibutuhkan sedikit banyak bantuan disiplin-disiplin (ilmu) lain. Dalam bidang
hukum ini terkait dengan bidang pengangkutan (darat, udara dan khususnya laut).
Hal ini membutuhkan bantuan dan pemahaman disiplin ilmu pelayaran. Keterkaitan
dengan pembayaran dalam perdagangan internasional akan terkait dengan praktik
perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Hal ini membutuhkan bantuan dan
pemahaman disiplin ilmu perbankan dan keuangan. Keterkaitan dengan perdagangan
itu sendiri akan terkait dengan praktik dan teknik-teknik perdagangan. Hal ini
membutuhkan bantuan dan pemahaman ilmu praktik perdagangan.
Disiplin-disiplin
ilmu lainnya yang terkait lainnya misalnya adalah teknologi, ekonomi. Yang juga
penting adalah ilmu politik, yaitu bagaimana kebijakan politik suatu negara
yang berpengaruh terhadap kebijakan dagang suatu negara.
B. Prinsip-prinsip Dasar Hukum Perdagangan
Internasional
Prinsip-prinsip
dasar (fundamental principles) yang dikenal dalam hukum perdagangan
internasional diperkenalkan oleh sarjana hukum perdagangan internasional
Profesor Aleksancer Goldštajn. Beliau memperkenalkan 3 (tiga) prinsip dasar
tersebut, yaitu (1) prinsip kebebasan para pihak dalam berkontrak (the
principle of the freedom of contract); (2) prinsip pacta sunt
servanda; dan (3) prinsip penggunaan arbitrase.
1. Prinsip Dasar Kebebasan Berkontrak
Prinsip pertama,
kebebasan berkontrak, sebenarnya adalah prinsip universal dalam hukum
perdagangan internasional. Setiap sistem hukum pada bidang hukum dagang
mengakui kebebasan para pihak ini untuk membuat kontrak-kontrak dagang
(internasional). Schmitthoff menanggapi secara positif kebebasan pertama ini.
Beliau menyatakan: “The autonomy of the parties’ will in the law of contract is
the foundation on which an autonomous law of international trade can be built.
The national sovereign has,..., no objection that in that area an autonomous
law of international trade is developed by the parties, provided always that
that law respects in every national jurisdiction the limitations imposed by
public policy.”
Kebebasan tersebut
mencakup bidang hukum yang cukup luas. Ia meliputi kebebasan untuk melakukan
jenis-jenis kontrak yang para pihak sepakati. Ia termasuk pula kebebasan untuk
memilih forum penyelesaian sengketa dagangnya. Ia mencakup pula kebebasan untuk
memilih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak, dll. Kebebasan ini sudah
barang tentu tidak boleh bertentangan dengan UU, kepentingan umum, kesusilaan,
kesopanan, dan lain-lain persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing sistem
hukum.
2. Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda
Prinsip kedua, pacta
sunt servanda adalah prinsip yang mensyaratkan bahwa kesepakatan atau
kontrak yang telah ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya
(dengan itikad baik). Prinsip ini pun sifatnya universal. Setiap system hukum
di dunia menghormati prinsip ini.
3. Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa
Melalui Arbitrase
Prinsip ketiga,
prinsip penggunaan arbitrase tampaknya terdengar agak ganjil. Namun demikian
pengakuan Goldštajn menyebut prinsip ini bukan tanpa alasan yang kuat.
Arbitrase dalam perdagangan internasional adalah forum penyelesaian sengketa
yang semakin umum digunakan. Klausul arbitrase sudah semakin banyak dicantumkan
dalam kontrak-kontrak dagang. Oleh karena itulah prinsip ketiga ini memang
relevan.
Goldštajn
menguraikan kelebihan dan alasan mengapa penggunaan arbitrase ini beliau
jadikan prinsip dasar dalam hukum perdagangan internasional: “Moreover, to the
extent that the settlement of differences is referred to arbitration, a uniform
legal order is being created. Arbitration tribunals often apply criteria other than
those applied in courts. Arbitrators appear more ready to interpret rules
freely, taking into account customs, usage and business practice. Further, the
fact that the enforcement of foreign arbitral awards is generally more easy
than the enforcement of foreign court decisions is conducive to a preference
for arbitration.”
4. Prinsip Dasar Kebebasan Komunikasi
(Navigasi)
Di samping tiga
prinsip dasar tersebut, prinsip dasar lainnya yang menurut penulis relevan
adalah prinsip dasar yang dikenal dalam hukum ekonomi internasonal, yaitu
prinsip kebebasan untuk berkomunikasi (dalam pengertian luas, termasuk di
dalamnya kebebasan bernavigasi). Komunikasi atau navigasi adalah kebebasan para
pihak untuk berkomunikasi untuk keperluan dagang dengan siapa pun juga dengan
melalui berbagai sarana navigasi atau komunikasi, baik darat, laut, udara, atau
melalui sarana elektronik. Kebebasan ini sangat esensial bagi terlaksananya perdagangan
internasional. Aturan-aturan hukum (internasional) memfasilitasi kebebasan ini.
Dalam berkomunikasi
untuk maksud berdagang ini kebebasan para pihak tidak boleh dibatasi oleh
sistem ekonomi, sistem politik, atau sistem hukum. Bandingkan dengan pendapat professor
Goldštajn di bawah ini ketika beliau membahas hubungan antara sistem ekonomi
dan politik dalam kaitannya dengan hokum perdagangan internasional: “The law
governing trade transactions is neither capitalist nor socialist; it
is a means to an end, and therefore, the fact that the beneficiaries of such
transactions are different in this or that country is no obstacle to the development
of international trade. The law of international trade is based on
the general principles accepted in the entire world.” Pernyataan terakhir
Goldštajn di atas, yaitu bahwa hukum perdagangan internasional didasarkan pada
prinsip-prinsip umum
yang diterima di seluruh dunia menyatakan
seolah-seolah hukum perdagangan internasional dapat diterima oleh sistem hukum
di dunia. Pendapat ini benar. Sarjana terkemuka lainnya, Profesor Tammer,
memperkuat pernyataan tersebut: “The law of external trade of the countries of
planned economy does not differ in its fundamental principles from the law of
external trade of other countries, such as, e.g., Austria or Switzerland.
Consequently, international trade law specialists of all countries have found
without difficulty that they speak a ‘common language.”
C. Eksistensi dan Tujuan Hukum Perdagangan
Internasional
Hubungan-hubungan
perdagangan internasional antar Negara sudah ada sejak lama. Hubungan-hubungan
ini sudah ada sejak adanya negara-negara dalam arti negara kebangsaan, yaitu
bentuk-bentuk
awal negara dalam arti modern. Perjuangan
negara-negara ini untuk memperoleh kemandirian dan pengawasan (kontrol) terhadap
ekonomi internasional telah memaksa negara-negara ini untuk mengadakan
hubungan-hubungan perdagangan yang mapan dengan negara-negara lainnya. Mereka
menyadari bahwa perdagangan adalah satu-satunya cara untuk pembangunan ekonomi
mereka.
Seperti telah
dikemukakan di awal tulisan ini, sejak dulu dan bahkan dewasa ini semakin
banyak negara sadar bahwa kebijakan menutup diri sudah jauh-jauh ditinggalkan.
Pendirian ini semakin mendorong negara untuk memperluas aktivitas
perdagangannya. Cara pandang ini sedikit banyak dilatarbelakangi dan dipengaruhi
oleh beberapa aliran atau teori ekonomi. Pada awal perkembangannya, terutama
abad ke 15 dan 16, teori atau aliran yang mula lahir adalah teori
merkantilisme. Para merkantilis berpendirian perdagangan internasional sebagai
instrumen kebijakan nasional. Mereka menekankan pentingnya ekspor sebesar-besarnya
dan menekan impor serendah-rendahnya. Keuntungan dari selisih ekspor-impor
merupakan keuntungan bagi negara (yang waktu itu diwujudkan dalam bentuk emas).
Reaksi dari aliran
itu adalah teori keunggulan komparatif yang diperkenalkan oleh David Ricardo (1772-1823).
Ricardo menekankan spesialisasi dari hasil suatu produk. Smith menganggap perdagangan
internasional sebagai salah satu bagian dari keunggulan komparatif (principle
of comparative advantage). Teori beliau menyatakan bahwa untuk menjadi
pemain utama dalam perdagangan, faktor yang penting bukanlah ukuran, tetapi bagaimana
memaksimalkan potensi. Contoh klasik adalah Jepang. Dari segi geografis,
kekayaan alam dan luas wilayah, Jepang relatif kurang beruntung. Tetapi dengan
kekuatan manajemen dalam perdagangan internasionalnya, negeri ini berhasil
menjadikannya sebuah negara yang paling penting di dunia dewasa ini.
Semakin luasnya
aktivitas perdagangan ini yang dewasa ini dikenal dengan "liberalisasi
perdagangan", sistem keuangan atau pasar internasional yang stabil untuk
memberikan modal untuk melaksanakan perdagangan internasional tersebut. Karena
itu, keterkaitan antara perdagangan internasional dan sistem keuangan atau
moneter internasional menjadi semakin penting. Tidak terlalu mengherankan
apabila masyarakat internasional kemudian menyelenggarakan konperensi Bretton
Woods guna mendirikan Bank Dunia - IMF untuk maksud ini. Berdirinya ke-2 lembaga
keuangan ini semata-mata untuk menjaga agar system moneter internasional dapat
terpelihara (stabil) dan juga member pinjaman jangka pendek guna menanggulangi
kesulitan neraca pembayaran yang disebabkan oleh adanya defisit perdagangan
ekspor-impor negara-negara. Krisis keuangan internasional pada tahun 1970-an
juga telah mempertegas pentingnya hubungan erat ini.
Dalam upaya
negara-negara ini meningkatkan pertumbuhan ekonomi mereka, dewasa ini mereka
cenderung membentuk blok-blok perdagangan baik bilateral, regional maupun
multilateral. Dalam kecenderungan ini pun peran perjanjian internasional
menjadi semakin penting.
Semakin pentingnya peran
perjanjian-perjanjian di bidang ekonomi atau perdagangan ini pun telah
melahirkan aturan-aturan yang mengatur perdagangan internasional di bidang
barang, jasa dan penamaman modal di antara negara-negara. Tujuan hukum
perdagangan internasional sebenarnya tidak
berbeda dengan tujuan GATT (General
Agreement on Tariffs and Trade, 1947) yang termuat dalam Preambule-nya.
Tujuan tersebut adalah:
(a) untuk mencapai perdagangan internasional
yang stabil dan menghindari kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek perdagangan
nasional yang merugikan negara lainnya.
(b) untuk meningkatkan volume perdaganan
dunia dengan menciptakan perdagangan yang menarik dan menguntungkan bagi
pembangunan ekonomi semua negara;
(c) meningkatkan standar hidup umat manusia;
dan
(d) meningkatkan lapangan tenaga kerja.
Tujuan lainnya yang juga relevan adalah:
(e) utk mengembangkan sistem perdagangan
multilateral, bukan sepihak suatu negara tertentu, yang akan mengimplementasikan
kebijakan perdagangan terbuka dan adil yg bermanfaat bagi semua negara; dan
(f) meningkatkan pemanfaatan sumber-sumber
kekayaan dunia dan meningkatkan produk dan transaksi jual beli barang.
Ada pula yang
menyatakan bahwa aturan-aturan perdagangan internasional juga pada analisis
akhirnya akan menciptakan perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini antara
lain dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri AS, Hull. Tesis ini tampaknya benar.
Manakala dua atau lebih negara berhubungan dan bertransaksi dagang dan mereka
memperoleh keuntungan dari perdagangan tersebut, otomatis keadaan dunia menjadi
sedikit banyak lebih baik. Artinya, situasi dan kondisi dunia akan semakin
kondusif.
Sebenarnya tesis
Hull tersebut sudah lama dikumandangkan oleh Immanuel Kant, yang selama ini
dikenal juga sebagi bapak hukum internasional. Dalam tulisannya berjudul ‘On
Eternal Peace,’ Kant menyatakan bahwa ‘spirit of trade could not co-exist with
war.’ Yang juga cukup menarik adalah tesis Hull di atas juga telah cukup
lama disadari di tanah air. Salah seorang kepala suku Bugis ternama, yaitu
Amanna Gappa, juga menyadari bahwa tujuan (unifikasi) hukum dagang adalah untuk
mencegah persaingan di antara suku bangsanya dan juga memajukan kerjasama di
antara mereka guna kesejahteraan di antara mereka.45 Terjemahan saduran hasil
penelitian terhadap suku terkenal Bugis ini yang terkenal dengan hukum
pelayaran dan dagangnya tergambarkan sebagai berikut: “One of thse chiefs was
Amanna Gappa (=father of Gappa) who headed his countrymen at Makassar. Most
probably he was a very intelligent and energetic man and he may have been the first
to realize the great importance of navigation and trade for his people as the
only fields of endeavour in which they could earn a living. We may assume that this
was the bacground of his taking initiative in inviting his colleagues
from other parts of Indonesia in order to collect the different rules which
were in force in their respective regions and to compile a uniform
navigation and trade law. By doing so he tried to prevent heavy competition
among his countrymen and to stimulate cooperation for their own welfare.”
Meskipun adanya
tujuan bagus tersebut di atas, hokum perdagangan internasional masih memiliki
cukup banyak kelemahan. Kelemahan tersebut tampaknya juga dapat ditemui dalam
bidang-bidang hukum lainnya, yakni terdapatnya pengecualian-pengecualian atau
klausul-klausul 'penyelamat' yang bersifat memperlonggar kewajiban-kewajiban
hukum. Kelemahan spesifik tersebut yaitu:
(a) hukum perdagangan internasional sebagian
besar bersifat pragmatis dan permisif. Hal ini mengakibatkan aturan-aturan hukum
perdagangan internasional kurang obyektif di dalam 'memaksakan' negara-negara
untuk tunduk pada hukum. Dalam kenyataannya, negara-negara yang memiliki
kekuatan politis dan ekonomi memanfaatkan perdagangan sebagai sarana kebijakan politisnya.
(b) Aturan-aturan hukum perdagangan
internasional bersifat mendamaikan dan persuasif (tidak memaksa). Kelemahan ini
sekaligus juga kekuatan bagi perkembangan hukum perdagangan internasional yang
menyebabkan atau memungkinkan perkembangan hukum ini di tengah krisis.
D. Perkembangan Hukum Perdagangan
Internasional
Dari uraian di atas
tampak bahwa hukum perdagangan internasional telah ada sejak lahirnya negara
dalam arti modern. Sejak saat itu, hukum perdagangan internasional telah
mengalami perkembangan yang cukup pesat sesuai dengan perkembangan hubungan-hubungan
perdagangan. Dilihat dari perkembangan sumber hukumnya (dalam arti materil),
maka perkembangan hukum perdagangan internasional dapat dikelompokkan ke dalam
3 tahap, yakni:
(1) Hukum perdagangan internasional dalam
masa awal pertumbuhan.
Hukum perdagangan internasional lahir pada
awalnya dari praktek para pedagang. Hukum yang diciptakan oleh para pedagang ini
lazim disebut pula sebagai lex mercatoria (law of merchant). Pada awal
perkembangannya ini Lex Mercatoria tumbuh dari adanya 4 faktor berikut:
(a)
lahirnya
aturan-aturan yang timbul dari kebiasaan dalam berbagai pekan raya (the law
of the fairs);
(b)
lahirnya
kebiasaan-kebiasaan dalam hukum laut;
(c)
lahirnya
kebiasaan-kebiasaan yang timbul dari praktek penyelesaian sengketa-sengketa di
bidang perdagangan; dan
(d)
berperannya
notaris (public notary) dalam memberi pelayanan jasa-jasa hukum(dagang).
(2) Hukum perdagangan internasional yang
dicantumkan dalam hokum nasional
Dalam tahap perkembangan ini, negara-negara
mulai sadar perlunya pengaturan hukum perdagangan internasional. Mereka lalu mencantumkan
aturan-aturan perdagangan internasional dalam kitab undang-undang hukum
(perdagangan internasional) mereka. Aturan-aturan tersebut sedikit banyak
adalah aturan-aturan yang mereka adopsi dari lex mercatoria. Misalnya saja
Perancis membuat Kitab Undang-undang Hukum Dagang-nya (code de commerce)
tahun 1807, Jerman menerbitkan Allgemeine Handelsgezetbuch tahun 1861,
dll.
(3) Lahirnya aturan-aturan hukum
perdagangan internasional dan Munculnya Lembaga-lembaga Internasional yang
mengurusi Perdagangan Internasional. Dalam perkembangan ketiga ini,
aturan-aturan hukum perdagangan internasional lahir sebagian besar
karena dipengaruhi oleh semakin banyaknya berbagai perjanjian
internasional yang ditandatangani baik secara bilateral, regional,
maupun
multilateral.
Secara khusus tahap
ketiga ini muncul secara signifikan setelah berakhirnya Perang Dunia II. Salah
satu perjanjian multilateral yang ditandangani pada masa ini adalah disepakati lahirnya
GATT tahun 1947. Tahap ketiga ini disebut juga dengan tahap “internationalism”.
Schmitthoff menyatakan sebagai berikut: “We are beginning to rediscover the
international character of commercial law and the circle now contemplates it self:
the general trend of commercial law everywhere is to move away from the
restrictions of national law to a universal, international conception of the
law of international trade.”
Sejak berdiri
hingga dewasa ini aturan-aturan perdagangan GATT telah berkembang dan mengalami
pembangunan yang cukup penting. Bahkan dalam putaran perundingan tahun
1986-1994, negara-negara anggota GATT telah sepakat untuk membentuk suatu badan
atau lembaga internasional baru, yaitu WTO. Perubahan dari GATT ke WTO
berdampak luas terhadap bidang hukum perdagangan internasional. Alasannya,
bidang pengaturan yang tercakup di dalam WTO sekarang ini adalah kompleks. Ia
tidak semata-mata lagi mengatur tarif dan barang, tetapi juga mengatur jasa,
hak kekayaan intelektual, penanaman modal, lingkungan, dll.
Ciri kedua dalam
perkembangan tahap ketiga ini yakni munculnya organisasi internasional. Salah
satu badan yang menonjol adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebetulnya peran
PBB di bidang perdagangan internasional tidaklah langsung.
Peran PBB di bidang ekonomi dan perdagangan
ini termuat dalam pasal 1:3 Piagam PBB, yakni aturan tentang tujuan PBB yakni mencapai
kerjasama internasional di dalam antara lain menyelesaikan masalah-masalah
ekonomi internasional. Tujuan-tujuan PBB di atas diupayakan pemenuhannya
melalui berbagai langkah berikut:
i. Negara-negara
anggota PBB mendirikan the United Nations Conference on Trade and
Development (UNCTAD) pada tahun 1964. Tujuan utamanya adalah untuk
memberikan kesempatan yang lebih besar kepada negara sedang berkembang untuk
ikut serta dalam merumuskan kebijakan-kebijakan perdagangan, dengan
memperhatikan kepentingan-kepentingan khusus negara-negara sedang berkembang
ini.
ii. negara-negara
anggota PBB mengesahkan the Charter of Economic Rights and Duties of States pada
tahun 1974 (serta disahkannya the Declaration and Programme of Action on the
Establishment of the New International Economic Order). Pembentukan Piagam
ini diawali dengan langkah Majelis Umum PBB mengesahkan the International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights pada tahun 1966. Dokumen-dokumen
penting ini pada pokoknya mengakui dan memberi perlakuan khusus kepada
negara-negara sedang berkembang di bidang perdagangan, keuangan dan penanaman
modal.
Ciri ketiga yang
juga menonjol adalah disepakatinya pendirian badan-badan ekonomi regional di
suatu kawasan region tertentu. Blok perdagangan regional yang mula-mula membawa
pengaruh cukup luas adalah the European Single Market (1992) dan segera
diikuti oleh blok perdagangan Amerika Utara (The North American Free Trade
Agreeement atau NAFTA) (1994). Di kawasan Asia Tenggara, negara-negara
ASEAN mengikuti langkah serupa dengan membentuk Asean Free Trade Area (AFTA).
AFTA berlaku efektif sejak 1 Januari 2003.
Kecenderungan
pembentukan kelompok-kelompok regional ini di satu sisi positif. Namun di sisi
lain organisasi-organisasi regional tersebut menimbulkan kekhawatiran dari
masyarakat internasional karena terdapatnya blok-blok perdagangan tersebut melahirkan
peraturan-peraturan regional eksklusif yang ternyata menyimpangi
ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam GATT/WTO.
E. Unifikasi dan Harmonisasi Hukum
Perdagangan Internasional
1. Perlunya Unifikasi dan Harmonisasi Hukum
Di atas dikemukakan
bahwa negara-negara mencantumkan aturan-aturan hukum perdagangan internasional
dalam hokum nasionalnya. Aturan-aturan hukum nasional di bidang perdagangan internasional
ini karenanya menjadi sumber hukum yang cukup penting dalam hukum perdagangan
internasional. Tetapi adanya berbagai aturan hukum nasional ini sedikit banyak
kemungkinan dapat berbeda antara satu sama lainnya.
Perbedaan ini
kemudian dikhawatirkan akan juga mempengaruhi kelancaran transaksi perdagangan
itu sendiri. Masalah ini sebelumnya sudah cukup lama disadari oleh bangsa-bangsa
di dunia, termasuk organisasi dunia PBB. Dalam resolusi Majelis Umum PBB No
2102 (XX), PBB menyatakan bahwa: "Conflicts and divergencies arising
from the laws of different states in matters relating to international
trade constitute an obstacle to the development of world trade."
Untuk menghadapi masalah ini, sebenarnya ada 3 teknik yang dapat dilakukan.
Pertama, negara-negara sepakat untuk tidak menerapkan hukum
nasionalnya. Sebaliknya mereka menerapkan hukum perdagangan internasional untuk
mengatur hubungan-hubungan hokum perdagangan mereka.
Kedua, apabila aturan hukum perdagangan internasional tidak ada dan atau
tidak disepakati oleh salah satu pihak, maka hokum nasional suatu negara tertentu
dapat digunakan. Cara penentuan hukum nasional yang akan berlaku dapat
digunakan melalui penerapan prinsip choice of laws. Choice of Laws adalah
klausul pilihan hukum yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan dalam
kontrak (internasional) yang mereka buat.
Ketiga, teknik yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan unifikasi dan
harmonisasi hukum aturan-aturan substantif hokum perdagangan internasional. Teknik
ketiga ini dipandang cukup efisien. Cara ini memungkinkan terhindarnya konflik
di antara sistem-sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara.
Kedua kata ini
hampir sama maksudnya, namun ada nuansa atau perbedaan yang perlu untuk
dicatat. Kedua kata sama-sama berarti upaya atau proses menyeragamkan substansi
pengaturan sistem-sistem hukum yang ada. Penyeragaman tersebut mencakup pengintegrasian
sistem hukum yang sebelumnya berbeda. Perbedaan kedua kata tersebut terletak
pada derajat penyeragaman tersebut. Dalam unifikasi hukum, penyeragaman mencakup
penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan sistem hukum yang baru.
Contohnya adalah pemberlakuan Perjanjian TRIPS/WTO.
Dengan
diperkenalkannya substansi bidang-bidang perjanjian TRIPS/WTO yang mencakup
ketentuan mengenai hak cipta, merek dagang, indikasi geografis, disain
industri, paten, dll., meletakkan kewajiban kepada negara anggota untuk membuat
aturan-aturan HAKI nasionalnya yang sesuai dengan substansi perjanjian TRIPS/WTO.
Harmonisasi hukum tidak sedalam unifiksi hukum. Tujuan utama harmonisasi hukum
hanya berupaya mencari keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang
bersifat fundamental dari berbagai sistem hukum yang ada (yang akan diharmonisasikan).
Untuk dapat
melaksanakan unifikasi dan harmonisasi hukum ini karenanya hanya dapat dicapai
oleh para ahli hukum yang mendalami atau menguasai perbandingan hukum. Upaya
ini dapat dilakukan oleh suatu tim ahli perbandingan hukum yang terdiri dari
para ahli hukum yang berlatar belakang sistem hukum yang berbeda-beda yang
hendak diupayakan unifikasi dan harmonisasi hukumnya. Dalam upaya unifikasi dan
harmonisasi hukum, masalah esensialnya adalah bagaimana metode yang akan
diterapkannya. Dalam kaitan itu, masalah-masalah mengenai perbedaan konsepsi
dan perbedaan bahasa yang terdapat dalam berbagai sistem hukum tersebut hanya dapat
ditanggulangi dengan cara menerapkan metoda komparatif.
Menurut Schmitthoff, dalam metode komparatif,
dikenal 3 metode, yaitu metode dengan memberlakukan:
a.
perjanjian/konvensi
internasional (international convention);
b.
hukum
seragam (uniform laws); dan
c.
aturan
seragam (uniform rules).
Ad. a. Perjanjian atau Konvensi
Internasional
Penerapan atau
pemberlakuan perjanjian atau konvensi internasional adalah cara yang paling
banyak digunakan dalam mengemukakan pula (1) perjanjian bilateral sebagai
instrumen untuk unifikasi hukum (bandingkan dengan perjanjian internasional
dari konsep Schmitthoff); dan (2) aturan-aturan yang bersifat rekomendatif. Pistor
mengungkapkan pula, dengan adanya upaya ini maka biaya utnuk transaksi dagang
dapat menjadi berkurang. Selain itu, yang juga penting, unifikasi hukum dapat mencapai
unifikasi hukum. Cara ini dipandang tepat untuk memperkenalkan suatu ketentuan
hukum yang bersifat memaksa ke dalam sistem hukum nasional. Pemberlakuan
perjanjian TRIPS/WTO di atas merupakan salah satu contoh. Gambaran lainnya
adalah CISG 1980 atau Konvensi mengenai Kontrak Jual Beli Barang Internasional.
Konvensi ini dapat dipandang sebagai upaya mengunifikasi hukum kontrak jual
beli barang internasional. Para perancang konvensi ini telah berupaya mengkawinkan
prinsip-prinsip kontrak yang dikenal dalam sistem hukum Civil Law dan sistem
hukum Common Law.
Salah satu
pembatasan cara ini adalah adanya kehendak dari sesuatu negara untuk
mengikatkan diri atau meratifikasi perjanjian atau konvensi internasional
tersebut. Dalam kenyataannya, untuk mencapai kehendak tersebut banyak
bergantung pada faktor ekonomi, politis, juridis, dll.
b. Hukum seragam (Uniform Laws)
Hukum seragam tidak
lain adalah model-model hukum yang dapat kita lihat misalnya dalam model hukum
arbitrase UNCITRAL 1985 (Model Law on International Commercial Arbitration).
Model hukum ini memberikan keleluasaan kepada negara-negara yang hendak menerapkannya
ke dalam hukum nasionalnya. Keleluasaan tersebut mencakup keleluasaan kepada Negara
yang bersangkutan apakah akan menerapkan secara penuh aturan-aturan substantif
Model Law. Kemungkinan lain, negara tersebut memutuskan untuk menerapkannya
dengan melakukan beberapa revisi atau menerapkan beberapa pengecualian terhadap
aturan-aturan di dalamnya.
Sifat hukum seragam
tidak mengikat. Ia hanya bersifat persuasif. Karena itu derajat pengadopsian
atau penerapannya sangat bergantung kepada masing-masing negara. Model hukum
ini memberi sumbangan bagi perbaikan kualitas (lembaga-lembaga) hukum di suatu
negara (ibid). Pada saat suatu negara turut serta, aksesi atau
meratifikasi suatu perjanjian atau konvensi internasional, maka pada prinsipnya
seluruh aturan perjanjian mengikat negara tersebut.
c. Aturan Seragam (Uniform Rules)
Aturan-aturan
seragam lebih rendah tingkatannya daripada hukum seragam (Uniform Laws).
Bentuk aturan seragam tampak antara lain dalam modal-model kontrak standar atau
kontrak baku. Contoh bentuk aturan seperti ini adalah the Uniform Customs
and Practice for Documentary Credits (1974) yang dikeluarkan oleh
ICC. Aturan hukum ini telah diterapkan dan dipraktekkan oleh para subyek hukum
perdagangan internasional di dunia.
Bentuk lainnya
adalah klausul standar (baku) yang dicantumkan oleh para pihak dalam
kontrak-kontrak yang mereka buat. Tidak jarang pula lembaga-lembaga atau
asosiasi-asosiasi memperkenalkan klausul-klausul yang perlu dicantumkan dalam
suatu kontrak apabila para pihak hendak memanfaatkan fasilitas lembaga atau
asosiasi yang bersangkutan.
Hal ini antara lain
banyak ditemui dalam klausul-klausul arbitrase baik nasional maupun asing.
Klausul-kluasul standar arbitrase tersebut dimaksudkan agar para pihak tidak
perlu lagi merancang klausul choice of forum-nya, dalam hal ini
arbitrase. Bagaimana unifikasi dan harmonisasi dapat bekerja, agak sulit untuk
dipaparkan di sini. Namun demikian, Katerina Pistor, guru besar di Columbia Law
School, mengemukakan istilah yang dinamakannya standardization of law (standardisasi
hukum).
Maksud
standardisasi di sini mengacu kepada suatu tahap dari kekhususan dari suatu
hukum (the level of specificity of law). Standar hanya mencakup
prinsip-prinsip hukum (legal principles), bukan atau tidak
aturan-aturan hukumnya (legal rules).
Upaya unifikasi dan
harmonisasi hukum ini telah cukup serius dilakukan khususnya oleh the World
Trade Organization (WTO), the International Institute for the
Unification of Private Law (UNIDROIT), The Hague Conference of
Private International Law dan PBB khususnya the United Nations
Commission on International Trade Law (UNCITRAL) dan the United
Nations Conference on International Trade and Law (UNCTAD).
Di samping itu
terdapat pula lembaga-lembaga internasional non-pemerintah yang juga
berkepentingan dengan upaya unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan
internasional, yakni, antara lain, International Chamber of Commerce (ICC
atau Kamar Dagang Internasional), dan International Law Association (ILA
atau Asosiasi Hukum Internasional).
2. Lembaga-lembaga yang Bergerak dalam
Unfikasi dan Harmoniasi Hukum
Berikut adalah uraian
secara ringkas beserta upaya badan-badan atau organisasi-organisasi
internasional tersebut di bidang unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan
internasional. Tidak semua upaya badan atau organisasi internasional akan
diuraikan.
a. World Trade Organization (WTO)
1. Pengantar
World Trade
Organization atau WTO dihasilkan dari Putaran Uruguay GATT (1986-1993).
Organisasi ini memiliki kedudukan yang unik karena ia berdiri sendiri dan
terlepas dari badan kekhususan PBB. Pembentukan WTO ini merupakan realisasi
dari cita-cita lama negara-negara pada waktu merundingkan GATT pertama kali
(1948). Yakni hendak mendirikan suatu organisasi perdagangan internasional (yang
dulu namanya adalah International Trade Organization atau ITO).
Struktur WTO akan
dikepalai oleh suatu badan tertinggi yang disebut Konperensi Tingkat Menteri
(Ministerial Conference). Badan ini akan bersidang sedikitnya sekali dalam dua
tahun. Badan ini terdiri dari para perwakilan dari semua anggota WTO. Semua keputusan
mengenai kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan multilateral dilakukan
melalui badan ini. Untuk pelaksanaan pekerjaannya sehari-hari, badan tertinggi ini
dibantu oleh badan-badan kelengkapan utama, yaitu Dewan Umum (General
Council) yang terdiri dari semua anggota WTO. Badan ini bertugas memberikan
laporan mengenai kegiatan-kegiatannya kepada the Ministerial Conference. General
Council memiliki dua fungsi lainnya.
Pertama, sebagai suatu
Badan Penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Body). Fungsi kedua,
sebagai badan peninjau kebijakan perdagangan Negara-negara anggota GATT (Trade
Policy Review Body). Selain itu, badan ini juga bertugas mengamati
masalah-masalah perdagangan yang akan dicakup oleh WTO. Ia akan menetapkan tiga
badan subsider yakni The Council for Trade in Goods, Council for Trade
in Services, dan Council for TRIPs. The Council for Trade in
Goods mengawasi pelaksanaan dan berfungsinya semua perjanjian mengenai
perdagangan barang (Annex 1A Perjanjian WTO) meskipun sebetulnya untuk
perjanjian-pejanjian tertentu umumnya mereka memiliki badan pengawasnya
sendiri. Dua dewan lainnya memiliki tanggung jawabnya masing-masing berkaitan dengan
perjanjian WTO dan badan-badan tersebut dapat mendirikan badan-badan subsider
lainnya manakala dipandang perlu. Tiga badan lainnya didirikan oleh the
Ministerial Conference dan mereka melaporkan pekerjaannya kepada the
General Council. Ketiga badan tersebut adalah the Committee on
Trade and Development, yakni badan yang bertanggung jawab untuk masalah-masalah
yang terdapat di negara-negara sedang berkembang.
Kedua, the
Committee on Balance of Payments bertanggung jawab untuk menyelenggarakan
konsultasi di antara negara-negara anggota WTO dan negara-negara yang
melaksanakan tindakan-tindakan restriktif perdagangan (Pasal XII dan
XVII GATT), yakni tindakan- tindakan untuk menghadapi
kesulitan-kesulitan neraca pembayarannya.
Ketiga, the
Committee on Budget, Finance and Administration bergerak dalam mengatur
masalah-masalah keuangan dan anggaran WTO. Di samping badan-badan
tersebut, WTO membentuk pula badan-badan khusus yang mengawasi
pelaksanaan perjanjian-perjanjian plurilateral (yang sifatnya sukarela),
yakni badan untuk perdagangan pesawat udara sipil, badan untuk pengadaan
barang pemerintah (government procurement), badan untuk produk susu dan
daging (dairy products and bovine meat). Badan-badan khusus ini melaporkan
tugas-tugasnya kepada the General Council.
Sekretariat WTO
berkedudukan di Jenewa, Swiss. Sampai tulisan ini dibuat, Sekretariat WTO
memiliki sekitar 450 staf dan diketuai oleh seorang Direktur Jenderal (Diretor
General) dan 4 orang pembantu Direktur Jenderal. Dalam membuat putusan, WTO
melanjutkan praktek yang telah lama dilakukan dalam GATT, yaitu melalui
konsensus. Namun dalam hal konsensus ini gagal, maka putusan akan diambil
melalui pemungutan suara atau voting.
Di samping itu, ada
4 hal atau situasi dalam perjanjian WTO yang memungkinkan dilakukannya voting.
Pertama, mayoritas 2/3 dari anggota WTO diperlukan untuk mengesahkan suatu
penafsiran perjanjian perdagangan multilateral. Kedua, mayoritas 2/3 dari
anggota WTO diperlukan bagi the Ministerial Conference untuk memutuskan
penanggalan suatu kewajiban yang dikenakan terhadap suatu negara oleh suatu perjanjian
multilateral. Ketiga, keputusan untuk merubah ketentuan perjanjian multilateral
dapat disahkan melalui kesepakatan seluruh anggotanya atau melalui mayoritas
2/3 dari anggota WTO. Perubahan-perubahan demikian hanyalah berlaku bagi
negara-negara yang menerimanya saja. Keempat, suatu mayoritas 2/3 dari negara
anggota WTO diperlukan untuk menerima masuknya suatu negara menjadi anggota
WTO.
2. Kebijakan Unifikasi dan Harmonisasi WTO
WTO adalah salah
satu contoh yang telah di sebut di atas, di mana unifikasi aturan-aturan atau
hukum perdagangan internasional diterapkan terhadap negara-negara anggotanya.
Pasal XVI Perjanjian Pembentukan WTO menyatakan: "Each member shall
ensure the conformity of its laws, regulations and administrative procedures
with its obligations as provided in the annexed Agreements."
(Pasal XVI ayat 4 Agreement Establishing the World Trade Organization).
Ketentuan pasal
tersebut menjadi indikator penting bagaimana WTO mewajibkan negara-negara
anggotanya untuk menyesuaikan aturan-aturan atau hukum perdagangannya dengan aturan-aturan
yang termuat dalam Annex perjanjian WTO. Bahkan ketentuan pasal XVI tersebut
juga mewajibkan negara anggotanya untuk menyesuaikan administrative
procedures-nya (birokrasi) sesuai dengan administrative procedure-nya
WTO.
3. Perjanjian-perjanjian di Bawah Piagam WTO
Perjanjian-perjanjian
yang termuat dalam lampiran (Annex) WTO adalah perjanjian dalam TRIPS (telah
diuraikan secara singkat di atas). Perjanjian-perjanjian lainnya adalah:
GATT 1994; Agreement on Agriculture; Sanitary
and Phytosanitary Measures; Textiles and Clothing; Technical Barriers to Trade;
Trade-Related Investment Measures (TRIMs); Anti-dumping (Article VI of GATT
1994); Customs valuation (Article VII of GATT 1994); Preshipment Inspection;
Rules of Origin; Import Licensing; Subsidies and Countervailing Measures; Safeguards;
General Agreement on Trade in Services (GATS); Trade-Related Aspects of Intellectual
Property Rights (TRIPS); Dispute Settlement
Understanding.
Sebenarnya di
samping unifikasi hukum, WTO juga berupaya mendorong harmonisasi hukum,
termasuk harmonisasi standar-standar teknis-nya. Upaya harmonisasi ini telah
lama diupayakan GATT (pendahulu WTO). Pada tahun 1979, GATT berhasil
mengeluarkan The GATT Code on Technical Standards (Standard
Code). Aturan Standard Code ini mendorong negara-negara anggotanya untuk
mengharmonisasikan standar-standar produk domestiknya. Upaya ini ditempuh agar
kebijakan negara-negara mengenai standar produk tidak malah menjadi penghalang
bagi perdagangan dunia.
Perjanjian lainnya
yang dapat digolongkan ke dalam harmonisasi hukum adalah perjanjian-perjanjian
yang berada di bawah 'Plurilateral Agreement'(Annex 4 Perjanjian WTO). Perjanjian-perjanjian
ini adalah: Agreement on Trade in Civil Aircraft (Annex 4 (a)); Agreement on
Government Procurement (Annex 4 (b)); International Dairy Agreement (Annex 4
(c)); International Bovine Meat Agreement (Annex 4 (d)).
b. The International Institute for the
Unification of Private Law (UNIDROIT).
1. Pengantar
The
International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT) adalah sebuah organisasi antar
pemerintah yang sifatnya independen. UNCITRAL dibentuk pada tahun 1926
sebagai suatu badan pelengkap Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Sewaktu LBB bubar,
UNIDROIT dibentuk kembali pada tahun 1940 berdasarkan suatu perjanjian
multilateral yakni Statuta UNIDROIT (the UNIDROIT Statute). UNIDROIT
berkedudukan di kota Roma.
Tujuan utama
pembentukannya adalah melakukan kajian untuk memodernisasi, mengharmonisasi dan
mengkoordinasikan hokum privat, khususnya hukum komersial (dagang) di antara
negara atau di antara sekelompok negara. Keanggotaan UNIDROIT terbatas hanya
untuk negara-negara yang menundukkan dirinya kepada Statuta UNIDROIT.
Negara-negara ini berasal dari 5 benua dan mewakili berbagai sistem hukum, ekonomi,
politik dan budaya yang berbeda.
Dewasa ini UNIDROIT
memiliki 59 negara anggota, yakni: Argentina, Australia, Austria, Belanda,
Belgium, Bolivia, Brazil, Bulgaria, Canada, Chile, China, Colombia, Croatia,
Cuba, Cyprus, Republik Czech, Denmark, Mesir, Estonia, Federasi Rusia Finlandia,
Perancis, Jerman, Holy See (Tahta Suci), Hungaria, India, Iran, Iraq, Ireland,
Israel, Italy, Japan, Luxembourg, Malta, Mexico, Nikaragua, Nigeria, Norwegia,
Pakistan, Paraguay, Poland, Portugal, Republik Korea, Romania, San Marino,
Slovakia, Slovenia, Africa Selatan, Spanyol, Swedia, Swiss, Tunisia, Turki, Inggris,
Amerika Serikat, Uruguay, Venezuela, Yugoslavia (Federal Republic of), Yunani.
2. Kebijakan Harmonisasi dan Unifikasi
UNIDROIT
Tujuan utama
UNIDROIT sebenarnya adalah mempersiapkan harmonisasi aturan-aturan hukum
privat. Upaya ini dipandang penting mengingat perkembangan teknologi baru,
praktek-praktek pedagangan, dll memerlukan aturan hukum yang baru. Biasanya aturan-aturan
baru tersebut juga dibuat oleh negara-negara. Masalahnya adalah peraturan tersebut
bisa saja berbeda antara satu aturan hukum dengan aturan hukum lainnya. Karen
itu aturan tersebut perlu diharmonisasi, atau bahkan diunifikasi guna memperlancar
perdagangan internasional.
Masalahnya adalah
harmonisasi atau unifikasi hukum tersebut banyak bergantung kepada keinginan
dan kerelaan negara-negara untuk mau menerimanya. Meskipun menyadari adanya
kesulitan upaya tersebut, UNIDROIT memiliki kedudukannya yang menguntungkan
sebagai organsiasi antar pemerintah. Dalam kaitan ini, UNDIROIT menerapkan
pemberlakuan konvensi atau perjanjian internasional yang mensyaratkan
penerimaan dari negara-negara anggotanya.
Tujuannya adalah
menerapkan aturan-aturan konvensi tersebut ke dalam sistem hukum negara-negara
anggota yang menundukkan dirinya kepada konvensi tersebut. Penerimaan suatu
aturan konvensi oleh negara akan jauh lebih memudahkan pemberlakuan
aturan-aturan konvensi tersebut ke dalam wilayah negara anggotanya (termasuk
kepada warga Negara atau subyek-subyek hukum di wilayah negara tersebut).
3. Konvensi atau Perjanjian Yang Dihasilkan
UNIDROIT
Selama berdiri
UNIDROIT telah melakukan lebih dari 70 kajian. Kajian-kajian ini ada yang telah
menghasilkan berbagai perjanjian atau konvensi internasional berikut:
(1) Convention relating to a Uniform Law
on the Formation of Contracts for the International Sale of Goods (The Hague 1964);
(2) Convention relating to a Uniform Law
on the International Sale of Goods (The Hague, 1964);
(3) International Convention on the Travel
Contract (Brussels, 1970);
(4) Convention providing a Uniform Law on
the Form of an International Will (Washington, 1973);
(5) Convention on Agency in the
International Sale of Goods (Geneva, 1983);
(6) UNIDROIT Convention on International
Financial Leasing (Ottawa, 1988);
(7) UNIDROIT Convention on International
Factoring (Ottawa, 1988);
(8) UNIDROIT Convention on Stolen or
Illegally Exported Cultural Objects (Rome, 1995);
(9) Convention on International Interests
in Mobile Equipment (Cape Town, 2001);
(10) Protocol to the Convention on International
Interests in Mobile Equipment on Matters specific to Aircraft Equipment (Cape
Town, 2001).
c. The United Nations Commission on
International Trade Law (UNCITRAL)
1. Pengantar
The
United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) adalah badan kelengkapan khusus
dari Majelis Umum PBB. Badan ini dibentuk pada tahun 1966.
Pembentukannya didasarkan pada Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2205
(XXI) tanggal 17 Desember 1966. Tugas utamanya adalah mengurangi
perbedaan-perbedaan hukum di antara negara-negara anggota yang dapat menjadi
rintangan bagi perdagangan internasional. Untuk melaksanakan tugas tersebut UNCITRAL
berupaya memajukan perkembangan harmonisasi dan unifikasi hukum perdagangan
internasional secara progresif (the progressive harmonization and
unification of the law of international trade). Sejak berdiri
UNCITRAL telah mempersiapkan berbagai Konvensi, Model Hukum dan instrumen hukum
lainnya yang mengatur transaksi perdagangan atau aspek-aspek hukum bisnis
lainnya yang memiliki pengaruh terhadap perdagangan internasional.
2. Kebijakan Harmonisasi dan Unifikasi
UNCITRAL
Dua kata
harmonisasi dan unifikasi di atas memiliki pengertian tersendiri bagi UNICTRAL.
UNCITRAL beranggapan mandat "Harmonization" dan
"unification" hukum perdagangan internasional ini dimaksudkan agar
perdagangan internasional dapat berlangsung secara lancar. Hal ini penting
mengingat perdagangan internasional acapkali terhalang atau tidak lancer karena
faktor-faktor seperti tidak adanya kepastian hukum (lack of a
predictable governing law), hukum yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman.
Karena itu upaya
badan ini tidak lain adalah berupaya membuat produk atau instrumen hukum yang
modern yang dapat memberi kebutuhan hukum untuk memperlancar perdagangan internasional
dan perkembangan ekonomi dunia. UNCITRAL merancang dan mengesahkan setiap
instrumen hukum. Dalam upaya ini, tidak semua negara anggota UNCITRAL turut
serta. Hanya negara-negara tertentu saja yang merupakan wakil dari
region-regiona di dunia.
Pihak lain yang
juga dapat turut serta dalam proses perancangan tersebut adalah LSM
internasional atau organisasi-organisasi antar pemerintah yang berminat.
Keputusan untuk mengesahkan instrumen hukum dilakukan secara konsensus. Instrumen
hukum yang dirancang UNCITRAL bisa berupa legislative texts umumnya
berupa Konvensi.
Terdapat lima
kelompok regional yang terwakili dalam UNCITRAL. Mereka adalah:
(1) Negara-negara Afrika, yakni: Benin,
Burkina Faso, Cameroon, Kenya, Morocco, Rwanda, Sierra Leone, Sudan and Uganda;
(2) Negara-negara Asia: China,
Fiji, India, Iran (Islamic Rep. of), Japan, Singapore, and Thailand;
(3) Negara-negara Eropa Timur: Hungary, Lithuania,
Romania, Russian Federation, The former Yugoslav Republic of Macedonia;
(4) Amerika Latin dan Karibia: Argentina,
Brazil, Colombia, Honduras, Mexico, Paraguay and Uruguay;
(5) Eropa Barat dan Lainnya: Austria,
Canada, France, Germany, Italy, Spain, Sweden, United States of America and
United Kingdom.
Konvensi tersebut
adalah: Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods
(New York, 1974); United Nations Convention on Contracts for the International
Sale of Goods (Vienna, 1980); United Nations Convention on the Carriage of
Goods by Sea, 1978 (Hamburg Rules); United Nations Convention on the Liability
of Operators of Transport Terminals in International Trade (1991); United
Nations Convention on International Bills of Exchange and International Promissory
Notes (New York, 1988); United Nations Convention on Independent Guarantees and
Stand-by Letters of Credit New York, 1995); Convention on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards (New York 1958) (the "New
York" Convention); United Nations Convention on Contracts for the
International Sale of Goods (Vienna 1980) ("CISG"); Convention on the
Limitation Period in the International Sale of Goods (New York 1974); United
Nations Convention on International Bills of Exchange and International
Promissory Notes (New York, 1988); United Nations Convention on Independent
Guarantees and Stand-by Letters of Credit (New York, 1995); United Nations
Convention on the Assignment of Receivables in International Trade (2001);
United Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea (1978) (the
"Hamburg Rules"); United misalnya saja: United Nations Convention on
Contracts for the International Sale of Goods; Convention on the Limitation
Period in the International Sale of Goods; United Nations Convention on Independent
Guarantees and Stand-by Letters of Credit; United Nations Convention on
International Bills of Exchange and International Promissory Notes; United
Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea, 1978 (Hamburg); United
Nations Convention on the Liability of Operators of Transport Terminals in
International Trade; and the United Nations Convention on the Assignment of
Receivables in International Trade.
Sedangkan instrumen
hukum lainnya berupa legislative guides dan non-legislative guides.
Legislative guides misalnya adalah instrumen-instrumen hukum berupa model law
dan rules. Instrumen ini merupakan instrumen yang tidak mengikat negara
anggota. Negara anggota bebas untuk mengikui atau tidak mengikuti legislative
guides tersebut.
Non-legislative texts adalah instrumen hukum lainnya yang sifatnya
juga tidak mengikat. Contoh instrumen hukum seperti ini misalnya saja: UNCITRAL
Arbitration Rules; UNCITRAL Conciliation Rules; UNCITRAL Notes on Organizing
Arbitral Proceedings; UNCITRAL Legal Guide on Drawing Up International
Contracts for the Construction of Industrial Works; and UNCITRAL Legal Guide on
International Countertrade Transactions. Nations Convention on the Liability of
Operators of Transport Terminals in International Trade (Vienna, 1991).
d. Kamar Dagang Internasional (ICC)
1. Pengantar
The
International Chamber of Commerce (ICC) didirikan pada tahun 1919. Badan ini berkedudukan di Paris.
Tujuannya pada waktu itu, dan sampai sekarang masih terus berlaku, adalah
melayani dunia usaha dengan memajukan perdagangan, penanaman modal, membuka
pasar untuk barang dan jasa, serta memajukan aliran modal (to serve world
business by promoting trade and investment, open markets for goods and
services, and the free flow of capital).
Selama ini ICC
dipandang sebagai corongnya dunia usaha (pengusaha) untuk pertumbuhan ekonomi,
penciptaan lapangan kerja, dan kemakmuran. Peran ini sangat penting dalam
kaitannya dengan keadaan dunia saat ini. Negara-negara di dunia kerap membuat kebijakan
atau keputusan-keputusan yang dapat mempengaruhi perdagangan. Karena itulah,
peran atau adanya suatu badan dunia yang menyuarakan para pedagang yang terkena
oleh kebijakan atau keputusan (suatu) negara menjadi sangat penting. Untuk itu,
ICC memiliki akses langsung kepada pemerintah negara-negara di dunia melalui national
committee ICC (KADIN Nasional) yang terdapat hampir di setiap negara di
dunia.
Peran penting lain
ICC adalah sebagai badan dalam membuat kebijakan-kebijakan atau aturan-aturan
yang dapat memfasilitasi perdagangan internasional. Peran lain yang juga cukup
penting adalah:
(1) sebagai forum penyelesaian sengketa
khususnya melalui arbitrase;
(2) sebagai forum untuk menyebarluaskan
informasi dan kebijakan serta aturan-aturan hukum dagang internasional di
antara pengusaha-pengusaha di dunia; dan
(3) memberikan pelatihan-pelatihan dan
teknik-teknik dalam merancang kontrak serta keahlian-keahlian praktis lainnya dalam
perdagangan internasional.
2. Kebijakan Harmonisasi Hukum ICC
ICC tidak berupaya
menciptakan unifikasi hukum. Kebijakan yang ditempuhnya adalah memberikan
aturan-aturan dan standar-standar (Rules and Standards) di bidang hukum
perdagangan internasional. Kedua bentuk aturan ini sifatnya tidak mengikat. Hal
ini sebenarnya tidak terlepas dari pendirian ICC bahwa dunia usaha sebaiknya
tidak atau dipengaruhi sedikit mungkin oleh campur tangan penguasa
(pemerintah). ICC karenanya tidak mau menjadi penguasa seperti itu. Ia
berpendirian, biarlah dunia usaha saja yang mengatur atau membuat aturan bagi
mereka sendiri.
Dan aturan-aturan
yang sifatnya atau yang datang dari luar, termasuk aturan-aturan yang dibuat
ICC, haruslah bersfiat sukarelah saja. Namun demikian aturan-aturan ICC
(termasuk standar-standar ICC) ini memiliki pengaruh yang cukup tinggi. Bahkan
beberapa aturan (Rules)-nya telah diikuti dengan sukarela dan seksama oleh para
pelaku dagang, seperti misalnya perbankan. Bahkan standarstandar yang
dikeluarkan oleh ICC telah banyak dimasukkan ke dalam kontrak-kontrak dagang
yang dibuat oleh para pelaku bisnis.
3. Aturan-aturan dan Standar yang Dikeluarkan
ICC
Dewasa ini ICC
memiliki 16 Komisi para ahli yang berasal dari sektor swasta. Para ahli ini
terdiri berbagai bidang keahlian di bidang bisnis internasional. Keahlian
bidang mereka antara lain mencakup teknis-teknis perbankan (jasa keuangan), perpajakan,
hukum persaingan, telekomunikasi, HAKI, teknologi informasi, pengangkutan
(udara dan laut), penanaman modal dan kebijakan perdagangan.
Para ahli dalam
komisi-komisi tersebut berperan cukup penting dalam merumuskan kebijakan,
aturan-aturan dan standar-standar yang digunakan atau diterapkan terhadap
perdagangan internasional, termasuk kontrak internasional, meskipun sifatnya tidak
mengikat. Maksud utama dengan adanya aturan-aturan tersebut adalah untuk
mempermudah perusahaan-perusahaan atau para pedagang di seluruh dunia
untuk bertransaksi dagang. Selain itu yang juga penting adalah untuk
mempermudah mereka membuat kontrak-kontrak dagang. Selama ini, aturan-aturan yg
sifatnya tdk mengikat atau sukarelah tsb adalah:
(1) ICC International Code on Sponsorship (September
2030);
(2) Compendium of ICC Rules on Children
and Young People and Marketing (April 2003);
(3) Rules for Expertise (Januari
2003);
(4) Paction - the online model sales
contract application Create, negotiate and sign your model contracts online,
2002
(5) ICC DOCDEX Rules (Oktober 1997 dan
Maret 2002);
(6) ICC International Code of Sales
Promotion (Mei 2002);
(7) GUIDEC II: General Usage for
International Digitally Ensured Commerce (Oktober 2001); dan GUIDEC I (6
November 1997);
(8) Compendium of Rules for Users of the
Telephone in Sales, Marketing and Research (Juni 2001);
(9) ICC International Code of Direct
Marketing (September 1998 dan Juni 2001);
(10) ICC International Code of Direct
Selling (Juni 1999);
(11) ICC Rules of Conduct to Combat
Extortion and Bribery (1999);
(12) ICC Recommended Code of Practice for
Competition Authorities on Searches and Subpoenas of Computer Records (16
Oktober 1998);
(13) Model Clauses for use in Contracts
involving Transborder Data Flows (23 September 1998);
(14) ICC Guidelines on Advertising and
Marketing on the Internet (April 1998);
(15) The Rules of Arbitration of the ICC (1
Januari 1998);
(16) ICC International Code of Advertising
Practice (April 1997);
(17) ICC International Customs Guidelines
(10 Juli 1997);
(18) The Business Charter for Sustainable
Development (1996);
(19) Rules for Pre-arbitral referee, (1
Januari 1990);
(20) The Uniform Customs and Practice for
Documentary Credits (UCP) 1933 dan 1994.
(21) The International Commercial Terms
(Incoterms) (1936, 2000).
Dua produk hukum
ICC yang disebut terakhir, yaitu UCP dan Incoterms perlu mendapat sedikit
catatan. UCP mengalami beberapa kali revisi. Revisi terakhir adalah UCP 500,
yang mulai berlaku Januari 1994. UCP telah digunakan oleh bank di seluruh
dunia. Suatu tambahan terhadap UCP 500, yaitu the eUCP, ditambahkan pada
tahun 2002. eUCP mengatur penampilan semua atau sebagian dokumen elektronik. Incoterms
dibentuk untuk memberikan definisi baku secara universal mengenai
istilah-istilah yang digunakan dalam transaksi perdagangan internasional,
seperti misalnya Ex quay, CIF dan FOB.
Seperti halnya UCP,
Incoterms telah mengalami beberapa revisi. Revisi terakhir dilakukan pada tahun
2000 (Incoterms 2000), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2000. Schmitthoff
memuji peran badan ini dalam upayanya merumuskan unifikasi hukum perdagangan
internasional dengan menyatakan bahwa “(ICC) contribution to the unification
of international trade law has been singular successful.”
Sebagai catatan akhir dari bagian ini,
penting pula mengutip nasihat Schmitthoff. Beliau melihat keberadaan lembaga-lembaga
internaisonal yang berupaya mengunifikasi aturan-aturan perdagangan
internasional ini adalah positif. Namun beliau mengingatkan agar
lembaga-lembaga ini harus saling kerjasama agar upaya unifikasi efektif.
F. Penutup
Dari uraian di atas
tampak bahwa hukum perdagangan internasional adalah bidang hukum yang sangat
luas ruang lingkupnya. Hal ini sudah barang tentu merupakan tantangan bagi para
mahasiswa dan sarjana hukum untuk mendalami bidang ini. Dari perkembangannya,
tersirat pula pertumbuhan bidang hukum ini yang sudah ada sejak manusia mulai
merasakan kekurangannya dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Untuk itu manusia
mulai berdagang. Metode transaksi awalnya sangatlah sederhana: barter atau
tukar menukar. Dalam perkembangannya, orang sudah transaksi dengan menerapkan
teknologi canggih: perdagangan dengan sarana telekomunikasi.
Canggihnya
transaksi perdagangan merupakan tantangan bagi hukum perdagangan internasional.
Bidang hukum ini ditantang untuk mengakomodasi perkembangan cepat ini melalui
aturan-aturan hukumnya. Adanya aturan-aturan ini sangat dibutuhkan bagi pelaku perdagangan
untuk adanya kepastian hukum, sekaligus mendapatkan perlindungan hukumnya.
Upaya hukum
nasional sudah barang tentu sangat terbatas kewenangan hukumnya untuk mengatur
transaksi-tansaksi lintas batas atau internasional. Peran hukum nasional hanya
mencakup aturan-aturan yang mengikat bagi kegiatan dan transaksi dagang dalam
wilayahnya. Karena itu, upaya-upaya pengaturan perdagangan internasional
sedikit banyak bergantung pada peran organisasi internasional baik yang
sifatnya antar negara, misalnya WTO, maupun yang sifatnya privat, misalnya
Kamar Dagang Internasional (International Chamber of Commerce).
Upaya organisasi
internasional pun hingga dewasa ini lebih banyak pada upaya harmonisasi hukum
daripada upaya unifikasi hukum. Upaya ini tampaknya wajar dilakukan mengingat
perkembangan hukum perdagangan internasional yang cukup progresif. Upaya mengkristalisasi
aturan hukum perdagangan internasional dalam suatu dokumen perjanjian
internasional yang sifatnya stabil dan berlaku lama tampaknya sangat sulit. Tujuan
akhir dari hukum perdagangan internasional sebenarnya adalah tujuan dari
eksistensi hukum perdagangan internasional itu sendiri.
B. Eksistensi dan
Tujuan Hukum Perdagangan Internasional), terungkap beberapa tujuan bidang hukum
perdagangan internasional ini yang terdengar sangat positif, yaitu antara lain,
mensejahterakan negara-negara (dan warga negaranya). Satu hal yang perlu
digaris bawahi di sini adalah bahwa untuk mencapai tujuan positif tersebut mau
tidak mau harus dibarengi dengan pemahaman terhadap hukum perdagangan
itu sendiri. Artinya, masyarakat atau negara yang tidak mengetahui aturan-aturan
hukum perdagangan internasional janganlah berharap dapat mengambil manfaat dari
hukum perdagangan internasional.
BAB II
SUBYEK HUKUM DALAM HUKUM PERDAGANGAN
INTERNASIONAL
A. Pengantar
Dalam aktivitas
perdagangan internasional terdapat beberapa subyek hukum yang berperan penting
di dalam perkembangan hukum perdagangan internasional. Maksud subyek hukum disini
adalah:
(1) para pelaku (stake holders) dalam
perdagangan internasional yang mampu mempertahankan hak dan kewajibannya di
hadapan badan peradilan; dan
(2) para pelaku (stake holders) dalam
perdagangan internasional yang mampu dan berwenang untuk merumuskan
aturan-aturan hukum di bidang hukum perdagangan internasional.
Dari batasan
tersebut sebagai tolak ukur, maka subyek hukum yang dapat tergolong ke dalam lingkup
hukum perdagangan internasional adalah negara, organisasi internasional,
individu, dan bank. Uraian berikut akan menganalisa lebih lanjut tiga subyek
hukum ini.
B. Negara
1. Peran Negara
Negara merupakan
subyek hukum terpenting di dalam hukum perdagangan internasional. Sudah dikenal
umum bahwa negara adalah subyek hukum yang paling sempurna.
Pertama, ia satu-satunya subyek hukum yang memiliki
kedaulatan. Berdasarkan kedaulatan ini, negara memiliki wewenang untuk menentukan
dan mengatur segala sesuatu yang masuk dan keluar dari wilayahnya. Booysen
menggambarkan kedaulatan negara ini sebagai berikut: “... a state can
absolutely determine whether anything from outside the state. The state would
also have the power to determine the conditions on which the goods may be
imported into the state or exported to another country. ... Every state would
have the power to regulate arbitrarily the conditions of trade.”
Dengan atribut kedaulatannya ini, negara
antara lain berwenang membuat hukum (regulator) yang mengikat segala
subyek hukum lainnya (yaitu individu, perusahaan), mengikat benda dan peristiwa
hukum yang terjadi di dalam wilayahnya, termasuk perdagangan, di wilayahnya.
Kedua, negara juga berperan baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam pembentukan organisasi-organisasi (perdagangan)
internasional di dunia, misalnya WTO, UNCTAD, UNCITRAL, dll.
Organisasi-organisasi internasional di bidang perdagangan internasional inilah
yang kemudian berperan dalam membentuk aturan-aturan hukum perdagangan internasional.
Ketiga, peran penting negara lainnya adalah negara
juga bersama-sama dengan negara lain mengadakan perjanjian internasional guna
mengatur transaksi perdagangan di antara mereka. Contoh perjanjian seperti ini
adalah perjanjian Friendship, Commerce and Navigation, perjanjian
penanaman modal bilateral, perjanjian penghindaran pajak berganda, dll.
Keempat, negara berperan juga sebagai subyek hukum
dalam posisinya sebagai pedagang. Dalam posisinya ini, negara adalah salah satu
pelaku utama dalam perdagangan internasional. Dalam awal tulisan ini, negara
dengan perusahaan negaranya mengadakan transaksi dagang dengan negara lainnya.
Negara memiliki sumber daya alam, perkebunan, pertambangan, dll. Bahan-bahan
alam ini disamping dikelola untuk kebutuhan di dalam negeri juga diperdagangkan
(dijual) ke subyek hukum lainnya yang memerlukannya.
Dalam melaksanakan
fungsinya ini, tidak jarang Negara membuat badan-badan hukum milik negara. Di
tanah air misalnya, untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi dan memasarkan hasil pertambangan
minyak, negara mendirikan Pertamina. Untuk mengelola sumber daya air untuk
kepentingan rakyat negara mendirikan perusahaan air minum, dst.
Sebagai suatu
institusi yang besar, negara membutuhkan teknologi, infrastruktur, kendaraan,
pesawat kenegaraan, sumber-sumber kebutuhan yang dibutuhkan rakyatnya
(pengadaan barang dan jasa atau procurement). Untuk memenuhi semua ini, Negara
membelinya dari para pihak yang menyediakannya (penjual atau supplier).
Dengan demikian, negara dapat bertindak sebagai pelaku dalam transaksi
perdagangan.
Semua transaksi
perdagangan tersebut tunduk pada aturan-aturan hukum yang bentuk dan muatan
pengaturannya bergantung pada jenis transaksi. Manakala negara bertransaksi
dagang dengan negara lain, kemungkinan hukum yang akan mengaturnya adalah hokum
internasional. Manakala negara bertransaksi dengan subyek hokum lainnya, maka
hukum yang mengaturnya adalah hukum nasional (dari salah satu pihak).
2. Imunitas Negara
Salah satu masalah
yang kerap timbul dalam kaitannya dengan negara adalah atribut kedaulatan
negara itu sendiri. Prinsip umum yang diakui adalah bahwa dengan atribut
kedaulatan, Negara memiliki imunitas terhadap pengadilan negara lain. Arti
imunitas di sini adalah bahwa negara tersebut memiliki hak untuk mengklaim
kekebalannya terhadap tuntutan (klaim) terhadap dirinya. Sheldrick dengan tepat
menggambarkan imunitas negara ini sebagai berikut: “Sovereign immunity is a
long-established precept of public international law which requires that a
foreign government or head of state cannot be sued without its consent. In its traditional
form, this rule applied to all types of suit, criminal and civil, including
those arising out of purely commercial transactions undertaken by the foreign
sovereign.”
Dalam perkembangannya,
konsep imunitas ini mengalami pembatasan. Minimal ada 4 pembatasan terhadap
muatan imunitas suatu negara ini.
Pertama, pembatasan oleh hukum internasional. Dalam bertransaksi
dagang, hukum internasional meskipun mengakui imunitas negara ini, tetapi juga
sekaligus membatasinya. Hukum internasional regional di Eropa misalnya memiliki
the European Convention on State Immunity (16 Mei 1972). Konvensi
beranggotakan Austria, Belgia, Belanda, Siprus, Jerman, Inggris, Luxemburg, dan
Swis.
Hukum internasional juga mensyaratkan
negara-negara untuk bekerjasama dengan negara lain untuk memajukan ekonomi.
Deklarasi mengenai prinsip-prinsip hukum internasional antara lain menyatakan
bahwa: “... states have the duty to co-operate with one another, irrespective
of the difference in their political, economic and social system,...”
Kedua, pembatasan oleh hukum nasional. Dewasa ini beberapa negara memiliki UU
mengenai imunitas yang sifatnya membatasi imunitas negara-negara (asing) yang
melakukan transaksi dagang di dalam wilayahnya atau dengan warga negaranya.
Negara-negara yang memiliki UU seperti ini misalnya: Canada (State Immunity
Act 1982); Australia (Foreign States Immunity Act 1985),
Amerika Serikat (Foreign Sovereign Immunities Act 1976), dan Inggris (State
Immunity Act 1978). UU Inggris tahun 1978 menyatakan bahwa suatu negara
tidak dapat lagi mengklaim imunitasnya dalam persidangan yang terkait dengan:
(a) sengketa-sengketa mengenai transaksi
komersial (dagang) yang dilakukan oleh suatu negara;
(b) sengketa-sengketa yang lahir dari adanya
kontrak yang dilaksanakan sebagian atau seluruhnya di Inggris;
(c) kontrak-kontrak ketenagakerjaan yang
dibuat di Inggris atau yang berkaitan dengan jasa-jasa yang dilaksanakan sebagian
atau seluruhnya di Inggris;
(d) tindakan-tindakan mengenai tort (dalam
sistem hukum kita semacam perbuatan melawan hukum) untuk menuntut ganti rugi
karena meninggal, luka-luka, atau kerugian terhadap harta benda, di mana
tindakan tersebut terjadi di Inggris;
(e) sengketa-sengketa yang terkait dengan keanggotaan
dalam suatu perusahaan baik yang terdaftar atau yang memiliki kegiatan usaha
utamanya di Inggris;
(f) sengketa-sengketa yang terkait dengan
klaim-klaim pengangkutan di laut terhadap kapal atau muatan atau yang digunakan
untuk tujuan-tujuan komersial; dan
(g) sengketa-sengeta yang terkait dengan
perpajakan atau cukai.
Ketiga, pembatasan secara diam-diam dan sukarela. Pembatasan ini dianggap
terjadi manakala suatu negara secara sukarela menundukkan dirinya ke hadapan
suatu badan peradilan yang mengadili sengketanya. Apabila pengadilan memanggil Negara
tersebut untuk mengadiri persidangan dan negara tersebut mematuhinya, maka
negara tersebut dianggap telah dengan sukarela menanggalkan imunitasnya.
Keempat, kemungkinan lain yang menjadi indikasi pembatasn imunitas
ini adalah apabila negara memasukkan klausul arbitrase ke dalam kontrak
dagangnya. Dengan demikian dapat dianggap bahwa negara tersebut telah
menanggalkan imunitasnya untuk menghadap ke badan arbitrase yang dipilihnya
untuk menyelesaikan sengketa dagangnya.
Dengan adanya
pembatasan-pembatasan tersebut, kekebalan suatu negara untuk hadir di hadapan
badan peradilan (nasional asing, internasional atau arbitrase) tidak lagi
berlaku. Namun masalah sesungguhnya dalam kaitanya dengan pembatasan negara di hadapan
badan peradilan adalah pelaksanaan putusan pengadilannya. Hal inilah yang
menjadi nasalah utama yang justru sangat krusial.
Percumalah doktrin
dan aturan-aturan mengenai imunitas ini terhadap imunitas ini kemudian lahir
teori yang disebut dengan teori pembatasan imunitas negara (“restrictive
theory doctrine”). Teori ini juga menyatakan apabila di kemudian
hari ternyata putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan. Berdasarkan hukum
internasional, suatu badan peradilan tidak dapat menyita harta milik negara
lain atau memaksakan putusannya terhadap harta milik negara lain yang digunakan
atau yang memiliki fungsi pelayanan publik (public services). Hukum internasional
melarang suatu negara menahan kapal perang asing yang sedang menyandar di pelabuhan
suatu negara asing atau menyita bangunan kedutaan negara asing. Menurut Houtte,
pelaksanaan putusan pengadilan hanya memungkinkan terhadap aset-aset yang
negara asing yang bersangkutan tidak dibutuhkan untuk melaksanakan
fungsi-fungsi pelayanan publik.
C. Organisasi Perdagangan Internasional
1. Organisasi Internsional Antar
Pemerintah (Publik)
Organisasi
internasional yang bergerak di bidang perdagangan internasional memainkan peran
yang signifikan. Organisasi internasional dibentuk oleh dua atau lebih ngara
guna mencapai tujuan bersama. Untuk mendirikan suatu organisasi internasional
perlu dibentuk suatu dasar hukum yang biasanya adalah perjanjian internasional.
Dalam perjanjian inilah termuat tujuan, fungsi, dan struktur organisasi
perdagangan internasional yang bersangkutan.
Biasanya peran
organisasi internasional dalam perdagangan internasional kurang begitu
signifikan. Memang organisasi internasional membeli kebutuhan-kebutuhannya dari
penjual (procurement). Misalnya komputer, peralatan kantor/administrasi,
telekomunikasi, transportasi, dll. Namun procurement organisasi
internasional tidak terlalu besar kuantitasnya. Dari segi hukum perdagangan
internasional pun organisasi seperti ini lebih banyak bergerak sebagai regulator.
Dalam kapasitasnya ini organisasi internasional lebih banyak mengeluarkan
peraturan-peraturan yang bersifat rekomendasi dan guidelines. Biasanya
pun aturan-aturan seperti rekomendasi atau guidelines tersebut lebih banyak
ditujukan kepada negara. Jarang dimaksudkan untuk mengatur individu.
Di antara berbagai
organisasi internasional yang ada dewasa ini, organisasi perdagangan
internasional di bawah PBB, seperti UNCITRAL atau UNCTAD. UNCITRAL adalah
organisasi internasional yang berperan cukup penting dalam perkembangan hukum
perdagangan internasional. Badan ini didirikan pada tahun 1966 berdasarkan
Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2205 (XXI), 12 Desember 1966. Tujuan atau mandat
utama badan ini adalah mendorong harmonisasi dan unifikasi hukum perdagangan
internasional secara progresif.
Dalam upayanya
tersebut UNCITRAL disyaratkan juga untuk mempertimbangkan kepentingan semua
negara khususnya negara sedang berkembang dalam mengembangkan perdagangan
internasional secara ekstensif. Dalam teks aslinya, mandat dalam Resolusi tahun
1966 tersebut berbunyi:
“With a mandate to further the progressive
development of the law of internatonal trade and in that respect to bear in
mind the interests of all people, in particular those of developing countries,
in the extensive development of international trade.”
UNCITRAL misalnya,
telah melahirkan Vienna Convention on the International Sale of Goods (1980);
Convention on the international Multi-moda Transport (1980); UNCITRAL
Arbitration Rules (1976); UNCITRAL Model Law on Arbitration (1985),
dll. UNCTAD telah melahirkan berbagai kesepakatan internasional di
bidang perdagangan yang juga cukup penting, antara lain misalnya: UN
Convention on a Code of Conduct for Liner Conference (1974); GSP (1968);
UN Convention on Carriage of Goods by Sea (1978).
Di luar keluarga
PBB, organisasi perdagangan internasional yang dewasa ini berpengaruh luas
adalah GATT (1947). GATT dengan 20 Selama ini PBB lebih dikenal sebagai
organisasi internasional yang bersifat politis. Bab IX Piagam PBB sebenarnya
memuat aturan-aturan khusus untuk pengembangan dan majuan ekonomi dan sosial
yang bertujuan, antara lain,
meningkatkan standar hidup dan pembangunan ekonomi dan sosial.
2. Organisasi Internasional Non-Pemerintah
Di samping
organisasi internasional antar pemerintah di atas, terdapat subyek hukum
lainnya yang juga cukup penting yaitu NGO (Non-Governmental Organization)
swasta (non-pemerintah atau yang kerap kali disebut pula dengan LSM
internasional). NGO Internasional dibentuk oleh pihak swasta (pengusaha) atau
asosiasi dagang. Peran penting NGO dalam mengembangkan aturan-aturan hukum
perdagangan internasional tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Misalnya,
ICC (International Chamber of Commerce atau Kamar Dagang
Internasional), telah berhasil merancang dan melahirkan berbagai bidang hukum perdagangan
dan keuangan internasional, misalnya: INCOTERMS, Arbitration Rules dan Court
of Arbitration, serta Uniform Customs and Practices for
Documentary Credits (UCP).
Khusus untuk UCP,
misalnya, aturan-aturannya sekarang sudah menjadi acuan hukum sangat penting
bagi pengusaha dalam melaksanakan transaksi perdagangan internasional.
Aturan-aturan UCP yang terkait dengan sistem pembayaran melalui perbankan telah
ditaati dan dihormati oleh sebagian besar pengusaha-pengusaha besar di dunia.
Gambaran lainnya
adalah ICC Arbitration Rules. Banyak pengusaha besar di dunia telah
memanfaatkan aturan arbitrase ICC untuk menyelesaikan sengketa-sengketa dagang
mereka. Dalam klausul-klausul kontrak dagang internasional, para pengusaha telah
cukup banyak mencantumkan klausul arbitrase dengan mengacu kepada ICC
Arbitration Rules untuk hukum acara badan arbitrasenya.
D. Individu
Individu atau
perusahaan adalah pelaku utama dalam perdagangan internasional. Adalah individu
yang pada akhirnya akan terikat oleh aturan-aturan hukum perdagangan
internasional. Selain itu, aturan-aturan hukum yang dibentuk oleh Negara memiliki
tujuan untuk memfasilitasi perdagangan internasional yang dilakukan individu. Dibanding
dengan negara atau organisasi internasional, status individu dalam hukum
perdagangan internasional tidaklah terlalu penting. Biasanya individu dipandang
sebagai subyek hukum dengan sifat hukum perdata (legal persons of a private
law nature).
Individu itu
sendiri hanya (akan) terikat oleh ketentuan-ketentuan hukum nasional yang
negaranya buat. Karena itu individu tunduk pada hukum nasionalnya (tidak pada
aturan hokum perdagangan internasional). Dia pun hanya dapat mempertahankan hak
dan kewajibannya yang berasal dari hukum nasionalnya tersebut di hadapan badan-badan
peradilan nasional.Negara jarang sekali membuat kesepakatan-kesepakatan yang mengikat
individu. Umumnya kesepakatan negara-negara hanya mengikat mereka. AFTA antara
lain adalah organisasi yang hanya mengatur komitmen negara-negara anggotanya
saja. Dalam hukum perdagangan internasional, ia adalah subyek hukum dalam arti
yang terbatas.
Apabila individu
merasa bahwa hak-hak dalam bidang perdagangannya terganggu atau dirugikan, maka
yang dapat ia lakukan adalah meminta bantuan negaranya untuk memajukan klaim terhadap
negara yang merugikannya ke hadapan badan-badan peradilan internasional.
Mekanisme seperti ini misalnya tampak pada GATT/ WTO dan Mahkamah
Internasional.
Hanya dalam keadaan-keadaan tertentu saja
suatu individu dapat mempertahankan hak-haknya berdasarkan suatu perjanjian internasional.
Individu misalnya diperkenankan untuk mengajukan tuntutan kepada negara
berdasarkan Konvensi ICSID. Konvensi ICSID mengakui hak-hak individu untuk
menjadi pihak di hadapan badan arbitrase ICSID. Namun demikian hak ini bersifat
terbatas.
Pertama, sengketanya hanya dibatasi untuk sengketa-sengketa di
bidang penanaman modal yang sebelumnya tertuang dalam kontrak.
Kedua, negara dari individu yang bersangkutan harus juga disyaratkan untuk
telah menjadi anggota Konvensi ICSID (Konvensi Washington 1965).
Persyaratan ini
sifatnya mutlak. RI telah meratifikasi dan mengikatkan diri terhadap Konvensi
ICSID melalui UU Nomor 5 tahun 1968. Status individu sebagai subyek hukum
perdagangan internasional tetaplah tidak boleh dipandang kecil. Aturan-aturan di
bidang perdagangan yang mereka buat sendiri kadang-kadang memiliki kekuatan
mengikat seperti halnya hukum nasional. Contoh nyata adalah aturan-aturan yang
tergolong ke dalam Lex Mercatoria atau hukum para pedagang. Salah satu
wujudnya, seperti telah diutarakan di atas, adalah the Uniform Customs and
Practice for Documentay Credit (UCP). Meskipun UCP tidak diundangkan
sebagaimana layaknya hukum nasional, namun para pengusaha sangat menghormati
dan menaati ketentuan-ketentuan dalam UCP. Disebutkan di atas bahwa individu
adalah subyek hokum dengan sifat hukum perdata (legal persons of a private
law nature). Subyek hukum lainnya yang termasuk ke dalam kategori
ini adalah (a) perusahaan multinasional; dan (b) bank.
1. Perusahaan Multinasional
Perusahaan
multinasional (MNCs atau Multinational Corporations) telah lama diakui
sebagai subyek hukum yang berperan penting dalam perdagangan
internasional. Peran ini sangat mungkin karena kekuatan finansial yang
dimilikinya. Dengan kemampuan finansialnya, hukum (perdagangan)
internasional berupaya mengaturnya. Pasal 2 (2) (b) Piagam Hak
dan Kewajiban Ekonomi Negara-negara antara lain menyebutkan bahwa MNCs tidak
boleh campur tangan terhadap masalah-masalah dalam negeri dari suatu negara. Pasal
2 (2) (b) Piagam antara lain berbunyi sebagai berikut: “...Transnational
corporation shall not intervene in the internal affairs of a host State.”
Alasan pengaturan
ini tampaknya masuk akal. Tidak jarang MNCs seperti Freport McMoran Company (yang
beroperasi di Papua), Mitsubishi, atau MNCs di bidang telekomunikasi,
ABC, CNN, Singapore Telecommunication (Singtel yang memiliki saham mayoritas
PT Indosat), sedikit banyak dapat mempengaruhi situasi dan kondisi politik dan
ekonomi di Indonesia.
Kekuatan dan kekayaan
yang sangat besar ini memang dapat berdampak yang cukup besar. The Economist
menggambarkan dengan tepat peran dan keberadaan MNCs: “Many people ...
now think of multinationals as more powerful than nation states, and see them
as bent on destroying livelihoods, the environment, left-wing political
opposition and anything else that stands in the way of their profits.”
Perlunya aturan-aturan yang mengontrol
aktivitas MNCs memang perlu untuk menjembatani perbedaan kepentingan. kepentingan
negara tuan rumah, apalagi negara sedang berkembang, biasanya adalah
mengharapkan masuknya MNCs ke dalam wilayah negaranya dapat memberi kontribusi
bagi pembangunannya.
Sedangkan
perspektif MNCs berbeda. Sebagaimana halnya dengan perusahaan umumnya, MNCs
bertujuan mencapai target utama perusahaan, yaitu mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya. Karena itu agar kedua kepentingan ini pada titik tertentu
dapat bertemu, maka perlu aturan-aturan hukum untuk menjembataninya.
2. Bank
Memang agak
mengherankan bahwa para sarjana memasukkan bank sebagai subyek hukum dengan
kategori private law nature. Sama seperti individu atau MNCs, bank dapat
digolongkan sebagai subyek hukum perdagangan internasional dalam arti yang
terbatas. Bank pun tunduk pada hukum nasional di mana bank tersebut didirikan. Yang
membuat subyek hukum ini penting adalah:
(a) peran bank dalam perdagangan
internasional dapat dikatakan sebagai pemain kunci. Tanpa bank, perdagangan
internasional mungkin tidak dapat berjalan.
(b) Bank menjembatani antara penjual dan
pembeli yang satu sama lain mungkin saja tidak mengenal karena mereka berada di
negara yang berbeda. Perannya di sini adalah peran bank dalam memfasilitasi
pembayaran antara penjual dan pembeli.
(c) Bank berperan penting dalam menciptakan
aturan-aturan hukum dalam perdagangan internasional khususnya dalam
mengembangkan hukum perbankan internasional. Salah satu instrumen hukum yang
bank telah kembangkan adalah sistem pembayaran dalam transaksi perdagangan
internasional. Misalnya adalah terbentuknya ‘kredit berdokumen’ yang disebut ‘documentary
credit’. Mekanisme dan praktek ini kemudian dikodifikasi dan dirumuskan
secara sistematis oleh ICC menjadi UCP.
E. Penutup
Uraian di atas
menggambarkan stake-holders, aktor, atau subyek hukum dalam hukum
perdagangan internasional, yaitu negara, organisasi internasional dan individu
(yang terdiri dari perusahaan multinasional dan bank). Subyek-subyek hukum
tersebut di atas menunjukkan terbatasnya subyek hukum dalam hukum perdagangan
internasional. Hal ini tidak terlepas dari realita pragmatis dari perdagangan internasional.
Imunitas negara dengan statusnya sebagai subyek hukum penuh atau lengkap dalam
hukum perdagangan internasional tampak semakin terbatas. Hukum nasional, hukum
internasional, dan penundukan diri kepada suatu lembaga peradilan (arbitrase)
menghendaki dan mensyaratkan tidak mungkinnya bagi suatu negara untuk membawa atribut
imunitasnya dalam perdagangan internasional.
Dari ketiga stake-holders hukum
perdagangan internasional, yang paling unik adalah bank. Bank hanyalah suatu
lembaga keuangan. Ia bukan pelaku utama perdagangan internasional. Fungsinya
menjembatani dan memfasilitasi pembayaran antara penjual dan pembeli. Namun
demikian bank telah menciptakan suatu praktek kebiasaan di bidang perdagangan
yang mengikat stakeholders lainnya yang berhubungan dengannya.
BAB III
SUMBER HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
Sumber hukum
perdagangan internasional merupakan bab yang penting. Dari sumber hukum inilah
kita dapat menemukan hokum tersebut untuk dapat diterapkan kepada suatu fakta
tertentu dalam perdagangan internasional. Dalam Bab I buku ini, penulis
mengikuti pendirian Houtte, Rafiqul Islam, dan Booysen. Inti dari pendirian
para sarjana terkemuka ini adalah bahwa ada keterkaitan erat antara hokum perdagangan
internasional dan hukum internasional.
Keterkaitan antara
dua bidang hukum ini membawa konsekuensi bahwa sumber-sumber hukum
internasional yang dikenal dalam lapangan ini, yaitu:(1) perjanjian
internasional; (2) hukum kebiasaan internasional; (3) prinsip-prinsip hukum
umum; dan (4) putusan-putusan pengadilan dan publikasi sarjana-sarjana terkemuka
(doktrin), juga dapat diadopsi sebagai sumber-sumber hukum dalam hukum
perdagangan internasional.
Namun demikian, di
samping keempat sumber hukum tersebut, khusus dalam bidang hukum perdagangan
internasional, terdapat satu bidang hukum lainnya yang juga berperan penting
dalam mengatur transaksi perdagangan internasional. Hukum ‘kelima’ ini adalah
hukum nasional. Hukum nasional dalam banyak hal ternyata justru memiliki peran
‘lebih’ dibandingkan ke-4 sumber hukum yang tersebut sebelumnya. peran dan
diakuinya hukum nasional sebagai sumber hukum perdagangan internasional
tidaklah terelakan karena sejak awal atau tahap awal suatu pihak akan memulai
transaksitransaksinya, selalu atau acapkali diawali dengan keterkaitannya pada
hukum nasional negaranya.
B. Sumber Hukum Perdagangan Internasional
1. Perjanjian Internasional
Perjanjian
internasional adalah salah satu sumber hukum yang terpenting. Secara umum,
perjanjian internasional terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu perjanjian
multilateral, regional dan bilateral. Perjanjian internasional atau
multilateral adalah kesepakatan tertulis yang mengikat lebih dari dua pihak
(negara) dan tunduk pada aturan hukum internasional. Beberapa perjanjian internasional
membentuk suatu pengaturan perdagangan yang sifatnya umum di antara para pihak.
Ada juga perjanjian internasional yang memberikan kekuasaan tertentu di bidang perdagangan
atau keuangan kepada suatu organisasi internasional.
Perjanjian
internasional kadang kala juga berupaya mencari suatu pengaturan yang seragam
guna mempercepat transaksi perdagangan. Perjanjian regional adalah
kesepakatan-kesepakatan di bidang perdagangan internasional yang dibuat oleh
negara-negara yang tergolong atau berada dalam suatu regional tertentu. Di Asia
Tenggara misalnya, perjanjian-perjanjian seperti ini adalah perjanjian
pembentukan AFTA.
Suatu perjanjian
adalah bilateral manakala perjanjian tersebut hanya mengikat hanya dua subyek
hukum internasional (negara atau organisasi internasional). Termasuk dalam
kelompok perjanjian ini adalah perjanjian penghindaraan pajak berganda. Dalam
perjanjian persahabatan bilateral, kedua Negara memberikan beberapa preferensi
atau perlakuan khusus tertentu berkaitan dengan kegiata ekspor-impor kedua
negara. Perjanjian ini bisanya disebut juga dengan nama FCN-Treaties (Friendship,
Navigation and Commerce).
a. Daya Mengikat Perjanjian (Perdagangan)
Internasional
Suatu perjanjian
perdagangan internasional mengikat berdasarkan kesepakatan para pihak yang
membuatnya. Karena itu, sebagaimana halnya perjanjian internasional pada
umumnya, perjanjian perdagangan internasional pun hanya akan mengikat suatu
negara apabila negara tersebut sepakat untuk menandatangani atau
meratifikasinya. Manakala suatu negara telah meratifikasinya, maka adalah kewajiban
negara tersebut untuk mengundangkannya ke dalam aturan hukum nasionalnya.
Perjanjian internasional yang telah diratifikasi tersebut kemudian menjadi
bagian dari hukum nasional negara tersebut.
Kadangkala
perjanjian internasional membolehkan suatu negara untuk tidak menerapkan atau
mengecualikan beberapa pengaturan atau pasal dari perjanjian internasional.
Atau sebaliknya, suatu perjanjian internaisonal tidak mengijinkan adanya
pensyaratan ini. GATT atau Perjanjian WTO misalnya tidak menghendaki adanya
pensyaratan ini. Artinya, GATT dan Perjanjian WTO mensyaratkan pemberlakuan
keseluruhan pasal-pasalnya. Salah satu cara lainnya bagi suatu negara untuk
terikat kepada suatu perjanjian internasional adalah melalui penundukan secara
diam-diam. Artinya, tanpa mengikatkan diri secara tegas melalui penandatanganan
dan ratifikasi (yang biasanya instrumen ratifikasi tersebut didepositkan kepada
suatu badan yang berwenang, misalnya Sekjen PBB), suatu negara dapat saja mengikatkan
dirinya dengan cara mengadopsi muatan suatu perjanjian internasional ke dalam
hukum nasionalnya.
Biasanya penundukan
secara diam-diam dilakukan antara lain karena negara tersebut tidak mau secara
tegas terikat terhadap suatu perjanjian internasional. Misalnya, RI tidak
meratifikasi Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. Tetapi dalam UU Nomor
24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, sebagian besar muatannya sama
dengan Konvensi Win 1969 tersebut.
Tetapi perlu pula
diingat bahwa penundukan diri secara diam-diam ini tidak akan berlaku apabila
perjanjian internasional tersebut secara tegas mensyaratkan demikian. Atau,
apabila muatan perjanjian internasional tersebut memberikan hak-hak (konsesi) tertentu
kepada suatu negara anggotanya, dan tidak kepada nonanggota. Negara-negara
non-anggota yang berupaya secara diam-diam untuk menundukan dirinya kepada
aturan tersebut karenanya tidak akan efektif. GATT, Misalnya, adalah suatu
kesepakatan umum di bidang perdagangan dan tarif. Siapa saja yang menjadi
anggota harus terlebih dahulu bernegosiasi dengan negara-negara anggota GATT mengenai
konsesi-konsesi yang akan diberikannya sebelum ia dapat memanfaatkan ke-38
pasal GATT.
b. Isi Perjanjian
Dari muatan yang terkandung
di dalamnya, perjanjian perdagangan internasional pada umumnya memuat hal-hal
berikut:
1) liberalisasi perdagangan
Perjanjian yang memuat liberalisasi
perdagangan adalah meliberalisasi perdagangan. Dalam hal ini, negara-negara
anggota suatu perjanjian internasional berupaya menanggalkan berbagai rintangan
pengaturan atau kebijakan (negara) yang dapat menghambat atau mengganggu
kelancaran transaksi perdagangan internasional.
2) Integrasi ekonomi
Perjanjian seperti ini berkembang belum
begitu lama. Negara-negara anggota dalam suatu perjanjian internasional berupaya
mencapai suatu integrasi ekonomi melalui pencapaian kesatuan kepabeanan (customs
union), suatu kawasan perdagangan bebas (free trade zone), atau
bahkan suatu kesatuan ekonomi (economic union). Perjanjian seperti ini
biasanya member kewenangan kepada suatu organisasi internasional guna mencapai tujuan
integrasi ekonomi ini.
3) Harmonisasi Hukum
Tujuan utama harmonisasi hukum hanya berupaya
mencari keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental
dari berbagai sistem hukum yang ada (yang akan diharmonisasikan).
4) Unifikasi Hukum
Dalam unifikasi hukum, penyeragaman mencakup
penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan sistem hukum yang baru.
Contohnya adalah pemberlakuan Perjanjian TRIPS/WTO.
Dengan diperkenalkannya substansi
bidang-bidang perjanjian TRIPS/WTO yang mencakup ketentuan mengenai hak cipta,
merek dagang, indikasi geografis, disain industri, paten, dll.,meletakkan
kewajiban kepada negara anggota untuk membuat aturan-aturan HAKI nasionalnya
yang sesuai dengan substansi perjanjian TRIPS/WTO.
5) Model Hukum dan Legal Guide
Pembentukan Model Hukum dan Legal Guide sebenarnya
tidak terlepas dari upaya harmonisasi di atas. Bentuk hukum seperti ini biasanya
ditempuh karena didasari sulitnya bidang hukum yang akan disepakati atau
diatur. Karena itu mereka membuat Model Hukum ini yang sifatnya tidak mengikat.
Pembuat atau perancang Model Hukum berharap, meski namanya model hukum atau legal
guide, Negara-negara dapat mengacu muatan aturan-aturan model hukum atau
legal guide ini ke dalam hukum nasionalnya. Dengan (semakin) banyaknya negara
yang mengadopsi model hukum atau legal guide ini, akhirnya diharapkan
akan tercipta keseragaman atau harmonisasi di bidang muatan model hukum atau
legal guide tersebut.
Contoh terkenal
Model Hukum seperti ini adalah UNCITRAL Model Law on International
Commercial Arbitration tahun 1985. Model Hukum 1985 ini memuat
aturan-aturan model (acuan) bagi negara-negara di dunia dalam mengundangkan
peraturan perundangannya di bidang arbitrase komersial internasional.
Dengan diadopsinya model hukum arbitrase ini diharapkan akan tercipta
pengaturan arbitrase yang bersifat universal. Artinya, diharapkan aturan-aturan
UU arbitrase suatu negara sedikit banyak tidak akan berbeda dengan aturan UU
arbitrase negara lainnya. Legal guide yang cukup terkenal adalah UNCITRAL
Legal Guide on Drawing Up International Contracts for the Construction of Industrial
Works 1988. Legal Guide 1988 bertujuan terciptanya keseragaman
pengaturan klausul-klausul dalam menyusun kontrak di bidang konstruksi.
c. Standar Internasional
Standar
internasional adalh norma-norma yang disyaratkan untuk ada di dalam perjanjian
internasional, yang merupakan syarat penting di dalam tata ekonomi
internasional, serta syarat suatu negara untuk berpartisipasi di dalam
transaksi ekonomi internasional. Syarat-syarat dasar tersebut adalah:
i.
Minimumstandard or equitable treatment;
ii.
Most-favoured
nation clause;
iii.
Equal
Treatment; dan iv. Preferential
Treatment.
ad. i. Minimum-standard
atau equitable treatment
Minimum-standard
atau equitable treatment adalah norma
atau aturan dasar yang semua negara harus taati untuk dapat turut serta dalam
transaksi-transaksi perdagangan internasional.
Contoh standar minimum ini antara lain tampak
dalam perjanjian-perjanjian di bidang perlindungan hak kekayaan intelektual. Misalnya
Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works.
Konvensi ini meletakkan persyaratan standar minimum mengenai perlindungan hukum
bagi karya cipta dan karya seni.
ad. ii. Most-Favoured Nation Clause
Klausul Most-Favoured
Nation (MFN) adalah klausul yang mensyaratkan perlakun non-diskriminasi
dari suatu negara terhadap negara lainnya. Perlakuan ini diberikan karena masing-masing
negara terikat dalam suatu perjanjian internasional. Berdasarkan klausul ini
salah satu negara yang memberikan perlakuan khusus atau preferensi kepada suatu
negara, maka perlakuan tersebut harus juga diberikan kepada negara-negara
lainnya yang tergabung dalam suatu perjanjian.
Peran klausul ini
penting. Klausul ini menurut Houtte, memberikan suatu derajat perlakuan sama
(equitable treatment) dalam hubungan ekonomi internasional. Dengan klausul ini,
hubungan-hubungan perdagangan internasional dapat berkembang. Menurut Houtte,
klausul MFN biasanya diikuti oleh dua sifat cukup penting, yaitu:
(a) reciprocal (timbal balik), artinya
pemberian MFN ini diberikan dan disyaratkan oleh masing-masing negara. Jadi sifatnya
timbal balik; dan
(b) unconditional (tidak bersyarat),
artinya negara anggota lainnya dalam suatu perjanjain berhak atas perlakuan-perlakuan
khusus yang diberikan kepada negara ketiga.
Ad. iii. Equal treatment
Equal
treatment (perlakuan sama)
adalah klausul lainnya yang juga disyaratkan harus ada dalam
perjanjian-perjanjian internasional. Menurut klausul ini, negara-negara peserta
dalam suatu perjanjian disyaratkan utuk memberikan perlakuan yang sama satu
sama lain. Klausul ini karena itu menyatakan bahwa warga negara dari suatu
negara anggota harus juga diperlakukan sama halnya seperti warga negara di
negara anggota lainnya.
Klausul seperti ini
hingga sekarang ini jarang ditemukan dalam praktek perjanjian antar negara.
Memang, sulit untuk menemukan klausul ini dalam praktik. Suatu negara bagaimana
pun juga memiliki kewajiban utama kepada negaranya daripada kepada warga negara
asing. Adalah kewajiban suatu negara untuk mensejahterakan warga negaranya
(daripada mensejahterakan warga negara anggota lain yang berada di dalam
wilayahnya).
Namun demikian
klausul ini tampak nyata dalam kesepakatan-kesepakatan hukum internasional di
bidang penyelesaian sengketa, misalnya arbitrase internasional. Misalnya pasal
18 UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration.
Pasal 18 ini yang berada di bawah judul ‘Equal Treatment of Parties’, menyebutkan:
“The parties shall be treated with equality and each party shall be
given a full opportunity of presenting his case.” Pasal 18 ini
menggambarkan prinsip universal mengenai perlakuan sama di depan hukum. Pasal
ini mensyaratkan perlakuan sama terhadap para pihak yang bersengketa. Mereka
pun harus diberi kesempatan yang sama untuk membela perkaranya di hadapan badan
arbitrase. Dalam berbagai sistem hukum di dunia, tidak ada ketentuan yang dapat
mengenyampingkan prinsip ini.
Ad. iv. Preferential Treatment
Prinsip ini
sebenarnya adalah pengecualian terhadap prinsip non-diskriminasi. Prinsip ini
biasanya diterapkan di antara negara-negara yang memiliki hubungan politis atau
ekonomis. Berdasarkan prinsip ini suatu negara dapat saja memberikan perlakuan
khusus yang lebih menguntungkan (preferential treatment) kepada
suatu negara daripada kepada negara lainnya. Biasanya perlakuan demikian
diberikan kepada negara-negara yang sedang berkembang atau miskin. Perlakuan
berbeda dan khusus biasa juga diberikan kepada negara-negara yang memiliki keterkaitan
sejarah sebelumnya. Misalnya, negara-negara eks jajahan atau eks-koloninya.
d. Resolusi-resolusi Organisasi Internasional
Dewasa ini berbagai
organisasi internasional acap kali pula mengeluarkan keputusan-keputusan berupa
resolusi-resolusi yang sifatnya tidaklah mengikat. Daya mengikat
resolusi-resolusi seperti ini biasanya disebut juga sebagai soft-law.
Karena memang negara-negara pesertanya tidak menginginkan keputusan-keputusan yang
dibuat oleh organisasi internasional tidak mengikat mereka secara hukum. Tetapi
resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh organisasi internasional kadang kala
juga mengikat. Salah satu contoh instrumen terkenal yang dipandang soft-law
oleh negara-negara (maju) tetapi ternyata daya berlakunya sangat luas adalah
Piagam Hak-hak dan Kewajiban Ekonomi Negara-negara (Charter on the
Economic Rights and Duties of States atau CERDS). Sepertiga bagian (11 pasal) dari
dari keseluruhan pasal Piagam ini mengatur mengenai perdagangan internasional. Meskipun
CERDS bersifat soft law, namun jiwa dan nilai-nilai hukum yang terdapat
di dalamnya berpengaruh cukup luas terhadap aturan-aturan atau
perjanjian-perjanjian internasional yang lahir kemudian.
2. Hukum Kebiasaan Internasional
Sebagai suatu
sumber hukum, hukum kebiasaan perdagangan merupakan sumber hukum yang dapat
dianggap sebagai sumber hokum yang pertama-tama lahir dalam hukum perdagangan
internasional. Dari awal perkembangannya, yang disebut dengan hukum perdagangan
internasional justru lahir dari adanya praktek-praktek para pedagang yang
dilakukan berulang-ulang sedemikian rupa sehingga kebiasaan yang berulang-ulang
dengan waktu yang relatif lama tersebut menjadi mengikat. Dalam studi hukum
perdagangan internasional, sumber hukum ini disebut juga sebagai lex
mercatoria atau hukum para pedagang (the law of the merchants).
Istilah ini logis karena memang para pedaganglah yang mula-mula ‘menciptakan’
aturan hukum yang berlaku bagi mereka untuk transaksi-transaksi dagang mereka. Contoh
(lembaga hukum) yang mula-mula para pedagang lakukan dan kembangkan adalah
barter dan counter-trade.
Suatu kebiasaan
tidak selamanya menjadi mengikat dan karenanya menjadi hukum. Suatu praktek
kebiasaan untuk menjadi mengikat harus memenuhi syarat-syarat berikut:
(1) Suatu praktek yang berulang-ulang
dilakukan dan diikuti oleh lebih dari 2 pihak (praktek negara); dan
(2) Praktek ini diterima sebagai mengikat (opnio
iuris sive necessitatis).
Ketentuan Lex Mercatoria dapat ditemukan
antara lain di dalam kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dan dituangkan dalam kontrak-kontrak
perdagangan internasional, misalnya berupa klausul-klausul kontrak standar
(baku), atau kontrak-kontrak di bidang pengangkutan (maritim).
Kontrak-kontrak atau
klausul kontrak perdagangan yang biasanya dirancang oleh asosiasi atau
organisasi perdagangan tertentu (misalnya oleh ICC, FIDIC, dll) dan diikuti
oleh anggota dari organisasi atau asosiasi tersebut. Kebiasaan-kebiasaan
perdagangan memiliki peran yang sangat penting di dalam sesuatu transaksi
perdagangan internasional. Misalnya, kebiasaan tersebut terkodifikasi dalam
kontrak konstruksi atau pengiriman barang, fob, cif, dll. Masalah utama yang
menjadi ganjalan bagi pemberlakuan lex mercatoria ini adalah masih
disangsikannya kekuatan mengikatnya.
Seperti dapat
dimaklumi, bagi para pedagang atau pelaku perdagangan, daya atau kekuatan
mengikat lex mercatoria tidaklah sulit bagi mereka. Mereka secara sukarelah
menaati dan melaksanakan serta memandangnya mengikat karena merekalah yang menciptakannya.
Kekuatan mengikat karena kebiasaan praktek perdagangan ini sebenarnya juga
diakui oleh berbagai hukum nasional. Tidaklah sulit menemukan hukum nasional
mengakui kekuatan hukum adanya praktek kebiasaan ini. Hukum Indonesia misalnya
mengakui praktek kebiasaan ini. Pasal 1339 tentang akibat suatu perjanjian misalnya
menyatakan: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang.”
Bunyi pasal di atas
secara tegas mengakui kebiasaan. Tetapi khusus untuk kebiasaan internasional,
banyak negara yang mengambil jarak. Bahkan untuk kebiasaan dagang internasional
seperti ini, pengadilan tidak jarang masih mempertanyakan keabsahannya. Pendirian
ini antara lain disebabkan karena kebiasaan perdagangan internasional, meskipun
terkodifikasi oleh upaya lembaga-lembaga internasional seperti ICC atau Kamar
Dagang Internasional, UNCITRAL, dll., bukanlah bersifat perjanjian internasional.
Aturan-aturan internasional yang dibuat oleh ICC menurut badan pengadilan dapat
digolongkan soft-law. Aturannya tidak mengikat. Misalnya, ICC merumuskan
UCP 500 untuk Letter of Credit. UCP 500 tidak mensyaratkan ratifikasi oleh
negara-negara untuk mengikat. Karena sifatnya itu pula, UCP tidak pernah meletakkan
kewajiban bagi negara untuk terikat terhadapnya. Hal ini logis saja karena ICC
adalah lembaga yang anggotanya adalah swasta, bukan negara.
Di negara-negara
sedang berkembang yang pengadilannya masih kental menganut aliran positif
hukum, kerap kali memandang bahwa setiap aturan yang tidak dibuat sesuai dengan
konstitusi, misalnya melalui proses pengundangan suatu ketentuan secara formal,
misalnya melalui pengumuman di lembaran negara, bukanlah hukum dan karenanya
tidak mengikat.
3. Prinsip-prinsip Hukum Umum
Sebenarnya apa yang
dimaksud dengan prinsip-prinsip hokum umum belum ada pengertian yang diterima
luas. Peran sumber hukum ini biasanya diyakini lahir baik dari sistem hukum
nasional maupun hukum internasional. Sumber hukum ini akan mulai berfungsi
manakala hukum perjanjian (internasional) dan hukum kebiasaan internasional tidak
memberi jawaban atas sesuatu persoalan. Karena itu prinsip-prinsip hukum umum
ini dipandang sebagai sumber hukum penting dalam upaya mengembangkan hukum,
termasuk sudah barang tentu hukum perdagangan internasional. Beberapa contoh
dari prinsip-prinsip hukum umum ini antara lain adalah prinsip itikad baik,
prinsip pacta sunt servanda, dan prinsip ganti rugi. Ketiga prinsip ini
terdapat dan diakui dalam hampir semua sistem hukum di dunia, dan terdapat pula
dalam hukum (perdagangan) internasional.
4. Putusan-putusan Badan Pengadilan dan
Doktrin
Sumber hukum ke-4
ini tampaknya memiliki fungsi dan peran pelengkap seperti halnya
prinsip-prinsip hukum umum. Sumber hokum ini akan memainkan perannya apabila
sumber-sumber hukum terdahulu tidak memberi kepastian atau jawaban atas suatu
persoalan hukum (di bidang perdagangan internasional). Putusan-putusan
pengadilan dalam hukum perdagangan internasional tidak memiliki kekuatan hukum
yang kuat seperti yang dikenal dalam sistem hukum Common Law (Anglo
Saxon).
Statusnya sedikit
banyak sama seperti yang kita kenal dalam sistem hukum kontinental (Civil
Law). Bahwa putusan pengadilan sebelumnya hanya untuk dipertimbangkan. Jadi
ada semacam ‘kewajiban’ yang tidak mengikat bagi badan-badan pengadilan untuk mempertimbangkan
putusan-putusan pengadilan sebelumnya (dalam sengketa yang terkait dengan
perdagangan internasional).
Sifat putusan
pengadilan ini ditegaskan dalam sengketa Japan-Taxes on Alcoholic Beverages yang
diputus oleh Badan Penyelesaian Sengketa (DSB atau Dispute Settlement Body)
WTO. Dalam tahap banding di DSB, Badan Banding (Appellate Body) antara lain
menyatakan: “Adopted panel reports ... are often considered by subsequent
panels. They create legitimate expectations among WTO members, and, therefore, should
be taken into account where they are relevant to any dispute.”
Begitu pula dengan
doktrin, yaitu pendapat-pendapat atau tulisan-tulisan sarjana terkemuka (dalam
hal ini di bidang hukum perdagangan internasional). Peran dan fungsinya cukup
penting dalam menjelaskan sesuatu hukum perdagangan internasional. Bahkan doktrin
dapat pula digunakan untuk menemukan hukum. Doktrin ini penting manakala
sumber-sumber hukum sebelumnya ternyata juga tidak jelas atau tidak mengatur
sama sekali mengenai suatu hal di bidang perdagangan internasional.
5. Kontrak
Sumber hukum
perdagangan internasional yang sebenarnya merupakan sumber utama dan terpenting
adalah perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh para pedagang sendiri. Seperti
kita dapat pahami, kontrak tersebut adalah ‘undang-undang’ bagi para pihak yang
membuatnya. Dapat pula kita sadari bahwa para pelaku perdagangan (pedagang)
atau stake-holders dalam hukum perdagangan internasional dalam melakukan
transaksi-transaksi perdagangan internasional, mereka menuangkannya dalam
perjanjian-perjanjian tertulis (kontrak). Karena itu, kontrak adalah sangat
esensial. Karena itu kontrak berperan sebagai sumber hukum yang perlu dan terlebih
dahulu mereka jadikan acuan penting dalam melaksanakan hak dan kewajiban mereka
dalam perdagangan internasional.
Dalam hukum
kontrak, kita mengenal penghormatan dan pengakuan terhadap prinsip konsensus
dan kebebasan para pihak (party autonomy). Syarat-syarat perdagangan dan
hak serta kewajiban para pihak seluruhnya diserahkan kepada para pihak dan hukum
menghormati kesepakatan ini yang tertuang dalam perjanjian. Meskipun kebebasan
para pihak sangatlah esensial, namun kebebasan tersebut ada batas-batasnya. Ia
tunduk pada berbagai pembatasan yang melingkupinya.
Pertama, pembatasan yang utama adalah bahwa kebebasan tersebut
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, dan dalam taraf tertentu, dengan
ketertiban umum, kesusilaan, dan kesopanan.
Pembatasan kedua adalah status dari
kontrak itu sendiri. Kontrak dalam perdagangan internasional tidak lain adalah
kontrak nasional yang ada unsur asingnya. Artinya, kontrak tersebut, meskipun
di bidang perdagangan internasional, sedikit banyak tunduk dan dibatasi oleh
hukum nasional (suatu negara tertentu).
Ketiga, menurut Sanson, pembatasan lain yang juga penting dan mengikat para
pihak adalah kesepakatan-kesepakatan atau ‘kebiasaan’ dagang yang sebelumnya
dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan. Daya mengikat
kesepakatan-kesepakatan sebelumnya ini meskipun tidak tertulis tetapi mengikat
ini, digambarkannya sebagai berikut: “In addition to the contractual terms
agreed by the parties, the course of past dealings between traders may result
in terms becoming part of an agreement between them. These past dealings, or
trade ‘usages’ between the parties, may apply to the contractual relationship
despite their not being incorporated into it in written form.”
6. Hukum Nasional
Signifikansi hukum
nasional sebagai sumber hukum dalam hukum perdagangan internasional tampak
dalam uraian mengenai kontrak sebagai sumber hukum perdagangan internasional di
atas. Peran hukum nasional ini antara lain akan mulai lahir manakala timbul
sengketa sebagai pelaksanaan dari kontrak. Dalam hal demikian ini maka
pengadilan (badan arbitrase) pertama-tama akan melihat klausul pilihan hukum
dalam kontrak untuk menentukan hukum yang akan digunakan untuk menyelesaikan
sengketanya. Peran hukum nasional sebenarnya sangatlah luas dari sekedar mengatur
kontrak dagang internasional. Peran signifikan dari hukum nasional lahir dari
adanya jurisdiksi (kewenangan) negara. Kewenangan ini sifatnya mutlak dan
eksklusif. Artinya, apabila tidak ada pengecualian lain, maka kekuasaan itu
tidak dapat diganggu gugat.
Jurisdiksi atau
kewenangan tersebut adalah kewenangan suatu negara untuk mengatur segala (a)
peristiwa hukum, (b) subyek hukum, dan (c) benda yang berada di dalam wilayahnya.
Kewenangan mengatur ini mencakup membuat hukum (nasional) baik yang sifatnya hukum
publik maupun hukum perdata (privat). Kewenangan atas peristiwa hukum di sini
dapat berupa transaksi jual beli dagang internasional, atau transaksi dagang internasional.
Dalam hal ini maka hukum nasional yang dibuat suatu negara dapat mencakup hukum
perpajakan, kepabeanan, ketenaga-kerjaan, persaingan sehat, perlindungan
konsumen, kesehatan, perlindungan HAKI (intellectual property rights), hingga
perizinan ekspor-impor suatu produk.
Kewenangan atas
subyek hukum (pelaku atau stake-holders) dalam perdagangan
internasional, mencakup kewenangan negara dalam membuat dan meletakkan
syarat-syarat (dan izin) berdirinya suatu
perusahaan, bentuk-bentuk perusahaan beserta
syarat-syaratnya, hingga pengaturan pengakhiran perusahaan (dalam hal
perusahaan pailit, dsb).
Kewenangan suatu
negara untuk mengatur atas suatu benda yang berada di dalam wilayahnya mencakup
pengaturan obyek-obyek apa saja yang dapat atau tidak dapat untuk diperjual-belikan.
Termasuk di dalamnya adalah larangan untuk masuknya produk-produk yang dianggap
membahayakan moral, kesehatan manusia, tanaman, lingkungan, produk tiruan, dll.
C. Penutup
Sumber-sumber hukum
perdagangan internasional adalah materi bahasan yang penting. Dari
sumber-sumber inilah kita dapat menemukan hukum perdagangan internasional. Dari
sumber-sumber inilah kita dapat mengomentari, menganalisis dan menilai sesuatu persoalan
dalam hukum perdagangan internasional. Dibanding dengan sumber-sumber hukum
konvensional yang terdapat dalam hukum internasional, dalam hukum perdagangan internasional
dapat ditemui sumber-sumber yang dibuat secara
khusus oleh para pihak (aktor) dalam
perdagangan internasional.
Sumber hukum ini
yaitu kontrak (dan kebiasaan-kebiasaan dagang) memang sesungguhnya adalah hukum
bagi para pihak yang membuatnya. Pengakuan terhadap kontrak sebagai salah satu
sumber dalam
hukum perdagangan internasional mencerminkan
dua hal berikut.
Pertama, kontrak sebagai salah satu sumber hukum perdagangan internasional
merefleksikan unsur private law nature dari hokum perdagangan
internasional.
Kedua, kontrak sebagai salah satu sumber dari hokum perdagangan internasional
mencerminkan saling keterkaitan antara bidang hukum perdagangan internasional
dengan bidang hukum lain, khususnya hukum kontrak internasional di samping hukum
internasional, hukum ekonomi internasional, hukum penanaman modal, dll.
BAB IV
ATURAN-ATURAN HUKUM PERDAGANGAN MENURUT GATT
A. Pengantar
Salah satu sumber
hukum yang penting dalam hukum perdagangan internasional adalah Persetujuan
Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariff and Trade atau
GATT). Muatan di dalamnya tidak saja penting dalam mengatur kebijakan
perdagangan antar negara tetapi juga dalam taraf tertentu aturannya menyangkut
pula aturan perdagangan antara pengusaha. Contoh yang terakhir ini adalah
pengaturan mengenai barang tiruan atau kepabeanan.
GATT dibentuk pada
Oktober tahun 1947. Lahirnya WTO pada tahun 1994 membawa dua perubahan yang
cukup penting bagi GATT. Pertama, WTO mengambil alih GATT dan
menjadikannya salah satu lampiran aturan WTO. Kedua, prinsip-prinsip
GATT menjadi kerangka aturan bagi bidang-bidang baru dalam perjanjian WTO,
khususnya Perjanjian mengenai Jasa (GATS), Penanaman Modal (TRIMs), dan juga
dalam Perjanjian mengenai Perdagangan yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan
Intelektual (TRIPs). Tujuan pembentukan GATT adalah untuk menciptkan suatu
iklim perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta
untuk menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan, lapangan kerja
dan iklim perdagangan yang sehat.
Untuk mencapai
tujuan itu, sistem perdagangan internasional yang diupayakan GATT adalah sistem
yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di seluruh dunia. Tujuan
utama GATT dapat tampak dengan jelas pada preambulenya. Pada pokoknya ada empat
tujuan penting yang hendak dicapai GATT:
1) meningkatkan taraf hidup umat manusia;
2) meningkatkan kesempatan kerja;
3) meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam
dunia; dan
4) meningkatkan produksi dan tukar menukar
barang.
Ada tiga fungsi
utama GATT dalam mencapai tujuannya:
pertama, sebagai suatu perangkat ketentuan (aturan) multilateral
yang mengatur transaksi perdagangan yang dilakukan oleh Negara-negara anggota
GATT dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan (the ‘rules of
the road’ for trade).
Kedua, sebagai suatu forum (wadah) perundingan perdagangan. Di sini
diupayakan agar praktek perdagangan dapat dibebaskan dari rintangan-rintangan
yang mengganggu (liberalisasi perdagangan). Selain itu, GATT mengupayakan agar
aturan atau praktek perdagangan demikian itu menjadi jelas (predictable)
baik melalui pembukaan pasar nasional atau melalui penegakan dan penyebarluasan
pemberlakuan peraturannya.
Dalam perundingan
tersebut, keputusan-keputusan mengenai materi-materi yang penting khususnya
yang menyangkut ketentuan-ketentuan atau pasal-pasal GATT, keputusannya dibuat
berdasarkan mayoritas biasa (Pasal XXV). Namun pada umumnya keputusan-keputusan
demikian diambil tanpa harus mengikuti suatu cara pengambilan putusan yang
formal: umumnya keputusan diambil berdasarkan konsensus. Sejak berdiri, GATT
telah mensponsori berbagai macam perundingan-perundingan utama/pokok yang
biasanya disebut juga dengan istilah putaran (rounds). Tujuan dari
putaran atau perundingan ini bertujuan untuk mempercepat liberalisasi perdagangan
internasional. Putaran perundingan perdagangan ini mempunyai
keuntungankeuntungan sebagai berikut:
Pertama, perundingan perdagangan memungkinkan para pihak secara
bersama-sama dapat memecahkan masalah-masalah perdagangan yang cukup luas;
Kedua, para pihak akan lebih mudah membahas komitmen-komitmen perdagangan di
suatu putaran perundingan daripada membahasnya dalam lingkup bilateral;
Ketiga, negara-negara sedang berkembang dan negara-negara kurang maju akan
lebih memiliki kesempatan yang lebih luas dalam membahas sistem perdagangan
multilateral dalam lingkup suatu perundingan dan akan lebih menguntungkan
negara-negara sedang berkembang dibandingkan apabila mereka berunding langsung
dengan negara-negara maju; dan
Keempat, dalam merundingkan sektor perdagangan dunia yang sensitif,
pembahasan atau perundingan akan relatif dapat lebih mudah dalam konteks suatu
forum yang sifatnya global. Misalnya adalah pembahasan isu pertanian dalam
Perundingan Uruguay.
Putaran-putaran
pertama GATT pada umumnya difokuskan kepada upaya penurunan tarif. Penurunan
tarif ini sudah berlangsung sejak pembentukan GATT pada tahun 1947. Sejak tahun
1947, putaran yang telah dilaksanakan adalah Putaran Jenewa (1947 – diikuti oleh
23 negara); Putaran Annecy-Perancis (1947 – 13 negara); Putaran Torquay-Inggris
(1951 – 38 negara); Putaran Jenewa (1956 – 26 negara); Putaran Jenewa atau
Putaran Dillon (1960-61 – 26 negara). Proses liberalisasi perdagangan ini terus
berlanjut dalam putaran-putaran berikutnya, yaitu Putaran Kennedy (1964-67 diikuti
oleh 62 negara yang khusus membahas tarif dan antidumping), Putaran
Tokyo (1973-1979, diikuti 102 negara) dan Putaran Uruguay (1986 – 1994 diikuti
oleh 123 negara).
Putaran Tokyo (1973
– 1979) dapat pula dianggap sebagai putaran yang terpenting sebelum Putaran
Uruguay. Putaran Tokyo dipandang sebagai suatu ‘percobaan pertama’ yang
berupaya mereformasi sistem perdagangan internasional. Seperti umumnya
putaran-putaran perdagangan GATT sebelumnya, Putaran Tokyo bertujuan untuk
terus menurunkan tarif secara progresif. Di akhir perundingan, negara-negara
sepakat untuk memotong 1/3 dari tingkat tarif yang berlaku pada waktu itu. Putaran
Tokyo mengalami kegagalan dan beberapa kesepakatan. Kegagalan yang dialaminya
antara lain, tidak tercapainya kesepakatan negara-negara mengenai
masalah-masalah yang melilit sektor pertanian dan kegagalan untuk membuat
rumusan aturan mengenai ‘safeguards’, (tindakan-tindakan pengamanan). Keberhasilan
Putaran Tokyo yang patut dicatat antara lain tercapainya serangkaian
kesepakatan aturan-aturan GATT, dan berhasilnya dicapainya 9 kesepakatan
lainnya yakni :
1) Subsidi dan tindakan balasan (Subsidies
and countervalling measures), yakni kesepakatan yang menafsirkan Pasal VI,
XVI dan XXIII GATT;
2) Rintangan-rintangan teknik terhadap
perdagangan (technical barrier to trade), yang kadang-kala disebut pula
sebagai ‘Standard Code’);
3) Prosedur lisensi impor;
4) Kesepakatan mengenai pengadaan barang dan
jasa pemerintah (Government procurement);
5) Penaksiran bea cukai (Customs Valuation)
yang menafsirkan pasal VII GATT;
6) Anti-Dumping, yang menafsirkan Pasal VI
dan menggantikan the Kennedy Round Anti-Dumping Code;
7) Pengaturan mengenai daging olahan (Bovine
Meat Arrangement);
8) Perdagangan dalam pesawat udara sipil (Trade
in Civil Aircraft).
Pada waktu putaran Tokyo dirampungkan, hanya
sedikit Negara yang mengikatkan diri kepada perjanjian-perjanjian atau kesepakatan
hasil putaran Tokyo tersebut. Itu pun umumnya adalah
negara-negara maju saja.
Di putaran Uruguay,
sebagian dari kesepakatan tersebut di atas telah mengalami pembahasan dan
perluasan. Kesepakatan-kesepakatan mengenai subsidi dan countervailing
measures, rintangan-rintangan teknis terhadap perdagangan, lisensi impor, penaksiran
bea cukai dan kesepakatan anti-dumping sekarang telah terlebur ke dalam
komitmen WTO.
Hal tersebut
berarti bahwa semua negara anggota WTO mau tidak mau tunduk dan terikat terhadap
semua kesepakatan atau perjanjian tersebut. Sedangkan kesepakatan mengenai
pengadaan barang-barang bagi pemerintah (government procurement), bovine
meat, dairy products dan pesawat udara sipil masih tetap berada di
bawah kesepakatan ‘plurilateral’ yang sifatnya terbuka bagi negara
anggota WTO untuk tunduk atau tidak (sukarela) terhadap kesepakatan-kesepakatan
yang disebut terakhir tersebut. Fungsi ketiga GATT adalah sebagai
suatu ‘pengadilan’ internasional dimana para anggotanya menyelesaikan sengketa
dagangnya dengan anggota-anggota GATT lainnya.
Fungsi penyelesaian
sengketa ini sifatnya penting dan pengaturannya mengalami perkembangan yang
menarik. Telah dikemukakan di atas, GATT semula hanyalah aturan kesepakatan mengenai
perdagangan internasional. GATT bukan lembaga khusus yang dilengkapi dengan
badan khusus atau aturan khusus tentang penyelesaian sengketa perdagangan
multilateral.
B. Sejarah GATT
GATT dibentuk
sebagai suatu dasar (atau wadah) yang sifatnya sementara setelah Perang Dunia
II. Pada masa itu timbul kesadaran masyarakat internasional akan perlunya suatu
lembaga multilateral di samping Bank Dunia dan IMF. Kebutuhan akan adanya suatu
lembaga multilateral yang khusus ini pada waktu itu sangat dirasakan benar.
Pada waktu itu masyarakat internasional menemui kesulitan untuk mencapai kata sepakat
mengenai pengurangan dan penghapusan berbagai pembatasan kuantitatif serta
diskriminasi perdagangan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terulangnya praktek
proteksionisme yang
berlangsung pada tahun 1930-an yang memukul
perekonomian dunia.
Seperti disebutkan
di muka, pada waktu pembentukannya, negara-negara yang pertama kali menjadi
anggota adalah 23 negara. Ke-23 ini juga yang membuat dan merancang Piagam International
Trade Organization (Organisasi Perdagangan Internasional) yang pada
waktu itu direncanakan sebagai suatu badan khusus PBB.
Piagam tersebut
dimaksudkan bukan saja untuk memberikan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan
dalam perdagangan dunia tetapi juga membuat keputusan-keputusan mengenai ketenagakerjaan
(employment), persetujuan komoditi, praktek-praktek restriktif (pembatasan)
perdagangan, penanaman modal internasional dan jasa. Benih sejarah pembentukan
GATT sebenarnya berawal dari pada waktu ditandatanganinya Piagam Atlantik (Atlantic
Charter) pada bulan Agustus 1941. Salah satu tujuan dari piagam ini adalah menciptakan
suatu sistem perdagangan dunia yang didasarkan pada non-diskriminasi dan
kebebasan tukar menukar barang dan jasa.
Dengan tujuan
tersebut, serangkaian pembahasan dan perundingan telah berlangsung antara tahun
1943-1944, khususnya antara Amerika Serikat, Inggris dan Kanada. Pada tanggal 6
Desember, Amerika Serikat pertama kalinya mengusulkan perlunya pembentukan
suatu Organisasi Perdagangan Internasional (ITO). Tujuan organisasi ini,
menurut versi Amerika Serikat pada waktu itu, adalah untuk menciptakan
liberalisasi perdagangan secara
bertahap, memerangi monopoli, memperluas permintaan komoditi dan mengkoordinasi
kebijakan perdagangan negara-negara. Usul pembentukan suatu organisasi
perdagangan ini disambut baik oleh ECOSOC (Economic and Social Council).
Badan khusus PBB ini menyatakan keinginannya untuk menyelenggarakan suatu konperensi.
Untuk maksud itu, negara-negara berhasil membentuk suatu komisi persiapan.
Persidangan-persidangan komisi berlangsung di London dari tanggal 18 Oktober
sampai dengan 26 Desember 1946.7 Komisi berhasil mengeluarkan suatu Rancangan Piagam
London (the London Draft Charter). Namun para anggota peserta pertemuan
ini gagal mencapai kata sepakat untuk mengesahkan Rancangan Piagam tersebut.
Dengan adanya
kegagalan ini kemudian negara-negara besar tersebut membentuk suatu komisi
perancang yang beranggotakan Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Perancis dan
negara-negara Benelux. Tugas komisi ini adalah mencari rumusan baru untuk merancang
suatu organisasi perdagangan baru. Komisi baru ini mengadakan pertemuan kedua
yang berlangsung di Lake Succes, New York dari tanggal 20 Januari sampai 25 Februari
1947. Pertemuan ini membahas masalah-masalah tertentu atau terbatas saja.
Pertemuan tidak membahas hal-hal penting.
Pertemuan penting
diselenggarakan di Jenewa dari bulan April sampai November 1947. Dari tanggal
10 April sampai dengan 22 Agustus, panitia persiapan melanjutkan tugasnya
membuat rancangan Piagam ITO, dan dari tanggal 10 April sampai 30 Oktober,
perundingan-perundingan bilateral berlangsung antar negara-negara anggota
komisi, antara lain, Brazil, Burma, Ceylon, Pakistan dan Rhodesia Selatan. Hasil
perundingan mengenai konsesi timbal balik (reciprocal tariff concession)
dicantumkan ke dalam GATT yang ditandatangani pada tanggal 30 Oktober
1947. Hasil perundingan tersebut berisi pula suatu kodifikasi sementara
mengenai hubungan-hubungan perdagangan di antara negara-negara
penandatangan. Berdasarkan persyaratan-persyaratan protokol tanggal 30
Oktober 1947, GATT ditetapkan sejak tanggal 1 Januari 1948, sambil
berlakunya ITO.
Pertemuan penting
keempat berlangsung di Havana (21 November 1947 – 24 Maret 1948). Pertemuan ini
membahas Piagam ITO oleh delegasi dari 66 negara. Pertemuan berhasil
mengesahkan Piagam Havana. Namun sampai dengan pertengahan tahun 1950-an, negara-negara
peserta menemui kesulitan dalam meratifikasinya. Hal ini lebih disebabkan
karena Amerika Serikat, pelaku utama dalam perdagangan dunia, pada tahun 1958,
menyatakan bahwa negaranya tidak akan meratifikasi Piagam tersebut. Sejak itu pulalah
ITO secara efektif menjadi tidak berfungsi sama sekali.
Meskipun tidak
pernah berlaku, namun minimnya ratifikasi tersebut tidak menyebabkan GATT
menjadi tidak berlaku. Para perunding GATT mengeluarkan suatu perjanjian
internasional baru yaitu the Protocol of Provisional Application, yaitu
suatu protokol (perjanjian) yang memberlakukan GATT untuk sementara (provisional).
Sejak dikeluarkannya protokol inilah, GATT kemudian terus berlaku sampai saat
ini. Pada tahun 1954 – 1955, teks GATT mengalami perubahan. Ada dua perubahan
penting yang terjadi. Pertama, dikeluarkannya protokol yang merubah bagian 1
dan Pasal XXIX dan XXX dan protokol yang merubah preambule dan bagian 2 dan 3.
Protokol pertama mensyaratkan penerimaan oleh semua negara peserta. Namun karena
Uruguay tidak meratifikasinya, protokol ini menjadi tidak berlaku sejak tanggal
1 Januari 1968. Sedangkan protokol kedua mulai berlaku sejak tanggal 28 November
1957.
Pada tahun 1965,
GATT mendapat tambahan bagian baru, yaitu bagian keempat. Bagian ini berlaku
secara de facto tanggal 8 Februari 1965 dan mulai berlaku efektif tanggal 27
Juni 1965. Bagian ini khusus mengatur kepentingan perluasan ekspor bagi negara-negara
sedang berkembang (Pasal XXXVI – XXXVIII).
C. Ketentuan-ketentuan Perdagangan dalam
GATT.
Ketentuan-ketentuan
perdagangan yang membentuk suatu system perdagangan multilateral yang
terkandung dalam GATT, memiliki 3 ketentuan utama. Pertama, dan yang paling penting adalah GATT itu sendiri beserta
ke-38 pasalnya. Ketentuan kedua, yang
dihasilkan dari perundingan putaran Tokyo (Tokyo Round 1973-1979) adalah
ketentuan-ketentuan yang mencakup anti-dumping, subsidi dan ketentuan
non-tarif atau masalah-masalah sektoral. Meskipun keanggotaan pada ketentuan
ke- 2 ini terbatas sifatnya, yaitu berkisar 30-an negara, namun demikian
negara-negara ini menguasai sebagian besar perdagangan dunia. 13 Putaran Tokyo
menghasilkan 6 kesepakatan yang tertuang dalam dokumen berjudul the Tokyo
Round Codes. Keenam kesepakatan tersebut yaitu
1) the Agreement on technical Barrier to
Trade (Standards Code); yaitu kesepakatan bahwa pemerintah maupun badan-badan
lainnya dalam membuat dan menerapkan peraturan dan standar teknis, tidak
menimbulkan hambatan terhadap perdagangan;
2) the Agreement on Government Procurement,
yaitu kesepakatan mengenai jaminan terlaksananya kesempatan secara internasional
yang lebih luas dalam tender untuk mendapatkan kontrak-kontrak pemerintah;
3) the Agreement on Interpretation and
Application of Article VI, XVI and XXIII (Subsidies Codes), yaitu
kesepakatan untuk menjamin bahwa setiap pelaksanaan kebijakan subsidi tidak
menimbulkan akibat negatif terhadap perdagangan negara lain;
4) the Agreement on Implementation of
Article VII (Customs Valuation Code), yaitu kesepakatan mengenai sistem
penilaian barang yang netral, seragam dan adil untuk kepentingan bea dan cukai;
5) the Agreement on Import Licensing
Procedures, yaitu kesepakatan mengenai jaminan bahwa pemberian lisensi
tidak menimbulkan hambatan terhadap impor; dan terakhir,
6) the Agreement on Implementation of
Article VI (Anti Dumping Code), yakni kesepakatan mengenai perubahan Anti
Dumping Code
Yang ketiga adalah ketentuan mengenai “multi
fibre arrangements”. Ketentuan ini merupakan pengecualian terhadap ketentuan-ketentuan
GATT umumnya terutama menyangkut tekstil dan pakaian.
D. Prinsip-prinsip GATT.
Untuk mencapai
tujuan-tujuannya, GATT berpedoman pada 5 prinsip utama. Prinsip yang dimaksud
adalah:
1. Prinsip most-favoured-nation.
Prinsip ‘most-favoured-nation
(MFN) ini termuat dalam pasal I GATT. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu
kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non-diskriminatif. Menurut
prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya
perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta yang
menyangkut biaya-biaya lainnya. Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan
dengan segera dan tanpa syarat (‘immediately and unconditionally’)
terhadap produk yang berasal atau yang diajukan kepada semua anggota GATT.
Karena itu sesuatu negara tidak boleh memberikan perlakuan istimewa kepada
negara lainnya atau melakukan tindakan diskriminasi terhadapnya. Prinsip ini
tampak dalam pasal 4 perjanjian yang terkait dengan hak kekayaan intelektual
(TRIPS) dan tercantum pula dalam pasal 2 Perjanjian mengenai Jasa (GATS).
Pendek kata, semua
negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati
keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan. Namun demikian, dalam
pelaksanaannya prinsip ini mendapat pengecualian-pengecualiannya, khususnya dalam
menyangkut kepentingan negara sedang berkembang. Jadi, berdasarkan prinsip itu,
suatu negara anggota pada pokoknya dapat menuntut untuk diperlakukan sama
terhadap produk impor dan ekspornya di negara-negara anggota lain. Namun
demikian ada beberapa pengecualian terhadap prinsip ini.
Pengecualian
tersebut sebagian ada yang ditetapkan dalam pasal-pasal GATT itu sendiri dan
sebagian lagi ada yang ditetapkan dalam putusan-putusan dalam
konperensi-konperensi GATT melalui suatu penanggalan (waiver) dan
prinsip-prinsip GATT berdasarkan Pasal XXV. Pengecualian yang dimaksud adalah:
(a) keuntungan yang diperoleh karena jarak
lalu lintas (frontier traffic advantage), tidak boleh dikenakan
terhadap anggota GATT lainnya (Pasal VI);
(b) perlakuan preferensi di wilayah-wilayah
tertentu yang sudah ada (misalnya kerjasama ekonomi dalam ‘British Commonwealth’;
the French Union (Perancis dengan Negara-negara bekas koloninya); dan
Banelux (Banelux Economic Union), tetap boleh terus dilaksanakan
namun tingkat batas preferensinya tidak boleh dinaikan (Pasal I ayat 2- 4);
(c) anggota-anggota GATT yang membentuk suatu
Customs Union atau Free Trade Area yang memenuhi persyaratan Pasal
XXIV tidak harus memberikan perlakuan yang sama kepada negara anggota
lainnya. Untuk negara-negara yang membentuk pengaturan-pengaturan preferensial
regional dan bilateral yang tidak memenuhi persyaratan Pasal XXIV, dapat membentuk
pengecualian dengan menggunakan alasan ‘penanggalan’ (waiver) terhadap
ketentuan GATT. Penanggalan ini dapat pula dilakukan atau diminta oleh suatu
negara anggota. Menurut prinsip ini suatu Negara dapat, manakala ekonominya
atau keadaan perdagangannya dalam keadaan yang sulit, dapat memohon
pengecualian dari kewajiban tertentu yang ditetapkan oleh GATT.
(d) pemberian prefensi tarif olef
negara-negara maju kepada produk impor dari negara yang sedang berkembang atau
negara-negara yang kurang beruntung (least developed) melalui fasilitas Generalised
System of Preference (sistem preferensi umum).
Pengecualian
lainnya adalah apa yang disebut dengan ketentuan ‘pengamanan’ (safeguard
rule). Pengecualian ini mengakui bahwa suatu pemerintah, apabila tidak mempunyai
upaya lain, dapat melindungi atau memproteksi untuk sementara waktu industri
dalam negerinya.
Pengaturan ‘safeguard’
ini yang diatur dalam Pasal XIX, memperbolehkan kebijakan demikian namun
hanya dipakai dalam keadaan-keadaan tertentu saja. Suatu negara anggota dapat membatasi
atau menangguhkan suatu konsesi tarif pada produk-produk yang diimpor dalam
suatu jumlah (kuantitas) yang meningkat dan yang menyebabkan kerusakan serius (serious
injury) terhadap produsen dalam negeri.
Dalam tahun-tahun
belakangan ini, cukup banyak anggota GATT yang menerapkan pengaturan bilateral
diskriminatif yang juga seringkali disebut dengan ‘voluntary export
restraints’ (VERs). Kebijakan perdagangan ini dilakukan untuk
menghindari salah satu isu yang cukup hangat dibahas dalam Putaran Uruguay
yakni perdagangan tekstil. VERs adalah cara 'halus' negara maju untuk menekan Negara
sedang berkembang yang umumnya adalah penghasil tekstil. Untuk membatasi
masuknya produk tekstil ke dalam pasar dalam negerinya, negara maju secara halus
menyatakan kepada negara berkembang untuk mengekspor tekstilnya dalam jumlah
tertentu saja. Dalam hal ini, negara maju menekankan bahwa pembatasan jumlah
tersebut semata-mata haruslah sukarela sifatnya yang datang atau berasal dari
kehendak negara berkembang.
2. Prinsip National Treatment.
Prinsip National
Treatment terdapat dalam pasal III GATT. Menurut prinsip ini, produk dari
suatu negara yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti
halnya produk dalam negeri. Prinsip ini sifatnya berlaku luas. Prinsip ini juga
berlaku terhadap semua macam pajak dan pungutan-pungutan lainnya. Ia berlaku
pula terhadap perundang-undangan, pengaturan dan persyaratan-persyaratan
(hukum) yang mempengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi atau
penggunaan produk-produk di pasar dalam negeri. Prinsip ini juga memberikan
perlindungan terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya atau kebijakan
administratif atau legislatif. Prinsip national treatment dan prinsip MFN
merupakan prinsip sentral dibandingkan dengan prinsip-prinsip lainnya dalam
GATT. Kedua prinsip ini menjadi prinsip pada pengaturan bidang-bidang perdagangan
yang kelak lahir di dalam perjanjian putaran Uruguay. Misalnya, prinsip ini
tercantum dalam pasal 3 Perjanjian TRIPs. Kedua prinsip diberlakukan pula dalam
the General Agreement on Trade in Service (GATS). Dalam GATS,
negara-negara anggota WTO diwajibkan untuk memberlakukan perlakuan yang sama (MFN
treatment) terhadap jasa-jasa atau para pemberi jasa dari suatu negara dengan
negara lainnya.
Meskipun demikian,
perjanjian WTO membolehkan suatu Negara untuk meminta pembebasan dari penerapan
kewajiban MFN ini yang mencakup upaya-upaya tertentu (specific measures)
yang pada mulanya tidak dapat menawarkan perlakuan demikian. Untuk maksud
tersebut, manakala suatu negara meminta pembebasan kewajiban MFN, maka
permintaan tersebut akan ditinjau setiap lima tahun. Pembebasan dari penerapan
kewajiban MFN ini hanya boleh dilakukan untuk jangka waktu 10 tahun. Prinsip national
treatment merupakan suatu kewajiban dalam GATS yang mana negara-negara
secara eksplisit harus menerapkan prinsip ini terhadap jasa-jasa atau kegiatan
jasa-jasa tertentu. Oleh karena itulah prinsip national treatment atau
perlakuan nasional ini pada umumnya merupakan hasil dari negosiasi atau perundingan
di antara negara-negara anggota.
3. Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan)
Kuantitatif.
Yang menjadi
ketentuan dasar GATT adalah larangan restriksi kuantitatif yang merupakan
rintangan terbesar terhadap GATT. Restriksi kuantitatif terhadap ekspor atau
impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota impor atau ekspor,
restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor, pengawasan pembayaran produk-produk
impor atau ekspor), pada umumnya dilarang (Pasal IX). Hal ini disebabkan karena
praktek demikian mengganggu praktek perdagangan yang normal.
Restriksi
kuantitatif dewasa ini tidak begitu meluas di negara maju. Namun demikian,
tekstil, logam, dan beberapa produk tertentu, yang kebanyakan berasal dari
negara-negara sedang berkembang masih acapkali terkena rintangan ini. Namun
demikian dalam pelaksanaannya, hal tersebut dapat dilakukan dalam hal: pertama,
untuk mencegah terkurasnya produk-produk esensial di negara pengekspor; kedua,
untuk melindungi pasal dalam negeri khususnya yang menyangkut produk pertanian
dan perikanan; ketiga, untuk mengamankan, berdasarkan escape clause (Pasal
XIX), meningkatnya impor yang berlebihan (increase of imports) di dalam negeri
sebagai upaya untuk melindungi, misalnya, terancamnya produksi dalam negeri. keempat,
untuk melindungi neraca pembayaran (luar negerinya) (Pasal XII).
Meskipun demikian
restriksi tersebut tidak boleh diterapkan di luar yang diperlukan untuk
melindungi neraca pembayarannya. Restriksi itu pun secara progesif harus dikurangi
bahkan dihilangkan apabila tidak dibutuhkan kembali. Dengan adanya pengakuan
sebagaimana diatur dalam Pasal XVII, pengecualian itu telah diperluas pada
negara-negara sedang berkembang. Dalam hal ini negara tersebut dapat
memberlakukan restriksi kuantitatif untuk mencegah terkurasnya valuta asing (devisa)
mereka yang disebabkan oleh adanya permintaan untuk impor yang diperlukan bagi
pembayaran atau karena mereka sedang mendirikan atau memperluas produksi dalam
negerinya. Bagi kepentingan negara tersebut, GATT menyelenggararakan konsultasi
secara reguler yang diadakan dengan negara yang mengajukan restriksi impor
untuk melindungi neraca pembayarannya. Menurut Pasal XIII, restriksi
kuantitatif ini, meskipun diperbolehkan, tidak boleh diterapkan secara diskriminatif.
4. Prinsip Perlindungan melalui Tarif.
Pada prinsipnya
GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui
tarif (menaikan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melalui upaya-upaya
perdagangan lainnya (non-tarif commercial measures). Perlindungan
melalui tarif ini menunjukan dengan jelas tingkat perlindungan yang diberikan
dan masih memungkinkan adanya kompetisi yang sehat.
Sebagai kebijakan
untuk mengatur masuknya barang ekspor dari luar negeri, pengenaan tarif ini masih
dibolehkan dalam GATT. Negara-negara GATT umumnya banyak menggunakan cara ini untuk
melindungi industri dalam negerinya dan juga untuk menarik pemasukan bagi
negara yang bersangkutan. Meskipun dibolehkan, penggunaan tarif ini tetap
tunduk pada ketentuan-ketentuan GATT. Misalnya saja, pengenaan atau penerapan tarif
tersebut sifatnya tidak boleh diskriminatif dan tunduk pada komitmen tarifnya
kepada GATT/WTO.
Komitmen tarif ini
maksudnya adalah tingkat tarif dari suatu negara terhadap suatu produk tertentu.
Tingkat tarif ini menjadi komitmen negara tersebut yang sifatnya mengikat.
Karena itu, suatu negara yang telah menyatakan komitmennya atas suatu tarif, ia
tidak dapat semena-mena menaikkan tingkat tarif yang telah ia sepakati, kecuali
diikuti dengan negoisasi mengenai pemberian mengenai kompensasi dengan
mitra-mitra dagangnya (Pasal XXVII).
Perlu dikemukakan
di sini bahwa negoisasi tarif di antara negara-negara merupakan salah satu
pekerjaan GATT (yang juga sekarang dilanjutkan oleh WTO). Tujuan GATT dalam hal
ini adalah berupaya menurunkan tingkat tarif ke titik atau level yang serendah-rendahnya.
Ketika GATT terbentuk pada tahun 1948 sampai dengan disahkannya perjanjian
hasil Putaran Uruguay, tingkat tarif yang diterapkan negara-negara telah turun
cukup tajam. Dari rata-rata sebesar 38% di tahun 1948, pada tahun 1994 telah
jatuh menjadi sekitar 4% saja.
Dalam putaran
Uruguay, komitmen negara-negara terhadap akses pasar yang lebih besar dicapai,
antara lain, melalui penurunan suku bunga yang dilakukan oleh lebih dari 120
negara. Komitmen negara-negara ini dituangkan dalam 22.500 halaman national
tarif schedules. Dalam pengurangan tarif ini, WTO mensyaratkan agar pengurangan
tersebut dapat diturunkan sampai 40% (khususnya terhadap produk-produk industri
di negara-negara maju) untuk jangka waktu 5 tahun (tahun 2000). Pada waktu
putaran Uruguay ditutup (1994), tingkat tarif yang umumnya berlaku adalah
sekitar 6,8%. Dengan tingkat tarif yang menurun demikian, diharapkan akan terjadi
peningkatan penerimaan produk-produk industri maju yang memperoleh pembebasan
bea masuk (yakni dari 20% menjadi 4% di negara-negara maju). Seperti halnya
tarif, GATT juga mensyaratkan negara-negara anggotanya untuk menerapkan prinsip
transparansi.
Prinsip ini pula yang menjadi kunci bagi
prasyarat perdagangan yang pasti (predictable). Prinsip transparansi ini
mensyaratkan keterbukaan atau transparansi hukum atau perundang-undangan
nasional dan praktek perdagangan suatu negara. Cukup banyak aturan dalam
perjanjian WTO memuat prinsip transparansi yang mensyaratkan negara-negara anggotanya
untuk mengumumkan pada lingkup nasional dengan menerbitkan pada
lembaran-lembaran resmi negara atau dengan cara memberitahukannya secara formal
kepada WTO.
5. Prinsip Resiprositas.
Prinsip ini
merupakan prinsip fundamental dalam GATT. Prinsip ini tampak pada preambule
GATT dan berlaku dalam perundingan-perundingan tarif yang didasarkan atas dasar
timbale balik dan saling menguntungkan kedua belah pihak. Paragraph 3 Preambul
GATT menyatakan: "Being desirous of contributing to these objectives by entering
into reciprocal and mutually advantageous arrangements directed to the
substantial reduction of tarifs and other varriers to trade and to the
eliminations of discriminatory treatment in international commerce."
6. Perlakuan Khusus Bagi Negara Sedang
Berkembang.
Sekitar dua pertiga
negara-negara anggota GATT adalah negara-negara sedang berkembang yang masih
berada dalam tahap awal pembangunan ekonominya. Untuk membantu pembangunan
mereka, pada tahun 1965, suatu bagian baru yaitu Part IV yang memuat tiga pasal
(Pasal XXXVI-XXXVIII), ditambahkan ke dalam GATT. Tiga pasal baru dalam bagian
tersebut dimaksudkan untuk mendorong negara-negara industri membantu
pertumbuhan ekonomi negara-negara sedang berkembang.
Bagian IV ini
mengakui kebutuhan negara sedang berkembang untuk menikmati akses pasar yang
lebih menguntungkan. Bagian ini juga melarang negara-negara maju untuk membuat
rintangan-rintangan baru terhadap ekspor negara-negara sedang berkembang. Negara-negara
industri juga mau menerima bahwa mereka tidak akan meminta balasan dalam
perundingan mengenai penurunan atau penghilangan tarif dan rintangan-rintangan
lain terhadap perdagangan negara-negara sedang berkembang.
Pada waktu Putaran
Tokyo 1979 berakhir, negara-negara sepakat dan mengeluarkan putusan mengenai
pemberian perlakuan yang lebih menguntungkan dan partisipasi yang lebih besar
bagi negara sedang berkembang dalam perdagangan dunia (‘enabling clause’).
Keputusan tersebut mengakui bahwa negara sedang berkembang juga adalah pelaku
yang permanen dalam system perdagangan dunia. Pengakuan ini juga merupakan
dasar hukum bagi negara industri untuk memberikan GSP (Generalized System of
Preferences atau sistem preferensi umum) kepada negara-negara sedang
berkembang.
E. Garis-garis Besar Ketentuan GATT22
GATT memiliki 38
pasal. Secara garis besarnya, dari pasal-pasal tersebut dibagi ke dalam 4
bagian: Bagian Pertama mengandung dua pasal, yaitu:
a) Pasal I, berisi pasal utama yang
menetapkan prinsip utama GATT, yaitu keharusan negara anggota untuk menerapkan
klausul ‘most favoured nation’ treatment, kepada semua anggotanya.
b) Pasal II berisi tentang penurunan tarif
yang disepakati berdasarkan penurunan tarif yang disepakati.
Kesepakatan
penurunan tarif dicantumkan dalam lampiran ketentuan GATT dan menjadi bagian
dari GATT. Bagian dua memuat 30 pasal, dari Pasal III sampai Pasal XXII. Pasal
III berisi larangan pengenaan pajak dan upaya-upaya lainnya yang diskriminatif
terhadap produk-produk impor dengan tujuan untuk melindungi produksi dalam
negeri. Pengertian upaya-upaya lainnya disini adalah segala upaya, apa itu
pungutan di dalam negeri atau penerbitan Undang-undang, peraturan atau persyaratan-persyaratan
administratif yang mempengaruhi penjualan, penawaran pembelian, pengangkutan,
distribusi atau penggunaan produk.
Berdasarkan prinsip
perlakuan nasional ini, semua produk impor yang sudah memenuhi aturan-aturan
kepabeanan harus mendapat perlakuan yang sama seperti halnya produk-produk
dalam negeri di negara tersebut. Pasal IV berada di bawah judul
ketentuan-ketentuan khusus mengenai film sinematografi (cinematograph film).
Pasal ini membolehkan suatu negara untuk menetapkan kuota terhadap film-film melalui
peraturan tentang pembatasan film. Namun demukian pembatasan-pembatasan atau
kuota ini harus tetap tunduk kepada negoisasi dengan pihak-pihak yang
terpengaruh oleh adanya pembatasan-pembatasan dalam bentuk kuota ini.
Pasal V mengatur
kebebasan transit. Pasal ini mengakui adanya kebebasan transit barang-barang,
termasuk perahu dan sarana angkutan lainnya melalui wilayah suatu negara
anggota dengan menggunakan rute-rute yang digunakan untuk transit internasional
guna melakukan transit ke atau dari wilayah Negara anggota GATT lainnya (ayat
2).
Dalam hal adanya
transit ini, setiap negara anggota dapat mengenakan bea-bea dan menetapkan
peraturan-peraturan terhadap transit ke dan dari wilayah-wilayah negara anggota
lainnya. Pengenaan biaya dan pembuatan peraturan tersebut haruslah wajar dengan
memperhatikan keadaan-keadaan atau kondisi dari lalu lintas transit (ayat 4).
Pasal VI mengatur
anti-dumping dan bea masuk tambahan. Pasal ini berperan cukup penting dan cukup
banyak digunakan oleh negara-negara maju terhadap produk-produk negara sedang berkembang.
Negara maju menuduh negara sedang berkembang (tertentu) telah memasukkan
barangnya ke pasar mereka dengan harga dumping. Dumping adalah praktek suatu
negara yang menjual produknya di negara lain dengan harga yang lebih murah (di
bawah harga normal) dengan maksud untuk merebut pasar (persaingan tidak jujur).
Pasal VI ini dengan tegas memberikan batasan mengenai pengertian harga di bawah
harga normal, yaitu:
a. lebih rendah dari harga untuk produk di
negara di mana produk tersebut akan dikonsumsi di negara pengekspor (harga domesik);
b. manakala tidak ada petunjuk mengenai harga
domestik, maka harga normal adalah harga tertinggi untuk produk tersebut yang
ditunjuk atau diekspor ke Negara ketiga; atau
c. biaya produksi untuk produk tsB ditambah
biaya tambahan (ongkos-ongkos) dan keuntungan yg layak.
Apabila suatu negara menemukan bukti-bukti
positif bahwa suatu produk tertentu adalah dumping, maka negara tersebut
dapat mengenakan bea masuk anti dumping dan bea masuk tambahan atas produk
tersebut. Pasal VII (valuation for custom purposes atau penilaian atas
barang impor untuk maksud-maksud kepabeanan). Pasal ini menetapkan kriteria
mengenai penilaian atas barang impor oleh pejabat-pejabat (bea cukai) dari
negara-negara anggota GATT terhadap barang impor. Pasal ini mensyaratkan bahwa
nilai barang-barang impor untuk maksud kepabeanan harus didasarkan pada nilai
nyata barang (actual value of the imported merchandise), bukan pada
nilai asal barang atau pada nilai yang tanpa dasar atau dibuat-buat (arbitrary
or fictitious values). Pasal VIII berada di bawah judul fees and formalities
(biaya-biaya dan formalitas-formalitas).
Pasal ini
mensyaratkan agar semua biaya dan pungutan (selain daripada bea masuk impor dan
ekspor serta pajak yang diatur dalam pasal III) yang dikenakan atas atau dalam
hubungannya dengan impor atau ekspor harus dibatasi. Pasal ini menegaskan bahwa
pungutan-pungutan seperti itu tidak boleh dijadikan sebagai proteksi tidak
langsung terhadap produk-produk domestik atau merupakan suatu pemajakan
terhadap impor atau ekspor untuk maksud fiskal (Pasal VIII ayat 1 (a). Ayat 1
(b) pasal ini mensyaratkan negara-negara anggota untuk mengurangi jumlah-jumlah
biaya dan pungutan seperti itu.
Pasal VIII ayat 1 (c) mensyaratkan
negara-negara anggota untuk: 1) menyederhanakan pengaturan dan rumitnya
formalitasformalitas impor dan ekspor; 2) mengurangi dan menyederhanakan persyaratan-persyaratan
dokumentasi impor dan ekspor. Ketentuan-ketentuan pasal ini berlaku pula
terhadap biayabiaya, pungutan, formalitas dan persyaratan-persyaratan yang dikenakan
oleh pejabat-pejabat pemerintah berkaitan dengan impor dan ekspor, termasuk:
a) transaksi-transaksi konsuler, seperti
faktur-faktur dan sertifikat konsuler;
b) pembatasan kuantitatif;
c) lisensi;
d) pengawasan devisa (exchange control);
e) jasa-jasa statistik;
f) dokumen, dokumentasi dan sertifikasi;
g) analisis dan inspeksi;
h) karantina atau sanitasi.
Pasal IX mengatur
tanda asal (marks of origin). Pada prinsipnya pasal ini mensyaratkan
agar semua negara anggota harus memberikan perlakuan yang sama (no lees
favourable treatment) berkaitan dengan persyaratan asal barang ini terhadap
semua produk dari negara-negara anggota seperti halnya perlakuan terhadap
produk serupa dari negara ketiga (ayat 1). Ayat 6 pasal IX ini mensyaratkan
agar negara-negara anggota harus bekerja sama dalam mencegah penggunaan nama
dagang yang tidak menggambarkan asal barang suatu produk, dengan merugikan nama-nama
regional atau geografis dari produk suatu Negara anggota yang dilindungi oleh
hukum.
Pasal X mengatur
persyaratan publikasi dan administrasi pengaturan-pengaturan perdagangan. Pasal
ini menegaskan bahwa Undang-undang, peraturan-peraturan, putusan-putusan
pengadilan dan administratif mengenai klasifikasi atau penilaian produk untuk
tujuan kepabeanan, pajak, pungutan, atau segala persyaratan yang mempengaruhi
penjualan, distribusi, transportasi, asuransi, inspeksi, pemrosesan,
penggunaan, dll., harus dipublikasikan secara wajar sehingga para negara
anggota dan para pedagang mengetahuinya.
Pasal XI sampai XV
mengatur restriksi atau pembatasan kuantitatif. Restriksi kuantitatif yang
sering dipraktekkan adalah pengenaan kuota, lisensi impor atau ekspor atau
upaya lainnya disamping bea masuk, pajak atau pungutan lainnya. Pasal XI
menegaskan bahwa praktek seperti ini dilarang. Pasal XII membolehkan suatu
negara untuk menerapkan pembatasan pembatasan masuknya produk impor demi untuk
mengamankan neraca pembayarannya (restriction to safeguard the balance of
payment).
Pasal XIII
mensyaratkan bahwa penerapan restriksi kuantitatif tersebut harus dilaksanakan
tanpa diskriminasi. Jadi, misalnya suatu negara membatasi masuknya suatu produk
dari suatu negara, misalnya dari B, maka pembatasan tersebut harus juga diberlakukan
terhadap negara ketiga, misalnya C.
Pasal XIV mengatur
pengecualian-pengecualian penerapan restriksi kuantitatif dalam hal pembatasan
masuknya produk-produk impor karena alasan-alasan moneter tertentu. Pasal XV
mengatur pengaturan mengenai pembayaran. Pasal ini mensyaratkan perlunya
kerjasama antara GATT dengan IMF. Pasal XVI mengatur subsidi. Pasal ini
mengakui adanya praktek negara-negara yang masih memberikan subsidi terhadap produk-produk
dalam negerinya dengan maksud agar dapat bersaing di pasar internasional. Namun
pasal ini mewajibkan Negara tersebut untuk memberitahu GATT tentang adanya
subsidi ini. Dalam perkembangan pengaturan GATT sebagaimana kemudian tercantum
dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal XVI ini, GATT mensyaratkan negara-negara anggotanya
untuk menghapus subsidi ini.
Pasal XVII mengatur
perusahaan dagang negara (state trading enterprises). GATT menyadari
bahwa perusahaan dagang negara dapat menimbulkan praktek-praktek
perdagangan yang tidak ‘fair’. Oleh karena itu, pasal ini dengan tegas
menyatakan bahwa perusahaanperusahaan seperti ini harus bertindak sesuai
dengan prinsipprinsip umum mengenai perlakuan non-diskriminatif dalam
kaitannya dengan upaya-upaya pemerintah yang mempengaruhi impor dan
ekspor oleh para pedagang.
Pasal XVIII berada
di bawah judul ‘governmental assistance to economic development’
(bantuan pemerintah kepada pembangunan ekonomi). Pasal ini mengakui
bahwa negara-negara sedang berkembang membutuhkan tarif yang fleksibel
dan dapat menerapkan beberapa restriksi kuantitatif untuk mempertahankan
alat tukar luar negerinya untuk kebutuhan pembangunannya.
Pasal XIX mengatur
tindakan darurat atas impor produk-produk tertentu. Pasal ini memberi hak atau
pembenaran bagi suatu negara untuk menangguhkan sebagian atau seluruh
kewajibannya berdasarkan GATT atau menarik atau memodifikasi sebagian atau seluruh
konsesinya. Pasal baru ini dapat diterapkan apabila suatu produk impor masuk ke
dalam suatu negara yang kehadiran jumlah produk tersebut telah mengakibatkan
atau mengancam akan memukul secara serius produsen dalam negerinya. Ayat 2
pasal ini mensyaratkan negara yang hendak menerapkan pasal ini untuk terlebih
dahulu memberitahu dan mengkonsultasikannya dengan GATT.
Pasal XX mengatur
pengecualian umum (general exeptions), yakni pengecualian-pengecualian
yang dimungkinkan untuk menanggalkan aturan-aturan atau kewajiban-kewajiban
suatu Negara terhadap GATT, khususnya dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan yang
diperlukan untuk:
(a) melindungi moral masyarakat;
(b) melindungi kehidupan atau kesehatan
manusia, hewan atau tanaman;
(c) impor atau ekspor emas atau perak;
(d) perlindungan terhadap hak atas kekayaan
intelektual;
(e) produk-produk yang berasal dari hasil
kerja para narapidana;
(f) perlindungan kekayaan nasional, kesenian,
sejarah atau purbakala;
(g) konservasi kekayaan alam yang dapat habis;
(h) dalam kaitannya dengan adanya
kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian komoditi antar
pemerintah; dll.
Pasal XXI GATT
membenarkan suatu negara untuk menanggalkan kewajibannya berdasar GATT dengan
alasan keamanan (security exeption). Pasal XXII dan XXIII
mengatur penyelesaian sengketa di
dalam GATT. Bagian ketiga berisi 11 pasal.
Pasal XXIV mengatur bagaimana customs union and free trade area dapat
memanfaatkan pengecualian-pengecualian terhadap prinsip most favored nation.
Pasal XXV menetapkan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pemerintah dari
negara-negara anggota GATT. Pasal ini mengakui pula diperbolehkannya beberapa
pengecualian (waiver) terhadap aturan GATT.
Pasal XXVI sampai
XXXV adalah pasal-pasal berisi tentang pemberlakuan GATT, berupa penerimaan dan
berlakunya ketentuan GATT (Pasal XXVI); status (kondisi) tarif dari negara
bukan anggota (Pasal XXVII); ketentuan untuk perundingan tarif dan perubahan-perubahan
dalam daftar tarif (Pasal XXVIII), hubungan antara GATT dengan Piagam Havana
(Pasal XXIX), perubahan terhadap GATT (Pasal XXX), penarikan atau pengunduran
diri anggota dari GATT (Pasal XXXI), batasan contracting parties (keanggotaan
GATT) (Pasal XXXII), masuknya menjadi anggota GATT (Pasal XXXIV), dan tidak diterapkannya
beberapa aturan GATT di antara anggotaanggota GATT tertentu (Pasal XXXV).
Bagian keempat
terdiri dari 3 pasal (Pasal XXXVI-XXXVIII) yang ditambahkan pada tahun 1965.
pasal XXXVI menyadari adanya kebutuhan-kebutuhan khusus negara-negara sedang Berkembang
di bidang perdagangan internasional. Pasal XXXVII mengatur komitmen negara-negara
(maju), kecuali ada alasan-alasan mendesak untuk tidak melaksanakan pasal ini,
untuk memberikan bantuan ekonomi dan perdagangan kepada negara sedang
berkembang. Pasal XXXVIII mengatur tindakan bersama oleh para anggota untuk
membantu perdagangan negara sedang berkembang.
F. Penutup
Uraian di atas
menyiratkan beberapa catatan berikut. GATT sebagai aturan perdagangan yang
dibuat pada tahun 1947 ternyata masih relevan bahkan masih terus relevan untuk
masa yang akan datang. Aturan dan prinsip yang diaturnya memuat aturanaturan yang
dapat diterima oleh hampir banyak negara (meskipun dari keanggotaannya
masing-masing negara memiliki sistem hukum yang berbeda). Khususnya prinsip
non-diskriminasi merupakan prinsip yang memang dapat diterima universal.
Sebenarnya masalah
utama dari adanya aturan GATT ini adalah bagaimana dapat memanfaatkannya,
khususnya bagi negara sedang berkembang. Dari preambul GATT tersirat tujuan
pentingnya, yaitu meningkatkan taraf hidup umat manusia; meningkatkan
kesempatan kerja; meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia; dan meningkatkan
produksi dan tukar menukar barang.
Aturan-aturan GATT tampaknya telah memberi
aturan yang seimbang, antara hak dan kewajiban bagi negara-negara para pesertanya.
Bagi negara sedang berkembang, meskipun aturannya tidak jelas dan tidak memberi
‘muatan’ yang jelas, tetapi yang penting aturan khusus untuk negara sedang
berkembang sudah ada. Tujuan penting itu menyiratkan satu hal penting. Tujuan tersebut
hanya akan dapat terealisasi apabila negara (berkembang) yang bersangkutan
memahami aturan-aturan GATT. Pemahaman yang baik akan memungkinkan negara
tersebut untuk dapat memanfaatkan aturan-aturan GATT bagi kepentingan perdagangannya.
Sebaliknya
kekurang-pahaman aturan-aturan GATT akan mengakibatkan sulitnya pemanfaatan
aturan-aturan tersebut bagi kepentingan perdagangan negara yang bersangkutan.
Artinya, tujuan-tujuan yang baik di atas, tidak akan tercapai. Ketidak-tegasan
pengaturan untuk kepentingan negara sedang berkembang sebenarnya juga adalah
kelemahan dari aturan GATT itu sendiri.
BAB V
LETTER OF CREDIT DALAM HUKUM PERDAGANGAN
INTERNASIONAL
A. Pengantar
Perdagangan
internasional terwujud karena adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli
yang mereka tuangkan dalam kontrak. Dalam kontrak ini biasanya mereka juga
cantumkan bagaimana cara, sistem atau klausul pembayarannya. Sistem pembayaran
ini merupakan salah satu hal yang penting dalam transaksi perdagangan. Dalam
transaksi dagang yang sifatnya terbatas di mana penjual dan pembeli berada
dalam wilayah atau tempat yang sama, pembayaran dan penyerahan barang dapat dilakukan
secara langsung. Lain halnya dengan perdagangan internasional. Para pihak
mungkin kurang begitu saling kenal. Domisili mereka berjauhan.
Di samping sistem
pembayaran, sistem pembiayaannya pun akan sangat berpengaruh terhadap
kelancaran perdagangan internasional. Karena itu pula dapat dinyatakan bahwa
perdagangan Internasional akan lebih berjalan lancar dengan tersedianya
fasilitas pembiayaan (kredit) bagi jual beli barang dalam perdagangan
internasional.
Dalam perdagangan
Internasional, pembeli dan penjual terpisah oleh jarak yang jauh. Mereka juga
acap kali memiliki praktek pembiayaan yang berbeda di masing-masing negara. Di
samping itu pula, terdapat kepentingan para pihak yang berbeda dalam
perdagangan internasional. Penjual berupaya dan berkepentingan untuk menguasai
dan mengontrol barangnya sampai ia menerima harga yang disepakati dalam kontrak.
Selain itu penjual juga berkepentingan agar pembayaran (proceeds atau
dana hasil ekspor) dapat segera diterimanya tanpa harus menunggu berbulan-bulan
lamanya tatkala barangnya masih dalam perjalanan di kapal (in transit).
Di pihak lain,
pembeli berkepentingan untuk tidak segera membayar sejumlah uang yang dia
janjikan sesuai kontrak selama ia belum memeriksa barangnya apakah sesuai
dengan spesifikasi yang dicantumkan dalam kontrak, atau setidaknya ada bukti
tertulis bahwa barangnya telah dikapalkan. Hal ini berarti menimbulkan
kesulitan bagi penjual untuk menentukan cara pembayaran yang akan digunakan
oleh pembeli asing. Demikian juga bagi pembeli mengalami kesulitan untuk mempercayai
reputasi dan integritas penjual asing. Dalam hal demikian, Bank memainkan peran
penting yang dapat menjembatani kedua kepentingan yang berbeda antara penjual
dan pembeli. Dalam hal ini Bank memberi jaminan kelaikan kredit sebagai jaminan
untuk transaski jual beli barang tersebut. Peran bank ini tampak pula pada
upayanya dalam mengembangkan sistem pembiayaan dan pembayaran selama
bertahun-tahun lamanya dengan semakin meningkatnya permintaan kredit bagi
perdagangan internasional.
B. Bentuk-bentuk Pembiayaan Perdagangan
Internasional
Disebutkan di atas
bahwa Bank telah mengembangkan berbagai sistem pembiayaan dalam perdagangan
internasional. Di antara berbagai sistem yang cukup banyak tersebut, berikut
adalah sistem-sistem yang umum digunakan:
1. Kredit berdokumen (Documentary Credit);
2. Kredit komersial jangka pendek, menengah dan
panjang (Short, Medium and Long term commercial credit);
3. Bentuk-bentuk pembiayaan khusus (Particular
financing techniques), terutama:
(i) factoring internasional (Intenasional
factoring);
(ii) Forfaiting; dan
(iii) Leasing internasional (International
leasing).
4. Jaminan Bank (Bank Guarantee atau
Auotonomous Guarantee)
Dalam bab ini,
pembahasan hanya akan mengkonsentrasikan pada kredit berdokumen. Alasan utama
dan alas an praktis adalah kredit berdokumen ini lebih banyak digunakan (penting)
dan telah lama mengalami perkembangan pengaturannya. Praktil menggunakan kredit
berdokumen ini telah lama dilakukan, khususnya sejak awal tahun 1700-an.
Pengaturannya pun telah berkembang lama. Ellinger menyatakan bahwa aturan
mengenai kredit berdokujmen ini telah sedikit banyak mencapai harmoniasi
dan keseragaman pengaturan.
1. Kredit Berdokumen (Documentary Credit)
a. Pendahuluan
Di atas dikemukakan
tentang beda kepentingan antara pembeli dan penjual. Pembeli (importir) tidak
mau membayar sebelum ia memiliki barangnya dan memeriksa barangnya apakah
barang tersebut sesuai dengan kontrak. Penjual (eksportir) juga tidak akan mengirim
barangnya selama ia belum mendapat kepastian bahwa harga yang telah disepakati
dalam kontrak dibayar.
Karena jarak kedua
pihak, praktek perdagangan yang mungkin berbeda dan mungkin saja satu sama lain
tidak kenal, maka semua perbedaan ini dapat menjadi hambatan bagi perdagangan internasional.
Namun dengan lahirnya sistem kredit
berdokumen (documentary credits), yang juga dikenal dengan Letters of
Credit (L/C), perbedaan-perbedaan itu dapat dijembatani. Kredit
berdokumen ini terus berkembang. Sistem inilah yang paling banyak
digunakan dan berperan penting sangat penting untuk membayar
barang-barang dalam perdagangan internasional.
Dalam kaitannya
dengan perdagangan internasional, L/C memainkan peran yang cukup penting.
Pengadilan Inggris misalnya telah lama mengakui bahwa L/C adalah mekanisme
pembayara yang paling penting dalam perdagangan internasional. Pengadilan Inggris
memandang L/C sebagai “the life blood of international commerce.”
Peran tersebut adalah:
(1) memudahkan pelunasan pembayaran transaksi
ekspor;
(2) mengamankan dana yang disediakan importir
untuk membayar barang impor;
(3) menjamin kelengkapan dokumen pengapalan.
Karena itu tampak
bahwa L/C merupakan jaminan atas pelunasan barang yang akan dikirim oleh
penjual (eksportir). Jadi untuk kepentingan eksportir, L/C harus dibuka
terlebih dahulu sebelum barang dikirim. Di pihak lain, pembukaan L/C merupakan
jaminan pula bagi importir untuk memperoleh pengapalan barang secara utuh
sesuai dengan kontrak. Sedangkan dana L/C tersebut tidak akan dicairkan tanpa
penyerahan dokumen pengapalan. Dengan demikian L/C tampak sebagai suatu
instrumen yang ditawarkan bank devisa untuk memudahkan lalu lintas pembiayaan
dalam transaksi dagang internasional.
Dari uraian di atas, tampak bahwa sangatlah
wajar bila L/C kemudian menjadi lebih banyak disukai oleh para pihak, khususnya
penjual dan pembeli dalam bertransaksi dagang secara lintas batas. Alasan utama
para pedagang menyukai sistem ini, adalah karena adanya unsur janji bayar yang
ada pada sistem ini. Ramlan Ginting menggambarkan sebagai berikut: “Penerima
yang menjual barang kepada pemohon merasa aman dibayar dengan cara L/C karena
adanya janji pembayaran dari bank penerbit kepadanya. Sebaliknya, pemohon juga
merasa aman membeli barang dengan cara L/C karena akan menerima dokumen-dokumen
yang dikehendakinya sebab pemenuhannya merupakan syarat pembayaran langsung.”
b. Batasan
Hans van Houtte mendefinisikan
kredit berdokumen ini sebagai berikut: "... an arrangement in which the
bank, acting for and on behalf of the buyer (customer), undertakes to pay the
seller (beneficiary) a sum of money or to accept a bill of exchange drawn by
the seller, or to authorize another bank to do so on presentation by the seller
of specified document and on condition that all other credit terms are
met."
Amir M.S. menggambarkan L/C sebagai berikut: "L/C
adalah suatu surat yang dikeluarkan oleh bank devisa atas permintaan importir
nasabah bank devisa bersangkutan dan ditujukan kepada eksportir di luar negara
yang menjadi relasi dari importir tersebut. Isi surat itu menyatakan bahwa
eksportir penerma L/C diberi hak oleh importir untuk menarik wewel (surat
perintah untuk melunasi utang) atas importir bersangkutan untuk sejumlah uang
yang disebut dalam surat itu. Bank yang bersangkutan menjamin untuk megnakseptir
atau menghonorir wesel yang ditarik tersebut asal sesuai dan memenuhi semua
syarat yang tercantum di dalam surat itu."
UCP (Pasal 2 UCP
500) memberi definisi L/C sebagai berikut: "L/C adalah janji membayar dari
bank penerbit kepada penerima yang pembayarannya hanya dapat dilakukan oleh
bank penerbit jika penerima menyerahkan kepada bank penerbit dokumen-dokumen
yang sesuai dengan persyaratan L/C.”
Beberapa hal penting dari definisi di atas
yaitu:
(a) Bank yang memberikan jaminan pembayaran
tersebut adalah bank yang menerbitkan Kredit Dokumenter L/C tersebut (bank
penerbit atau Issuing Bank).
(b) Dokumen-dokumen yang disyaratkan dapat
berupa dokumen perdagangan ataupun dokumen yang diterbitkan instansi-instansi pemerintah,
asuransi maupun pengangkutan.
(c) Karena Kredit Dokumenter (L/C) merupakan
Jaminan bersyarat, maka pembayaran sudah tentu dilakukan atas nama Buyer
(pembeli), dan pembayaran itu dilaksanakan bila dokumen-dokumen yang
disyaratkan telah diserahkan.
(d) Karena dokumen-dokumen tersebut mewakili
barang, maka penyerahan dokumen itu berarti memberikan hak kepada buyer (pembeli)
atas pemilikan barang-barang yang dikapalkan tersebut.
(e) Karena Kredit Dokumenter (L/C) merupakan
jaminan bank, maka segera setelah pengapalan barang, Seller akan meminta
pembayaran dari Bank, bukan mengandalkan kemampuan dan kesediaan Buyer
(pembeli) untuk membayar. Namun sekalipun demikian, berhubung jaminan
tersebut adalah jaminan bersyarat, maka seller (penjual) hanya berhak
meminta pembayaran apabila dia sudah memenuhi semua syarat yang telah ditetapkan
dalam Kredit Dokumenter tersebut.
(f) Untuk kelancaran pembayaran atas dasar
Kredit Berdokumen (L/C) diperlukan paling tidak dua buah bank, yaitu Bank
pembeli sebagai penerbit L/C (Issuing Bank atau bank penerbit) dann Bank
penjual yang terletak di negara penjual itu sendiri.
c. Kontrak Penjualan Sebagai Dasar Terbitnya
L/C
Persiapan yang
harus ada untuk terbitnya L/C adalah kesepakatan antara Seller dan Buyer untuk
membuat dan menandatangani sebuah sales contract (kontrak penjualan). Yang
mendasari terbitnya sebuah L/C adalah kontrak jual beli atau sales contract yang
sudah disepakati bersama dan kemudian disahkan dengan penandatanganan oleh
masing-masing pihak antara penjual dan pembeli. Kontrak penjualan tersebut
biasanya mencantumkan pula bagaimana barang tersebut akan dikirim: apakah
melalui darat, laut atau udara; dan pihak mana yang akan menutup asuransi.
Kredit berdokumen
juga dikeluarkan untuk proyek-proyek konstruksi internasional jangka panjang
dan proyek-proyek investasi. Pasal 4 UCP memberlakukan kredit berdokumen ini terhadap
bukan saja untuk barang tetapi juga terhadap jasa dan bentuk-bentuk lainnya ('services
and/or other performances'), meskipun untuk hal-hal yang terakhir ini lebih
banyak digunakan Standby L/C atau Bank Garansi. L/C sendiri adalah
dokumen kontrak. Namun demikian, kedudukan L/C sebagai suatu kontrak dan
kontrak jual belinya sifatnya adalah terpisah atau independen. Sifat independen
L/C tampak pada aplikasi L/C dan realisasi pembayaran L/C.
Dalam aplikasi L/C,
bank penerbit (issuing bank) tidak meminta atau mensyaratkan diperlihatkannya
kontrak penjualan dari pemohon (buyer atau pembeli). Dalam realisasi
pembayaran L/C, bank hanya memeriksa apakah dokumen-dokumen yang dipersyaratkan
L/C telah terpenuhi. Hal inilah yang disebut juga sebagai prinsip otonomi dari
L/C.
Pasal 3 UCP 500
menegaskan sifat independen ini: "Credits, by their nature, are
separate transactions from the sales or other contract(s) on which
they may be based and banks are in no way concerned with or bound by such contract(s),
even if any reference whatsoever to such contract(s) is included in the Credit.
Consequently, the undertaking of a bank to pay, accept and pay Draft(s) or negotiate
and/or to fulfill any other obligation under the Credit, is not subject to
claims or defences by the Applicant resulting from his relationships with the
issuing bank or the beneficiary." (‘the
principle of the autonomy of the L/C’. Prinsip ini didasarkan pada
fakta bahwa bank lebih berkepentingan atau lebih peduli dengan dokumen-dokumen,
bukan denga barang-barang yang tercantum di dalamnya).
d. Hubungan Hukum antara Para Pihak dalam
Transaksi L/C
Pada umumnya, para
pihak yang terlibat dalam pembukaan transaksi L/C adalah:
(1) Applicant (buyer atau pembeli):
adalah pihak yang meminta kepada sebuah bank untuk membuka L/C atas namanya
(sebagai pembeli).
(2) Penerima (Beneficiary) adalah
pihak yang disebutkan dalam L/C (sebagai penjual).
(3) Bank penerbit (Opening Bank atau issuing
bank) adalah bank yang membuka atau menerbitkan L/C (Bank pembeli).
(4) Bank penerus atau Advising Bank adalah
Bank yang meneruskan L/C yang diterima dari opening bank kepada beneficiary (bisa
Bank penjual).
Di antara para pihak tersebut di atas,
hubungan hukum yang timbul adalah sebagai berikut:
(1) Nasabah dengan Bank
Nasabah atau
disebut juga pemohon dengan banknya biasanya menandantangani kesepakatan atau
perjanjian tentang permintaan penerbitan L/C. Kesepakatan ini sudah barang
tentu tunduk pada syarat yang ditetapkan oleh pihak bank. Dalam hal ini
biasanya bank mensyaratkan adanya jaminan dari nasabahnya. Misalnya, bank mensyaratkan
dokumen-dokumen pengapalan (bill of lading atau konosemen). Bank, jika
menurutnya diperlukan, menahan dokumendokumen ini sampai klien telah membayar.
Di samping 4 pihak
tersebut di atas, pihak-phak lain yang dapat terkait adalah:
(1) Negotiating Bank adalah Bank yang
melakukan negosiasi atas draft (wesel) dan dokumen pengapalan milik seller
(biasanya advising bank juga merupakan negotiating bank).
(2) Reimbursing Bank adalah Bank
kepada siapa penagihan atas pengapalan barang dilakukan (bisa opening bank atau
bank lain yang berfungsi sebagai imbursing bank). Penunjukan bank ini
biasanya terjadi apabila antara eksportir dan importir tidak ada hubungan
rekening untuk menyelesaikan pembayarannya.
(3)Confirming Bank (bank
pengkonfirmasi) adalah Bank yang diminta oleh bank untuk menambahkan konfirmasi
pada L/C.
(4) Pihak lainnya yang tidak langsung
terlibat dalam pelaksanaan L/C, yakni: Perusahaan Pelayaran/Perkapalan; Bea dan
Cukai/Pabean; Perusahaan Asuransi; Badan-badan pemeriksa (perwakilan
Sucofindo); Badan-badan penelitian lainnya. (Amir M.S).
(2) Bank Penerbit dan Penerima
Bank penerbit
menandatangani L/C untuk kepentingan penjual. L/C di dalamnya mengandung
persyaratan dari Bank untuk membayar atau menerima atau menegosiasikan suatu bill
of exchange segera setelah dokumen yang dipersyaratkan dalam kontrak dasar diperlihatkan.
L/C menetapkan tanggal jatuh tempo dan tempat untuk mengajukan dokumen untuk
pembayaran.
Dalam hal ini,
hukum nasional negara-negara berbeda mengenai hubungan hukum antara bank
penerbit dan penerima ini. Misalnya, menurut negara-negara Common Law (misalnya
hukum Inggris dan Amerika Serikat), hubungan hukum antara bank penerbit dan penerima
termuat dalam kontrak (kontraktual). Sedangkan menurut negara dengan
sistem hukum Civil, misalnya hukum Belgia dan Belanda, hubungan hukum
tersebut tampak pada kehendak tegas dari para pihak. Perbedaan dalam sistem
hukum ini menjadi penting dalam praktek.
Jika prestasi bank
bersifat kontraktual, maka dalam hal demikian itu prestasi tersebut harus
diperlihatkan bahwa penerima telah menerima usulan tersebut. Eksportir atau
penjual dapat mengajukan gugatan terhadap bank penerbit berasarkan L/C. Dalam hal
ini ia berhak atas pembayaran jika ia telah memenuhi syaratsyarat dalam L/C.
(3) Bank Penerbit dan Bank Penerus
Hubungan hukum
antara bank penerbit dan bank penerus seperti halnya antara seorang prinsipal
dan agen. Dalam hal ini bank penerbit bertindak atas nama dan untuk bank
penerbit. Jika bank penerbit telah membayar sejumlah uang kepada penerima
sesuai dengan mandatnya, atau telah menerima suatu bill of exchange (wesel)
yang ditarik oleh penerima, maka ia berhak atas pembayaran dari bank penerbit.
(4) Penerima dan Bank Penerus
Terhadap penerima,
bank penerus seolah-olah bertindak sebagai agen dari bank penerbit. Karenanya,
penerima tidak berhak untuk menggugat bank penerbit.
(5) Bank Penerbit dan Bank Pengkonfirmasi
Jika bank lain
menjadi Confirming Bank (Bank Pengkonfirmasi), yakni bank yang turut
menjamin pembayaran L/C, maka ia bersama-sama dengan bank penerbit bertanggung
jawab untuk membayar suatu bill of exchange.
e. Pembukaan L/C
1). Aplikasi (Application)
Segera setelah
penjual dan pembeli menandatangani kontrak penjualan. Dalam kontrak tersebut
memuat kesepakatan bahwa transaksi akan diselesaikan dengan Letter of Credit
(L/C), maka pembeli akan meminta kepada banknya untuk membuka L/C. Data-data
yang harus tercantum dalam formulir aplikasi
terdiri dari:
(1) Nama dan alamat Beneficiary;
(2) Nama dan alamat pembeli/pemohon;
(3) Nilai L/C yang dibuka dengan shipping
terms yang telah disetujui (FOB/CIF/C&F);
(4) Jenis L/C (Revocable/Irrevocable);
(5) Syarat pembayaran (Sight/Usance);
(6) Uraian barang;
(7) Dokumen-dokumen yang diperlukan, baik
jenis maupun jumlahnya;
(8) Masa berlakunya L/C (Validity of the
Credit) dengan menetapkan “expire date”;
(9) Tanggal pengapalan terakhir;
(10) Pelabuhan bongkar muat;
(11) Persyaratan barang yang harus dikirim
oleh penjual;
(12) Ketentuan-ketentuan khusus yang
diperlukan (misalnya: boleh tidaknya penggantian kapal; atau boleh tidaknya
pengapalan sebagian);
(13) Cara penyampaian L/C lewat surat atau
teleks, dan sebagainya.
2) Pembukaan/Penerbitan L/C (Opening/Issuing
of the Credit)
Atas dasar aplikasi
pembukaan L/C yang telah disetujui, bank penerbit membuka dan menerbitkan L/C
yang ditujukan kepada penerima, yang isinya sesuai benar dengan apa yang telah tercantum
pada formulir aplikasi. Ketentuan-ketentuan yg ditambahkan oleh bank penerbit tersebut
umumnya terdiri dari:
(1) Syarat pengapalan, seperti: larangan
terhadap penggunaan kapal-kapal berbendera negara tertentu;
(2) jangka waktu penyerahan dokumen;
(3) ketentuan-ketentuan tentang endorsement
terhadap dokumen-dokumen yang negotiable seperti B/L, Draft dan
sebagainya;
(4) reimbursement instruction (perintah
kepada negotiating bank untuk penagihan terhadapnya);
(5) ketentuan pengiriman dokumen, ke mana dan
berapa kali pengiriman,.
3) Syarat-syarat L/C
L/C yang dibuka oleh suatu bank harus
memenuhi syarat-syarat umum yaitu:
(1) Menyebutkan nama dan alamat penerima dan
pemohon dengan jelas;
(2) Menyebutkan masa berlakunya L/C;
(3) mencantumkan nama bank penerus (advising
bank) yang dituju;
(4) Mencantumkan dengan tegas jenis L/C;
(5) Uraian barang harus jelas dan tegas;
(6) Ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat
dalam L/C harus jelas tidak berbelit-belit dan tidak mensyaratkan hal-hal yang
tidak mungkin dipenuhi oleh penerima (beneficiary); dan
(7) Menyatakan bahwa L/C tunduk pada UCPDC
dengan mencantumkan klausul yang berbunyi: “This credit is subject to
Uniform Costums and Practice for Documentary Credit 1993 revision, ICC
Publication 500.”
f. Aturan Hukum Yang Berlaku (Applicable
Rules)
Kredit berdokumen
digunakan untuk membiayai transaksi perdagangan internasional. Karena itu
masalah hukum apa yang akan mengaturnya merupakan salah satu persoalan yang
penting. Di samping itu, ada juga negara-negara yang mengeluarkan hukumnya
sendiri guna mengatur Kredit Dokumenter. Dalam hal demikian, dapat saja antara
hukum nasional suatu negara akan menjadi konflik dengan hukum nasional negara
lainnya.
Guna mencegah agar
konflik tersebut tidak menjadi hambatan bagi perdagangan internasional, suatu
pemecahan atau jalan keluar perlu ditempuh. Salah satu pemecahan yang acapkali
ditempuh adalah dengan mengacu kepada prinsip-prinsip hukum perdata internasional
yang relevan dalam mengatur L/C.
Ada juga keinginan agar hukum yang mengatur
kredit berdokumen itu tercipta adanya suatu keseragaman hukum. Salah satu upaya
ke arah unifikasi hukum tersebut adalah lahirnya UCP oleh ICC.
Berdasarkan uraian di atas, aturan hukum yang
mengatur kredit berdokumen ini adalah: (1) Ketentuan-ketentuan Hukum Perdata
Internasional; dan (2) The Uniform Customs and Practice (UCP).
(1) Hukum Perdata Internasional
Hukum yang berlaku
terhadap L/C sebenarnya harus dibedakan dengan hukum yang berlaku terhadap
kontrak induk (yakni kontrak penjualan yang menjadi dasar lahirnya L/C).
Menurut van Houtte, prinsip-prinsip berikut adalah yang biasanya berlaku dalam praktek:
(a) Dalam hubungan antara nasabah dan bank
penerbit (the issuing bank), jika kesepakatan atau perjanjian kredit
memuat klausul pilihan hukum, maka hukum yang dipilih para pihaklah yang
akan berlaku terhadap kontrak. Bila tidak ada hukum yang dipilih,
maka hubungan hukum antara nasabah dan bank penerbit (the issuing bank)
pada umumnya diatur oleh hukum di negara di mana 'the most characteristic
performance' (pelaksanaan kontrak yang paling berkarakteristik) adalah
yang akan digunakan, atau di mana pihak melaksanakan performance (prestasi)
berdomisi, yaitu biasanya negara di mana bank yang memberikan kredit berada;
(b) dalam hal kaitannya antara bank penerbit
(the issuing bank), bank penerus (the adivising bank) dan
penerima (the beneficiary), maka hukum yang berlaku adalah hukum
yang dipilih mereka. Bila tidak ada hukum yang dipilih, maka hukum yang berlaku
adallah hukum di negara di mana kredit tersebut dicairkan. Hal ini adalah hukum
di (negara) mana penerima (beneficiary) atau penjual menerima dokumen
dan menerima pembayaran, yaitu biasanya negara dari bank penerus (the
adivising bank) atau
bank pengkonfirmasi (confirming bank).
(c) Jika tidak ada hukum yang dipilih oleh
bank, maka hubungan antara bank penerbit (the issuing bank) dan bank
penerus (the advising bank) diatur oleh hukum di mana bank
penerbit (advising bank) berada (didirikan). Hal ini biasanya berlaku terhadap
hubungan antara bank penerus (the advising bank) dan penerima (the
beneficiary). Sulit untuk diterima bila sistem hukum yang berbeda
diterapkan terhadap dua aspek dari satu atau transaksi yang sama.
(2)
Uniform Customs and Practice
International
Chamber of Commerce (ICC)
yaitu Kamar Dagang International telah menerbitkan ketentuan mengenai kredit berdokumen.
Ketentuan tersebut yakni Uniform Customs and Practice for Documentary
Credit (UCPDC). Aturan-aturan yang termuat di dalamnya merupakan kodifikasi
dari praktek-praktek perdagangan internasional dan praktek perbankan. ICC untuk
pertama kali menerbitkan UCP pada tahun 1933. UCP mengalami beberapa kali
revisi. Revisi dilakukan pada tahun 1951, 1962, 1974, 1983 dan terakhir 1993
(UCP DC No 500 tahun 1993 yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 1994). Revisi
ini dilakukan untuk mengakomodasi perkembangan teknologi, perkembangan teknik
dan perkembangan di bidang pengangkutan. Dalam pelaksanaan Kredit Dokumenter,
bank-bank pada umumnya di lebih dari 170 negara telah menundukkan diri kepada
UCP. Dalam dokumen L/C mereka mencantumkan klausul berbunyi: "This
credit is subject to Uniform Custems and practice for Documentary
Credit, ICC Publication No 500 1993 Revision."
UCP 500 memuat ketentuan-ketentuan
dan penjelasan-penjelasan tentang Kredit Dokumenter (L/C). UCP terdiri dari 49 pasal,
yang dikelompokkan ke dalam sub bagian berikut:
A. General provisions and definitions
B. Form and notification of credits
C. Liabilities and responsibilities
D. Documents
E. Miscellaneuous provisions
F. Transferable credits
G. Assignment of proceeds.
Aturan-turan UCP
sifat atau kekuatan hukumnya semata-mata mengatur. Kesepakatan para
pihak masih tetap berlaku. Bahkan kesepakatan para pihak dapat mengenyampingkan
beberapa aturan ketentuan dari UCP. Hal ini dapat terjadi manakala mereka beranggapan
bahwa aturan tertentu dari UCP tidak sesuai dengan keinginan mereka. Meskipun
UCP telah diimplementasikan di banyak negara, UCP sendiri memiliki beberapa
kelemahan sebagai berikut:
(1) UCP pada prinsipnya akan berlaku hanya
atau sepanjang bank penerbit mencantumkan atau memilih UCP secara tegas sebagai
aturan yang mengatur L/C.40 Dalam kaitan ini Ellinger menyatakan bahwa:
“... it would appear advisable to regard the
Code ... as being applicable by reason of its incorporation in documentary credit
transaction. It would, thus, constitute a contractual document and would not
enjoy the status of a set of norms consecreated by usage.”
(2) UCP tidak mengatur masalah penipuan dalam
transaksi L/C. Menurut Ginting, unsur penipuan ini merupakan alasan hukum bagi
bank penerbit atau kuasanya untuk menolak melakukan pembayaran L/C kepada
penerima meskipun semua dokumen yang disyaratkan sesuai dengan persyaratan.
(3) UCP tidak memuat aturan mengenai pilihan
hukum. Disebutkan di atas, bahwa negara-negara pun kadang kala memiliki aturan hukum
nasional yang mengatur kredit berdokumen. Dalam hal terjadinya konflik hukum,
UCP tidak memuat aturan tegas mengenai penyelesaiannya.
g. Klasifikasi L/C
(1). Jenis-jenis L/C.
(1) Revocable
L/C
Jenis L/C dapat
berupa Irrevocable L/C dan Revocable L/C. Menurut UCP, para pihak
harus menegaska apakah suatu L/C adalah Revocable atau Irrevocable.
Revocable L/C adalah L/C yang dapat diubah atau dibatalkan oleh penerbit secara
sepihak tanpa persetujuan dari pihak penerima. Pasal 8 UCP menyatakan: “A
revocable credit may be amended or cancelled by the Issuing Bank at any
moment and
without prior notice to the Beneficiary.”
Dalam hal ini,
kedudukan penerima lemah. Ia menanggung resiko yang tidak ringan. Hal ini
antara lain karena sifatnya, maka L/C tersebut tiba-tiba dibatalkan atau diubah
oleh penerbit. Namun demikian UCP tetap melindungi penerima (bank penerima)
yang beritikad baik. Bank penerima (negotiating bank) yang telah membayar L/C
kepada penerima sebelum ia diberitahu adanya pembatalan sepihak dari penerbit,
ia tetap berhak atas pembayaran dari penerbit. Pembayaran L/C dapat dilakukan
dengan cara pembayaran secara unjuk (sight payment), akseptasi (acceptance),
negosiasi (negotiation), dan pembayaan kemudian (deferred payment).
Pasal 8 UCP menyatakan:
“...the Issuing Bank must:
i. reimburse another bank with which
revocable Credit has been made available for sight payment, acceptance
or negotiation – for any payment, acceptance or negotiation made
by such bank – prior to receipt by it of notice of amendment or
cancellation against documents which appear on their face to be in compliance
with the terms and conditions of the Credit;
ii. reimburse another bank with which a
revocable Credit has been made available for deferred payment, if such a bank
has, prior to receipt by it of notice of amndment or cancellation, taken up
documents which appear on their face to be in compliance with the terms and
conditions of the Credit.
(2) Irrevocable L/C
Disebutkan di atas
bahwa para pihak harus menegaskan jenis L/C-nya. Dalam hal tidak ada penegasan
tersebut, maka suatu L/C dianggap sebagai Irrevocable L/C.46 Contoh
klausul Irrevocable L/C memuat ketentuan atau bunyi klausul berikut:
“We undertake to honour such drafts on
presentation provided that they are drawn and presented in conformity with the terms
of this credit.”
Irrevocable L/C adalah L/C yang tidak dapat dibatalkan atau diubah
secara sepihak tanpa persetujuan dari pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi
L/C yaitu penerima dan bank penerbit. Kedudukan penerima lebih terjamin dari
risiko. Tiap-tiap perubahan harus ada persetujuannya. Karena sifatnya yang
tidak dapat diubah secara sepihak, maka jenis L/C ini yang paling banyak
disukai oleh penerima dan bank (bank penerima yang menyediakan kredit ekspor).
(3)
Irrevocable Confirmed L/C
Jenis L/C adalah Irrevocable
apabila L/C tersebut mendapatkan konfirmasi sebuah bank pengkonfirmasi (Confirming
Bank). Dalam hal ini bank pengkonfirmasi turut menjamin kewajiban bank
penerbit dengan memberikan konfirmassi atau janjinya untuk membayar L/C. Tampak
bahwa jenis L/C ini memberi kepastian jaminan kepada penerima. Jika bank
penerbit tidak melakukan pembayaran atas barang yang dikapalkan, maka bank
pengkonfirmasi akan membayar barang yang telah dikapalkan.
Permintaan demikian demikian biasanya
dituliskan dengan kata-kata sebagai berikut dalam L/C: “Please advice
beneficiary with adding your confirmation”. Yang dapat menjadi bank
pengkonfirmasi bisa bank penerus atau bank lain yang diminta oleh bank
penerbit. Dengan adanya permohonan korfirmasi tersebut, dan jika bank yang
diminta confirm L/C tersebut menyepakatinya, maka ia akan menambahkan
konfirmasinya dalam L/C, sebelum L/C
diserahkan kepada penerima.
(4) Sight (Payment) L/C
Jenis Sight L/C
(Payment L/C) adalah L/C yang pembayaranya dilakukan secara tunai segera
setelah dokumen-dokumen yang disyaratkan diajukan atau diserahkan. Setelah
penerima mengapalkan barang, maka dia dapat langsung minta pembayaran kepada
negotiating bank dengan menyerahkan dokoumen-dokumen pengapalan yang diperlukan
disertai dengan wesel/draf-nya. Atas pembayaran yang dilakukan, maka bank
penegosiasi (negotiating bank) segera melakukan penagihan/reimbursement kepada
bank penerbit (opening/issuing bank). Bank penerbit akan segera pula
melakukan pembayaran pada saat menerima dokumen-dokumen tersebut.
(5) Acceptance L/C
Jenis Acceptance
L/C atau L/C berjangka adalah L/C yang pembayarannya dilakukan pada suatu
jangka waktu tertentu setelah wesel diunjukan atau setelah barang dikapalkan. Acceptance
L/C merupakan pemberian kredit kepada pembeli oleh penjual sebab pembeli di
luar negeri akan menerima barang-barang tanpa melakukan pembayaran pada saat
yang sama melainkan pada jangka waktu tertentu sesuai dengan yang ditetapkan
dalam L/C.
2. Bentuk Khusus Kredit Berdokumen
(1) Standby L/C
Jenis Standby
L/C lebih dikenal sebagai alat atau sarana penjamin. Jenis L/C ini acapkali
disebut pula sebagai Guarantee L/C. Jenis ini cenderung digunakan
di wilayah suatu negara di mana isu jaminan itu tidak dimungkinkan atau tidak
dibolehkan. Jenis L/C ini dimaksudkan untuk melindungi penerima jika pihak lainnya
wanresptasi (berdasarkan kontrak). Menurut Ginting, jenis L/C ini adalah “bahwa
bank penerbit bersiap-siap untuk melaksanakan kewajibannya dalam hal pemohon
wanprestasi.”
Perlu pula
dinyatakan di sini bahwa Standby L/C dalam hal tertentu berbeda dengan bank
guarantee (garansi bank). Perbedaan tersebut Standby L/C merupakan
kewajiban utama dari bank penerbit. Yang membedakan jenis L/C ini dengan
jaminan bank adalah bahwa Standby L/C tunduk pada UCP. Sedangkan Bank
garansi tunduk pada hukum nasional. Di samping itu, dalam hal adanya default
(non-performance), pencairan dana langsung dilaksanakan oleh Bank
berdasarkan klaim yang diterima. Sedangkan pada bank garansi, bank penerbit
garansi bank baru mencairkan dana atau membayar penerima (beneficiary)
setelah berhasil dibuktikan adanya default (non performance).
(2)
Transferable L/C
Transferable
L/C adalah jenis L/C yang dapat dialihkan dari penerima
I kepada satu atau lebih penerima lainnya. Kredit yang dialihkan dapat seluruh
atau sebagiannya. Dalam hal ini penerima 1 hanya dapat mengajukan permohonan.
Ia tidak dapat memerintah bank-nya untuk mengalihkan kredit. Keputusan untuk
mengahlihkan atau tidak tetap berada pada keputusan bank penerus (atau bank
pengkonfirmasi).
Jenis L/C ini
diatur dalam pasal 48 UCP. Pasal ini menyatakan:
“A transferable Credit is a Credit under
which the Beneficiary (First Beneficiary) may request the bank
authorised to pay, incur a deferred payment
undertaking, accept or negotiate (the “Transferring Bank” or in the case of a
freely negotiable Credit, the bank specifically authorised in the Credit as a
Transferring Bank, to make the Credit available in whole or in part to one or
more other Beneficiary(ies) (Second Beneficiary(ies)).”
(3)
Back to Back L/C
Back to
Back L/C adalah L/C yang
dibuka oleh penerima I dari sebuah L/C kepada penerima lainnya. Di dalam jenis
ini, transaksi L/C melibatkan dua L/C, L/C induk (Master L/C) dan L/C
anak (Baby L/C). Dalam L/C back to Back penerima I semata-mata
bertindak sebagai pemohon. Ia bertanggung jawab penuh terhadap pembayarannya
kepada penerima II. Kewajiban penerima II adalah memenuhi ketentuan-ketentuan
sesuai dengan yang ditetapkan dalam Back to Back L/C, tanpa melihat syarat dan
ketentuan yang ada pada L/C induknya (Master L/C).
L/C induk dan L/C
anak masing-masing terpisah, meskipun persyaratannya sama. Yang berbeda adalah
nilai L/C dan tanggal jatuh tempo L/C. L/C induk lainnya relatif lebih besar
daripada L/C anak. L/C Induk memiliki jatuh tempo yang lebih lama dibandingkan
jatuh tempo L/C anak. Jenis L/C ini lebih banyak digunakan jika kredit yang ditransfer
tidak dapat digunakan karena berbagai alasan. Misalnya adanya perbedaan dalam
nilai mata uang pembelian dan nilai mata uang penjualan barang dan
dokumen-dokumen pengapalan barang yang harus diubah atau diganti.
(4) Revolving L/C
Revolving L/C
adalah L/C yang secara otomatis berlaku secara berulang-ulang oleh penerima
dalam jumlah tertentu selama jangka waktu tertentu, tanpa harus memasukkan
permohonan penerbitan L/C baru atau memohon perubahan terhadap L/C. Revolving
L/C dapat bersifat Kummulatif atau Non-kummulatif. Dalam hal Revolving L/C
kumulatif, bila nilai L/C tidak direalisasi seluruhnya, maka sisa nilai L/C
tersebut akan ditambahkan dengan nilai L/C semula untuk pengapalan periode
berikutnya. Dalam hal Non-kummulatif, sisa L/C yang tidak direalisasi dihapus,
dan untuk masa berlaku/ periode berikutnya adalah sebesar nilai L/C semula.
(5) Red Clause L/C
Red
Clause L/C adalah jenis
L/C yang dibayar di muka setelah terpenuhinya syarat-syarat tertentu. Misalnya,
dengan diperlihatkannya tanda terima yang sederhana (yang ada), invoice dan
dokumen pengapalan. Nilai pembayaran di muka ini dinyatakan dalam L/C.
misalnya, 30 % atau 40 % dari nilai barang. Jenis L/C ini memuat klausul khusus
yang memberi wewenang kepada bank penerus (advising bank) untuk
melakukan pembayaran sejumlah uang muka kepada penerima sebelum dokumen-dokumen
diserahkan atau pun sebelum barang dikapalkan. Klausul Red Clause yang
dicantumkan dan dicetak dgn “warna merah” (red clause) yg isinya
memungkinkan penerima menarik pembayaran L/C di muka.
C. Penutup
Dari uraian di atas
dapat dikemukakan beberapa catatan berikut:
(1) Kredit berdokumen (L/C) merupakan salah
satu instrumen pembayaran yang lahir dari praktek kebiasaan yang sangat dibutuhkan
oleh para pihak (penjual dan pembeli).
(2) Kredit berdokumen merupakan salah satu
instrumen yang lahir karena peran perbankan dalam memfasilitasi transaksi perdagangan
internasional. Peran inilah yang menjadikan indikasi mengapa dalam hukum
perdagangan internasional bank dipandang pula sebagai salah satu subyek hukum
yang cukup penting.
(3) Sebagai sarana pembayaran, salah satu
keunikan dari L/C ini adalah sifatnya yang independen atau terlepas dari
kontrak penjualan. Dengan sifatnya ini, ketidakabsahan suatu kontrak penjualan
tidak mengakibatkan tidak sahnya pembayaran yang dilakukan melalui L/C.
(4) Yang dapat menjadi masalah dalam L/C ini
adalah kekuatan hukumnya, khususnya aturan-aturan L/C yang tercantum dalam UCPDC
(UCP). UCP pun sebenarnya adalah instrumen hukum yang lahir karena kebiasaan
dagang. Kebiasaan dagang yang dilakukan terus menerus dan kemudian adanya
perasaan atau anggapan bahwa kebiasaan tersebut mengikat, maka sebenarnya kebiasaan
tersebut adalah hukum. Namun khusus untuk UCP ini, meskipun hukum, tetapi masih
perlu adanya penegasan dari para pihak untuk menundukkan dirinya secara tegas
pada UCP.
(5) Yang mungkin dapat pula menjadi masalah
adalah bagaimana posisi badan peradilan terhadap penundukan diri para pihak terhadap
UCP. Sesuai dengan prinsip hukum perdagangan internasional, khususnya prinsip
kebebasan para pihak, maka seyogyanyalah badan peradilan menghormati kehendak
para pihak tersebut terhadap aturan-aturan UCP yang mengikat mereka.
BAB VI
E-COMMERCE MENURUT UNCITRAL MODEL LAW ON
ELECTRONIC
COMMERCE 1996
A. Pengantar
Perkembangan
perdagangan internasional tidak akan pernah terlepas dari perkembangan
teknologi. Karenanya dalam upaya bangsa-bangsa mencapai kemakmuran, teknologi
tidak terlepas dari upaya tersebut. Perkembangan aturan-aturan perdagangan juga
tidak terlepas dari pengaruh perkembangan teknologi. Pengaruh tersebut dewasa ini
semakin nyata dengan lahirnya e-commerce (electronic commerce).
Perkembangan ini cukup signifikan antara lain tampak dari kuantitas transaksi
melalui sarana ini. John Nielson, salah seorang pimpinan perusahaan Microsoft,
menyatakan bahwa dalam kurun waktu 30 tahun, 30 % dari transaksi penjualan
kepada konsumen akan dilakukan melalui e-commerce. Batasan e-commerce adalah
transaksi-transaksi dalam perdagangan internasional yang dilakukan melalui
pertukaran data elektronik dan cara-cara komunikasi lainnya. Pertukaran data elektronik
tersebut dilakukan melalui berbagai teknologi. Salah satunya adalah melalui electronic
data interchange (EDI). Perkembangan e-commerce mulai berkembang secara
signifikan ketika internet mulai diperkenalkan. Perkembangan internet ini mendorong
transaksi-transaksi perdagangan internasional semakin cepat. Dengan internet
batas-batas wilayah negara dalam melakukan transkasi dagang menjadi tidak lagi
signifikan. Praktek perdagangan melalui internet digambarkan juga sebagai 'final
frontiers of commerce' pada abad ke-21 ini. Transaksi melalui e-commerce
ini memiliki beberapa cirri berikut:
(1) transaksi secara e-commerce memungkinkan
para pihak memasuki pasar global secara cepat tanpa dirintangi oleh batas-batas
negara;
(2) transaksi secara e-commerce memungkinkan
para pihak berhubungan tanpa mengenal satu sama lainnya;
(3) transaksi melalui e-commerce sangat
bergantung pada sarana (teknologi) yang keandalannya kurang dijamin. Karena itu
transaksi secara e-commerce ini keamanannya belum atau tidak begitu dapat
diandalkan.
Transaksi melalui e-commerce memiliki
beberapa keuntungan:
(1) transaksi dagang menjadi lebih efektif
dan cepat;
(2) transaksi dagang menjadi lebih efisien,
produktif dan bersaing;
(3) lebih memberi kecepatan dan ketepatan
kepada konsumen;
(4) mengurangi biaya administratif;
(5) memperkecil masalah-masalah sebagai
akibat perbedaan budaya, bahasa dan praktek perdagangan;
(6) meningkatkan pendistribusian logistik;
dan
(7) Memungkinkan perusahaan-perusahaan kecil
untuk menjual produknya secara global.
B. Masalah Hukum: Pengawasan
Meningkatnya
transaksi-transaksi dagang melalui e-commerce ternyata juga telah melahirkan
berbagai masalah lain dalam hukum perdagangan internasional. Masalah ini timbul
mengingat transaksi secara e-commerce adalah praktik baru di bidang perdagangan
dan berkembang progresif. Sedangkan aturan-aturan hukum dibuat untuk mengatur
hal-hal atau hubungan-hubungan hukum yang sedang atau telah terjadi sehingga
sifatnya agak statis. Masalah utamanya adalah apakah ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan
hukum yang ada dapat mengakomodasi lahirnya transaksi-transkasi yang dilahirkan
melalui media e-commerce ini yang sifatnya transnasional ini.
Di samping itu
masalah lain yang juga penting adalah apakah peraturan hukum perdagangan
inernasional yang ada sekarang dapat memberi perlindungan atau keseimbangan
pengaturan antara pengusaha, konsumen dan pemerintah. Secara khusus
masalah-masalah tersebut dapat diuraikan lebih lanjut menjadi masalah-maalah
berikut:
a.
masalah
pembuktian mengenai data-data yang terdapat dalam e-commerce;
b.
masalah
keabsahan suatu kontrak dan bentuk kontrak e-commerce ini, khususnya mengenai
pembuktian orisinalitas data (originality); syarat tertulis (writing);
dan masalah tanda tangan (signature);
c.
masalah
kapan kata sepakat telah terjadi dalam transaksitransaksi yang dilakukan secara
e-commerce;
d.
masalah
pengesahan, pengakuan penerimaan, penyimpanan data elektronik;
e.
masalah
hilangnya wewenang bank sentral untuk mengawasi nilai tukar mata uang dan
penerimaan pemerintah dari transaksitransaksi dagang yang dikeluarkan secara
elektronik; dan
f.
masalah
rintangan-rintangan (perdagangan) dari adanya kebijakan-kebijakan (perdagangan)
negara yang mengakibatkan transaksi-transaksi e-commerce ini menjadi tidak lancar
(terganggu).
Negara-negara di
dunia menjadi semakin sadar tentang masalah-masalah yang lahir dari
transaksi-transaksi e-commerce ini. Kekhawatiran ini tidak bisa tidak harus
segera diantisipasi mengingat transaksi-transkasi e-commerce menjadi semakin meningkat
sehubungan dengan meningkatnya globalisasi ekonomi dan hubungan-hubungan
dagang.
Menghadapi
perkembangan ini, umumnya negara-negara di dunia mengeluarkan aturan-aturan
hukum nasionalnya untuk mengantisipasinya. Namun aturan hukum nasional tersebut
yang cenderung berbeda dengan aturan hukum nasional negara lainnya dapat
menjadi rintangan cukup serius terhadap perdagangan internasional.Sebenarnya
ada cara efektif yang dapat ditempuh Negara-negara untuk membuat atau
menciptakan aturan internasional di bidang e-commerce. Cara tersebut adalah
membuat suatu perjanjian atau konvensi internasional yang berlaku bagi
negara-negara di dunia. (Sudah barang tentu setelah menempuh cara-cara atau prosedur
normal untuk terikatnya suatu perjanjian internasional terhadap suatu negara). Badan
atau organisasi internasional yang berkpentingan dengan aturan internasional
antara lain adalah UNCITRAL. Tetapi yang ditempuh UNCITRAL adalah justru
menempuh cara yang tidak tersebut di atas, tetapi merumuskan suatu Model Law.
Sesuai dengan
namanya, yaitu Model Law, aturan-aturannya tidak mengikat negara. Negara-negara
bebas untuk mengikuti sepenuhnya mengikuti sebagian atau menolak Model Law
tersebut. 10 Negara yang mula-mula berinisiatif menyusun aturan-aturan hukum di
bidang e-commerce ini adalah Amerika Serikat yang kemudian diikuti negara-negara
Eropa Barat.
Pada tahun
1996,UNCITRAL berhasil merumuskan suatu aturan hukum cukup penting yakni UNCITRAL
Model Law on Electronic Commerce. Tujuan dari Model Law ini adalah
menggalakkan aturanaturan hukum yang seragam dalam penggunaan jaringan komputer
guna transaksi-transaksi komersial. Alasan utama digunakannya instrumen Model
Law tampak dalam resolusi No 51/162 tahun 1996 yang menyatakan sebagai berikut:
“Convinced that the establishment of a model law facilitating the use of
electronic commerce that is acceptable to States with different legal, social
and economic systems, could contribute significantly to the development of
harmonious international economic relations, Noting that the Model Law
on Electronic Commerce was adopted by the Commission at its twenty-ninth
session after consideration of the observations of Governments and interested
organizations, Believing that the adoption of the Model Law on
Electronic Commerce by the Commission will assist all States significantly in
enhancing their legislation governing the use of alternatives to paper-based methods
of communication and storage of information and in formulating such legislation
where none currently exists,...”.
Dari bunyi resolusi
di atas, terdapat 3 (tujuan) alas an utama pemilihan Model Law ini, yaitu:
(1) Model Law yang sifatnya dapat diterima
oleh negara-negara dengan sistem hukum, sosial dan ekonomi yang berbeda. Model Law
dapat pula memberi perkembangan secara signifikan terhadap perkembangan
hubungan-hubungan ekonomi internasional yang harmonis;
(2) Model Law dipilih karena memang sebelumnya
negara-negara (dan organisasi internasional yang berkepentingan) mengusulkan
digunakannya instrumen hukum ini; dan
(3) Digunakannya Model Law dapat membantu
negara-negara di dalam membuat perundangan nasionalnya di bidang e-commerce.
Sebenarnya organisasi
internasional yang memperhatikan masalah hukum e-commerce ini tidak hanya
UNCITRAL. Berbagai lembaga internasional yang juga menjadikan masalah (hukum) e-commerce
ini dalam agendanya antara lain adalah WTO, International Telecommunication
Union (ITU); World Intellectual Property Organization (WIPO);
Kamar Dagang Internasional (International Chamber of Commerce atau ICC),
dll.
C. UNCITRAL MODEL LAW
1. Pengantar
Majelis Umum PBB
mengesahkan UNCITRAL Model Law dengan Resolusi 51/162 tanggal 16 Desember 1996.
UNCITRAL Model Law ini dibentuk sebagai aturan dasar untuk mengatur keabsahan,
pengakuan, dan akibat dari pesan-pesan elektronik (electronic messaging)
yang didasarkan pada penggunaan komputer dalam perdagangan.
Tujuan utama atau tujuan khusus dari Model
Law ini adalah:
(1) memberikan aturan-aturan mengenai
e-commerce yang ditujukan kepada badan-badan legislatif nasional atau badan
pembuat UU suatu negara;
(2) memberikan aturan-aturan yang besifat
lebih pasti untuk transaksi-transaksi perdagangan secara elektronik.
Model Law terdiri
dari 17 pasal yang terbagi ke dalam 2 bagian dan 4 Bab. Bagian I Bab 1 memuat
ketentuan umum. Bab 2 mengatur penerapan persyaratan-persyaratan hukum terhadap
pesan data. Bab 3 mengatur komunikasi pesan data. Bagian II mengatur e-commerce
dalam bidang-bidang khusus. Bagian II ini hanya terdiri dari 1 bab saja, yaitu
bab mengenai pengangkutan barang.
Maksud "pesan
data elektronik (electronic data message) adalah pengiriman dan
penerimaan dan penyimpananan informasi melalui cara-cara elektronik, optik atau
cara-cara lainnya seperti EDI, electronic mail, telegram, telex atau telecopy.
(Dalam tulisan ini selanjutnya, penggunaan data elektronik dan pesan data
mempunyai pengertian yang sama).
Sedangkan kata
perdagangan (commerce) mengandung pengertian luas, yakni semua hubungan
yang bersifat komersial. Hubungan-hubungan tersebut dapat lahir karena adanya
hubungan-hubungan yang bersifat kontraktual atau bukan. Lebih lanjut Model Law memberikan
ilustrasi hubungan-hubungan komersial (dagang) yang luas tersebut, yakni: “Relationships
of a commercial nature include, but are not limited to, the following
transactions: any trade transaction for the supply or exchange of goods or services;
distribution agreement; commercial representation or agency; factoring;
leasing; construction of works; consulting; engineering; licensing; investment;
financing; banking; insurance; exploitation agreement or concession; joint
venture and other forms of industrial or business cooperation; carriage of
goods or passengers by air, sea, rail or road.”
Model Law
mensyaratkan penafsiran secara itikad baik terhadap aturan-aturannya.
Penafsiran tersebut harus sesuai dengan:
(1) prinsip hukum internasional tentang
penafsiran;
(2) kebutuhan-kebutuhan khusus untuk memajukan
keseragaman dalam penerapannya.
Dalam mengesahkan
Model Law ini, para pihak dapat mengubah atau menyesuaikan aturan-aturan muatan
Model Law berdasarkan kesepakatan, sesuai dengan kebutuhannya, terutama Bab II
dan III. UNCITRAL Model Law memuat dua prinsip pendekatan penting yang menjadi
landasan pengaturannya. Dua prinsip pendekatan tersebut adalah (i) functional
equivalence approach; dan (ii) technology neutrality approach. Maksud
functional equivalence approach (pendekatan yang secara fungsinya sama)
adalah bahwa dokumen dan komunikasi-komunikasi elektronik memiliki fungsi dan
tujuan yang sama seperti halnya dokumen-dokumen kertas dan komunikasi.
Maksud technology
neutrality approach (pendekatan kenetralan suatu teknologi) berarti bahwa
suatu komunikasi elektronik diperlakukan sama terhadap teknologi komunikasi elektronik
lainnya. Dengan demikian persyaratan-persyaratan umum untuk dianggap sebagai teknologi
berlaku secara umum.
Pada intinya muatan UNCITRAL Model Law memuat
ketentuan-ketentuan umum berikut:
(1) suatu data elektronik seperti halnya
dokumen-dokumen hokum lainnya harus mengikat secara hukum;
(2) suatu data elektronik dapat berisikan
informasi yang dapat digunakan sebagai referensi;
(3) suata data elektronik adalah suatu
tulisan untuk tujuan hukum, apabila dapat diakses sebagai referensi di kemudian
hari;
(4) suatu data elektronik mencakup suatu
tanda tangan, apabila dapat diidentifikasi orang yang mengirim pesan tersebut
dan indikasi bahwa orang tersebut telah menyetujui informasi dalam data
tersebut;
(5) suatu data elektronik merupakan suatu
dokumen asli (original) apabila informasi yang dikandung dapat secara terpercaya
dipertahankan dalam bentuk aslinya; dan
(6) suatu pertukaran data elektronik dapat
menimbulkan suatu penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance)
dan karenanya membentuk suatu kontrak yang sah.
2. Penerapan Persyaratan Hukum Terhadap Pesan
Data
Bab 2 Model Law
diawali dengan judul ‘Penerapan Persyaratan Hukum terhadap Pesan Data.’ Bab ini
diawali dengan pasal 5 yang juga dianggap sebagai inti dari Model Law. Pasal
ini mengakui akibat hukum, keabsahan dan dapat dipaksanakannya informasi dalam bentuk
pesan/data elektronik (electronic message) yang digunakan dalam
transaksi-transaksi dagang. Model Law meletakkan aturan-aturan hukum mengenai
kapan suatu pesan data elektronik (electornic data messages) memenuhi persyaratan
hukum mengenai syarat "tertulis", tanda tangan atau keasliannya
(original). Ketiga syarat ini termuat dalam pasal 6-8 Model Law. Dan ketiga
pasal tersebut harus dibaca bersama-sama (satu kesatuan). Maksud dari
pengaturan-pengaturan ini adalah untuk memecahkan masalah pembuktian, khususnya
bukti-bukti dokumen atau persyaratan dokumen asli dalam sistem hukum di dunia.
Model Law mengakui atau memperbolehkan dokumen-dokumen elektronik ini sbg bukti
yg diakui keabsahannya (menurut hukum).
a. Syarat Tertulis
Persyaratan hukum
tertulis terpenuhi oleh adanya pesan data ini apabila informasi yang terkandung
di dalamnya dapat diakses ("accessible") setiap saat. Selain
itu pula, pesan data tersebut selanjutnya atau dapat digunakan dan dirujuk
sebagai referensi (bahan acuan) selanjutnya.
b. Syarat Tanda Tangan
Persyaratan tanda
tangan terpenuhi oleh adanya pesan data apabila:
(1) si pembuat (originator) dapat mengenali
informasi yang terdapat di dalamnya oleh suatu metode tertentu; dan Pasal 5
UNCITRAL Model Law.
(2) Metoda tertentu tersebut dapat diandalkan
dan layak untuk dapat mengetahui pesan data tersebut.
c. Syarat Keaslian
Persyaratan hukum
dari presentasi (penampilan) atau penyimpanan suatu informasi dalam bentuk
aslinya terpenuhi pada suatu pesan data, apabila:
(1) Terdapat jaminan mengenai integritas
informasi pada waktu pertama kali dituangkan dalam bentuk akhir sebagai suatu
pesan data; dan
(2) informasi dapat ditampilkan kepada suatu
pihak yang disyaratkan untuk ditampilkan terhadapnya. Integritas suatu
informasi ditentukan berdasarkan pada sifat pesan data tersebut yaitu, bahwa
informasi tersebut tetap atau tidak berubah. Jadi di sini yang ditekankan
adalah status atau kestabilan muatan dari pesan data tersebut. Model Law disini
mensyaratkan bahwa pesan data atau data elektronik tersebut harus tidak dapat
diubah.
Model Law melihat
ke-3 syarat ini cukup sulit sebab syarat keaslian suatu ‘dokumen’ dari suatu
pesan data sudah barang tentu sangat berbeda denga dokumen-dokumen asli yang
pada umumnya disyaratkan untuk transaksi-transaksi tertentu, misalnya akte tanah,
polis asuransi, dll. Dokumen-dokumen tertulis terakhir ini relatif agak sulit
untuk dipalsukan atau diubah oleh salah satu pihak. Hal ini berbeda dengan
pesan data atau data elektronik.
Oleh karena itu,
pendekatan yang ditempuh oleh Model Law adalah mengenakan persyaratan minim (‘minimum
requirement’), seperti tampak dalam pasal 8 tersebut di atas. Pendekatan
ini dianggap juga sama sebagai ‘functional equivalent” dari suatu sifat
atau tujuan dari keaslian dokumen.
3. Kekuatan Pembuktian Pesan Data
Model Law secara
tegas menyatakan bahwa untuk masalah pembuktian, pengadilan nasional tidak
boleh mempermasalahkan pesan data ini sebagai bukti semata-mata karena bukti
tersebut terdapat dalam bentuk pesan data. Pengaturan ini tampaknya sederhana.
Tetapi justru inilah yang akan menjadi masalah khususnya di negara-negara yang
secara tradisional telah lama mengakui bukti-bukti konvensional yang diakui oleh
sistem hukum nasionalnya. Kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan
nilai-nilai dari suatu pesan data adalah:
(1) asal dari pesan data, disimpan atau
dikomunikasikan;
(2) integritas dari informasi;
(3) dikenalnya si pembuat aslinya
(originator);
(4) faktor-faktor lainnya yang relevan dengan
informasi.
4. Penyimpanan Pesan Data
Manakala suatu
informasi atau dokumen disimpan dan dibuka (ditampilkan) melalui media
elektronik, Model Law meletakkan kritieria atau syarat-syarat hukum mengenai
penyimpanan data (record retention) dan penampilannya (kembali).
Kriteriakriteria ini adalah:
(1) informasi yang terkandung di dalamnya
dapat diakses sehingga dapat digunakan untuk rujukan (referensi) selanjutnya;
(2) pesan data disimpan dalam format yang
sama dengan semula, dikirim atau diterima, atau dalam bentuk yang dapat ditampilkan
sehingga informasi yang akurat sejak awal, dikirim atau diterima; dan
(3) informasi tersebut disimpan guna
memungkinkan atau mengidentifikasi asal mula dan tujuan dari suatu pesan data, dan
tanggal dan waktu data tersebut dikirim atau diterima.
5. Komunikasi Pesan Data
Bab III menguraikan
aturan-aturan mengenai masalah-masalah kontraktual yang timbul dalam penggunaan
teknologi komputer dalam transaksi internasional. Maksud Bab ini sebenarnya
tidak untuk mempermasalahkan hukum mengenai pembentukan suatu kontrak. Bab ini
hanya menyinggung isu-isu pembentukan kontrak dan bagaimana para pihak dalam
kontrak dapat mengemukakan offer dan acceptance mereka dalam
kontrak melalui berbagai cara (khususnya melalui sarana elektronik).
Tujuan Bab ini
adalah untuk menciptakan kepastian dalam hubungan-hubungan komersial dan
kepercayaan dalam perdagangan secara elektronik. Dengan tujuan ini diharapkan
perdagangan internasional dapat berkembang. Model Law bermaksud menghapus
keragu-raguan yang mungkin timbul dari pengungkapan offer dan acceptance
melalui sarana elektronik tersebut. Masalahnya adalah penyampaian kehendak (offer
dan acceptance) tersebut tidak diungkapkan secara langsung oleh para
pihak tetapi diungkapkan melalui ‘cara’ lain (yaitu komunikasi elektronik dan tidak
adanya dokumen tertulis).
6. Bentuk dan Keabsahan Kontrak
Model Law mengakui
prinsip otonomi para pihak (party autonomy) dan kebebasan berkontrak.
Para pihak berhak untuk membuat kontrak mereka melalui offer dan acceptance
yang dinyatakan oleh cara-cara elektronik. Pembuatan kontrak
melalui e-commerce adalah sah dan mengikat (valid and enforceable
contract). Penegasan tentang keabsahan berkontrak ini ditegaskan
dalam pasal 11 ayat (1) yang berbunyi: “(1) In the context of
contract formation, unless otherwise agreed by the parties, an offer and
the acceptance of an offer may be expressed by means of data messages.
Where a data message is used in the formation of a contract, that contract
shall not be denied validity or enforceability on the sole ground that a
data message was used for that purpose.
Begitu pula suatu
pernyataan kehendak atau pernyataan lainnya yang dinyatakan dalam bentuk suatu
pesan data oleh si pembuat (originator) dan alamat si penerima (addressee) dari
suatu pesan harus mempunyai akibat hukum, keabsahan dan daya mengikatnya (enforceability).
Dilihat dari
syarat-syarat yang ditetapkannya, tampak bahwa Model Law lebih cenderung mengacu
kepada syarat-syarat sahnya suatu kontrak berdasarkan sistem Common Law.
Berdasarkan Common Law, syarat sahnya suatu kontrak adalah:
(1) kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri.
Syarat ini mencakup: “(a) adanya suatu penawaran (offer) dari pihak offeror
sebagai pihak pertama; (b) adanya penyampaian penawaran tersebut kepada offeree
sebagai pihak kedua; (c) adanya penerimaan penawaran oleh pihak kedua yang
menyatakan kehendaknya untuk terikat pada persyaratan dalam penawaran tersebut;
dan (d) adanya penyampaian penerimaan (acceptance) oleh pihak kedua
kepada pihak pertama;
(2) Consideration (‘something of
value’) yang dipertukarkan antara para pihak;
(3) kecakapan untuk membuat perjanjian; dan
(4) suatu obyek yang halal.”
7. Pengakuan terhadap Pesan Data
Masalah pengakuan
terhadap pesan data menjadi relevan manakala timbul masalah mengenai apakah
suatu pesan data benar-benar dikirim oleh si pembuat asli (originator).
Untuk menjawab masalah ini Model Law memberi jawabannya dalam pasal 13. Pasal ini
menyatakan bahwa suatu pesan data dianggap berasal dari orang yang membuatnya
manakala:
(1) pesan data tersebut dikirim oleh: (a)
pihak pembuat sendiri; (b) orang yang memiliki wewenang atau kuasa untuk
bertindak atas nama pihak originator (pembuat asli) atau (c) suatu sistem
informasi yang terprogram oleh atau atas nama pihak pembuat asli (originator)
untuk mengoperasikannya secara otomatis;
(2) bahwa pihak penerima (addressee)
sebelumnya memberikan persetujuan mengenai suatu prosedur untuk memastikan
bahwa suatu pesan data berasal dari pembuat asli (originator); atau
(3) bahwa pesan data yang diterima oleh pihak
penerima (addressee) berasal dari tindakan-tindakan agent dari pembuat
asli yang memungkinkan agent tersebut untuk memperoleh akses terhadap suatu
metoda yang digunakan oleh pihak originator untuk mengidentifikasi
data-data sebagai miliknya.
Ketentuan terakhir
pasal 13, yaitu ayat (6) memuat aturan mengenai duplikasi pesan data yang
salah. Ayat ini meletakkan kewajiban kepada pihak penerima untuk melakukan
tindakan kehati-hatian (‘standard of care’) untuk membedakan apakah
suatu pesan data duplikasi yang keliru (salah) dan pesan data yang terpisah (‘separate
data message’). Model Law dalam hal ini menyatakan bahwa pihak penerima (addressee)
berhak untuk menduga bahwa suatu pesan data berasal/milik pemilik asli yang
bermaksud untuk mengirimnya kepadanya. Pihak penerima berhak untuk
memperlakukan setiap pesan data yang diterimanya sebagai suatu pesan data yang terpisah,
kecuali pesan data tersebut adalah atau berupa salinan dari yang aslinya
tersebut. Namun si penerima menjadi tidak berhak manakala:
(1) ia telah menerima pemberitahuan dari originator
(pihak pembuat asli) bahwa pesan datanya bukan berasal darinya, dan waktu yang
layak tidak digunakannya untuk pesan data; atau
(2) ia mengetahui atau seharusnya telah
mengetahui dengan menggunakan tata cara dan prosedur yang disepakati bahwa: (a)
pesan data tidak berasal dari pembuat asli (originator); (b) transmisi
pengirim pesan data gagal; atau (c) pesan data merupakan salinan.
8. Pengakuan Penerimaan
Ketentuan mengenai
pengakuan penerimaan suatu pesan data semata-mata merupakan masalah persyaratan
mengenai adanya bukti bahwa offer telah diterima. Masalah ini bukan
mengenai akibat hukum dari adanya penerimaan suatu pesan data (dalam hal ini adalah
offer). Pihak originator dapat meminta pada saat atau sebelum mengirim
suatu data atau telah setuju dengan pihak penerima (addressee), bahwa
penerimaan pesan data diakuinya dan bahwa mereka masing-masing sepakat mengenai
bentuk khusus atau metode tertentu untuk maksud itu. Dalam hal tidak adanya
bentuk atau metode, suatu pengakuan dapat diberikan oleh setiap alat komunikasi
tertentu itu, yang cukup untuk menunjukkan kepada originator bahwa pesan data
telah diterima. Jika pesan data dibuat dengan persyaratan mengenai penerima
pengakuan, maka pesan data dianggap tidak pernah dikirimkan sampai pengakuan
telah diterima.
Dalam hal tidak
adanya persyaratan atau kesepakatan yang ditentukan/disepakati, orginator yang
belum menerima suatu pengakuan dapat memberikan pemberitahuan dalam jangka
waktu yang layak kepada pihak penerima bahwa ia akan mengirim pemberitahuan kepada
pihak penerima. Dan dengan memberikan jangka waktu yang layak, ia mengharapkan
penerimaan pengakuan dari penerima. Kelalaian untuk memenuhi jangka waktu ini
akan dianggap bahwa pesan data dianggap belum pernah dikirim oleh pihak
originator.
Dalam hal suatu
pengakuan diterima oleh pihak originator, asumsinya adalah bahwa pesan data
diterima oleh pihak penerima. Apabila pengakuan menunjukkan bahwa pesan data
diterima telah memenuhi standar atau persyaratan teknis yang berlaku, asumsinya
adalah bahwa standar dan persyaratan-persyaratan tersebut telah terpenuhi.
9. Waktu dan Tempat Pengiriman dan Penerimaan
Pesan Data
Model Law
mengangkat masalah waktu dan tempat pengiriman dan penerimaan pesan data ini
dalam pasal 15. Diaturnya masalah ini sebab transaksi-transaksi melalui
elektronik ini sangatlah sulit untuk menentukan kapan secara pasti mengenai di
mana dan kapan salah satu pihak telah menerima suatu pesan data. Seperti kita
maklumi dalam sistem hukum pada umumnya, termasuk RI, kapan terjadinya
kesepakatan dan dimana kesepakatan terjadi adalah faktor-faktor yang relevan
yang dapat mempengaruhi
terjadinya suatu perikatan.
Kesulitan transaksi
melalui elektronik ini adalah bahwa salah satu pihak tidak tahu di mana pihak
lainnya berada. Apa yang diupayakan oleh Model Law di sini adalah bahwa lokasi
di mana sistem informasi berada tidaklah relevan. Model Law hanya menyatakan
bahwa kriteria obyektif untuk menentukan tempat adalah tempat usaha para pihak.
Oleh karena itu ketentuan pasal mengenai waktu dan tempat tidak menjadi acuan
bagi pengaturan dalam hokum perdata internasional.
Menurut pasal 15
Model Law, suatu pesan data dianggap telah dikirim ketika pesan data tersebut
memasuki suatu sistem informasi di luar kontrol dari originator atau agen yang disepakati
untuk bertindak atas namanya. Waktu penerimaan suatu pesan data terjadi karena
keadaan-keadaan berikut:
(1) Segera setelah pesan data memasuki suatu
sistem informasi yang dibuat/ditetapkan oleh pihak penerima (addressee) untuk
maksud menerima pesan data tersebut;
(2) Jika pesan data dikirim kepada suatu
sistem informasi dari pihak penerima yang tidak dibuat/ditetapkan untuk maksud
itu, maka penerimaan suatu pesan data terjadi segera setelah pesan data dibuka
(retrieved) olehnya; dan
(3) Jika tidak ada sistem informasi yang
dibuat/ditetapkan oleh pihak penerima, maka waktu penerimaan pesan data terjadi
segera setelah pesan data memasuki sistem informasi dari pihak penerima.
Aturan-aturan ini berlaku meski lokasi dari
sistem informasi dan tempat di mana pesan data tersebut yang akan diterima
ternyata berbeda. Tempat pengiriman dan penerimaan pesan data adalah tempat
usaha dari pihak originator dan juga si penerima (addressee).
Dalam hal terdapat
lebih dari satu tempat usaha (place of business), tempat usaha adalah
tempat yang memiliki hubungan terdekat (closest link) dengan
transaksi yang bersangkutan. Dalam hal tidak ada hubungan terdekat
tersebut, maka tempat usahanyaadalah tempat usaha pokoknya (the principal
place of business). Dalam hal tidak adanya tempat usaha, maka
pengiriman dan penerimaan suatu pesan data akan berlangsung di tempat
kediaman biasanya (their habitual residence). Namun demikian baik
pihak originator dan pihak penerima (addressee) dapat menyepakati untuk
membuat aturan-aturan tersendiri bagi mereka. Para pihak tidak perlu
untuk menetapkan kriteria-kriteria tersebut di atas.
10. Bagian II: Obyek Tertentu: Pengiriman
Barang
Bagian I Model Law
di atas memuat aturan-aturan umum dari e-commerce. Dalam bagian kedua sekarang
ini, Model Law memuat aturan-aturan khusus mengenai pengiriman barang yang
dilakukan melalui pesan data melalui sistem komunikasi computer (elektronik).
Informasi yang dikomputerkan dapat digunakan dalam hubungannya dengan suatu
kontrak pengiriman barang dan dokumen-dokumen pengangkutan terkait. Perlu
ditekankan di sini bahwa bagian dua ini sifatnya tidaklah eksklusif atau berdiri
sendiri. Aturan dalam bagian I, khususnya aturan-aturan mengenai persyaratan
tertulis, tanda tangan dan keaslian suatu ‘dokumen’ (pasal 6 – 8 Model Law)
juga berlaku terhadap bagian II ini.
Pasal 16 memuat
daftar mengenai hal-hal pesan data secara elektronik (electronic data
message) yang dapat berlaku. Daftar tersebut adalah:
(1) pemberian tanda, angka, jumlah dan berat
barang;
(2) memuat sifat atau nilai barang;
(3) penerbitan surat penerimaan untuk barang;
(4) perintah kepada kapal pengangkut;
(5) klaim pengiriman barang;
(6) perintah/kuasa untuk melepaskan barang
(7) memuat pemberitahuan mengenai hilang atau
kerusakan terhadap barang;
(8) memberikan pemberitahuan lainnya mengenai
pelaksanaan kontrak;
(9) upaya untuk mengirim barang kepada orang
yang telah ditentukan atau seseorang yang mengklaim pengiriman; dan
(10) hal-hal lain yang terkait dengan hak
atas barang, hak dan kewajiban berdasarkan kontrak.
11. Dokumen Pengangkutan (Bill of Lading)
Pasal 17 memuat
aturan-aturan untuk memfasilitasi penggunaan bill of lading elektronis
yang dapat digunakan untuk moda-moda pengangkutan lainnya di samping
pengangkutan laut. Termasuk di dalamnya moda angkutan melalui jalan raya,
kereta api, dan pengangkutan udara. Persyaratan hukum mengenai syarat tertulis
dan penggunaan suatu dokumen kertas, dapat terpenuhi dengan penggunaan satu
atau lebih pesan data. Model Law hanya mensyaratkan bahwa metode atau cara
pengiriman pesan data tersebut dapat diandalkan. Model Law mengakui
dokumen-dokumen pengangkutan secara elektronik ini. Dalam Model Law ternyata
yang menjadi aturan-aturan khusus di sini baru atau hanya dokumen pengangkutan (laut,
darat, kereta api, udara).
Dilihat dari kata
yang digunakannya, yaitu areas, jelas bahwa Model Law masih melihat
adanya kemungkinan pengaturan-pengaturan untuk bidang-bidang khusus lainnya di
samping dokumen pengangkutan secara elektronik (e-bill of lading). Daftar-daftar
di atas tidak bersifat sebagai ilustrasi semata. Daftar tersebut juga tidak
hanya untuk sektor pengangkutan laut (maritim), tetapi juga moda-moda angkutan
lainnya
12. Tanda Tangan Digital dan Pejabat
Verifikasi
a. Tanda Tangan Digital (Digital Signature)
Di samping Model
Law 1996 tersebut di atas, UNCITRAL telah pula secara aktif merancang
aturan-aturan untuk tanda tangan digital dan pejabat verifikasi. Untuk itu,
UNCITRAL membentuk suatu badan khusus, yaitu UNCITRAL Working Group. Sejak
bulan Februari 1997, UNCITRAL Working Group telah mempersiapkan
aturan-aturan mengenai 'digital signature' dan 'Certifying Authority'
(CA atau pejabat atau lembaga sertifikasi). Pembentukan kelompok kerja ini
sebagai implementasi dari pasal 7 Model Law 1996. Digital signature adalah
‘sejumlah karakter alphanumeric yang dihasilkan dari operasi matematik dan
kriptografi’. Hingga saat ini "cryptography" masih dipandang cara
terbaik untuk memproteksi data dari kemungkinan perubahan-perubahan yang tidak
diinginkan.
Cryptography
telah digunakan secara umum. Penggunaannya acapkali
didasarkan pada penggunaan fungsi-fungsi 'algorithmic' (algoritma). Pada
prinsipnya cara kerja cryptograhy sederhana saja. Cryptography mengubah
informasi menjadi kode. Pengirim mengirim informasi melalui kode-kode. Penerima
kode (informasi) kemudian membuka kode tersebut untuk dapat membacanya. Dalam mengirim-menerima
code, dilakukan dengan menggunakan 2 kunci. Kunci ini tidak lain adalah
angka-angka. Satu kunci digunakan untuk menerjemahkan data dan untuk mengkonfirmasi
digital signature (kunci privat atau private keys). Kunci
lainnya, yaitu kunci publik (public keys), digunakan untuk meverifikasi
suatu tanda tangan digital dari pesan yang kembali ke bentuk aslinya (public
key).
b. Certification Authority
Certification
Authority (CA) adalah konsep
yang baru berkembang, yakni suatu provider jasa pihak ke-3 yang netral dan independen.
CA mengeluarkan serifikat 'untuk menghubungkan suatu kunci dengan si
penandantangan. CA juga bertugas mendaftarkan suatu public key bersama-sama
dengan nama dari pelanggan (pengguna) sertifikat sebagai 'subyek' sertifikat. Dengan
dimulainya diskusi secara umum mengenai isu yang dibahas, Working Group mempersiapkan
teks-teks mengenai aturan-aturan seragam pada akhir 1997. Aturan-aturan hukum
seragam ini disahkan oleh Working Group pada sidangnya yang ke-32 di
Wina pada tangggal 19-30 Januari 1998. UNCITRAL mengesahkannya pada sidangnya
yang ke 31 di New York, pada tanggal 1 - 12 Juni 1998. Aturan-aturan hukum
seragam ini antara lain mengatur ruang lingkup berlakunya aturan (Bab I), tanda
tangan elektronik (Bab 2), pejabat sertifikasi dan isu-isu terkait (Bab 3), dan
pengakuan tanda tangan elektronik asing (Bab 4).
D. Penutup
UNCITRAL telah
menempuh suatu pendekatan fungsional dalam Model Law. UNCITRAL tidak menempuh
upaya menyusun kembali aturan-aturan yang ada untuk mengakomodasi e-commerce. Namun
yang dilakukan UNCITRAL adalah menemukan pemecahan secara teknis untuk memenuhi
persyaratan-persyaratan hukum yang ada (dengan sedikit penyesuaian). Misalnya,
masalah integritas dan keaslian (authenticity) dari suatu pesan data
dari tanda tangan elektronis telah diselesaikan dengan penggunaan metode
cryptography. Di samping penggunaan cryptography, sebenarnya apa yang Model Law
sumbangkan secara signifikan adalah pengakuan hukum terhadap pesan data.51
Endeshaw mentakan bahwa Model Law ini semata-mata menetapkan “legal
recognition of data message transmitted via electronic or other form.”
Oleh karena itulah
mengapa beberapa negara telah membuat rancangan UU-nya mengenai perdagangan
secara e-commerce ini dengan didasarkan kepada seluruh atau sebagian ketentuan
dari Model Law ini. Termasuk antara lain Amerika Serikat dalam 'Uniform
Commercial Code'-nya, the Illinois Electronic Commerce Security
Act, dan the Danish Bill for an Act on Digital Signature.
Malaysia telah mengundangkan perundang-undangannya mengenai electronic
commerce dan tanda tangan digital. Negara-negara lainnya telah pula
mempertimbangkan UU nasionalnya untuk bidang electronic commerce dan
tanda tangan digital ini. Sejak bulan Oktober 1997, Inggris telah
memperkenalkan perdagangan elektronik-nya di pasar modalnya (Stock Exchange).
Di Jerman telah pula mengundangkan the Digital Signature Ordinance pada tahun
1997 (mulai berlaku pada tanggal 1 November 1997).
Salah satu
tantangan yang dihadapi Indonesia adalah menyikapi hadirnya e-commerce ini.
Sebenarnya masalah utamanya adalah sederhana, aturan hukum RI hanya perlu
mengakui keabsahan transaksi-transaksi melalui e-commerce. Yang juga tidak
kalah pentingnya adalah pengakuan terhadap data elektronik sebagai alat bukti
di hadapan pengadilan. Alat bukti yang diakui hukum Indonesia adalah: (1) bukti
tulisan; (2) bukti saksi-saksi; (3) persangkaan-persangkaan; (4) pengakuan; dan
(5) bukti sumpah.54 Bukti data elektronik hingga tulisan ini dibuat belum ada
pengakuan.
Sebagai
perbandingan, negara berkembang lainnya adalah Cina. Pada bulan Maret 1999,
Cina mengeluarkan hukum kontrak yaitu the Contract Law of the People’s
Republic of China. UU tahun 1999 ini menyatakan bahwa tulisan dapat berupa
berbagai wujud atau bentuk, termasuk tulisan-tulisan yang ‘disimpan secara visual’
(‘visually recorded’). Dalam pengertian tersebut yang tercakup ke
dalamnya adalah kontrak-kontrak elektronik. Karena kontrak-kontrak tersebut
dapat ‘dilihat’, maka kontrak demikian sah menurut hukum kontrak Cina.
BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERDAGANGAN
INTERNASIONAL
A. Pengantar
Transaksi-tansaksi
atau hubungan dagang banyak bentuknya. Dari berupa hubungan jual beli barang,
pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu
kontrak, dll. Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan
sengketa. Umumnya sengketa-sengketa dagang kerap didahului oleh penyelesaian
oleh negosiasi. Manakala cara penyelesaian ini gagal atau tidak berhasil,
barulah ditempuh cara-cara lainnya seperti penyelesaian melalui pengadilan atau
arbitrase.
Penyerahan sengketa
baik kepada pengadilan maupun ke arbitrase kerap kali didasarkan pada suatu
perjanjian di antara para pihak. Langkah yang biasa ditempuh adalah dengan
membuat suatu perjanjian atau memasukkan suatu klausul penyelesaian sengketa ke
dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat, baik ke pengadilan atau ke
badan arbitrase.
Yang menjadi dasar
hukum bagi forum atau badan penyelesaian sengketa yang akan menangani sengketa
adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan inilah hukum. Kesepakatan tersebut
diletakkan baik pada waktu kontrak ditandatangani atau setelah sengketa timbul.
Biasanya pula
kelalaian para pihak untuk menentukan forum ini akan berakibat pada kesulitan
dalam penyelesaian sengketanya. Karena, dengan adanya kekosongan pilihan forum
tersebut akan menjadi alasan yang kuat bagi setiap forum untuk menyatakan dirinya
berwewenang untuk memeriksa suatu sengketa. Pada umumnya di samping menyepakati
lembaga atau forum yang akan menyelesaikan sengketa, para pihak perlu juga
menyepakati hokum apa yang akan diterapkan oleh badan peradilan yang baru
disepakati para pihak.
Lazimnya dalam
sistem hukum (Common Law) dikenal dengan konsep 'long arm'
jurisdiction. Dengan konsep ini, pengadilan dapat menyatakan kewenangannya
untuk menerima setiap sengketa yang dibawa ke hadapannya meskipun hubungan
antara pengadilan dengan sengketa tersebut tipis sekali. Misalnya, badan
peradilan di Amerika Serikat dan Inggris kerapkali selalu menerima sengketa yang
para pihak serahkan kehadapannya meskipun hubungan atau keterkaitan sengketa
dengan badan peradilan sangatlah kecil.
Misalnya, pihak
termohon memiliki usaha di Amerika Serikat atau dalam kontrak tersebut secara
tegas atau diam-diam mengacu kepada salah satu negara bagian Amerika Serikat
atau hukum Inggris.
Di samping forum pengadilan atau badan
arbitrase, para pihak dapat pula menyerahkan sengketanya kepada cara alternatif
penyelesaian sengketa, yang lazim dikenal sebagai ADR (alternative dispute
resolution) atau APS (alternatif penyelesaian sengketa).
Pengaturan
alternatif di sini dapat berupa cara altrnatif di samping pengadilan. Bisa juga
berarti alternatif penyelesaian secara umum, yaitu berbagai alternatif
penyelesaian sengketa yang para pihak dapat gunakan, termasuk alternatif
penyelesaian melalui pengadilan. Biasanya pula dalam klausul tersebut
dimasukkan atau dinyatakan pula hukum yang akan diterapkan oleh badan
penyelesaian sengketa. Bandingkan pula dengan prinsip hukum di Indonesia, bahwa
badan peradilan tidak boleh menolak setiap sengketa yang dibawa ke hadapannya. Kata
alternatif mencakup semua alternatif penyelesaian sengketa yang dapat digunakan
para pihak, termasuk di dalamnya pengadilan.
B. Para Pihak dalam Sengketa
Bab 3 memuat
beberapa stake-holders atau subyek hukum dalam hukum perdagangan
internasional, yaitu negara, perusahaan atau individu, dll. Dalam uraian
berikut, para pihak yang menjadi pembahasan dibatasi pada pihak pedagang (badan
hukum atau individu) dan negara. Karena sifat dari hukum perdagangan internasional
adalah lintas batas, pembahasan pun dibatasi hanya antara 1) pedagang dan
pedagang; dan 2) Pedagang dan negara asing.
Ad. 1. Sengketa antara pedagang dan pedagang.
Sengketa antara dua
pedagang adalah sengketa yang sering dan paling banyak terjadi. Sengketa
seperti ini terjadi hampir setiap hari. Sengketanya diselesaikan melalui
berbagai cara. Cara tersebut semuanya bergantung pada kebebasan dan kesepakatan
para pihak. Kesepakatan dan kebebasan akan pula menentukan forum pengadilan apa
yang akan menyelesaian sengketa mereka. Kesepakatan dan kebebasan pula yang
akan menentukan hukum apa yang akan diberlakukan dan diterapkan oleh badan
pengadilan yang mengadili sengketanya. Kesepakatan dan kebebasan para pihak
adalah esensil. Hukum menghormati kesepakatan dan kebebasan tersebut. Sudah
barang tentu, kesepakatan dan kebebasan tersebut ada batas-batasnya. Biasanya
batas-batas tersebut adalah tidak melanggar UU dan ketertiban umum.
Ad.2. Sengketa antara pedagang dan negara asing
Sengketa antara
pedagang dan negara juga bukan merupakan kekecualian. Kontrak-kontrak dagang
antara pedagang dan Negara sudah lazim ditandatangani. Kontrak-kontrak seperti
ini biasanya dalam jumlah (nilai) yang relatif besar. Termasuk di dalamnya adalah
kontrak-kontrak pembangunan (development contracts). Misalnya, kontrak
di bidang pertambangan. Yang menjadi masalah adalah adanya konsep imunitas Negara
yang diakui hukum internasional. Dengan adanya konsep imunitas inilah yang
sedikit banyak berpengaruh terhadap keputusan pedagang untuk menentukan
penyelesain sengketanya. Masalah utamnya adalah dengan adanya konsep imunitas
ini, suatu negara dalam situasi apapun, tidak akan pernah dapat diadili di
hadapan badan-badan peradilan asing. Namun demikian hukum internasional
ternyata fleksibel. Hukum internasional tidak semata-mata mengakui atribut
negara sebagai subyek hukum internasional yang sempurna (par excellence).
Hukum internasional menghormati pula individu (pedagang) sebagai subyek hukum
internasional terbatas.
Karena itu dalam
hukum internasional berkembang pengertian jure imperii dan jure
gestiones. Yang pertama adalah tindakan-tindakan negara di bidang publik
dalam kapasitasnya sebagai suatu negara yang berdaulat. Karena itu
tindakan-tindakan seperti itu tidak akan pernah dapat diuji atau diadili di
hadapan badan peradilan. Konsep kedua, jure gesiones, yaitu
tindakan-tindaka negara di bidang keperdataan atau dagang. Karena itu,
tindakan-tindakan seperti itu tidak lain adalah tindakan-tindakan negara dalam kapasitasnya
seperti orang-perorangan (pedagang atau privat). Sehingga tindakan-tindakan
seperti itu dapat dianggap sebagai tindakan-tindakan sebagaimana layaknya para
pedagang biasa. Karena itu tindakan-tindakan seperti itu yang kemudian
menimbulkan sengketa, dapat saja diselesaikan di hadapan badan-badan peradilan umum,
arbitrase, dll. Sebaliknya negara-negara yang mengajukan bantahannya bahwa suatu
badan peradilan tidak memiliki jurisdiksi untuk mengadili negara sebagai pihak
dalam sengketa bisnis, biasanya ditolak.
C. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa
Dalam hukum
perdagangan internasional, dapat dikemukakan di sini prinsip-prinsip mengenai
penyelesaian sengketa perdagangan internasional.
1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak
(Konsensus)
Prinsip kesepakatan
para pihak merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian sengketa
perdagangan internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar untuk dilaksanakan
atau tidaknya suatu proses penyelesaian sengketa. Prinsip ini pula dapat
menjadi dasar apakah suatu proses penyelesaian sengketa yang sudah berlangsung
diakhiri. Jadi prinsip ini sangat esensial. Badan-badan peradilan (termasuk arbitrase)
harus menghormati apa yang para pihak sepakati.
Termasuk dalam lingkup pengertian kesepaktan
ini adalah:
(1) bahwa salah satu pihak atau kedua belah
pihak tidak berupaya menipu, menekan atau menyesatkan pihak lainnya;
(2) bahwa perubahan atas kesepakatan harus
berasal dari kesepakatan kedua belah pihak. Artinya, pengakhiran kesepakatan
atau revisi terhadap muatan kesepakatan harus pula berdasarkan pada kesepakatan
kedua belah pihak.
2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara
Penyelesaian Sengketa
Prinsip penting
kedua adalah prinsip dimana para pihak memiliki kebebasan penuh untuk
menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan (principle
of free choice of means). Prinsip ini termuat antara lain dalam Pasal 7 The
UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration. Pasal ini memuat
definisi mengenai perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa ke
suatu badan arbitrase. Menurut pasal ini
penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian
para pihak. Artinya, penyerahan suatu sengketa ke badan arbitrase haruslah
berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk memilihnya.
3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
Prinsip penting
lainnya adalah prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa
yang akan diterapkan (bila sengketanya diselesaikan) oleh badan peradilan
(arbitrase) terhadap pokok sengketa. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum
ini termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et
bono).
Yang terakhir ini
adalah sumber di mana pengadilan akan memutus sengketa berdasarkan
prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan suatu penyelesaian sengketa.
Contoh kebebasan memilih ini yang harus dihormati oleh badan peradilan adalah
pasal 28 ayat (1) UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration:
“The arbitral tribunal shall decide the dispute in accordance with
such rules of law as are chosen by the parties as applicable to the
substance of the dispute. Any designation of the law or legal system of
a given State shall be construed, unless otherwise expressed, as
directly referring to the substantive law of that State and not to its
conflict of laws rules.”
Pasal 1338 KUH
Perdata Indonesia. Pasal 7 UNCITRAL Model Law on International Commercial
Arbtration: “Arbitration Agreement” is an agreement by the parties to submit
to arbitration all or certain disputes which have arisen or which may arise between
them in respect of a defined legal relationship , whether contractual or not.
An arbitration agreement may be in the form of an arbitration clause in a
contract or in the form of a separate agreement.’
4. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)
Prinsi itikad baik
dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral dalam
penyelesaian sengketa. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad
baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketanya. Dalam penyelesaian
sengketa, prinsip ini tercemin dalam dua tahap. Pertama, prinsip itikad
baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat
mempengaruhi hubungan-hubungan baik di antara negara.
Kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan
sengketanya melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum
(perdagangan) internasional, yakni negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase,
pengadilan atau cara-cara pilihan para pihak lainnya.
5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies
Prinsip Exhaustion
of Local Remedies sebenarnya semula lahir dari prinsip hukum kebiasaan
internasional. Dalam upayanya merumuskan pengaturan mengenai prinsip ini,
Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commission) memuat
aturan khusus mengenai prinsip ini dalam pasal 22 mengenai ILC Draft Articles
on State Responsibility. Pasal 22 ini menyatakan sebagai berikut: “When
the conduct of a State has created a situation not in conformity with the
result of it by an international obligation concerning the treatment too be
accorded to aliens, whether natural or juridical persons, but the obligation
allows that this or an equivalent result may nevertheless be achieved by
subsequent conduct of the State, there is a breach of the obligation only if
the aliens concerned have exhausted the effective local remedies available to
them without obtaining the treatment called for by the obligation or, where
that is not possible, an equivalent treatment.”
Menurut prinsip
ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum para pihak mengajukan
sengketanya ke pengadilan internasional, maka langkah-langkah penyelesaian
sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional suatu negara harus terlebih
dahulu ditempuh (exhausted). Dalam sengketa the Interhandel Case (1959),
Mahkamah Internasional menegaskan: "Before resort may be had to an
international court... the state where the violation occured should have an
opportunity to redress it by its own means, within the framework of it’s own
domestic legal system."
D. Forum Penyelesaian Sengketa
Forum penyelesaian
sengketa dalam hukum perdagangan internasional pada prinsipnya juga sama dengan
forum yang dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa (internasional) pada
umumnya.
Forum tersebut adalah negosiasi, penyelidikan
fakta-fakta (inquiry), mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian
melalui hukum atau melalui pengadilan, atau cara-cara penyelesaian sengketa
lainnya yang dipilih dan disepakati para pihak.
Cara-cara sengketa
di atas telah dikenal dalam berbagai negara dan sistem hukum di dunia.
Cara-cara tersebut dipandang sebagai bagian integral dari penyelesaian sengketa
yang diakui dalam sistem hukumnya. Misalnya, hukum nasional RI yang dapat ditemukan
dalam pasal 6 UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Negara lainnya adalah Amerika Serikat, Inggris dan
Australia. Berikut adalah uraian singkat mengenai forum-forum tersebut. Tidak
semua forum dibahas, tetapi akan dibatasi pada negosiasi, mediasi, konsiliasi,
pengadilan dan arbitrase. Sedangkan penyelidikan fakta (inquiry) atau
cara-cara lainnya yang para pihak sepakati tidak termasuk dalam bahasan.
1. Negosiasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa
yang paling dasar dan yang paling tua digunakan. Penyelesaian melalui negosiasi
merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan setiap hari
oleh negosiasi ini tanpa adanya publisitas atau menarik perhatian publik. Alasan
utamanya adalah karena dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur
penyelesaian sengketanya. Setiap penyelesaiannya pun didasarkan pada
kesepakatan atau consensus para pihak. Senada dengan itu Kohona mengatakan
bahwa negosiasi adalah "an efficacious means of settling disputes
relating to an agreement, because they enable parties to arrive at conclusions having
regard to the wishes of all the disputants."
Kelemahan utama
dalam penggunaan cara ini dalam menyelesaikan sengketa adalah: pertama,
manakala para pihak berkedudukan tidak seimbang. Salah satu pihak kuat, yang
lain lemah. Dalam keadaan ini, salah satu pihak kuat berada dalam posisi untuk
menekan pihak lainnya. Hal ini acapkali terjadi manakala dua pihak bernegosiasi
untuk menyelesaikan sengketanya di antara mereka.
Kelemahan kedua adalah bahwa proses
berlangsungnya negosiasi acapkali lambat dan bisa memakan waktu lama. Ini
terutama karena sulitnya permasalahan-pemasalahan yang timbul di antara para pihak.
Selain itu jarang sekali adanya persyaratan penatapan batas waktu bagi para
pihak untuk menyelesaian sengketanya melalui negosiasi ini.
Kelemahan ketiga,
adalah manakala suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya. Keadaan ini
dapat mengakibatkan proses negosiasi ini menjadi tidak produktif. Mengenai
pelaksanaan negosiasi, prosedur-prosedur yang terdapat di dalamnya perlu
dibedakan sebagai berikut: pertama, negosiasi digunakan manakala suatu sengketa
belum lahir (disebut pula sebagai konsultasi); dan kedua, negosiasi digunakan
manakala suatu sengketa telah lahir, maka prosedur negosiasi ini merupakan proses
penyelesaian sengketa oleh para pihak (dalam arti negosiasi).
2. Mediasi
Mediasi adalah
suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Ia bisa individu (pengusaha) atau
lembaga atau organisasi profesi atau dagang. Mediator ikut serta secara aktif
dalam proses negosiasi. Biasanya ia dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral
berupa mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa.
Usulan-usulan
penyelesaian melalui mediasi dibuat agak tidak resmi (informal). Usulan ini
dibuat berdasarkan informasi-informasi yang diberikan oleh para pihak. Bukan
atas penyelidikannya. Jika usulan tersebut tidak diterima, mediator masih dapat
tetap melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Karena
itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi
(penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati para pihak serta
membuat usulah-usulan yang dapat mengakhiri sengketa.
Seperti halnya
dalam negosiasi, tidak ada prosedur-prosedur khusus yang harus ditempuh dalam
proses mediasi. Para pihak bebas menentukan prosedurnya. Yang penting adalah
kesepakatan para pihak mulai dari proses (pemilihan) cara mediasi, menerima
atau tidaknya usulah-usulan yang diberikan oleh mediator, sampai kepada pengakhiran
tugas mediator.
Gerald Cooke menggambarkan kelebihan mediasi
ini sebagai berikut: Di Indonesia cara mediasi juga cukup aktif diterapkan
untuk sengketa-sengketa bisnis khususnya oleh pengadilan dan badan arbitrase.
Dalam pengadilan dan “Where mediation is successfully used, it generally
provides a quick, cheap and effective result. It is clearly appropriate,
therefore, to consider providing for mediation or other alternative dispute
resolution techniques in the contractual dispute resolution clause.”
Cooke juga dengan
benar mengingatkan bahwa penyelesaian melalui mediasi ini tidaklah mengikat.
Artinya, para pihak meski telah sepakat untuk menyelesaikan senketanya melalui
mendiasi, namun mereka tidak wajib atau harus menyelesaikan sengketanya melalui
mediasi.
Manakala para pihak
gagal menyelesaikan sengketanya melalui mediasi, mereka masih dapat menyerahkan
ke forum yang mengikat yaitu penyelesaian melalui hukum, yaitu pengadilan atau
arbitrase.
arbitrase, adalah suatu ‘kewajiban’ bagi
hakim dan arbiter untuk menawarkan terlebih dahulu kepada para pihak yang
bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase. Mediasi juga
aktif diperkenalkan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa lingkungan antara pengusaha
dan penduduk setempat.
3. Konsiliasi
Konsiliasi memiliki
kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untuk
menyelesaikan sengketanya secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit untuk
dibedakan. Istilahnya acapkali digunakan dengan bergantian. Namun menurut Behrens,
ada perbedaan antara kedua istilah ini: konsiliasi lebih formal daripada
mediasi.
Konsiliasi bisa
juga diselesaikan oleh seroang individu atau suatu badan yang disebut dengan
badan atau komisi konsiliasi. Komisi konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau
ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan-persyaratan penyelesaian
yang diterima oleh para pihak. Namun putusannya tidaklah mengikat para pihak.
Persidangan suatu
komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap: tahap tertulis dan tahap
lisan. Pertama, sengketa (yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada
badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari
para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa
juga diwakili oleh kuasanya.
Berdasarkan
fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau badan konsiliasi akan
menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan
usulan-usulan penyelesaian sengketanya. Sekali lagi, usulan ini sifatnya
tidaklah mengikat. Karenanya diterima tidaknya usulan tersebut bergantung
sepenuhnya kepada para pihak. Contoh komisi konsiliasi yang terlembaga adalah
badan yang dibentuk oleh Bank Dunia untuk menyelesaikan sengketa-sengketa penanaman
modal asing, yaitu the ICSID Rules of Procedure for Conciliaiton Proceedings
(Conciliaiton Rules).31 Namun dalam prakteknya, penggunaan cara ini kurang
populer.
Sejak berdiri
(1966), badan konsiliasi ICSID hanya menerima dua kasus. Kasus pertama diterima
pada 5 Oktober 1982. (Jadi selama 16 tahun kosong). Namun sebelum badan
konsiliasi terbentuk, para pihak sepakat mengakhiri persengketaannya. Kasus
kedua yaitu Tesoro Petroleum Corp. v. Government of Trinidad and Tobago diterima
tahun 1983. Kasus ini berhasil diselesaikan pada tahun 1985 setelah para pihak
sepakat untuk menerima usulan-usulan yang diberikan oleh konsiliator.
4. Arbitrase.
a. Mengapa Arbitrase Dipilih?
Arbitrase adalah
penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral. Pihak
ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase sementara (ad
hoc). Badan arbitrase dewasa ini sudah semakin populer. Dewasa ini
arbitrase semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa dagang
nasional maupun internasional.
Adapun alasan utama mengapa badan arbitrase
ini semakin banyak dimanfaatkan adalah sebagai berikut:
(1) kelebihan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase yang pertama dan terpenting adalah penyelesaiannya yang relatif lebih
cepat daripada proses berperkara melalui pengadilan. Dalam arbitrase tidak
dikenal upaya banding, kasasi atau peninjauan kembali seperti yang kita kenal
dalam sistem peradilan kita. Putusan arbitrase sifatnya final dan mengikat.
Kecepatan penyelesaian ini sangat dibutuhkan oleh dunia usaha.
(2) Keuntungan lainnya dari penyelesaian
sengketa melalui arbitrase ini adalah sifat kerahasiaannya. Baik kerahasiaan
mengenai persidangannya maupun kerahasiaan putusan arbitrasenya.
(3) Dalam penyelesaian melalui arbitrase,
para pihak memiliki kebebasan untuk memilih ‘hakimnya’ (arbiter) yang menurut mereka
netral dan akhli atau spesialis mengenai pokok sengketa yang mereka hadapi.
Pemilihan arbiter sepenuhnya berada pada kesepakatan para pihak. Biasanya
arbiter yang dipilih adalah mereka yang tidak saja ahli tetapi juga ia tidak
selalu harus ahli hukum. Bisa saja ia menguasai bidang-bidang lainnya. Ia bisa
insinyur, pimpinan perusahaan (manajer), ahli asuransi, ahli perbankan, dll.
(4) Keuntungan lainnya dari badan arbitrase
ini adalah dimungkinkannya para arbiter untuk menerapkan sengketanya berdasarkan
kelayakan dan kepatutan (apabila memang para pihak menghendakinya).
(5) Dalam hal arbitrase internasional,
putusan arbitrasenya relative lebih dapat dilaksanakan di negara lain
dibandingkan apabila sengketa tersebut diselesaikan melalui misalnya
pengadilan. Hal ini dapat terwujud antara lain karena dalam lingkup arbitrase internasional
ada perjanjian khusus mengenai hal ini, yaitu Konvensi New York 1958 mengenai
Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
b. Perjanjian Arbitrase
Dalam praktik,
biasanya penyerahan sengketa ke suatu badan peradilan tertentu, termasuk
arbitrase, termuat dalam klausul penyelesaian sengketa dalam suatu kontrak.
Biasanya judul klausul tersebut ditulis secara langsung dengan ‘Arbitrase’.
Kadang-kadang istilah lain yang digunakan adalah ‘choice of forum’ atau
‘choice of jurisdiction’.
Kedua istilah
tersebut mengandung pengertian yang agak berbeda. Istilah choice of forum berarti
pilihan cara untuk mengadili sengketa, dalam hal ini pengadilan atau badan
arbitrase. Istilah choice of jurisdiction berarti pilihan tempat dimana pengadilan
memiliki kewenangan untuk menangani sengketa. Tempat yang dimaksud misalnya
Inggris, Belanda, Indonesia, dll.
Penyerahan suatu
sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu submission
clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir.
Alternatif lainnya, atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian
sebelum sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause).
Baik submission
clause atau arbitration clause harus tertulis. Syarat ini sangat
esensial. Sistem hukum nasional dan internasional mensyaratkan ini sebagai
suatu syarat utama untuk arbitrase. Dalam hukum nasional kita, syarat ini
tertuang dalam pasal 1 (3) UU Nomor 3 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam instrumen hukum internasional, termuat
dalam Pasal 7 ayat (2) UNCITRAL Model Law on International Commercial
Arbitration 1985, atau pasal II Konvensi New York 1958. Yang perlu
ditekankan di sini adalah bahwa klausul arbitrase melahirkan jurisdiksi
arbitrase. Artinya, klausul tersebut memberi kewenangan kepada arbitrator untuk
menyelesaikan sengketa. Apabila pengadilan menerima suatu sengketa yang di
dalam kontraknya terdapat klausul arbitrase, maka pengadilan harus menolak
untuk menangani sengketa.
c. Lembaga-lembaga Arbitrase
Pasal II ayat (3) Konvensi
1958 ini dipandang penting mengingat ketentuan ini dibuat sudah cukup relatif
lama (sejak 1958). Pengakuan kewenangan arbitrase ini dalam suatu klausul
arbitrase ini berbunyi sebagai berikut: “3. The court of a Contracting
State, when seized of an action in a matter in respect of which the parties
have made an agreement within the meaning of this article, shall, at the
request of one of the parties, refer the parties to arbitration, unless it finds
that the said agreement is null and void, inoperative or incapable of being
performed.”
Peran arbitrase
difasilitasi oleh adanya lembaga-lembaga arbitrase internasional terkemuka.
Badan-badan tersebut misalnya adalah the London Court of International
Arbitration (LCIA), the Court of Arbitration of the International
Chamber of Commerce (ICC) dan the Arbitration Institute of the Stockholm
Chamber of Commerce (SCC). Di samping kelembagaan, pengaturan arbitrase
sekarang ini ditunjang pula oleh adanya sutau aturan berabitrase yang menjadi acuan
bagi banyak negara di dunia, yaitu Model Law on International Commercial
Arbitration yang dibuat oleh the United Nations Commission on International
Trade Law (UNCITRAL).
5. Pengadilan (Nasional dan Internasional)
Metode yang
memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa selain cara-cara tersebut di atas
adalah melalui pengadilan nasional atau internasional. Penggunaan cara ini
biasanya ditempuh apabila cara-cara penyelesaian yang ada ternyata tidak
berhasil. Penyelesaian sengketa dagang melalui badan peradilan biasanya hanya
dimungkinkan manakala para pihak sepakat. Kesepakatan ini tertuang dalam
klausul penyelesaian sengketa dalam kontrak dagang para pihak. Dalam klausul
tersebut biasanya ditegaskan bahwa manakala timbul sengketa dari hubungan
dagang mereka, maka mereka sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada suatu
pengadilan (negeri) suatu negara tertentu.
Kemungkinan kedua,
para pihak dapat menyerahkan sengketanya kepada badan pengadilan internasional.
Salah satu badan peradilan yang menangani sengketa dagang ini misalnya saja
adalah WTO. Namun perlu ditekankan di sini, WTO hanya menangani sengketa antar negara
anggota WTO. Umumnya pun sengketanya lahir karena adanya suatu pihak (pengusaha
atau negara) yang dirugikan karena adanya kebijakan perdagangan negara lain
anggota WTO yang merugikannya. Alternatif badan peradilan lain adalah Mahkamah
Internasional (International Court of Justice). Namun penyerahan
sengketa ke Mahkamah Internasional, menurut hasil pengamatan beberapa sarjana, kurang
begitu diminati oleh negara-negara. Sebagai ilustrasi adalah peranan Mahkamah
Internasional (the International Court of Justice). Peranan Mahkamah
dalam menyelesaikan sengketa-sengketa ekonomi (termasuk perdagangan), menurut
Mann, sangatlah 'suram'. Selama berdiri (sejak 1945) sampai tulisan ini dibuat,
Mahkamah Internasional hanya mengadili 2 kasus di bidang ekonomi internasional,
yakni the ELSI Case antara Amerika Serikat melawan Italia, dan the
Barcelona Traction Case antara Belgia melawan Spanyol. Sengketa The
Barcelona Traction adalah sengketa terkenal.
Dalam sengketa ini
sebuah perusahaan Kanada, Barcelona Traction, Light and Power, Co.,
didirikan pada tahun 1911. Perusahaan ini mengoperasilan pembangunan dan
pengadaan tenaga listrik di Spanyol. Pada tahun 1968, pengadilan Spanyol
memutuskan perusahaan tersebut pailit. Keputusan ini ditindak-lanjuti oleh
serangkaian tindakan dalam rangka kepailitan tersebut. Pemerintah Kanada kemudian
turut campur dalam sengketa ini dalam upayanya melindungi kepentingan warga
negaranya. Masalahnya menjadi rumit karena ternyata pemegang saham mayoritas
dalam perusahaan tersebut dimiliki warga negara Belgia, yaitu sebesar 88 %.
Pemerintah Belgia dalam upaya melindungi warga negaranya yang dirugikan oleh tindakan
pemerintah Spanyol itu membawa sengketanya ke Mahkamah Internasional. Spanyol
menolak gugatan pemerintah Belgia dengan dalil bahwa Belgia tidak memiliki
dasar hukum yang sah (locus standi) untuk membawa kasus ini. Dalam
putusannya, Mahkamah Internasional setuju dengan Spanyol. Alasan F.A. Mann
menyatakan 'hasil kerja' Mahkamah Internasional ini 'suram', pada dasarnya
karena dua alasan.
Pertama, kurang
adanya penghargaan terhadap fakta-fakta spesifik mengenai duduk perkaranya.
Kedua, kurangnya keahlian atau kemampuan Mahkamah pada
permasalahan-permasalahan bidang (hukum) ekonomi atau perdagangan
internasional. Selain itu, pengadilan-pengadilan permanen internasional ini juga
jurisdiksinya kadangkala terbatas hanya kepada negara saja, misalnya Mahkamah
Internasional. Sedangkan kegiatan-kegiatan atau hubungan-hubungan perdagangan
internasional dewasa ini peranan subyek-subyek hukum perdagangan internasional
non-negara juga penting.
Bentuk kedua adalah
pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus. Dibandingkan dengan pengadilan
permanen, pengadilan ad hoc atau khusus ini lebih populer, terutama dalam
kerangka suatu organisasi perdagangan internasional. Badan pengadilan ini
berfungsi cukup penting dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul dari perjanjian-perjanjian
perdagangan internasional. Contoh yang menonjol adalah peranan badan-badan
pengadilan khusus dalam kerangka GATT (kemudian digantikan oleh WTO), yakni dengan
adanya badan-badan panel yang menyelesaikan sengketa-sengketa ekonomi internasional
antar negara-negara anggota GATT/WTO. Faktor penting yang mendorong
negara-negara untuk menyerahkan sengketanya kepada badan-badan peradilan
seperti ini adalah karena hakim-hakimnya yang tidak harus seorang ahli hukum.
Ia bisa saja seorang ahli atau spesialis mengenai pokok sengketa. Kedua, adanya
perasaan dari sebagian besar negara yang kurang percaya kepada suatu badan
peradilan (internasional) yang dianggap kurang tepat untuk menyelesaikan
sengketa-sengketa dalam bidang perdagangan internasional.
E. Hukum Yang Berlaku
1. Pengantar
Masalah hukum yang
akan diberlakukan atau diterapkan oleh badan peradilan termasuk arbitrase
adalah salah satu masalah krusial dalam hukum kontrak internasional, termasuk
dalam hukum perdagangan internasional. Masalahnya adalah hukum yang berlaku ini
menjadi penentu kepastian hukum terutama bagi badan peradilan bahwa ia telah menerapkan
hukumnya dengan benar. Dalam hal ini, badan peradilan tidak mengambil jalan
pintas dalam menerapkan suatu hukum terhadap suatu sengketa yang dibawa ke
hadapannya.
Perlu ditegaskan di
sini bahwa pilihan hukum (choice of law, proper law atau applicable
law) suatu hukum nasional dari suatu negara tertentu tidak berarti bahwa
badan peradilan negara tesebut secara otomatis yang berwenang menyelesaikan
sengketanya. Yang terakhir ini disebut juga choice of forum. Artinya, choice
of law tidak sama dengan choice of forum. Peran choice of
law di sini adalah hukum yang akan digunakan oleh badan peradilan
(pengadilan atau arbitrase) untuk:
(1) menentukan keabsahan suatu kontrak
dagang;
(2) menafsirkan suatu kesepakatan-kesepakatan
dalam kontrak;
(3) menentukan telah dilaksanakan atau tidak
dilaksanakannya suatu prestasi (pelaksanaan suatu kontrak dagang); dan
(4) menentukan akibat-akibat hukum dari
adanya pelanggaran terhadap kontrak.
Tetapi perlu dicatat di sini bahwa praktek
negara (badan peradilannya) berbeda mengenai pandangannya terhadap choice of
law dan choice of forum ini. Di Inggris dan Wales, pemilihan suatu
hukum tertentu, dalam hal ini hukum Inggris atau Wales, mensyaratkan jurisdiksi
pengadilan tersebut untuk mengadili suatu sengketa. Dasarnya dalah bahwa para
pihak dianggap secara diam-diam telah memilih jurisdiksi (keweangan badan
peradilan Inggris atau Wales) dengan memilih hukum Inggris atau hukum Wales
untuk mengatur kontraknya.
Hukum yg akan
berlaku ini dapat mencakup beberapa macam hukum. Hukum-hukum tsb adalah:
(1) hukum yang akan diterapkan terhadap pokok
sengketa (applicable substantive law atau lex causae);
(2) hukum yang akan berlaku untuk persidangan
(procedural law);
Hukum yang akan
berlaku akan sedikit banyak bergantung pada kesepakatan para pihak. Hukum yang
akan berlaku tersebut dapat berupa hukum nasional suatu negara tertentu.
Biasanya hokum nasional tersebut ada atau terkait dengan nasionalitas salah
satu pihak. Cara pemilihan inilah yang lazim diterapkan dewasa ini. Apabila
salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak sepakat mengenai salah satu hukum
nasional tersebut, biasanya kemudian mereka akan berupaya mencari hukum nasional
yang relatif lebih netral. Alternatif lainnya yang memungkinkan dalam hukum
perdagangan internasional adalah menerapkan prinsip-prinsip kepatutan dan kelayakan
(ex aequo et bono). Namun demikian penerapan prinsip ini pun harus
berdasarkan pada kesepakatan para pihak.
2. Kebebasan Para Pihak
Di atas telah
dikemukakan bahwa dalam menentukan hukum yang akan berlaku, prinsip yang
berlaku adalah kesepakatan para pihak yang didasarkan pada kebebasan para pihak
dalam membuat perjanjian atau kesepakatan (party autonomy). Kebebasan
para pihak ini tampaknya sudah menjadi prinsip hukum umum. Artinya, hampir
setiap sistem hukum di dunia, yaitu Common Law, Civil Law, dll., mengakui
eksistensinya.
Bahkan, praktek
para pelaku bisnis atau pedagang melihat prinsip kebebasan para pihak untuk
menetapkan aturan-aturan dagang yang berlaku di antara mereka, merupakan suatu
prinsip yang telah terkristalisasi. Prinsip inilah yang antara lain melahirkan prinsip
atau doktrin lex mercatoria.
Kebebasan dalam memilih hukum yang berlaku
ini (lex causae) sudah barang tentu ada batas-batasnya. Yang paling umum
dikenal adalah bahwa kebebasan memilih hukum tersebut adalah:
(1) tidak bertentangan dengan UU atau
ketertiban umum;
(2) kebebasan tersebut harus dilaksanakan
dengan itikad baik;
(3) hanya berlaku untuk hubungan dagang;
(4) hanya berlaku dalam bidang hukum kontrak
(dagang);
(5) tidak berlaku untuk menyelesaikan
sengketa tanah; dan
(6) tidak untuk menyelundupkan hukum.
Menurut Cooke,
kebebasan para pihak ini pun akan banyak dipengaruhi oleh sistem hukum nasional
yang akan dipilih (baik oleh salah satu pihak atau kedua pihak). Tidak sekedar
hanya menentukan hukum suatu negara, tetapi juga mempertimbangkan apakah hukum
di negara tersebut konsisten atau tidak. Artinya, apakah hukum di sesuatu
negara tertentu sering berubah-ubah tidak. Gerald Cooke dengan tepas menyatakan
sebagai berikut: “The significance of needing to provide for the 'proper'
law is that the parties will frequently prefer to have their disputes dealt
with by a legal system which is perhaps independent of each of the parties or
which is recognised to have highly sophisticated and consistent trading laws.”
Dalam hukum
nasional Indonesia mengenai arbitrase, yaitu UU Nomor 30 tahun 1999 mengenai
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hukum yang akan diberlakukan
oleh para pihak diserahkan sepenuhnya kepada mereka. Pasal 56 UU tersebut
menyatakan:
(1) Arbiter atau majelis arbitrase mengambil
putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan.
(2) Para pihak berhak menentukan pilihan
hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin telah
timbul antara para pihak.
Model
Arbitration Law 1985
juga menghormati kebebasan para pihak untuk memilih hukum yang akan berlaku.
Pasal 28 Model Law menggariskan sebagai berikut:
(1) The arbitral tribunal shall decide the
dispute in accordance with such rules of law as are chosen by the parties as
applicable to the substance of the dispute. Any designation of the law or legal
system of a given State shall be construed, unless otherwise expressed, as
directly referring to the substantive law of that State and not to it’s conflict
of laws rules.
(2) Failing any designation by the parties,
the arbitral tribunal shall apply the law determined by the conflict of laws
rules which it considers applicable.
(3) The arbitral tribunal shall decide ex
aequo et bono or amiable compositeur only if the parties expressly
authorized to do so.
(4) In all cases, the arbitral tribunal shall
decide in accordance with the terms of the contract and shall take into account
the usages of the trade applicable to the transaction.
Dari kedua
instrumen hukum di atas, terdapat beberapa catatan pinggir yang cukup penting. Pertama,
yang menonjol adalah bahwa kedua instrumen berbeda di dalam hal prioritas
pengaturan mengenai hukum yang berlaku terhadap kontrak. UU Nomor 30 tahun 1999
menekankan bahwa arbitrator atau badan arbitrase harus menyandarkan pada hukum
untuk mengambil putusan. Pasal ini tidak menentukan atau mensyaratkan bahwa
hukum yang akan diterapkan tersebut haruslah pilihan hukum para pihak.
Sedangkan Model Law dengan tegas menyatakan bahwa badan arbitrase harus
menerapkan hukum yang dipilih para pihak. Tampaknya, ketentuan UU Nomor 30 tahun
1999 ini perlu disempurnakan dengan mengacu atau mencantumkan klausul Model
Law ini.
Kedua, UU Nomor 30 tahun 1999 membolehkan
arbitrator atau badan arbitrase untuk menerapkan ex aequo et bono (pasal
56 ayat 1). Ketentuan yang sama dalam Model Law tercantum dalam pasal 28
ayat 3. Bedanya adalah, UU nasional kita tidak tegas bahwa penerapan keadilan
dan kepatutan ini hanya akan boleh dilakukan apabila para pihak dengan tegas
diperintahkan oleh para pihak. Penjelasan pasal 56 hanya menyebut: 'Dalam
hal arbiter diberi kebebasan...'). Rumusan ini tidak tegas siapa yang member
kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan.
Ketiga, adalah masalah manakala para pihak tidak memilih hukum yang akan
berlaku terhadap kontrak. Dalam hal ini, UU nasional kita dan Model Law memuat
aturan yang berbeda. UU nasional kita tampaknya menganut jalan pintas.
Penjelasan pasal 56 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
menyebutkan, apabila para pihak tidak menentukan pilihan hukum, maka arbitrator
atau badan arbitrase harus menerapkan hukum tempat arbitrase dilakukan. Sedangkan
Model Law menyatakan bahwa apabila para pihak tidak memilih hukum, maka
badan arbitrase atau arbitrator harus mengacu kepada hukum yang ditentukan
berdasarkan aturan-aturan hukum perdata internasional (conflict of laws
rules) yang oleh arbitrator atau badan arbitrase dianggap berlaku.
F. Pelaksanaan Putusan Sengketa Dagang
1. Pengantar
Masalah pelaksanaan
putusan penyelesaian sengketa (khususnya yang dibuat di luar negeri) hingga
kini masih menjadi suatu masalah yang tidak mudah. Hal ini disebabkan karena
pihak yang kalah di dalam suatu sengketa tidak jarang merasa keberatan melaksanakan
putusan tersebut. Bersamaan dengan itu, pengadilan di dalam negeri tersebut
yang diharapkan dapat membantu proses pelaksanaan putusan ternyata kurang
memberikan respon yang konstruktif. Masalah ini pula yang saat ini menjadi ciri
utama kelemahan dari putusan-putusan penyelesaian sengketa oleh badan-badan penyelesaian
sengketa asing. Inti masalahnya adalah dilaksanakan suatu putusan mencerminkan
efektivitas suatu putusan. Dalam bagian ini, uraian akan melihat secara singkat
pelaksanaan putusan dari masing-masing cara penyelesaian sengketa, yaitu
putusan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase asing dan pengadilan
(asing).
2. Pelaksanaan Putusan APS
Penyelesaian
sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa (APS) memiliki risiko yang
cukup tinggi dalam hal pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan yang
dikeluarkan. Pelaksanaan putusan melalui APS lebih banyak bergantung kepada itikad
baik para pihaknya. Hal ini semata-mata karena sifat putusannya yang sejak awal
dilandasi oleh asas konsensuil. Masalahnya akan menjadi lebih sulit apabila
putusan APS tersebut dibuat di luar negeri. Upaya pihak yang menang yang berupaya
agar putusan APS dapat dilaksanakan semakin sangat bergantung kepada itikad
baik ini. Tidak ada kepastian hukum kapan dan apakah pihak yang kalah mau
melaksanakan putusan APS tersebut.
3. Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Asing)
Pelaksanaan putusan
arbitrase asing sudah menjadi isu yang lama. Masalah ini pula yang menjadi
kelemahan utama dari cara penyelesaian melalui pengadilan atau hakim partikelir
ini. Seperti telah disebut di muka, umumnya yang menjadi kendala dalam masalah ini
adalah pelaksanaan (eksekusi) putusan oleh pihak yang kalah. Upaya masyarakat
internasional dalam mengurangi dan memperbaiki kelemahan ini telah lama
dilakukan, yaitu sejak tahun 1927. Waktu itu masyarakat internasional
mengeluarkan Konvensi Jenewa tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan
Arbitrase.
Konvensi ini
kemudian direvisi oleh Konvensi New York 1958. Sebenarnya timbulnya masalah ini
merupakan refleksi dari konvensi-konvensi internasional pada umumnya, termasuk
Konvensi New York 1958 ini. Masalahnya adalah konvensi internasional seperti
ini tidak mengatur peraturan-peraturan yang detail. Ia hanya mengatur hal-hal
pokoknya saja. Dalam lingkup nasional, Konvensi internasional ini ibarat
Undang-undang Pokok yang pelaksanaannya dijabarkan oleh Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, dan seterusnya (implementing legislation-nya).
Kalau di dalam
lingkup nasional ada hierarki pengaturan yang jelas, sebaliknya dalam lingkup
internasional tidak ada. Masing-masing negara memiliki cara melaksanakan implementing
legislationnya. Keadaan demikian jelas menambah ruwetnya masalah
pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing. Konvensi New York 1958 (Convention
on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards)
ditandatangani 10 Juni 1958 di kota New York. Konvensi New York mulai berlaku
pada 2 Juni 1959. Konvensi ini hanya mensyaratkan tiga ratifikasi agar berlaku.
Selanjutnya Konvensi akan berlaku tiga bulan sejak jumlah ratifikasi ketiga
terpenuhi.
Konvensi mengandung
16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 (lima) prinsip berikut di bawah
ini:
(1)
Konvensi
ini menerapkan prinsip pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase luar negeri
dan menempatkan putusan tersebut pada kedudukan yang sama dengan putusan
peradilan nasional.
(2)
Konvensi
ini mengakui prinsip putusan arbitrase yang mengikat tanpa perlu dicantumkan
dalam putusannya.
(3)
Konvensi
ini menghindari proses pelaksanaan ganda (double enforcement process).
(4)
Konvensi
New York mensyaratkan penyederhanaan dokumentasi yang diberikan oleh pihak yang
mencari pengakuan dan pelaksanaan putusan. Dalam hal ini Konvensi hanya
mensyaratkan dua dokumen saja untuk dapat melaksanakan suatu putusan, yaitu:
(a) Dokumen putusan atau salinannya yang sah dan (b) dokumen perjanjian arbitrase
atau salinannya yang sah (pasal IV).
(5) Konvensi New York lebih lengkap dan
komprehensif daripada hokum nasional pada umumnya. Konvensi New York di samping
mengatur pelaksanaan, juga mengatur pengakuan (recognition) terhadap suatu
putusan arbirase asing.
3. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Masalah pelaksanaan
putusan pengadilan juga masih menjadi masalah yang cukup serius. Pengadilan
adalah refleksi kedaulatan negara dalam mengadili sesuatu sengketa. Putusan
pengadilan karenanya tidak secara otomatis dapat dilaksanakan di wilayah kedaulatan
negara lain. Untuk supaya putusan tersebut dapat dilaksanakan di suatu negara
lain, ada dua kemungkinan berikut:
(1)
menyidangkan
kembali kasus tersebut dari awal sebagai suatu sengketa baru di pengadilan
tersebut (di mana putusan dimintakan pelaksanaannya);
(2)
pelaksanaan
putusan pengadilan di suatu negara dapat dilaksanakan apabila negara-negara
yang terkait (kedua negara, dimana pelaksanaa putusan dimintakan) terikat baik pada
suatu perjanjian bilateral atau perjanjian multilateral mengenai pelaksanaan
putusan pengadilan di bidang sengketa-sengketa dagang (padanan kata asingnya
yaitu sengketa-sengketa komersial).
Untuk hal yang
pertama, sudah barang tentu sulit. Prosesnya jadi panjang dan berlarut-larut.
Belum lagi pertimbangan biaya yang akan dikeluarkan untuk proses tersebut.
Biasanya proses berperkara di pengadilan di luar negeri tidaklah murah. Belum
lagi timbul ketidak-pastian apakah putusannya akan sama dengan putusan yang
dikeluarkan oleh badan peradilan sebelumnya. Untuk hal yang kedua, adalah
alternatif yang cukup layak. Sayangnya, perjanjian-perjanjian seperti ini baru
berupa perjanjian bilateral dan regional di Eropa Barat. Perjanjian bilateral
dapat ditemukan di antara negara-negara Eropa Barat dalam hal pengakuan dan
pelaksanaan putusan pengadilan secara bilateral.
a. Konvensi Brussel 1968
Perjanjian regional
di Eropa Barat mengenai pelaksanaan putusan pengadilan ini adalah the
Convention on Jurisdiction and the Enforcement of Judgment in Civil and
Commercial Matters (Konvensi Brussel), 27 september 1968. Konvensi Brussel
ini beranggotakan Belgia, Belanda, Luxembourg, Perancis, Jerman, dan Italia).
Selanjutnya negara-negara yang bergabung adalah Inggris, Irlandia, dan Denmark
(1978), Spanyol dan Portugal (26 Mei 1989).
Konvensi Brussel bertujuan:
(1)
mengatur
jurisdiksi pengadilan di negara-negara anggotanya;
(2)
memperkenalkan
prosedur sederhana untuk pengakuan dan pelaksanaan putusan; dan
(3)
mengatur
pengakuan terhadap dokumen-dokumen otentik dari negara-negara anggotanya.
b. Konvensi Lugano 1988
Konvensi kedua
yaitu the Convention on Jurisdiction and the Enforcement of Judgment in
Civil and Commercial Matters (Konvensi Lugano) ditandatangani di Lugano, 16
September 1988. Negara anggota Konvensi ini adalah 12 negara Masyarakat Eropa
dan 6 negara anggota European Free Trade Area (EFTA) yaitu Finlandia, Islandia,
Norwegia, Austria, Swedia dan Swis. Tujuan Konvensi ini adalah sama
dengan Konvensi Brussel, yaitu mendorong pengakuan dan pelaksanaan putusan
pengadilan di antara negara anggotanya. Fungsi ini umumnya berkaitan dengan hal-hal
yang tidak diatur dalam Konvensi Brussel.
G. Penutup
Dari uraian di atas
tampak bahwa hukum perdagagan internasional memberi kebebasan dan peluang yang
cukup besar kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketanya. Dalam kebebasan memilih
cara-cara penyelesaian sengketa termasuk pula kebebasan untuk memilih hukum
yang akan diterapkan untuk menyelesaikan sengketa. Untuk kedua hal ini badan
peradilan harus menghormatinya. Mengenai forum penyelesaian sengketa yang
tersedia, tampak masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahannya. Baik itu APS
atau pengadilan masing-masing memiliki cirinya. Hal inilah yang perlu
dipertimbangkan dengan seksama oleh para pihak yang hendak menyelesaikan
sengketanya.
Mengenai kebebasan
para pihak untuk menentukan hukumnya, faktor yang penting adalah kestabilan
hukum tersebut. Di dalam pengertian ini adalah pengetahuan para pihak terhadap hokum
tersebut. Selain itu pula perlu diperhatikan praktik dan pendekatan yang
diterapkan badan peradilan yang akan menyelesaikannya. Seperti diuraikan di
atas, para pihak perlu menyadari adanya praktik yang berbeda-beda antara badan
peradilan di suatu negara dengan badan peradilan di negara lainnya. Pertimbangan
penting lainnya yang justru sangat esensial adalah pertimbangan kemungkinan dapat
atau tidak dapatnya dilaksanakannya putusan (ekseskusi). Kegagalan atau
kealpaan untuk mempertimbangkan faktor ini akan membuat upaya-upaya
penyelesaian sengketa yang dipilih berdasarkan kebebasan para pihak menjadi tidak
berarti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar