Search

Total Tayangan Halaman

Kamis, 05 Juli 2012

HUKUM PERSAINGAN USAHA

Daftar Isi

Bab 1 Pengaturan Hukum Persaingan Usaha
1.1 Dasar Pikiran Pengaturan Hukum Persaingan Usaha
1.2 Kebijakan Politik Persaingan Usaha
1.3 Dasar Hukum Pengaturan Hukum Persaingan Usaha
1.4 Substansi Pengaturan Hukum Persaingan Usaha
Bab 2 Perjanjian yang Dilarang 
2.1 Pengertian Perjanjian 
2.2 Perjanjian-perjanjian yang Dilarang
2.2. 1 Perjanjian Oligopoli
2.2. 2 Perjanjian Penetapan Harga 
2.2. 3 Perjanjian Pembagian Wilayah 
2.2. 4 Pemboikotan 
2.2. 5 Kartel 
2.2. 6 Trust 
2.2. 7 Oligopsoni 
2.2. 8 Integrasi Vertikal
2.2. 9 Perjanjian Tertutup 
2.2.10 Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri 
Bab 3 Kegiatan yang Dilarang 
3.1 Pengertian Kegiatan 
3.2 Bentuk-bentuk Kegiatan yang Dilarang 
3.2 .1 Monopoli 
3.2.2 Monopsoni
3.2.3 Penguasaan Pasar
3.2.4 Dumping
3.2.5 Manipulasi Biaya
3.2.6 Persengkongkolan
Bab 4 Posisi Dominan 
4.1 Pengertian Posisi Dominan 
4.2 Bentuk-bentuk Kegiatan Posisi Dominan yang Dilarang
4.2.1 Kegiatan Posisi Dominan yang Bersifat Umum 
4.2.2 Jabatan Rangkap 
4.2.3 Penggabungan, Peleburan, dan Pengambil-alihan Badan Usaha
Bab 5 Penegakan Hukum Persaingan Usaha
5.1 Peranan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
5.1.1 Dasar Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
5.1.2 Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
5.1. 3 Susunan Organisasi dan Pembiayaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
5.1.4 Tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha
5.1.5 Wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha
5.2 Tata Cara Penanganan Perkara Penegakan Hukum Persaingan Usaha
5.3 Sanksi Penegakan Hukum Persaingan Usaha
Lampiran


Bab 1
Pengaturan Hukum Persaingan Usaha
1.1. Dasar Pikiran Pengaturan Hukum Persaingan usaha
Sebetulnya sudah sejak lama masyarakat Indonesia, khususnya para pelaku bisnis, merindukan sebuah undang-undang yang secara komprehensif mengatur persaingan sehat. Keinginan itu didorong oleh munculnya praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat, terutama karena penguasa sering memberikan perlindungan ataupun priveleges kepada para pelaku bisnis tertentu, sebagai bagian dari praktik-praktik kolusi, korupsi, kroni, dan nepotisme. Dikatakan secara komprehensif, karena sebenarnya secara pragmentaris, batasan-batasan yuridis terhadap praktik-praktik bisnis yang tidak sehat atau curang dapat ditemukan secara tersebar di berbagai hukum positif. Tetapi karena sifatnya yang sektoral, perundang-undangan tersebut sangat tidak efektif untuk (secara konseptual) memenuhi berbagai indikator sasaran yang ingin dicapai oleh undang-undang persaingan sehat tersebut (Muladi, 1998:35).
Sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur persaingan dan antimonopoli sudah sejak lama dipikirkan oleh para pakar, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, serta instansi pernerintah. Pernah suatu ketika Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1995 menelurkan konsep Rancangan Undang-undang tentang Antimonopoli. Demikian pula Departernen Perdagangan yang bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia pernah membuat naskah akademik Rancangan Undang-Undang tentang Persaingan Sehat di Bidang Perdagangan. Namun patut disayangkan karena semua usulan dan inisiatif tersebut tidak mendapat tanggapan yang positif, karena pada masa-masa itu belum ada komitmen maupun political will dari elite politik yang berkuasa untuk mengatur masalah persaingan usaha (Hikmahanto Juwana, 1999:4).
Ada beberapa alasan mengapa pada waktu itu sulit sekali suatu Undang-Undang Antimonopoli disetujui oleh Pemerintah, yaitu
1.      Pemerintah menganut konsep bahwa perusahaan-perusahaan besar perlu ditumbuhkan untuk menjadi lokomotif pembangunan. Perusahaan-perusahaan tersebut hanya mungkin menjadi besar untuk kemudian menjalankan fungsinya sebagai lokomotif pembangunan apabila diberi perlakuan khusus. Perlakuan khusus ini, dalam pemberian proteksi yang dapat menghalangi masuknya perusahaan lain dalam bidang usaha tersebut atau dengan kata lain mernberikan posisi monopoli;
2.      Pemberian fasilitas monopoli perlu ditempuh karena perusahaan itu telah bersedia menjadi pioner di sektor yang bersangkutan. Tanpa fasilitas monopoli dan proteksi, Pemerintah sulit memperoleh kesediaan investor untuk menanamkan modalnya di sektor tersebut;
3.      Untuk menjaga berlangsungnya praktik KKN demi kepentingan kroni mantan Presiden Soeharto dan pejabat-pejabat yang berkuasa pada waktu itu (Sutan Remy Sjahdeini, 2000:5).
Kebijakan pembangunan ekonomi yang kita jalankan selama tiga dasawarsa, selain menghasilkan banyak kemajuan, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, juga masih banyak melahirkan tanrangan atau persoalan pembangunan ekonomi yang belum terpecahkan. Di samping itu, ada kecenderungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990-an. Peluang-peluang usaha yang telah diciptakan oleh penguasa pada waktu itu dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapar berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan usaha swasta, di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan penguasa yang kurang tepat, sehingga pasar menjadi terdistorsi.
Di sisi lain, sebagian besar perkembangan usaha swasta pada kenyataannya merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat atau curang. Fenomena yang demikian telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan antara pengambil keputusan dan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keadaan ini makin memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang memperhatikan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 , serta cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elite kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan, sehingga menimbulkan kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan kerahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing.
Padahal dalam era pasar bebas nanti, kita dituntut untuk mampu bersaing dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Lebih ironis lagi, perilaku dari pelaku-pelaku bisnis kita, yaitu para konglomerat yang telah memperoleh perlakuan istimewa dari penguasa tersebut, ternyata sangat tidak bertanggung jawab, dan tidak mau berbuat positif untuk memperbaiki kondisi ekonomi nasional yang sangat parah. Kondisi semacam ini mengharuskan pemerintah mencari bantuan dari donor-donor lain, baik yang bersifat kolektif maupun negara per negara. Ketergantungan pada bantuan asing , ini mengharuskan pemerintah mengikuti berbagai persyaratan yang disepakati bersama; semuanya rneletakkan Indonesia pada posisi yang lemah. Walau demikian, dalam hal-hal tertentu, banyak hal yang berkaitan dengan persyaratan utang luar negeri itu yang mengandung hikmah, yaitu mengakselerasi pernbuatan undang-undang yang sebenarnya sudah lama didambakan, yang dalam kondisi normal tidak akan dibentuk dalam waktu singkat; pada umumnya ini telah terjadwal di dalam Letter / Intents antara Indonesia dengan IMF (Muladi1998:35-36).
Di samping merupakan tuntutan nasional, Undang-Undang Persaingan Usaha (Fair Competition Law) juga merupakan tuntutan atau kebutuhan rambu-rambu yuridis dalam hubungan bisnis antarbangsa. Dari sisi kehidupan nasional jelas bahwa basis kultural (asas kekeluargaan) dan konstitusional (demokrasi ekonomi) kita mernang sama sekali menolak prakrik-praktik monopolistic dalam kehidupan ekonomi yang merugikan rakyat. Dari sisi hubungan antarbangsa pun, apalagi dengan munculnya fenomena globalisasi ekonomi yang mengandung makna, semakin meningkatnya ketergantungan antarbangsa di berbagai bidang kehidupan (ekonomi), mengharuskan berbagai bangsa menaati rambu-rambu (peraturan) baku dalam bisnis antarbangsa, sebagai konsekuensi WTO, APEC, AFTA, NAFTA, EC, dan lain sebagainya (Muladi, 1998:36).
Sebab, para ahli banyak yang mengatakan, adanya kondisi persaingan (the state 0/competition) dalam pasar domestik merupakan hal yang sangat penting dari suam kebijakan publik (public policy), khususnya untuk mengukur kemampuan bangsa dalam bersaing di pasar internasional, serta untuk meyakinkan investor dan eksportir asing untuk bersaing dalam pasar domestik. Dengan demikian tujuan dari kebijakan persaingan nasional adalah untuk menciptakan dan memastikan bahwa konsep persaingan dapar dijalankan dalam kerangka ekonomi pluralistik. Konsep dasar kompetitif ini pun pada dasarnya mengandung unsur HAM yang kental, karena di dalamnya terkait "pemajuan" (promotion) dari kondisi persaingan (condition/rivalry) dan "kebebasan memilih" (freedom/choose) untuk mengurangi dan melarang konsentrasi kekuatan-kekuatan ekonomi (Muladi, 1998:36).
Untuk itulah, akhirnya harus ada campur tangan Negara (government regulation) untuk mengembangkan dan memelihara kondisi persaingan. Bahkan globalisasi menciptakan atmosfer yang kondusif untuk persaingan yang menembus batas-batas negara, yang membutuhkan harmonisasi kebijakan yang sering dinamakan "super national ofregionalstandards". Bahkan Masyarakat Ekonomi Eropa (EC) juga masih terus mengembangkan apa yang dinamakan "Minimum Competition Policy Requirements Within the Framework of the GATT". Di lingkungan ASEAN pun, tanpa mengesampingkan divergensi struktur institusional ekonomi, politik, dan sosial, para ahli sudah mulai berpikir tentang perlunya pengembangan di samping hukum persaingan nasional dan harmonisasi peraturan-peraturan komersial, termasuk hukum persaingan di antara masyarakat ASEAN (Muladi, 1998:36).
Doktrin yang berlaku pada masa lalu, yang secara absolute menyatakan bahwa hukum ekonomi itu bersifat value loaded, yang dekat dengan kondisi sosial budaya bangsa, tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan dalam kaitannya dengan proses globalisasi. Konsep harmonisasi hukum dan keberadaan fenomena internasionalisasi pasar menumbuhkan perhatian yang semakin intensif terhadap apa yang dinamakan international dimension of antitrust and the fit between competition policy and the world trading system. Dalam kerangka ini, muncul antitrust family (international) linkages of market economies (Muladi, 1998:36-37).
Beberapa negara sudah mengatur rambu-rambu persaingan usaha yang sehat dalam hukum nasional masing-masing. Amerika Serikat untuk pertama kali pada tahun 1890 telah mengatur persaingan usaha yang sehat dalam Act to Protect Trade and Commerce Against Unlawful Restraints and Monopolies (Sherman Act), yang beberapa kali telah disempurnakan, terakhir dengan Robinson Patrnan Act tahun 1936. Demikian pula di Jepang, untuk pertama kali pengaturan persaingan usaha dituangkan dalam Shiteki dokusen no kinshi oyobi kosei torihiki ni kansuru horitsu (Law concerning the prohibilition ofprivate monopoly andpreservation of fair trade), yang beberapa kali mengalami perubahan. Bagi Negara Jerman, pengaturan persaingan usaha dapat dijumpai dalam Act to Unfair Competition 1909. Negara Filipina juga telah mengatur persaingan usaha ini dalam Penal Code-nya. Sedangkan negaranegara yang tergabung dalam Masyarakat Ekonomi Eropa, sudah pasti tunduk dan rnengikuti kerentuan pengaturan hukum persaingan usaha yang telah diatur bersama dalam Treaty on the European Union. Sedangkan Indonesia, pengaturan persaingan usaha baru terwujud pada tahun 1999 saat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disahkan.
Kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut ditunjang pula dengan tuntutan masyarakat akan reformasi total dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk penghapusan kegiatan monopoli di segala sektor. Dibandingkan dengan proses pembentukan undang-undang pada umumnya, proses pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 termasuk tidak lazim. Perbedaan ini terlerak pada pihak yang mengajukan rancangan undang-undang. Selama ini dalam praktik kenegaraan kita, rancangan undang-undang disiapkan dan diajukan oleh pemerintah untuk kemudian dibahas bersama-sama DPR. Tetapi tidak demikian dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Adapun yang mempersiapkan rancangannya adalah DPR yang kemudian menggunakan hak inisiatifnya mengajukan rancangan undang-undang. Rancangan Undang-Undang ini dipersiapkan selama kurang lebih 4 bulan oleh Kelompok Kerja Program Legislasi Nasional DPR Bidang Ekonomi Keuangan dan Industri Pembangunan dengan judul Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli, tanpa ada kata-kata "Persaingan Tidak Sehat ". Sebenarnya pemerintah, dalam hal ini Departemen Perindustrian dan Perdagangan, telah mempersiapkan rancangan undang-undang yang mengatur masalah persaingan dengan judul Rancangan Undang-Undang tentang Persaingan Usaha. Kemudian Pemerintah dan DPR menyepakati Rancangan Undang-Undang yang dipersiapkan oleh DPR itulah yang digunakan (Hikrnahanto Juwana, 1999:4).
Menurut Laporan Ketua Pansus untuk mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tersebut diperlukan waktu lebih kurang 3,5 bulan dengan rneminta pandangan dan masukan dari berbagai pihak (Abdul Hakim G. Nusantara dan Benny K. Harman 1999:119). Kemudian, dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Oktober 1998 Rancangan Undang-Undang ini secara resmi dijadikan Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif DPR. Pembahasan selanjutnya dilakukan oleh suam Panitia Khusus (Abdurrahman, 2001:2).
Dari konsiderans menimbang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dapat diketahui falsafah yang melatardepani kelahirannya dan sekaligus memuat dasar pikiran perlunya disusun undang-undang tersebut. Setidaknya memuat tiga hal, yaitu
1.      Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2.      Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar;
3.      Bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak 'terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional.
Sementara itu Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga menyatakan antara lain "Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut di atas, menuntut kita untuk mencermati dan rnenata kernbali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat serta terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial. Oleh karena itu, perlu disusun undang-undang tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk meneiptakan persaingan usaha yang sehat. Undang-undang ini memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945".
Dengan demikian kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah timbulnya praktik-praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya dengan harapan dapat meneiptakan iklim usaha yang kondusif, di mana setiap pelaku usaha dapat bersaingan secara wajar dan sehat. Untuk itu diperlukan aturan hukum yang pasti dan jelas yang mengatur larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat lainnya.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagai tool/social control and a tool/social engineering. Sebagai "alat control sosial", Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berusaha menjaga kepentingan umum dan mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Selanjutnya sebagai "alat rekayasa sosial", Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berusaha untuk rneningkatkan efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, dan berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha (Ayudha D. Prayoga et al. (Ed.), 2000:52-53).
Apabila cita-cita ideal tersebut dapat dioperasionalkan dalam kehidupan nyata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 akan membawa nilai positif bagi perkembangan iklim usaha di Indonesia, yang selama ini dapat dikatakan jauh dari kondisi ideal. Sekurang-kurangnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 secara tidak langsung akan memaksa pelaku usaha untuk lebih efisien dalam mengelola usahanya, karena Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga menjamin dan memberi peluang yang besar kepada pelaku usaha yang ingin berusaha (sebagai akibat dilarangnya praktik monopoli dalam bentuk penciptaan barrier toentry). Hal ini berarti bahwa hanya pelaku usaha yang efisienlah yang dapat bertahan di pasar (Ayudha D. Prayoga et al. (Ed.), 2000:53).
Dampak positif lain dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah terciptanya pasar yang tidak terdisrorsi, sehingga menciptakan peluang usaha yang semakin besar bagi para pelaku usaha. Keadaan ini akan memaksa para pelaku usaha untuk lebih inovatif dalam menciptakan dan memasarkan produk (barang dan jasa) mereka. Jika hal ini tidak dilakukan, para konsumen akan beralih kepada produk yang lebih baik dan kompetitif. Ini berarti bahwa, secara tidak langsung Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 akan memberikan keuntungan bagi konsumen dalam bentuk produk yang lebih berkualitas, harga yang bersaing, dan pelayanan yang lebih baik. Namun perlu diingat bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bukan merupakan ancaman bagi perusahaan-perusahaan besar yang telah berdiri sebelum undang-undang ini diundangkan, selama perusahaan-perusahaan tersebut tidak melakukan praktik-praktik yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Ayudha D. Prayoga et al. (Ed.), 2000:53-54).
Di samping mengikat para pelaku usaha, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengikat pemerintah untuk tidak mengeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat memberikan kemudahan dan fasilitas istimewa kepada para pelaku usaha tertentu yang bersifat monopolistik. Akibatnya, dunia usaha Indonesia menjadi tidak terbiasa dengan iklim kompetisi yang sehat, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian yang harus ditanggung oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, kehadiran Undang-Undang No 5 Tahun 1999 diharapkan mampu mengikat pemerintah untuk lebih objektif dan profesional dalam mengatur dunia usaha di Indonesia. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia, sehingga mereka akan rerrarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Peningkatan kepercayaan ini dikarenakan adanya jaminan untuk berkompetisi secara sehat (Ayudha D. Prayoga et al. (Ed.), 2000:54-55).
1.2. Kebijakan Politik Persaingan Usaha
Di Indonesia hukum persaingan usaha, atau apa pun namanya, seperti Antitrust Law (Amerika Serikat), atau Antimonopoly Law (Dokusen Kinshiho-Jepang), Restrictive Trade Practices Law (Australia), atau Competition Law (Uni Eropa) merupakan bagian dari hukum ekonomi. Dasar kebijakan politik perekonomian nasional dan hukum ekonomi kita dengan sendirinya harus mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas menyatakan bahwa perekonomian nasional harus dibangun atas dasar falsafat demokrasi ekonomi dalam wujud ekonomi-kerakyatan. Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa "perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan". Sedangkan penjelasan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan antara lain bahwa "dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan". Istilah kekeluargaan seringkali ditafsirkan sebagai anti-persaingan. Tetapi sebenarnya esensi dari Pasal 33 tersebut, adalah perekonomian Indonesia berorientasi kepada ekonomi kerakyatan. Hal ini merupakan penuangan yuridis konstitusional dari amanat yang dikandung di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Chatamarrasjid, 2000: 113 dan 140-141).
Selain itu perkataan "perekonomian disusun" pada Pasal 33 itu secara langsung mengisyaratkan perlu dilaksanakannya suatu restrukturisasi clan reformasi ekonomi. Mekanisme daripada itu adalah penyelenggaraan perekonomian berdasarkan demokrasi ekonomi. Restrukturisasi ekonomi diperlukan untuk mewujudkan keadilan ekonomi atau pemerataan ekonomi, untuk menghindari polarisasi ekonomi (Sri Edi Swasono, 1993:263). Demikian pula perkataan "disusun" dalam Pasal 33 bersifat imperati, jadi perekonomian tidaklah dibiarkan tersusun sendiri atau mernbentuk diri sendiri berdasar kekuatan-kekuatan ekonomi yang ada atau kekuatan pasar bebas . Perkataan "disusun" mengisyaratkan adanya upaya membangun secara struktural melalui tindakan nyata dan ini menjadi tugas negara (Sri Edi Swasono, 1993:270-271).
Dengan demikian, sudah menjadi tugas dan kewajiban Negara untuk mengimplementasikan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dalam struktur ekonomi nasional yang berdasarkan demokrasi ekonomi. Perundang-undangan merupakan sarana yang paling efektif untuk mengimplementasikan kebijakan politik demokrasi ekonomi tadi. Berdasarkan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ini, akan bermunculan beraneka ragam perundang-undangan yang akan mengatur dan mendukung kehidupan ekonomi nasional, terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas. Perundang-undangan di sini, berfungsi selain sebagai "alat kontrol sosial", juga sebagai "alat rekayasa sosial" dari kehidupan ekonomi nasional yang berdasarkan demokrasi ekonomi.
Karenanya perundang-undangan merupakan instrumen kebijakan politik negara. Penggunaan hukum atau perundang-undangan sebagai instrument kebijakan merupakan perkembangan mutakhir dalam sejarah hukum. Untuk bisa sampai pada tingkat perkembangan yang demikian, diperlukan persyaratan tertentu, seperti timbulnya pengorganisasian sosial yang makin tertib dan sempurna. Pengorganisasian ini tentunya dimungkinkan oleh adanya kekuasaan di pusat yang makin efektif, dalam hal ini tidak lain adalah negara. Perundang-undangan mempunyai kelebihan dari norma-norma sosial yang lain, karena perundang-undangan dikaitkan pada kekuasaan yang terringgi di suatu negara dan karenanya pula memiliki kekuasaan memaksa yang besar sekali. Mudah bagi perundang-undangan untuk menentukan ukuran-ukurannya sendiri tanpa perlu menghiraukan tuntutan-tuntutan dari bawah (Satjipto Rahardjo, 1996:85 dan 90).
Pengaturan kehidupan ekonomi nasional melalui perundang-undangan dimaksudkan untuk mewujudkan demokrasi ekonomi yang menjadi dasar politik ekonomi nasional, yang memiliki ciri-ciri positif sebagai berikut.
a.       Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
b.      Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
c.       Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
d.      Sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan dengan permufakatan lembaga perwakilan rakyat, dan pengawasan terhadap kebijaksanaannya ada pada lembaga perwakilan rakyat pula;
e.       Perekonomian daerah dikembangkan secara serasi dan seimbang antar daerah dalam satu kesatuan perekonomian nasional dengan mendayagunakan potensi dan peran serta daerah secara optimal dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
f.       Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan;
g.      Hak milik perseorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat;
h.      Potensi, inisiatif, dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.*)
*) Perumusan ciri-ciri positif demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, pertama kali dapat dijumpai dalam Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan, yang selanjutnya diperkembangkan dan diperbaharui melalui Garis-garis Besar HaIuan Negara sebagaimana telah ditetapkan secara berturut-turut dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973, Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978, Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983, Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988, Ketetapan MPR Nomor II/ MPR/1993 dan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1998 .
Demikian pula dirumuskan ciri-ciri negatif dari demokrasi ekonomi yang harus dihindarkan dalam kehidupan ekonomi nasional, yaitu
a.       Sistem free fight liberalism yang menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa lain yang dalam sejarahnya di Indonesia telah menimbulkan dan mempertahankan kelemahan strukrural ekonomi nasional dan posisi Indonesia dalam perekonomian dunia;
b.      Sistem etatisme dalam arti bahwa negara beserta apatur ekonomi negara bersifat dominan, mendesak, dan mematikan potensi serta daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sektor negara;
c.       Persaingan tidak sehat serta pemusatan kekuatan ekonomi pada saru kelompok dalam berbagai bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan. * *)
Pembaruan kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan yang ditetapkan dalam Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966, jelas bertujuan untuk mengimplementasikan prinsip kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Walaupun secara formal kebijakan ekonomi yang dikembangkan di masa awal Orde Baru masih bertitik tolak dari konsep Ekonomi Terpimpin, tetapi pembaruan yang dilakukan sangat mendasar. Bahkan, dapat dikatakan kebijakan Pemerintah Orde Baru ini cenderung bersifat merombak secara mendasar kebijakan ekonomi Orde Lama. Ini terlihat dalam rumusan GBHN yang diterapkan sejak tahun 1973. Gagasan demokrasi ekonomi secara konsisten dirumuskan dalam serangkaian GBHN. Konsistensi ini menunjukkan, secara formal, gagasan kedaulatan rakyat selama periode Demokrasi Pancasila sangat diwarnai keinginan yang kuat untuk mengembangkan demokrasi ekonomi (Iimly Asshiddiqie, 1994:201 dan 203).
**) Kececapan MPRS Nomor XXIlI/MPRS/1966 dan GBHN 1973-1998.
GBHN merupakan arah penyelenggaraan negara dalam waktu lima tahun, untuk dapat mewujudkan tujuan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Lebih lanjut dengan mencermati isi serangkaian GBHN yang telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) tersebut, maka dapat diketahui secara jelas kebijakan politik negara untuk mengembangkan persaingan yang sehat dan adil serta mencegah terjadinya struktur pasar monopolistik, yang merugikan masyarakat, sebagai berikut
1. Ketetapan MPRS Nomor XXIII/ MPRS/ 1966 tentang Pembaruan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan Ketetapan ini berisikan penilaian kembali semua landasan-landasan kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan pasca G30S/PKI sebagai langkah pertama ke arah perbaikan ekonomi rakyat. Dalam kaitan dengan praktik monopoli dan persaingan usaha sehat antara lain dinyatakan
a.       Adapun landasan ideal dalam membina sistem ekonomi Indonesia dan yang senantiasa harus tercermin dalam setiap kebijaksanaan ekonomi ialah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pasal-pasal 23, 27, 33 dan 34, beserta penjelasan-penjelasannya (Pasal 4) dan hakikat dari landasan ideal tersebut adalah pembinaan sistem ekonomi terpimpin berdasarkan Pancasila yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi dan yang bertujuan menciptakan masyarakat adil dan makmur yang diridai oleh Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 5);
b.      Dalam menjalankan peranannya di bidang ekonomi, pemerintah harus lebih menekankan pengawasan arah kegiatan ekonomi dan bukan pada penguasaan kegiatan ekonomi yang sebanyak mungkin. Dalam rangka ini sangat perlu diselenggarakan debirokratisasi dari sistem pengawasan dan dekonsentrasi dalam manajemen perusahaan-perusahaan Negara (Pasal40);
c.       Sesuai dengan tugas pemerintah unruk sejauh mungkin mengembangkan potensi dan daya kreasi rakyat dalam bidang ekonorni, maka dalam batas-batas ketetapan dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945, golongan swasta nasional merniliki kebebasan untuk memilih bidang usaha masing-masing yang tidak menguasai hajat hidup rakyat banyak dan tidak strategis (PasaI44);
d.      Masing-masing kelompok dalam golongan swasta nasional berkewajiban untuk mengembangkan ekonomi Indonesia, sedangkan pengertian dan bidang kegiatannya diatur oleh undang-undang (PasaI45);
e.       Perkembangan usaha swasta tidak boleh menyimpang dari asas demokrasi ekonomi yang rnerupakan ciri dari sistem ekonomi terpimpin berdasarkan Pancasila. Tanpa mengingkari prinsip-prinsip efisiensi, organisasi usaha swasta harus memungkinkan perkembangan demokrasi ekonomi di dalam lingkungannya. Untuk ini diperlukan pengawasan dari aparatur pemerimah. Di lain pihak, demi perkembangan kegiatan, golongan swasta nasional berhak memperoleh pelayanan, pengayoman, dan bantuan yang wajar dari aparatur pemerintah, Dalam hubungan ini perlu adanya satu forum swasta (PasaI46).


2. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
Dalam bidang Pembangunan Ekonomi antara lain dinyatakan, usaha meratakan hasil pembangunan harus pula mencakup program untuk memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada pengusaha-pengusaha kecil dan menengah untuk memperluas dan meningkatkan usahanya, dalam rangka memperluas pengikutsertaan golongan ekonomi lemah dalam ruang lingkup tanggung jawab yang lebih besar, dengan jalan mengusahakan kesempatan untuk dapat memperkuat permodalannya, meningkatkan keahliannya untuk mengurus perusahaannya, dan kesempatan untuk memasarkan hasil produksinya.
Dalam hubungan ini koperasi sebagai salah satu wadah penghimpun kekuatan ekonomi lemah akan lebih ditingkatkan peranan serta kemampuannya melalui program yang menyeluruh, dengan menguramakan koperasi-koperasi produksi di bidang-bidang pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan rakyat, dan kerajinan tangan.

3. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
Dalam bidang Pembangunan Ekonomi sektor Usaha Swasta dan Usaha Golongan Ekonomi Lemah antara lain dinyatakan, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat yang lebih aktif dalam pembangunan, perluasan dunia usaha swasta nasional haruslah mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Dalam hubungan ini perlu ditingkatkan kerjasama yang serasi antara pemerintah, perusahaan milik negara, dunia usaha swasta, dan koperasi. Pemerintah menciprakan iklim yang sehat yang diperlukan untuk kelancaran usaha, antara lain dengan mengusahakan ketenteraman dan keamanan usaha, menyederhanakan prosedur perizinan, dan sebagainya.

4. Ketetapan MPR Nomor II/MPR!1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
Dalam bidang Pembangunan Ekonomi sektor Dunia Usaha Nasional dan Usaha Golongan Ekonomi Lemah antara lain dinyatakan
a.       Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, peranan dunia usaha nasional perlu lebih ditingkatkan. Dalam hubungan ini dilanjutkan usaha pemerintah dalam mengembangkan dunia usaha nasional dengan bekerja sama dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Selanjutnya didorong pemerataan kesempatan berusaha serta kerjasama yang serasi antara usaha negara, koperasi, dan usaha swasta;
b.      Kerjasama yang serasi antara usaha besar, menengah, dan kecil serta koperasi perlu dikembangkan berdasarkan semangat saling menunjang dan saling menguntungkan. Untuk itu perlu diciptakan iklim yang sehat untuk kelancaran usaha dan terlaksananya kerja sama tersebut.

5. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
Dalam bidang Pembangunan Ekonomi sektor Dunia Usaha antara lain dinyatakan
a.       Pengembangan dunia usaha nasional yang terdiri dari usaha negara, koperasi, dan usaha swasta diarahkan terutama agar makin mampu dan berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, memperluas pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, termasuk memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja. Untuk itu kemampuan dan peranan dunia usaha nasional khususnya koperasi, usaha kecil, serta usaha informal dan tradisional, perlu terus ditingkatkan agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi lebih tangguh dan mandiri;
b.      Kerja sama yang serasi antara usaha negara, koperasi, dan usaha swasta serta antara usaha besar, menengah, dan kecil perlu dikembangkan berdasarkan semangat kekeluargaan yang saling menunjang dan saling rnenguntungkan. Untuk itu perlu diciptakan iklim yang mendorong kerja sama tersebut. Dalam pengembangan dunia usaha nasional harus dihindarkan terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat;
c.       Upaya penyederhanaan berbagai peraturan yang menyangkut dunia usaha termasuk perizinan serta upaya untuk lebih menjamin kepastian berusaha dalam rangka menciptakan iklim berusaha yang sehat terus dilanjutkan dan ditingkatkan.

6. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
Dalam bidang Pembangunan Ekonomi sektor Usaha Nasional antara lain dinyatakan
a.       Pengembangan dan pembinaan usaha nasional yang meliputi koperasi, usaha negara, dan usaha swasta diarahkan agar tumbuh menjadi kegiatan usaha yang mampu menjadi penggerak utama pembangunan ekonomi, meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja menuju terwujudnya perekonomian nasional yang tangguh dan mandiri. Dalam rangka pengembangan dan pembinaan usaha nasional terus didorong perluasan kerja sama dan keterkaitan usaha antar sektor dan antar subsektor, antara usaha skala besar, menengah, dan kecil, berdasar kemitraan usaha yang saling menunjang dan saling menguntungkan, dengan semangat kekeluargaan dan kebersamaan;
b.      Dalam pengembangan usaha nasional harus dicegah penguasaan sumber ekonomi dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok atau golongan masyarakat tertentu dalam berbagai bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat.

7. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
Dalam bidang Pembangunan Ekonomi sektor Usaha Nasional antara lain dinyatakan
a.       Pembangunan usaha nasional yang terdiri atas koperasi, usaha negara, dan usaha swasta diarahkan agar tumbuh dan berkembang sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dalam mekanisme pasar terkelola, yang dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa serta nasionalisme yang tinggi dan pengamalan nilai-nilai Pancasila sebagai pelaksanaan sistem ekonomi Pancasila. Pembangunan usaha nasional ditujukan untuk menjadi kekuatan dan penggerak utama pembangunan ekonomi nasional; meningkatkan peran serta aktif masyarakat dalam usaha nasional yang merupakan bagian integral dari pernbangunan nasional dalam mencapai masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera, dan berkeadilan; memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja; meningkatkan kemampuan dunia usaha terutama pengusaha kecil, pengusaha menengah, dan koperasi; meningkatkan efisiensi, produktivitas, kemampuan daya saing, daya kreasi, dan inovasi; serta mendorong penguasaan pasar dalam negeri dan perluasan pasar luar negeri melalui perluasan akses terhadap sumber daya ekonomi termasuk akses permodalan serta pemantapan budaya kewirausahaan berlandaskan moral dan etik, didukung oleh pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan, serta iklim usaha yang menunjang;
b.      dalam pengembangan dan pembinaan usaha nasional yang sehat dan transparan harus dicegah penguasaan sumber daya ekonomi dan pemusatan kekuatan ekonomi pada saru kelompok, golongan masyarakat tertentu, dan orang perseorangan dalam berbagai bentuk monopoli dan monopsoni, serta bentuk pasar lain yang merugikan masyarakat, terutama melalui pemantapan kerja sama usaha berdasarkan kemitraan sepadan dengan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan antara pengusaha kecil, pengusaha menengah, dan pengusaha besar dan antara koperasi, usaha negara, dan usaha swasta. Badan usaha yang sudah maju dan berkernbang harus bermitra dengan badan usaha yang belum maju dalam membangun struktur usaha nasional yang tangguh dan andal. Dorongan dan pemantapan kemitraan usaha tersebut dilakukan melalui penciptaan iklim persaingan yang sehat dalam pasar terkelola.

8. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 Dalam Kondisi Umum Pembangunan antara lain dinyatakan "Upaya mengatasi krisis ekonomi beserta dampak yang ditimbulkannya telah dilakukan melalui proses reformasi di bidang ekonomi, tetapi hasilnya belum memadai karena
(1)     penyelenggaraan negara di bidang ekonomi selama ini dilakukan atas dasar kekuasaan yang terpusat dengan campur tangan pemerintah yang terlalu besar, sehingga kedaulatan ekonomi tidak berada di tangan rakyat dan mekanisme pasar tidak berfungsi secara efektif; dan
(2)     kesenjangan ekonomi yang meliputi kesenjangan antara pusat dan daerah, antar daerah, antar pelaku, dan anrar golongan pendapatan, telah meluas ke seluruh aspek kehidupan, sehingga struktur ekonomi tidak kuat yang ditandai dengan berkembangnya monopoli serta pemusatan kekuatan ekonomi di tangan sekelompok kecil masyarakat dan daerah tertentu".

Kemudian dalam Misi Pembangunan antara lain dinyatakan "Pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah, dan koperasi, dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan".
Selanjutnya dalam Arah Kebijakan Pembangunan Bidang Ekonomi antara lain dinyatakan
1.      Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai-nilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup, pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, sehingga terjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja, perlindungan hak-hak konsumen, serta perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat;
2.      Mengembangkan persaingan yang sehat dan adil serta menghindarkan terjadinya struktur pasar monopolistik dan berbagai struktur pasar yang distortif, yang merugikan masyarakat;
3.      Mengoptimalkan peranan pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan pasar dengan menghilangkan seluruh hambatan yang mengganggu mekanisme pasar, melalui regulasi, layanan publik, subsidi dan insentif, yang dilakukan secara transparan dan diatur dengan undang-undang;
4.      Memberdayakan pengusaha kecil, menengah, dan koperasi agar lebih efisien, produktif, dan berdaya saing dengan menciptakan iklim berusaha yang kondusif dan peluang usaha yang seluas-luasnya. Bantuan fasilitas dari Negara diberikan secara selektif, terutama dalam bentuk perlindungan dari persaingan yang tidak sehat, pendidikan dan pelatihan, informasi bisnis dan teknologi, permodalan, dan lokasi berusaha;
5.      Mengembangkan hubungan kemitraan dalam bentuk keterkaitan usaha yang saling menunjang dan menguntungkan antara koperasi, swasta, dan Badan Usaha Milik Negara, serta antara usaha besar, menengah, dan kecil dalam rangka memperkuat struktur ekonomi nasional.
Dari GBHN mengenai pembangunan ekonomi tersebut, Nampak bahwa GBHN memberikan kesempatan pada usaha-usaha ekonomi untuk tumbuh dan berkembang, bahkan sampai ke bentuk yang "rneraksasa dan menggurita" sekalipun, yang kita kenal dengan istilah konglomerat. Akan tetapi, GBHN tidak membiarkan praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat terjadi atau tercipta; oleh karena iru GBHN juga mernberikan batasan-batasan apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan jika praktik monopoli akhirnya terjadi (Ayudha D. Prayoga et al. (Ed.), 2000:44). Undang-Undang Dasar 1945 yang kita miliki sebenarnya tidak anri-l'besar". Usaha-usaha swasta, usaha negara, dan koperasi tidak dilarang menjadi besar dalam bentuk konglomerat. Namun, diharapkan tumbuh dan berkembangnya usaha-usaha tersebut sesuai dengan norma dan etika bisnis yang baik, didukung oleh norma peraturan yang adil (Ayudha D. Prayoga et al. (Ed.), 2000:46).
Beberapa tahun terakhir ini kondisi perekonomian Indonesia nampak maju sangat pesat; banyak usaha swasta yang berkembang sangat pesat menjadi penguasa dari sektor hulu sampai dengan hilir, tidak mempunyai pesaing yang berarti. Nampaknya mudah saja jika pemerintah mengeluarkan peraturan-peraturan yang memberikan kemudahan dan fasilitas kepada satu golongan atau orang perseorangan. Prinsip pemerataan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seakan dilupakan dan yang lebih penting adalah kepentingan untuk satu golongan ataupun orang perseorangan saja (Ayudha D. Prayoga et al. (Ed.), 2000:46-47).
Selama ini, kemudahan dan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah melalui peraturan-peraturan ekonomi hanya dinikrnati sekelompok kecil masyarakat dan daerah tertentu saja. Berbagai praktik monopoli "terselubung" dijalankan oleh pemerintah dengan memberikannya kepada sekelompok kecil masyarakat atau seorang pengusaha saja, yang pada akhirnya merugikan kepentingan masyarakat. Pemerintah memperkenankan kegiatan yang bersifat monopoli dalam kehidupan ekonomi asalkan tidak merugikan kepentingan masyarakat. Dengan demikian persaingan berusaha di kalangan pengusaha nasional jadi tidak sehat lagi, sebab pemerintah tidak memberikan keseimbangan kemudahan dan fasilitas yang sama kepada usaha koperasi, usaha negara, dan usaha swasta.
Kwik Kian Gie menjelaskan kriteria-kriteria terjadinya monopoli yang diizinkan oleh GBHN:
1.      monopoli diberikan kepada penemu barang baru, seperti oktroi dan paten, maksudnya untuk memberikan insentif bagi pemikiran yang kreatif dan inovatif;
2.      monopoli yang diberikan oleh pemerintah kepada BUMN, lazimnya karena barang yang diproduksi menguasai hajat hidup orang banyak;
3.      monopoli yang diberikan kepada perusahaan swasta dengan kredit pemerintah;
4.      monopoli dan kedudukan monopolistik yang diperoleh dengan cara natural, karena monopolis menang dalam persaingan yang dilakukan secara sehat, Dalam hal demikian memang tidak apa-apa, namun masuknya siapa saja ke dalam investasi yang sama hams terbuka lebar;
5.      monopoli atau kedudukan yang monopolistik yang diperoleh secara natural karena investasinya terlampau besar, sehingga hanya satu saja yang berani dan bisa merealisasikan investasinya. Meski demikian, Pemerintah hams tetap bersikap persuasive dan kondusif dalam memecahkan monopoli;
6.      monopoli atau kedudukan rnonopolistik yang terjadi karena pernbentukan kartel ofensif;
7.      monopoli atau kedudukan monopolistik yang terjadi karena pembentukan kartel defensif;
8.      monopoli yang diberikan kepada suatu organisasi dengan maksud rnembentuk dana bagi yayasan, yang dananya lalu dipakai untuk tujuan terrentu, seperti kegiatan sosial dan sebagainya (Kwiek Kian Gie, 1994:243-244). Kondisi monopolistik tersebut sebagian besar terjadi karena peran negara yang memberikan kondisi monopolistik kepada suatu usaha, baik usaha negara, usaha swasta, maupun koperasi (Kwiek Gian Kie, 1994:350).
Sekarang menjadi tugas pernerinrah untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, dengan cara menumbuhkembangkan daya kreasi dan inovasi pengusaha dalam berusaha, yang pada gilirannya memiliki kemampuan daya saing yang kuat dan tangguh, baik secara nasional, regional, maupun internasional. Pemerintah hendaknya mengurangi campur tangarryang terlalu besar dalam kehidupan ekonomi nasional, cukup meletakkan landasan dan asas-asas hukum ekonomi yang jelas, tegas, serta dalam penegakannya seyogianya diterapkan secara konsekuen dan konsisten, Sepanjang penegakan asas-asas hukum ekonomi konsekuen dan konsisten, struktur ekonomi nasional berdasarkan demokrasi ekonomi akan terwujud.
Sunaryati Hartono mengatakan, antara sistern hukum dan sistern ekonomi suatu negara terdapat hubungan yang sangat erat dan pengaruh timbal balik. Kalau pada satu pihak pembaruan dasar-dasar pemikiran di bidang ekonomi ikut mengubah dan menentukan dasar-dasar sistern hukum yang bersangkutan, maka penegakan asas-asas hukum yang sesuai juga akan memperlancar rerbentuknya struktur-ekonomi yang dikehendaki. Sebaliknya, penegakan asas-asas hukum yang tidak sesuai justru akan menghambat terciptanya struktur ekonomi yang dicita-citakan (CF.G. Sunaryati Hartono, 1982:6). '
1.3. Dasar Hukum Pengahrran Hukum Persaingan usaha
Gagasan untuk menerapkan Undang-Undang Antimonopoli dan mengharamkan kegiatan pengusaha yang curang telah dimulai sejak lima puluh tahun sebelum Masehi. Peraturan Roma yang melarang tindakan pencaturan atau pengambilan keuntungan secara berlebihan, dan tindakan bersama yang mempengaruhi perdagangan jagung. Demikian pula Magna Charta yang ditetapkan tahun 1349 di Inggris telah pula mengembangkan prinsipprinsip yang ,berkaitan dengan restraint oftrade atau pengekangan dalam perdagangan yang mengharamkan monopoli dan perjanjianperjanjian yang mernbarasi kebebasan individual untuk berkompetisi secara jujur (Insan Budi Maulana, 2000:7).
Ajaran Islam melalui Alquran telah memberikan banyak pedoman yang bersifat umum mengarur perilaku-perilaku pengusaha dalam berusaha; ada yang secara jelas, ada pula yang secara isyarat (bandingkan Ahmad Azhar Basyir, 1981:34). Para pengusaha Islam dituntut unruk bersikap jujur dan tidak curang dalam berusaha. Demikian pula pengusaha Islam dilarang untuk menumpuk harta perdagangannya guna mendapatkan keuntungan besar. Dalam kaitan ini Alquran menegaskan: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan J;ka sama suka di antara kamu" (QS.4:29). Kemudian oleh Alquran ditegaskan: "Hai kaum-Ku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan jangarilah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka, dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan mernbuat kerusakan". Selanjutnya juga oleh Alquran ditegaskan: "Keeelakaan besarlah bagi orangorang yang eurang (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka rninta dipenuhi dan apabila mereka .menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam". Demikian pula oleh Alquran ditegaskan: "dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih" (QS.9:34).
Itulah beberapa ayat Alquran yang telah menggariskan prinsip. prinsip 1alam berusaha atau berdagang, yang wajib ditaati oleh para pengusaha Islam. Harus diingat bahwa kegiatan berusaha atau berdagang itu bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri saja, melainkan untuk memenuhi kebutuhan seluruh manusia yang hidup di muka bumi.
Saat ini, bagi negara Indonesia pengaturan persaingan usaha bersumber pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang seeara efektif berlaku pada 5 Maret 2000. Sesungguhnya keinginan -untuk mengatur larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat dijumpai dalam beberapa perundang- undangan yang ada. Praktik-praktik dagang yang eurang (unfair trading practices) dapat dituntur seeara pidana berdasarkan Pasal 382 bis Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Demikian pula pesaing yang dirugikan akibat praktik-praktik dagang yang eurang tersebut, dapat menuntut seeara perdata berdasarkan Pasal1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam bidang industri juga diharapkan tidak terjadi industri yang monopolistic dan tidak sehat, sebagaimana diamanat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1984 tentang Perindustrian. Pasal 7 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1984 tersebut menentukan bahwa pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadap industri untuk mengembangkan persaingan yang baik dan sehat, mencegah persaingan tidak jujur, mencegah pemusatan industri oleh satu kelompok atau perseorangan, dan bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek Sebagaimana telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 , pemakai merek tanpa izin dapat dituntut secara perdata maupun pidana. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas juga memuat ketentuan yang melarang penguasaan sumber ekonomi dan pemusatan kekuaran ekonomi pada suatu kelompok atau golongan tertentu melalui tindakan merger, konsolidasi, dan akuisisi perseroan; hal ini dapat dilakukan asalkan memperhatikan kepentingan perseroan, pernegang saham minoritas, dan karyawan perseroan, serta kepentingan masyarakat, termasuk pihak ketiga yang berkepentingan dan persaingan bisnis yang sehat dalam perseroan, mencegah monopoli dan monopsoni. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa sebelum ada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pengaruran larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat masih diatur secara parsial dan tersebar ke dalam berbagai perundang-undangan yang ada.
Realitanya, antara teori undang-undang dan praktik malah sama sekali bertolak belakang. Selama kurun waktu sekitar 15 (lima belas) tahun terakhir, perekonomian Indonesia dipenuhi tindakan-tindakan yang bersifat monopolistik dan tindakantindakan persaingan usaha yang curang (un/air business practices), misalnya pembentukan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) pada 1991 yang memberikan kewenangan tunggal untuk membeli cengkeh dari para petani cengkeh dan kewenangan menjualnya kepada para produsen rokok; dan Tata Niaga ]eruk ataupun PT Timor yang memperoleh banyak kemudahan fasilitas. Semua itu dengan dalih untuk pembangunan nasional ?an menciptakan efisiensi, serta kemampuan bersaing walaupun realitanya tidak demikian. Hal itu terjadi karena kekuasaan rezim Orde Baru terlalu kuat, baik di bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum (Insan Budi Maulana, 2000: 1-2).
Kemudahan fasilitas-fasilitas yang diberikan pemerintah kepada orang atau golongan tertentu tidak banyak membawa hasil bagi kemajuan ekonomi nasional, malah menimbulkan kepineangan sosial ekonomi dalam masyarakat. Prinsip pemerataan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum dapat dilaksanakan dengan baik. Persaingan domestik dalam berusaha belum tercipta dengan baik. Hal ini disebabkan banyaknya kegiaran usaha yang dijalankan seeara monopolistik, yang mengakibatkan mereka tidak mampu bersaing dalam kaneah perdagangan dunia internasional. Untuk itu perlu ada pembaruan struktural, yang salah sarunya menghapus hambatan persaingan domestik dalam berusaha melalui deregulasi ekonomi nasional.
Butir-butir yang tertera dalam Memorandum International Monetary Fund (IMF) tanggal 15 Januari 1998, khususnya yang mengacu pada pernbaruan-pembaruan struktural, menunjukkan bahwa berbagai rintangan artifisial yang selama ini telah menghambat persaingan domestik telah atau akan dihapus oleh Pernerintah Indonesia. Akan tetapi di samping itu diperlukan pula Undang-Undang Persaingan Domestik yang Sehat, yang menetapkan asas-asas persaingan usaha yang sehat, yang tidak memberikan peluang bagi timbulnya rintangan-rintangan artificial baru terhadap persaingan domestik di masa mendatang (Thee Kian Wie, 1999:27).
Atas dasar itu, pemerintah mengumumkan kebijakan deregulasi dengan melahirkan sebanyak 13 (tiga belas) peraturan perundangundangan, yang terdiri dari 3 Peraturan Pemerintah, 7 Keputusan Presiden, dan 3 Instruksi Presiden. Pemberian fasilitas-fasilitas istimewa yang menjurus pada praktik monopoli dan menguntungkan golongan atau kelompok tertenru dieabut. Monopoli Badan Urusan Logistik (BULOG) dalam distribusi komoditi primer, kecuali beras dieabut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1998. Demikian pula pemerintah meneabut berbagai fasilitas istimewa yang diberikan kepada PT Timoer dalam .proyek mobil nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1998. Kemudian membubarkan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) berdasarkan Kepurusan Presiden Nomor 21 Tahun 1998.
Seiring dengan peralihan pernerintahan dari Presiden Soeharto kepada Presiden B.]. Habibie, berlangsung pula Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1998. Sidang
Istimewa MPR ini telah berhasil membuat 12 ketetapan, Dari 12 ketetapan terse but, ada 2 ketetapan yang berkaitan dengan peleksanaarr'reformasi dan strukturisasi di bidang ekonomi nasional, yakni Ketetapan MPR Nomor X/MPR!1998 tenrang Pokokpokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara dan Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR!1998 tenrang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
Dalam Naskah Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupamn Nasional sebagai Haluan Negara sebagai lampiran Ketetapan MPR Nomor X/MPR!1998 pada Bab II Kondisi Umum Bidang Ekonomi antara lain rnenyatakan: "Keberhasilan pembangunan yang telah dicapai selama tiga puluh dua tahun Orde Baru telah mengalami kemerosotan yang memprihatinkan, karena terjadinya krisis moneter pertengahan tahun 1997, yang berlanjut menjadi krisis ekonorni yang lebih luas. Landasan ekonomi yang dianggap kuat, ternyata tidak berdaya menghadapi gejolak keuangan eksternal serta kesulitan-kesulitan makro dan mikro ekonomi.
Hal ini disebabkan oleh karena penyele~ggaraan perekonomian nasional kurang mengacu kepada amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elite kekuasaan rnendapatkan prioritas khusus yang berdampak timbulnya kesenjangan sosial. Kelemahan fundamental iru juga disebabkan pengabaian perekonomian kerakyatan yang sesungguhnya bersandar pada basis sumber daya alam dan sumber daya manusia sebagai unggulan komparatif dan kornpetitif. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati, mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak kompetitif Sebagai akibatnya, krisis moneter yang melanda Indonesia, tidak dapat diatasi secara baik sehingga memerlukan kerja keras untuk bangkit kembali".
Selanjutnya, pada Bab IV Kebijakan Reformasi Pembangunan Bidang Ekonomi disebutkan beberapa agenda yang harus dijalankan dalam rangka pelaksanaan reformasi di bidang ekonomi tersebut, yaitu
a.       membuat perekonomian lebih efisien dan kompetitif dengan menghilangkan berbagai praktik monopoli serta mengembangkan sistem insentif yang mendorong efisiensi dan inovasi;
b.      meningkatkan kererbukaan pemerintahan dalam pengelolaan usaha untuk menghilangkan korupsi, kolusi, dan nepotisrne serta praktik-prakrik ekonomi lainnya yang merugikan Negara dan rakyat;
c.       melaksanakan deregulasi ketetapan-ketetapan yang menghambat investasi, produksi, distribusi, dan perdagangan.
Kemudian dalam Ketetapan Nomor XVI!MPR!1998 dapat dijumpai dasar kebijakan politik ekonomi nasional yang akan dijalankan untuk masa akan datang sebagai pelaksanaan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Politik ekonomi nasional juga memuat ketentuan larangan praktik monopoli dan persaingan bisnis yang tidak sehat, sebagaimana disebutkan dalam Pasalpasal2,5,6, dan7.
Pasal 2 rnenyatakan: "Politik ekonomi nasional diarahkan untuk menciptakan struktur ekonomi nasional agar terwujud pengusaha menengah yang kuat dan besar jumlahnya, serta terbentuk keterkaitan dan kemitraan yang saling menguntungkan antar pelaku ekonomi yang meliputi usaha kecil, menengah, clan koperasi, usaha besar swasta, clan Baclan Usaha Milik Negara yang saling memperkuat untuk mewujuclkan Demokrasi Ekonomi clan efisiensi nasional yang berclaya saing tinggi".
Kemuclian clalam Pasal 5 dinyatakan: "Usaha kecil, menengah, clan koperasi sebagai pilar utama ekonomi nasional harus memperoleh kesernpatan utarna, clukungan, perlinclungan, clan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepacla kelompok usaha ekonomi rakyat, tanpa mengabaikan peranan usaha besar clan Baclan Usaha Milik Negara", Berikutnya Pasal 6 rnenyatakan: "Usaha besar clan Badan Usaha Milik Negara mempunyai hak untuk berusaha clan mengelola sumber claya alam clengan cara yang sehat clan bermitra clengan pengusaha kecil, menengah, clan koperasi".
Terakhir Pasal 7 ayat (1) menyatakan: "Pengelolaan clan pemanfaatan tanah clan sumber claya alam lainnya harus clilaksanakan secara adil clengan menghilangkan segala bentuk pemusatan penguasaan clan pemilikan clalam rangka pengembangan kernampuan ekonomi usaha kecil, menengah, clan koperasi serta masyarakat luas ".
Dengan senclirinya politik ekonomi nasional yang cligariskan clalam Ketetapan MPR Nomor X/MPR!1998 clan Ketetapan Nomor XVI/MPR!1998 akan menjadi clasar pembuatan berbagai peraturan perunclang-unclangan yang berkaitan clengan reformasi clan strukturisasi ekonomi n asional. Demikian pula keclua ketetapan tersebut rnenjadi clasar perlunya dibuat peraturan perunclang-unclangan yang mengatur larangan praktik monopoli clan persaingan bisnis yang ticlak sehat. Dalam sejarah Orcle Baru, baru saat ini Dewan Perwakilan Rakyat menggunakan hak usul inisiatifnya clengan mengajukan sebuah Rancangan Unclang-undang yang mengatur Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Setelah melalui proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat, Rancangan Undang-undang yang berasal dari usul inisiatif tersebut pada tanggal 5 Maret 1999 disahkan oleh Presiden B.]. Habibie menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sudah tentu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut disusun berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum dengan tujuan menjaga kepentingan umum dan melindungi konsumen; menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat dan menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang; mencegah praktik-praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha; serta menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian dapat dikatakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bertujuan unruk menciptakan iklim usaha yang sehat dan wajar, sehingga para pengusaha dalam berusaha dapat bersaing secara sehat dan wajar serta tidak akan terjadi lagi struktur pasar yang monopolistik dan berbagai struktur pasar yang distortif yang merugikan masyarakat banyak. Hal ini diregaskan lebih lanjut dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
1.4. Substansi Pengaturan HukmnPersaingan Usaha
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 lebih tepat disebut sebagai Undang-Undang "Antimonopoli dan Antipersaingan Usaha Curang" atau disingkat "antirnonopoli" saja, bukannya "Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat".
Karena dengan menamakan atau menyebut "Antimonopoli (dan Antipersaingan Usaha Curang)" akan lebih jelas dan tegas , serta akan lebih mudah disosialisasikan kepada masyarakat daripada nama atau sebutan yang telah dipilih dalam undang-undang tersebut. Di samping itu, istilah "antimonopoli (dan antipersaingan usaha eurang atau antipersaingan eurang)" telah lebih dikenal dan memasyarakat di kalangan usahawan, akademis, dan praktisi hukum, sehingga pemahaman terhadap undang-undang itu akan lebih eepat dan lebih mudah diterapkan (Insan Budi Maulana, 2000:15).
Istilah Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat selain terlalu panjang atau tidak ringkas, juga akan sulit diingat dan tidak mudah dipahami. Di samping itu, pasal-pasal terse but tidak disusun dengan kalimat yang mudah dimengerti atau tidak disusun dengan tata eara perundang-undangan yang sewajarnya. Akibatnya, sosialisasi undang-undang itu akan mengalami kesulitan. Meskipun istilah "persaingan usaha tidak sehat" mungkin dianggap benar dari segi bahasa, dari segi hukum tidaklah demikian. Kata "tidak sehat" atau "sakit" sebagai lawan kata "sehat" lebih dekat pada atau lebih tepat digunakan untuk istilah "rnedis" daripada terminology "hukurn". Istilah "persaingan (usaha) curang" sebagai lawan kara "persaingan (usaha) jujur" akan lebih jelas dan tegas menurut istilah hukum dan ekonomi. Karena hukum, bagaimanapun memerlukan kata, kalimat, dan istilah yang tegas dan jelas, agar tidak menimbulkan interpretasi majemuk yang kemungkinan dapat mengakibatkan kepastian, keadilan, dan wibawa hukum itu tidak dapat ditegakkan (Insan Budi Maulana 2000:15) .
Dalam Undang-Undang NornorS Tahun 1999 tidak ditemukan ketentuan yang mengatur penyebutan nama singkat (citerrtite/) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Sesuai dengan teknik peraneangan undang-undang, penamaan sebuah undang-undang harus dirumuskan seeara singkat, jelas, dan tegas, yang meneerminkan substansi pengaturan undang-undang yang bersangkutan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat dianggap disusun seeara singkat dan sederhana (Insan Budi Maulana 2000: 16).
Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat dikelompokkan ke dalam 11 Bab dan dituangkan ke dalam 53 Pasal dan 26 Bagian, yang cakupan materi dan sistematikanya sebagai berikut.
NO.
BAB
PERIHAL/ISI/TENTANG/MATERI
PASAL
JUMLAH
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
I
11
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
Ketentuan Umum
Asas dan Tujuan
Perjanjian yang Dilarang
Kegiatan yang Dilarang
PosisiDominan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Tata Cara Penanganan Perkara
Sanksi
Ketentuan Lain
Ketentuan Peralihan
Kerentuan Penutup
1
2 s.d. 3
4 s.d. 16
17 s.d. 24
25 s.d. 29
30 s.d. 37
38 s.d. 46
47 s.d. 49
50 s.d. 51
52
53
1 pasal
2 pasal
13 pasal
8 pasal
5 pasal
8 pasal
9 pasal
3 pasal
2 pasal
1 pasal
1 pasal
JUMLAH
53
53 pasal
Di samping itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diperlengkapi pula dengan
1.      Penjelan Umum;
2.      Penjelasan Pasal Demi Pasal
Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa secara umum, rnateri Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengandung 6 (enam) bagian pengaturan yang terdiri atas
1.      Perjanjian yang Dilarang;
2.      Kegiatan yang Dilarang; ,-.;
3.      Posisi Dominan;
4.      Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
5.      Penegakan Hukum;
6.      Ketentuan Lain-lain
Selanjutnya, jika kita lebih saksama mempelajari UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, maka kandungan substansi yang diaturnya meliputi hal-hal sebagai berikut.
1.      Perumusan istilah atau konsep-konsep dasar yang terdapat atau dipergunakan dalam undang-undang maupun aturan pelaksanaan lainnya, agar dapat diketah~i pengertiannya. Pasal 1 memuat perumusan dari 19 istilah atau konsep dasar, yaitu pengertian monopoli, praktik monopoli, pemusatan kekuatan ekonomi, posisi dominan, pelaku usaha, persaingan usaha tidak sehat, perjanjian, persengkongkolan atau konspirasi, pasar, pasar bersangkutan, struktur pasar, perilaku pasar, pangsa pasar, harga pasar, konsumen, barang, jasa, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan Pengadilan Negeri;
2.      Perumusan kerangka politik antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat, berupa asas dan tujuan pernbentukan undang-undang, sebagaimana dalam Pasal 2 dan Pasal 3;
3.      Perumusan macam perjanjian yang dilarang dilakukan pengusaha. Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 rnemuat macam perjanjian yang dilarang tersebut, yaitu perjanjian oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah pemasaran, pemboikotan, kartel, oligopsoni, imegrasi vertikal, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri;
4.      Perumusan macam kegiatan yang dilarang dilakukan pengusaha. Pasal 17 sampai dengan Pasal 22 memuat macam kegiatan yang dilarang terse but, yaitu monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persengkonglan;
5.      Perumusan macam posisi dominan yang tidak boleh dilakukan pengusaha. Pasal 25 sampai dengan Pasal 29 mernuat macam posisi dominan yang tidak boleh dilakukan terse but, yaitu jabaran rangkap, pemilikan saham, serta penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan;
6.      Masalah susunan, tugas, dan fungsi Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 memuat perumusan status, keanggotaan, tugas, wewenang, dan pembiayaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
7.      Perumusan rata cara penanganan perkara persaingan usaha oleh Kornisi Pengawas Persaingan Usaha. Pasal 38 sarnpai dengan Pasal 46 memuat perumusan penerimaan laporan, perneriksaan pendahuluan dan perneriksaan lanjutan, pemeriksaan terhadap pelaku usaha dan alar-alar bukti, jangka waktu perneriksaan, serta putusan komisi, kekuatan purusan komisi, dan upaya hukum terhadap putusan kornisi;
8.      Ketentuan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha yang telah melanggar ketentuan dalam undang-undang. Pasal
1.      47 sampai dengan Pasal 49 memuat macam sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha, yaitu tindak administratif, pidana pokok, dan pidana tambahan;
9.      Perumusan perbuatan atau perjanjian yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang dan monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara dan /atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah. Pasal 50 memuat ketentuan yang dikecualikan dari undang-undang dan Pasal 51 memuat kerentuan monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara;
10.  Hal-hal yang menyangkut pelaksanaan undang-undang, yaitu perumusan ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Pasal 52 mengatur bahwa pelaku usaha yang telah membuat dan/ atau melakukan kegiatan dan/atau tindakan yang tidak sesuai dengan undang-undang diberi waktu untuk menyesuaikan selama 6 (enam) bulan sejak undang-undang diberlakukan. Sedangkan Pasa153 mengatur mulai berlakunya undang-undang, yaitu terhitung sejak 1 (saru) tahun sesudah undang-undang diundangkan oleh pemerintah, yaitu tepatnya 5 Maret 2000.
Kerentuan pelaksanaan lebih lanjut hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang sudah ,ibda; sebagian lagi rnasih perlu ditindaklanjuti dalam bentuk peraturan pernerintah dan kepurusan Presiden, yaitu
1.      Peraturan Pemerintah tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Usaha [Pasal 28 ayat (3)];
2.      Peraturan Pemerintah tentang Penetapan Nilai Aset dan/atau Nilai Penjualan Saham sebagai Akibat Penggabungan.sPeleburan, dan Pengambilalihan Usaha [Pasal 29 ayat (2)};
3.      Keputusan Presiden tentang Susunan, Tugas, dan Fungsi Komisi Pengawas Persaingan Usaha [Pasal 34 ayat (1)] .
Dalam kaitan dengan tindak lanjut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur dan berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (1) tersebut, jelas bahwa selama peraturan perundang-undangan yang mengatur dan berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang ada belum dicabut, diganti, atau diperbarui berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, maka peraturan perundang-undangan tersebut dinyatakan rnasih . tetap berlaku, dengan mengadakan penyesuaian seperlunya.
Bab 2
Perjanjian yangDilarang

2 .1. Pengertian Perjanjian
Perumusan pengertian "perjanjian" dapat dijumpai pula dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 1 angka 7 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 mengartikan "perjanjian" adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelakuusaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Berdasarkan perumusan pengertian tersebut, dapat disimpulkan unsur-unsur perjanjian menurut konsepsi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 meliputi:
a.       perjanjian terjadi karena suatu perbuatan;
b.      perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha sebagai para pihak dalam perjanjian;
c.       perjanjiannya dapat dibuat secara tertulis atau tidak tertulis ;
d.      tidak menyebutkan tujuan perjanjian.
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, juga menggunakan kara "perbuatan". Pasal 1313 merumuskan pengertian perjanjian sebagai suatuperbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Para ahli menganggap rumusan perjanjian menurut Pasal 1313 tersebut selain kurang lengkap juga terlalu luas. Perjanjian lahir karena ada persetujuan atau kesepakatan di antara para pihak, bukan persetujuan sepihak saja. Pengertian perbuatan di sini juga tidak terbatas, mencakup perbuatan secara sukarela dan perbuatan yang bersifat melawan hukum. Dengan demikian, baik Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sama-sama merumuskan pengertian perjanjian dalam pengertian yang luas.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, subjek hukum di dalam perjanjian tersebut adalah "pelaku usaha", Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan, yang dimaksudkan dengan "pelaku usaha" adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hokum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melaluiperjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Dengan demikian, berdasarkan perumusan yang diberikan Pasal 1 angka 5 tersebut, subjek hukum di dalam perjanjian bisa berupa orang perseorangan atau badan usaha yang berbadan hukum atau bukan badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara. Badan usaha dimaksud adalah badan tisaha yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiaran usaha dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Dengan kata lain, badan usaha asing tidak dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Pasalnya, hanya badan usaha yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia yang dapat dijerat dengan Undang-Undang Nornor 5 Tahun 1999. Demikian pula, baik Batang Tubuh maupun Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak menjelaskan lebih lanjut apakah orang perseorangan di sini juga harus berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha (bisnis) di dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia atau tidak. Hal ini berbeda dengan hukum Antitrust Amerika Serikat yang memungkinkan pelaku usaha asing terkena hukum antitrust, kalau membuat efek negatif terhadap perdagangan dalam negeri Amerika Serikat (Ayudha D. Prayoga, et al. (Ed.), 2000:75).
Perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 7 tersebut adalah perjanjian sepihak. Namun, tidak berarti hanya perjanjian sepihak yang terkena Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Harus dipahami bahwa perjanjian sepihak saja sudah dapat terkena Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. ]angkauan berlakunya sangat menguntungkan (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:76).
Di Australia istilah perjanjian (contract) dalam hukum persaingan pada prinsipnya diartikan sebagaimana istilah contract biasa, yang mensyaratkan adanya consideration yang berarti masing-masing pihak saling memberikan sesuatu. Karenanya perjanjian sepihak tidak bisa dilaksanakan. Bahkan istilah "arrangement" dan "understanding" yang dipakai di dalam hukum persaingannya rnengharuskan adanya meeting of the minds antara para pihak yang berarti bukan bersifat sepihak, walaupun artinya menunjukkan sesuatu yang lebih ringan dari perjanjian biasa. Di Amerika Serikat istilah "agreement" yang mencakup "contract", "combination", atau "conspiracy" menurut Section 1 dari the Sherman Act mengharuskan adanya tindakan bersama-sarna dari dua orang atau lebih untuk membemuknya, sedangkan tindakan bersama (concerted action) hanya bisa dibenarkan apabila mereka mempunyai unity of purpose, atau understanding, atau telah terjadi meeting of minds di antara mereka (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:76-77).
Pengertian perjanjian sepihak menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ternyara miripdengan pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang juga dianggap mempunyai kelemahan. Mungkin kelemahan di dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini dianggap tidak begitu penting, terbukti dengan tidak adanya usaha untuk memperbaikinya. Namun "kelemahan" pengertian perjanjian menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak bisa dianggap tidak penting, karena ia akan memungkinkan lebih mudahnya orang terkena pidana di dalam perjanjian-perjanjian yang per se illegal. Kalau perjanjian sepihak tidak dilarang, keadaan ini akan disalahgunakan, sehingga akan terjadi perjanjian sepihak yang ditaati oleh pihak pihak yang sebenarnya tidak terikat yang akhirnya merusak persaingan. Hal ini bisa diarasi dengan menambah suatu ketentuan lain seperti persengkongkolan. Dengan ini, walaupun pasal perjanjian tidak bisa diberlakukan, mereka akan terkena ketentuan yang terakhir ini (bandingkan Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000:77).
Di Amerika Serikat, ketentuan larangan "conspiracy" telah bias mengatasi kesukaran pembuktian ada tidaknya perjanjian. Demikian pula di Australia, istilah "arrangement" atau "understanding" telah bisa mengatasi kesukaran yang serupa. Selain menggunakan istilah "contract", Jepang juga menggunakan istilah "agreement" atau "any other concerted action" agar memperluas berlakunya hokum antimonopolinya (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:77).
2.2 Perjanjian-Perjanjian yang Dilarang
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat 11 macam perjanjian yang dilarang untuk dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai' dengan Pasal 16. Perjanjian-perjanjian yang dilarang dibuat tersebut dianggap sebagai praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat, Apabila perjanjian-perjanjian yang dilarang ini ternyata tetap dibuat oleh pelaku usaha, maka perjanjian yang demikian diancam batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada, karena yang dijadikan sebagai objek perjanjian adalah .hal-hal yang tidak halal yang dilarang oleh undang-undang. Dari Pasal1320 dan Pasal 1337 Kitab UndangUndang Hukum Perdara, dapat diketahui salah satu syarat sah suatu perjanjian adalah adanya suatu sebab yang halal, yaitu apabila tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Selanjutnya, Pasal 1135 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan, suatu perjanjian yang dibuat tapi terlarang tidak mempunyai kekuatan atau dianggap tidak pernah ada.
Perjanjian-perjanjian yang dilarang dan termasuk "praktik monopoli" di antara Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 adalah perjanjian-perjanjian yang diatur dalam Pasal-pasal 4, 9, 13, dan 16; selebihnya adalah perjanjian-perjanjian yang dikategorikan melanggar "persaingan usaha tidak sehat". Meskipun keempat pasal di atas, yaitu Pasal-pasal 4, 9, 13, dan 16 termasuk perjanjian yang dianggap mengakibatkan praktik monopoli, tetapi keempat pasal itu pun-menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999-dapat menimbulkan "persaingan usaha tidak sehat". Tak peduli apakah akibat yang ditimbulkan itu bersifat kumulatif atau bersama-sama (terjadi praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat), maupun alternatif atau salah satu dari praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat saja (Insan Budi Maulana, 2000: 18).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah merumuskan pengertian "praktik monopoli" dan "persaingan usaha tidak sehat". Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merumuskan
pengertian "praktik monopoli" adalah pemusatan kekuatan ekonomi o/eh satu atau /ebih pe/aku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu, sehingga menimbu/kan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Dari bunyi Pasal 1 angka 2 tersebut, jelas bahwa yang dikatakan sebagai praktik monopoli adalah apabila ada perilaku yang amipersaingan usaha dan hal itu dapat menimbulkan kerugian bagi kepemingan umum. Pengertian "pemusatan kekuatan ekonomi" dikemukakan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan o/eh satu atau /ebih pe/aku usaha, sehingga dapat menentukan harga barang dan/atau jasa. Dengan demikian dari bunyi Pasal 1 angka 3 sudah jelas bahwa salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menentukan telah terjadi suatu peristiwa pernusatan kekuatan ekonomi adalah apabila telah terjadi "penguasaan atas suatu pasar secara nyata", sehingga harga barang diperdagangkan dan/atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen tidak lagi didasarkan pada mekanisrne-pasar, melainkan ditentukan sendiri oleh seseorang atau beberapa pelaku usaha yang telah menguasai pasar yang bersangkutan. Kemudian pengertian "persaingan usaha tidak sehat" dirumuskan dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu persaingan antarpe/aku usaha da/am menjalanean kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang di/akukan dengan cara j f ur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Berdasark an bunyi Pasal 1 angka 6 jelas bahwa telah terjadi persaingan usaha atau bisnis tidak sehat atau eurang bila antarpelaku usaha menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/arau jasa dilakukan seeara tidak jujur, melawan hukum, atau menghambat persaingan usaha.
Dari Pasal4 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, terdapat beberapa perjanjian yang dilarang, sebagai berikut.
1.      oligopoli (Pasal 4);
2.      penetapan harga (Pasal 5);
3.      diskriminasi harga dan diskon (Pasal 6 sampai dengan Pasal8);
4.      pembagian wilayah (Pasal 9);
5.      pernboikotan (Pasal 10);
6.      kartel (Pasal 11);
7.      trust (Pasal 12);
8.      oligopsoni (Pasal 13);
9.      integrasi vertikal (Pasal14);
10.  perjanjian terrutup (Pasal 15);
11.  perjanjian dengan luar negeri (Pasal 16).
2.2.1. Perjanjian Oligopoli
Pasal4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 meneantumkan larang oligopoli. Dalam Pasal 4 ayar (1) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk seeara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) jelaslah bahwa undang-undang hanya melarang oligopoli yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Indikator yang terakhir ini harus dibuktikan. Ini berarti dengan sendirinya sepanjang penguasaan produksi dan/ atau pemasaran barang dan/atau jasa tersebut tidak mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/arau persaingan usaha tidak sehat, maka usaha tersebut tidak dilarang oleh undang-undang.
Lebih lanjut, Pasal 4ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menjelaskan pengertian penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat tersebut, yaitu apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Dengan demikian berdasarkan kerentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat disimpulkan bahwa pelaku usaha dilarang mengadakan perjanjian seeara bersamasama untuk melakukan penguasaan produksi dan/atau pernasaran barang dan/atau jasa lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu, karena perjanjian tersebut dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang dapat merugikan kepentingan umum. Dalam hal ini pembentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga mengadakan pembedaan produk atas barang dan jasa. Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan, barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Kemudian pengertian jasa dikemukakan dalam Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
Berdasarkan Pasal 4 ini, perjanjian oligopoli dilarang apabila dapat merugikan persaingan, jadi bukan per se illegal. Hal ini menarik karena larangan oligopoli hanya dimasukkan dalam kategori perjanjian yang dilarang, yang dapat mempersempit eakupan larangan tersebut mengingat keterbatasan arri perjanjian (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:78).
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat oligopoli di samping bisa terkena Section 1 dari the Sherman Act, juga bisa terjerat Section 2-nya yang menggunakan ungkapan "combine or conspire to monopolize". Penggunaan istilah "combination" atau "conspiracy" dalam hal ini lebih realistis mengingat oligopoli banyak dilakukan tanpa adanya contract yang formal. Oligopoli bias terjadi dengan implicit verbal negotiation, di samping karena adanya tacit collusion. Penggunaan kata combination atau conspiracy dalam hal ini lebih bisa menjerat para oligopolis walaupun mereka juga hams mempunyai unity of purpose atau understanding atau telah terjadi meeting of minds di antara mereka (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:78).
2.2.2. Perjanjian Penetapan Harga
Perjanjian Harga Horizontal (Price Fixing)
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian dengan pesaingnya untuk menetapkan harga aras suatu barang dan/atau jasa yang hams dibayar konsumen atau pelanggannya. Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/arau jasa yang hams dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. Berdasarkan kerentuan Pasal 5 ayat (1) ini, pelaku usaha dilarang mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya guna menetapkan suatu harga tertentu atas suatu barang dan/atau jasa yang akan diperdagangkan pada pasar yang bersangkutan, sebab perjanjian seperti itu akan meniadakan persaingan usaha di antara pelaku usaha yang mengadakan perjanjian tersebut.
Price fixing oleh Australia (Section 45A dari the Trade Practices Act 1974) dan Amerika Serikat (Section 1 the Sherman Act 1890) dianggap sebagai "naked restraint of trade with no purpose except the stifling of competition". Oleh karena itu hal ini dianggap per se illegal. Kita nampaknya rnengikuti anggapan kedua Negara ini. Dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut dikatakan perjanjian penetapan harga horizontal dilarang tanpa melihat efek negatif dari perjanjian tersebut terhadap persaingan. Karena perjanjian pricefixing ini per se illegal, tinggi-rendahnya harga yang ditetapkan menjadi tidak
relevan. Dengan kata lain , walaupun efek negatif terhadap persaingan usaha kecil, perjanjian pricefixing tetap dilarang. Hal ini berarti pula bahwa market power para pihak juga tidak relevan, walaupun kenaikan harga lebih mungkin terjadi apabila market share mereka besar (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:7980).
Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah "konsumen akhir" dan "konsurnen antara". Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomoi 5 Tahun 1999 adalah konsumen akhir. Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan, yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain. Kemudian pengertian konsumen ini dikemukakan pula dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu setiap orang pe1ljtlkai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Berdasarkan rumusan tersebut, maka pengertian konsumen terbatas pada pemakai atau pengguna barang dan/atau jasa untuk keperluannya, baik untuk keperluan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak unruk diperdagangkan (Rachmadi Usman, 2000:202-203).
Pengertian mengenai pasar bersangkutan menjadi sangat penting artinya dalam menentukan ada-tidaknya monopolisasi, meskipun penentuan dari pasar bersangkutan sang at relatif (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999: 14). Dalam hal ini, Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengartikan pasar bersangkuran" sebagai pasar yang berkaitan denganjangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang danl atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang danlatau jasa tersebut.
Untuk menentukan relevansi atau kedudukan dari suatu pasar bersangkutan, pada umumnya orang mencoba untuk melakukan pendekatan sensitivitas produk tersebut dalam wilayah pemasaran produk yang sudah berjalan. Salah satu yang dapat dipakai adalah pendekatan elasticity of demand. Dari pendekaran tersebut dapat diketahui sampai seberapa jauh sensitivitas suatu produk terhadap perubahan harga, yang dinyatakan dengan persentase perubahan kebutuhan atau persentase perubahan harga (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999:15).
Meskipun tidak sederhana, untuk rnenilai relevansi dan keterkaitannya dengan produk kornpetitor, diperkenalkan konsep cross elasticity demand (CED) antara kedua produk yang saling dikaitkan.
Nilai CED diperoleh dari nilai persentase perubahan kebutuhan dari satu produk dibagi dengan nilai persentase perubahan harga dari produk lain yang sedang dibandingkan. Jika nilai CED-nya negatif berarti kedua produk dalam pasar tersebut saling melengkapi. Dan jika nilai CED-nya positif dengan angka yang relatif besar, kedua produk tersebur merupakan produk yang saling berkompetisi dalam pasar yang ada (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999:15).
Adakalanya penentuan pasar bersangkutan tidak dapat diterapkan secara an sich. Berbagai pertimbangan, khususnya yang berhubungan dengan "karakteristik" pasar yang berbeda satu dengan yang lain juga sangat mempengaruhi. Oleh karena itu dikenal pula istilah penentuan pasar geografis yang relevan untuk menilai kompetisi produk yang ada dalam pasar tersebut (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999:15).
Untuk perjanjian tertentu seperti yang disebur dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, tidak ada larangan price fixing, sepanjang hal tersebut tidak menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dengan pesaing-pesaing bisnisnya. Pasal 5 ayat (2) terse but menyatakan bahwa ketentuan larangan price fixing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi
a.       suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan (joint venture), conrohnya PT X dan PT Y mengadakan suatu usaha patungan dengan mendirikan PT A, di mana PT X dan PT Y diperkenankan untuk menentukan sendiri besarnya harga jual barang yang diproduksi PT A tersebut;
b.      suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku, contohnya penentuan harga jual bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan oleh Pemerintah.
Dalam hal ini tidak dijelaskan joint venture seperti apa yang bias dikecualikan. Memang joint venture antara pihak-pihak yang tidak saling bersaing tidak menyebabkan efek antikompetitif. Tetapi, bila usaha patungan seperti ini membuat collateralrestraint-yakni perjanjian yang membatasi kompetisi di masa datang antara para pihak- usaha ini bisa menghadapi risiko tuntutan pelanggaran hukum persaingan. Joint venture antara para pesaing jelas dapat mengurangi persaingan, kecuali kalau bentuk kerja sama ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan pasar yang tidak pernah atau tidak akan dipenuhi oleh masing-masing pihak secara individual. Kita tidak bisa mengatakan bahwa semua perjanjian dalam joint venture tidak akan merugikan persaingan; perlu dijelaskan lagi, dalam perjanjianjoint ventureyang bagaimana yang dikecualikan (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), ?000:87).
Sebagai perbandingan, di Australia, Section 45A (2) dan (4) mengecualikan perjanjian-perjanjian dalam joint venture dari ketentuan larangan pricefixing. Pengecualiannya hanya pdari larangan per se illegal-nya. Artinya, kalau akhirnya terbukti mempunyai tujuan atau efek yang antikompetitif perjanjian pricefixing dalam joint venture tersebut : tetap dilarang. Di samping itu, harus dipenuhi syarat-syarat tertentu untuk dapat memanfaatkan fasilitas ini (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:87).
Di Amerika Serikat, menurut the Export Trading Company Act 1982, untuk rnendapatkan imunitas terbatas dari hokum antitrust, joint venture yang melakukan ekspor hams memenuhi syarat: tidak akan mengurangi persaingan dan perdagangan di dalam atau perdagangan ekspor Amerika Serikat, tidak menaikkan, menstabilisasikan, atau menekan harga di Amerika Serikat secara tidak wajar, tidak menimbulkan cara kompetisi yang tidak sehat dengan pesaing-pesaing, dan lain-lain. Di samping itu the Department of Justice dan the Federal Trade Commission telah memberikan sernacam guidelines bagi joint venture tertentu lainnya yang akan menikmati imunitas terbatas dari hukum antitrust (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:87-88)
Di Uni Eropa, joint venture pada dasarnya dianggap selalu mengurangi dan/atau merugikan persaingan, sehingga melanggar Pasal 85 (1) the Treaty of Rome. Walaupun demikian, the Eropa Union Commission bisa memberikan pengecualian menurut Pasal 85 (3) dengan syarat bentuk usaha irii dapat memperbaiki dan/ atau mengembangkan produksi dan distribusi barang atau jasa, atau mendorong kemajuan teknologi dan ekonomi dengan memungkinkan masyarakat konsumen memperoleh bagian yang adil dari keuntungan yang dihasilkan dan yang tidak menyebabkan terjadinya pembatasan dan hambatan terhadap persaingan dari produk yang bersangkutan (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:88).
Diskriminasi Harga clan Diskon
Larangan penetapan diskriminasi (price discrimination) disebutkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebur menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu hams membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang hams dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 tersebut, diskriminasi harga dilarang apabila pelaku usaha membuat suatu perjanjian dengan pelaku usaha lain yang mengakibatkan pembeli yang satu hams membayar harga yang tidak sama atau berbeda dengan harga yang hams dibayar pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama, karena hal ini dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat di kalangan pelaku usaha atau dapat merusak persaingan usaha.
Pada pasar tertentu, produsen dapat menetapkan harga yang mungkin menghasilkan laba yang jauh lebih tinggi dari apa yang dihasilkan jika produsen hanya rnenetapkan satu harga untuk semua konsumen. Strategi penetapan harga yang berbeda ini juga dapat merusak persaingan usaha. Salah satunya menerapkan diskriminasi harga. Dalam hal ini terdapat tiga jenis dan tingkatan strategis diskriminasi harga, di mana setiap tingkatan menuntut informasi yang berbeda mengenai konsumen, yaitu
1. Diskriminasi harga sempurna, di mana produsen akan menetapkan harga yang berbeda untuk setiap konsumen. Seriap konsumen akan dikenakan harga tertinggi yang sanggup dibayarnya. Dengan menerapkan strategi ini, produsen akan menyerap seluruh surplus konsumen, sehingga dapat mencapai laba yang paling tinggi. Strategi ini hanya dapat diimplementasikan pada kasus tertentu saja, karena menuntut produsen untuk mengetahui dengan tepat berapa jumlah maksimum yang ingin dibayarkan oleh konsumen untuk jumlah barang yang ditawarkan;
2. Pada situasi di mana produsen tidak dapat mengindentifikasi maksimum harga yang dapat dikenakan untuk setiap konsumen, atau situasi 'di rnana produsen tidak dapat melanjutkan struktur harga yang sama untuk tambahan unit penjualan, maka produsen dapat menerapkan strategi diskriminasi tingkat harga kedua, di mana produsen akan menerapkan sebagian dari surplus konsumen. Pada strategi ini produsen menerapkan harga yang berbeda untuk setiap pembelinya berdasarkan jumlah barang yang dibeli. Pembeli yang bersedia membeli barang lebih banyak diberikan harga per unit yang lebih murah. Makin sedikit barang yang dibeli, harga per unitnya semakin mahal. Strategi ini banyak dilakukan pada penjualan grosir atau pasar swalayan besar;
3. Bentuk terakhir diskriminasi harga umumnya diterapkan produsen yang mengerahui bahwa perrnintaan atas produk mereka beragam secara sistematik berdasarkan karakteristik konsumen dan kelompok demografis. Pada kondisi ini, produsen dapat memperoleh keuntungan dengan mengenakan tarif yang berbeda untuk setiap kelompok konsumen yang berbeda (Ayudha D. Prayoga. et al., (Ed.), 2000:94-95).
Demikian pula pelaku usaha dilarang menerapkan harga di bawah biaya marginal (predatory price). Pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pe1aku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 tersebut, perjanjian penetapan harga di bawah biaya marginal yang dilarang adalah perjanjian yang dibuat pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan menetapkan harga di bawah pasar atau di bawah biaya rata-rata, yang membawa akibat timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat. Pada satu sisi, penetapan harga di bawah biaya marginal akan menguntungkan konsumen dalam' jangka pendek, tetapi dipihak lain akan sangat merugikan pesaing (produsen lain) . Predatory pricing ini sebenarnya merupakan hasil dari perang harga tidak sehat antara pe1aku usaha dalam rangka merebut pasar. Strategi yang tidak sehat ini pada umumnya beralasan bahwa harga yang ditawarkan merupakan hasil kinerja peningkatan efisiensi perusahaan.
Oleh karena itu, hal ini tidak akan segera terdeteksi sampai pesaing dapat mengukur dengan tepat berapa harga terendah yang sesungguhnya dapat ditawarkan pada konsumen (di mana harga = biaya marginal). Srrategi ini akan menyebabkan produsen menyerap pangsa pasar yang lebih besar, yang dikarenakan berpindahnya konsumen pada penawaran harga yang lebih rendah. Sementara produsen pesaing akan kehilangan pangsa pasarnya. Pada jangka yang lebih panjang, produsen pe1aku predatory pricing akan dapat bertindak sebagai monopolis (Ayudha D. Prayoga, et al. (Ed.), 2000: 100).
Pasal8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk rnembuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang rnemuat persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan/atau jasa yang telah diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ini, pelaku usaha (supplier) dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain (distributor) untuk menetapkan harga vertikal (resale price maintenance), di mana penerima barang dan/ atau jasa selaku distributornya tidak boleh menjual atau memasok kembali barang dan/atau jasa yang telah diterimanya dari supplier tersebut dengan harga ya.ng lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sebelumnya antarasupplier dan distributor, sebab hal itu akan dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Salah satu alasan diadakan perjanjian resale price maintenance ini adalah untuk menghindari intra-brand competition di antara para distributor, yang bisa mengancam stabilitas jaringan ecerannya.
Di samping itu, mungkin supplier ingin juga mempertahankan persepsi para konsumen terhadap kualitas produknya. Resale price maintenance bisa juga terjadi ketika melaksanakan price fixing dari kartel di anrara para retailer. Hal ini dilakukan karena sulit untuk melaksanakannya dengan perjanjian resale price maintenance. Mungkin juga supplier menetapkan resale price maintenance untuk melaksanakan perjannan price fixing di antara supplier ini dengan supplier lain (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:80).
Dari bunyi Pasal 8 terlihat bahwa perjanjian penetapan harga vertikal hanya dilarang apabila dapat mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat. Artinya, berbeda dari price fixing, ia bukan per se illegal. Tidak diketahui mengapa ada perbedaan semacam ini, padahal keduanya sama-sama mengenai harga yang merupakan faktor terpenting di dalam persaingan, dan persaingan harga merupakan tujuan paling utama dari hukum persaingan (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:80).
Sebagai perbandingan, Amerika Serikat dan Australia men&ategorikan baik price fixing maupun resale price maintenance sebagai per se illegal. Baik price fixing maupun resale price maintenance samasama merugikan persaingan dan konsumen. Salah satu perbedaan antara keduanya adalah di dalam resale price maintenance ada korban yang lebih langsung, yakni retailer yang tergeser karena tidak menyukai resale price maintenance tersebut. Pengalaman di Australia menunjukkan bahwa resale price maintenance lebih mudah dibuktikan daripada price fixing, karena biasanya retailer (yang biasanya sukar memberikan diskon) tersebut akan melaporkan dan memberikan bukti-bukti langsung (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:80-81).
2.2.3. Perjanjian Pemhagian Wilayah
Perjanjian price fixing bukan satu-satunya cara mengontrol harga. Cara lain yang walaupun tidak secara langsung dapat mengontrolnya, yakni perjanjian di antara pelaku usaha untuk tidak saling berkompetisi satu sama lain . Caranya, mereka membagi wilayahpemasaran barang atau jasamereka. Ada banyak perjanjian pembagian wilayah ini, pertama, pelaku usaha dapat membagi pasar secara geografis; kedua, membagi jenis atau kelas pelanggan atau konsumen (misalnya wholesalers a.tau retailers); dan ketiga, mereka bisa membagi pasar berdasarkan jenis produk yang dikeluarkan (misalnya peralatan video profesional dan alat video amatir) (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:81).
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian pembagian wilayah (market allocation), baik yang bersifat vertikal atau horizontal. Dalam Pasal9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa, sehingga mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan /atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan Pasal 9 ini, perjanjian pembagian wilayah yang terkena larangan adalah jika isi perjanjian pembagian wilayah yang dimaksud bertujuan membagi wilayah pemasaran ata alokasi pasar terhadap suatu produk barang dan/atau jasa, dimana perjanjian itu dapat menimbulkan praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian ini dilarang karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi persaingan dengan cara membagi wilayah pasar atau alokasi pasar. Wilayah pemasaran di sini dapat berarti wilayah negara Republik Indonesia atau bagian wilayah negara Republik Indonesia, misalnya provinsi, kabupaten/kota, atau wilayah regional yang lain. Membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar itu berarti membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok barang, jasa atau barang, dan jasa tertentu. Perjanjian seperti ini dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Dari ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat disimpulkan bahwa perjanjian pembagian wilayah tidak termasuk per se illegal; oleh karena itu perjanjian yang demikian hanya dilarang apabila dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat (bandingkan Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:81).
Hal ini berbeda dengan ketentuan di Amerika Serikat yang menganggapnya sebagai per se illegal. Pada umumnya memberlakukan market allocation sama dengan price fixing. Perjanjian price fixing memungkinkan setiap pesaing menjual produknya pada harga ~onopoli tanpa rasa takut bahwa yang lain akan menurunkan harga. Marketallocation memungkinkan hal yang sama, karena setiap pesaing tidak menghadapi persaingan berhubungan dengan konsumen yang dilayani , sehingga ia bebas menetapkan harga monopoli. Sebaliknya, ada kernungkinan pembagian wilayah pemasaran ini membuat produksi atau pemasaran menjadi lebih efisien. Para pesaing dapat bersepakat untuk tidak memproduksi produkproduk tertentu atau meninggalkan wilayah-wilayah tertentu dan memfokuskan pada produk-produk atau wilayah-wilayah tertentu yang lain untuk mencapai economies a/scale dan spesialisasi. Dengan kata lain, efisiensi yang lebih besar akan tercapai. Namun, efisiensi semacam ini baru bisa tercapai dengan adanya perjanjian antar pesaing (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:81-82).
2.2.4. pemboikotan
Pelaku usaha juga dilarang untuk membuat perjanjian untuk meiak~an pemboikotan (boycott). Pemboikotan ini merupakan perjanjian horizontal antara pelaku usaha pesaing untuk menolak mengadakan hubungan dagang dengan pelaku usaha lain. Larangan membuat perjanjian pemboikotan ini diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang rnenetapkan:
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
(2) Pelaku usaha dilarang rnernbuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan/ atau jasa dari pelaku usaha lain, sehingga perbuatan tersebur
a.       merugikan atau dapat diduga merugikan pelaku usaha lain ; atau
b.      membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan/atau jasa dari pasar bersangkutan.
Pernboikotan seperti yang diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat menutup akses kepada input yang diperlukan oleh pesaing-pesaing lain (bandingkan Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:84).
Sebagai perbandingan, di Australia, boycott ini-yang oleh Section 4D Trade Practices Act 1974 disebut juga sebagai exclusionary provisions-clilarang secara mutlak, terlepas dari dampaknya terhadap persaingan (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:84).
Dari bunyi Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dapat diketahui kalau Indonesia ternyata tidak mutlak menganutnya seperti yang dilakukan Australia. Pasal 10 ayat (1) memang tidak mensyaratkan adanya dampak negatif dari perjanjian pemboikotan tersebut. Akan tetapi ayat (2) pasal yang sama mensyaratkan adanya kerugian yang diderita pelaku usaha lain sebagai akibat pemboikotan atau halangan perdagangan barang dan/atau jasa di pasar bersangkutan. Namun demikian, tidak berarti hams ada syarat dampak negatif terhadap persaingan, karena terpenuhinya syarat di dalam ayat (2) terse but. Tidak berarti persaingan pasti akan berkurang (bandingkan Ayudha 6, Prayoga, et al., (Ed.), 2000:84)
2.2.5. Kartel
Seringkali suatu industri hanya mempunyai beberapa pemain yang mendominasi pasar. Keadaan demikian dapat mendorong mereka untuk mengambil tindakan bersama dengan tujuan memperkuat kekuatan ekonomi mereka dan mempertinggi keuntungan. Ini akan mendorong mereka untuk membatasi tingkat produksi maupun tingkat harga melalui kesepakatan bersama di antara mereka. Kesemuanya dimaksudkan untuk menghindari terjadinya persaingan yang memgikan mereka sendiri . Kalau berpegang pada teori monopoli, suatu kelompok industri yang mempunyai kedudukan oligopolis akan mendapat keuntungan yang maksimal bila mereka secara bersama berlaku sebagai monopolis. Dalam praktikriya, kedudukan oligopolis ini diwujudkan melalui apa yang disebur asosiasi-asosiasi. Melalui asosiasi ini mereka dapat mengadakan kesepakatan bersama mengenai tingkar produksi, tingkat harga, wilayah pemasaran, dan sebagainya (Agus Sardjono , 1998:26-27), yang kemudian melahirkan kartel, yang dapat pula mengakibatkan terciptanya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat. Kamus Hukum Ekonomi ELIPS (1997:21) mengartikan kartel (carte/) sebagai "persekongkolan atau persekutuan di antara beberapa produsen produk sejenis dengan maksud untuk mengontrol produksi, harga, dan penjualannya, serta untuk memperoleh posisi monopoli". Dengan demikian, kartel rnerupakan salah satu bentuk monopoli, di mana beberapa pelaku usaha (produsen) bersatu untuk mengontrol produksi, menentukan harga, dan/ atau wilayah pemasaran atas suatu barang dan/atau jasa, sehingga di antara mereka tidak ada lagi persaingan. Larangan membuat perjanjian kartel ini dicantumkan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang rnenetapkan bahwa pelaku usaha dilar~ng · membuat perjanjian dengan pelaku usaha saingannya yang berinaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suam barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dari Pasal 11 terse but dapat dilihat bahwa hukum Negara-negara Barat tidak banyak rnempengaruhi ketentuan pasal ini.
Di Amerika Serikat, Australia, dan Uni Eropa, kartel dianggap sebagai perse illegal. Di Amerika Serikat, sebagaimana price fixing, kartel disebut sebagai naked. restraint yang mempunyai tujuan tunggal untuk mempengaruhi tingkat harga dan output. Oleh karena itu, wajar apabila Section 1 the Sherman Act memperlakukannya sebagai per se illegal. Artinya, perjanjian kartel sendiri yang dilarang ranpa melihat kewajaran tingkat harga yang disepakati, tanpa melihat market power para pihak, bahkan tanpa melihat apakah perjanjian kartel tersebut sudah dilaksanakan atau belum. Negara Australia dengan Section 45 jo. 4D (1) dan 45A (1) dari the Trade Practices Act 1974 juga mengategorikan kartel sebagai perse illegal. Begitu juga Uni Eropa, dengan Article 85 dari the Treaty of Rome (Ayudha D. Prayoga, et al. (Ed.), 2000:82).
Alasan mengapa kartel dianggap sebagai per se illegal di negara-negara Barat terletak pada kenyataan bahwa price fixing dan perbuatan-perbuatan kartel yang lain benar-benar mempunyai dampak negatif terhadap harga dan output jika dibandingkan dengan dampak pasar yang kompetitif. Sedangkan kartel jarang sekali menghasilkan efisiensi, atau efisiensi yang dihasilkan sangat kecil dibandingkan dampak negatif dari tindakan-tindakannya.
Suam kartel yang berhasil akan mengeluarkan keputusan-keputusan tentang harga dan output seperti layaknya keputusan-keputusan yang dikeluarkan sebuah perusahaan tunggal yang memonopoli. Akibatnya, pertama, kartel mendapatkan keuntungan-keuntungan monopoli dari para konsumen yang terusmenerus membeli barang atau jasa dengan harga kartel; dan kedua, terjadi penernparan sumber secara salah yang diakibatkan oleh pengurangan outputkarena para konsumen seharusnya mernbeli dengan harga yang kompetitif, selain terbuangnya sumber daya untuk mempertahankan keberadaan kartel itu sendiri (Ayudha D. Prayoga, et aI., (Ed.) , 2000:82-83).
Pada sisi lain, kartel juga bisa memberi keuntungan, Oleh karena itu, keberadaan dan tumbuh-kembangnya diperbolehkan sepanjang hal ini memberikan keuntungan bagi masyarakat banyak. Selain itu, kartel juga dapat membentuk stabiliras dan kepastian tingkat produksi, tingkat harga, dan wilayah pemasaran (yang sama) di antara para pelaku usaha yang tergantung dalam asosiasi tertentu. Dengaa sendirinya pasar menjadi tidak kornpetitif lagi dan karenanya akan merugikan konsumen. Kalau kita perhatikan bunyi ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, perjanjian kartel yang dilarang adalah perjanjian tingkat produksi, tingkat harga, dan/arau wilayah pernasaran atas suatu barang, jasa, atau barang dan jasa, yang dapat berdampak pada terciptanya monopolisasi dan/atau persaingan usaha tidak sehat dengan pelaku usaha saingannya. Larangan yang terdapat dalam Pasal 11 tersebut tidak mengategorikan kartel sebagai per se illegal, sebab kartel masih dirnungkinkan sepanjang tidak menimbulkan praktik rnonopolisasi dan/ atau persaingan usaha yang tidak sehat, yang merugikan masyarakat dan konsumen (bandingkan Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:83).
Indonesia kelihatannya mengikuti ] epang yang mensyaratkan adanya "substantial restraint of competition" yang "contrary to the publicinterest" di dalam larangan terhadap kartel. Perjanjian kartel baru ilegal kalau sudah dipraktikkan dan ternyara mengurangi persaingan secara substansial. Namun, the Fair Trade Commission di ]epang telah mengambil jalan tengah dengan rnengambil tindakan ketika peserta kartel telah melakukan langkah-langkah awal unruk melaksanakan perjanjian kartel. Dengan begitu telah dibuat suatu anggapan, begitu peserta mulai melaksanakan kartel, kartel itu pasti mengurangi persaingan secara substansial seandainya tidak diberhentikan atau dilarang (Ayudha D. Prayoga, er/al., (Ed.), 2000:84).

2.2.6. Trust
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha membuat perjanjian trust, yang melahirkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dalam Pasal 11, Ini dinyatakan: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/ atau pemasaran atas barang dan/atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini, perjanjian trust yang dilarang adalah perjanjian untuk rnelakukan kerja sama dengan cara membentuk apa yang dinamakan trust, yakni gabungan dari beberapa perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan yang digabungkan tadi, dengan rujuan menciptakan stabilisasi dan kepastian tingkat produksi, dan/atau tingkat pemasaran yang sama atas suatu barang, jasa, atau barang dan jasa, dan dengan sendirinya akan dapat menciptakan monopolisasi; dengan demikian pasar menjadi tidak kompetitif lagi, sebab di antara pelaku usaha tidak ada persaingan usaha lagi . Dalam persaingan yang semakin tajam dan border/ess economy yang berlaku dewasa ini, efisiensi menjadi kunci keberhasilan suatu perusahaan berada di dalam pasar. Atas tunrutan efisiensi, semakin banyak perusahaan yang dapat muncul dan bertahan di dalam pasar bila hanya mengerjakan sebagian dari produk jadi.
Karenanya, ketentuan Pasal 11 itu kurang tegas. Akibat yang sudah dapar diperkirakan adalah keinginan perusahaan untuk melakukan merger, strategic alliance akan melemah, apalagi bila dengan tindakan yang dimaksudkan untuk menguasai pangsa pasar tersebut kemungkinan akan melanggar rambu-rambu penguasaan pasar yang dianggap baik. Bagaimanapun juga ketegasan dalam undang-undang sangat dibutuhkan agar para pelaku pasar bersedia memenuhinya (Pande Raja Silalahi, 1999: 12).
2.2.7. Oligopsoni
Demikian pula pelakir usaha dilarang membuat perjanjian oligopsoni, di mana keadaan pasar yang permintaannya dikuasai oleh pelaku usaha tertentu. Larangan ini dicantumkan dalam -Pasal 12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan:
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersarna-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan/atau jasa dalam pasar yang bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersamasama menguasai pembelian dan/arau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (riga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 11 tersebut, dapat disimpulkan yang terkena larangan membuat perjanjian oligopsoni adalah perjanjian yang dibuat pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha lain, yang bertujuan:
1.      secara bersama-sarna;
2.      menguasai pembelian dan/atau penerimaan pasokan atas suatu barang, jasa, atau barang dan jasa tertentu;
3.      dapat mengendalikan harga atas barang, jasa, atau barang dan jasa dalam pasar yang bersangkutan;
4.      menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam kalender tertentu;
5.      perjanjian yang dibuat tersebut ternyara dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Berarti perjanjian oligopsoni tidak akan dilarang sepanjang tidak menimbulkan monopolisasi dan/atau tetap menciptakan pasar kompetiif dan/atau tidak merugikan masyarakat.
2.2.8. Integrasi Vertikal
Praktik integrasi vertikal yang dilakukan beberapa pelaku usaha termasuk perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang mernbuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/atau jasa tertenru yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat. Dari ketencuan Pasal 14 ini jelas bahwa yang dimaksud dengan integrasi vertikal adalah penguasaan produksi atas sejumlah produk, yang termasuk dalam rangkaian proses produksi atas barang tertentu, mulai dari hulu sampai hilir, atau proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu. Meskipun praktik integrasi vertikal ini dapat menghasilkan barang dan/atau jasa dengan harga murah, hal itu dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yang dapat merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat. Oleh karena itu, praktik integrasi vertikal dilarang oleh UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 sepanjang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan /atau merugikan masyarakat.
Dengan adanya Pasal 14 ini, berbagai bidang usaha yang mungkin sangat menguntungkan dan efisien dilakukan di Indonesia justru tidak dapat dikerjakan. Integrasi vertikal suatu usaha tidak selalu buruk, malah sebenarnya usaha integrasi dilakukan untuk meningkatkan efisiensi. Integrasi yang dilakukan di masa lalu mungkin buruk dan beberapa di antaranya merugikan masyarakat karena dalam banyak hal integrasi tersebut hanya dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tertentu-sehingga merugikan kelompok masyarakat tertentu pula (Pande Raja Silalahi, 1999: 12-13). '
2.2.9. Perjanjian Tertutup
Perjanjian rertutup termasuk perjanjian yang dilarang dibuat pelaku usaha. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha unruk membuat perjanjian tertutup dengan pelaku usaha lainnya. Dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan:
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang mernuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada ternpat tertentu.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang mernuar persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/ atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
(3) Pelaku usaha dilarang rnernbuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari pelaku usaha pemasok
a.       harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau
b.      tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari : pelaku usaha pemasok.
2.2.10. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian dengan pihak luar negeri jika perjanjian tersebut dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dari Pasal 16 ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian dengan pihak luar negeri yang dilarang adalah yang dibuat pelaku usaha dengan perjanjian yang memuat ketentuan-ketentuan tidak wajar atau dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
2.3. Perjanjian-Perjanjian yang Dikecualikan
Di beberapa negara, Undang-Undang Antimonopoli kerapkali mengesampingkan beberapa tindakan hukum sehingga tindakan tersebut tidak dapat dikenakah sanksi. Dengan kat a lain, tindakan itu tidak dianggap sebagai suatu pelanggaran (Insan Budi Maulana, 2000:61).
Demikian pula dengan negara Indonesia. Selain mengadakan pengecualian berlakunya pasal tertentu terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, ternyata undang-undang ini juga mengadakan pengecualian berlakunya semua ketentuan di dalamnya terhadap perjanjian-perjanjian tertentu. Pengecualian dari ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa pengecualian dari ketentuan Undang-undang ini adalah
a.       Perbuatan dan/arau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
b.      Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau
c.       Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan/atau jasa yang tidak mengekang dan/atau menghalangi persaingan; atau
d.      Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan/atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
e.       Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau
f.       Perjanjian int~rnasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau
g.      Perjanjian dan/atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak menggangu kebutuhan dan/atau pasokan dalam negeri; atau
h.      Pelaku usaha yang tergolong usaha kecil; atau
i.        Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Disayangkan bahwa Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak menjelaskan perjanjian-perjanjian tersebut lebih lanjut. Padahal pasal pengecualian ini penting, terutama bagi pelaku usaha yang . ingin mernanfaatkannya. Di samping ketidakjelasannya, dikhawatirkan hal ini juga dapat menibulkan penyalahgunaan (bandingkan Ayudha D. Prayoga, et 'aI., (Ed.), 2000:85). Bahkan ada yang mengkritiknya sebagai suatu inkonsistensi (Hikrnahanto Juwana, 1999:28).
Pemerintah dapat saja menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya, begitu juga dengan pelaku usaha yang berkolusi dengan pernerintah untuk membuat ketentuan yang antipersaingan usaha, yang k~mudian oleh pernerintah dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Selama Orde Baru berkuasa, praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat selalu dilegalisir melalui peraturan perundang-undangan.
Amerika Serikat mengenal istilah "state action doctrine", artinya peraturan antitrust hanya berlaku dalam dunia bisnis selama tidak digunakan untuk melaksakan peraturan Negara bagian. Namun, peraturan negara bagian yang antikornpetitif bisa tidak sah karena berrenrangan dengan Konstirusi, yakni mengganggu perdagangan secara tidak wajar; Amandemen Pertarna Konstitusi; atau undang undang Pemerintah Federal, seperti Federal Trade Commission Act atau Hukum Paten (Ayudha D.
Prayoga, et al. (Ed.), 2000:85).
Jika memperhatikan fakta pengecualian dari Pasal 50, para perancang undang-undang telah keliru memahami perundangundangan di bidang hak atas kekayaan intelekrual (HaKI). Selain itu, isi pasal tersebut tidak sesuai dengan realitas yang terjadi di masyarakat Eropa, Jepang, dan Jerman, yang juga rnengarur larangan-larangan perjanjian lisensi, know how, merek, dan waralaba, apabila perjanjian itu bertenrangan dengan prinsip-prinsip persaingan jujur (Insan Budi Maulana, 2000:6465).
Bahkan secara internasional posisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 kurang menguntungkan. Ketika masyarakat internasional mulai curiga adanya kemungkinan dampak negative dari praktik-praktik perlisensian di bidang HaKI terhadap persaingan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bersikap sebaliknya, yaitu mengecualikan berlakunya ketentuan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 terhadap perjanjian yang berkaitan dengan HaKI (Ayudha D. Prayoga, et al. (Ed.), 2000:86).
Terbukti dalam Pasal 40 ayar (1) dan ayat (2) Agreement on Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) sebagai bagian Final Act Uruguay Round dinyatakan:
(1) Members agree that some licensing practices or conditions pertaining to intellectual property rights which restrain competition may have adverse effects on trade may impede the transfer and dissemination 0/ technology.
(2) Nothing in this Agrement shall prevent Members from specifying in their national legislation licencing practices or conditions that may in particular cases constitute an abuse of intellectual property rights having an adverse effect on competition in the relevant market. As provided above, a Member may adopt, consistently with the other provisions of this Agreement, appropriate measures to prevent or control such practices, which may include /or example exclusive grantback conditions, conditions preventing challenges to validity and coercive package licensing, in the light of the relevant laws and regulatedofthe Member.
Dari Pasal40 ayat (1) dan ayat (2) Persetujuan TRIPs tersebut, dapat diketahui negara-negara anggota WTO sepakat bahwa beberapa praktik perlisensian atau persyaratan-persyaratan yang berkaitan dengan HaKI dapat menghambat persaingan usaha yang dapat berakibat buruk terhadap perdagangan dan dapat menghambat pengalihan dan penyebaran teknologi. Karenanya tidak tertutup kemungkinan bagi negara-negara anggota WTO untuk menetapkan dalam peraturan perundang-undangannya praktik-praktik perlisensian atau persyaratan-persyaratan perlisensian yang dalam hal-hal tertentu metupakan penyalahgunaan HaKI yang berakibat buruk terhadap persaingan dalam pasar bersangkutan. Bahkan negara-negara anggota WTO dapat menetapkan langkah-langkah untuk mencegah atau mengendalikan praktik-praktik perlisensian atau persyaratan-persyararan yang dalam hal-hal tertentu merupakan penyalahgunaan dari HaKI, seperti persyaratan untuk memberikan hak ekskulsif secara timbal balik, persyaratan untuk mencegah diajukannya sanggahan mengenai keabsahan dan pemaksaan paket lisensi, sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan terkait yang berlaku di negara-negara anggota WTO tersebut. Dengan demikian jelaslah bahwa pembuatan perjanjian yang berkaitan dengan bidang HaKI tidak boleh berlawanan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999' atau mengikuti ketentuan-ketentuan khusus perlisensian yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan HaKI.
Khusus untuk kekecualian ketenruan bahwa usaha kecil dan koperasi memang diatur oleh undang-undang tersendiri telah mengundang perdebatan tersendiri. Ada negara yang memang memberikan pengecualian terhadap koperasi, misalnya di]epang.
Tetapi usaha kecil dan menengah serta koperasi yang dikecualikan akan menciptakan proteksi sepihak dengan tidak mengikutsertakannya dalam undang-undang ini. Hal itu akan menghambat pertumbuhan usaha kecil dan menengah itu sendiri. Di samping itu, melihat kondisi koperasi yang ada pada saat ini di Indonesia, hail ini juga dapat menimbulkan kerancuan dan peluang bagi pelaku usaha untuk menggunakan pasal pengecualian dalam berusaha; tujuannya adalah melegalisir tindakannya dengan bersembunyi di belakang wujud koperasi (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:124).
Bab3
Kegiatan yang Dilarang
3.1. Pengertian Kegiatan
Berbeda dengan istilah "perjanjian" yang dipergunakan, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak dapat kita temukan suatu definisi mengenai "kegiaran". Namun demikian, jika ditafsirkan secara a contrario terhadap definisi perjanjian yang diberikan dalam Undang-Undang Nornor 5 Tahun 1999, dapat dikarakan bahwa pada dasarnya yang dimaksud dengan "kegiatan" adalah tindakan atau perbuatan hukum "sepihak" yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelak~ usaha tanpa ada keterkaitan hubungan (hukum) secara langsung dengan pelaku usaha lainnya (Ahmad Yani dan Guriawan Widjaja, 1999:31).
Dari sini jelaslah bahwa "kegiatan" merupakan suatu usaha, aktivitas, tindakan, atau perbuatan hukum secara sepihak yang dilakukan oleh pelaku usaha tanpa melibatkan pelaku usaha lainnya.
3.2. Bentuk-Bentuk Kegiatan yang Dilarang
Dari Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat beberapa bentuk kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha,yaitu
1. monopoli (Pasal 17);
2. monopsoni (Pasal 18);
3. penguasaan pasar (Pasal 19);
4. dumping (Pasal 20);
5. manipulasi biaya produksi (Pasal 21); dan
6. persengkongkolan (Pasal 22).
3.2.1. Monopoli
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pengertian "rnonopoli" dibedakan dari pengertian "praktik rnonopoli". Pengertian praktik monopoli dikemukakan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu pemusatan kekuatan ekonomi oleb satu atau lebih pelaku usaba yang mengakibatkan dikuasainya produksi danlatau pemasaran atas barang danlatau jasa tertentu, sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sernenrara itu pengertian monopoli dikemukakan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu penguasaan atas produksi danlatau pemasaran barang danlatau jasa tertentu oleb satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usahk. Dengan demikian, monopoli adalah situasi pasar di mana hanya ada satu pelaku usaha atau satu ke1ompok pelaku usaha yang "rnenguasai" suatu produksi dan/atau pemasaran barang dan/arau penggunaan jasa tertentu, yang akan ditawarkan kepada ~anyak konsumen, yang mengakibatkan pe1aku usaha atau ke1ompok pelaku usaha tadi dapat mengontrol dan mengendalikan tingkar produksi, harga, dan sekaligus wilayah pemasarannya.
Dari ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat disimpulkan, ternyata tidak semua kegiatan monopoli dilarang. Hanya kegiatan monopoli yang memenuhi unsur dan kriteria yang disebutkan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 saja yang dilarang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha . Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan/ atau pemasaran barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini apabila
a.       barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b.      mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama; atau
c.       satu pelaku usaha atau saru kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu,
Monopoli yang dilarang menurut Pasal 17 ini jika monopoli tersebut mernenuhi unsur-unsur sebagai berikut.
a.       melakukan kegiatan penguasaan atas produk barang, jasa, atau barang dan jasa tertentu;
b.      melakukan kegiatan penguasaan atas pemasaran produk barang, jasa, atau barang dan jasa tertentu;
c.       penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli;
d.      penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Sedangkan kriteria yang digurrakan untuk membuktikan ada atau tidaknya monopoli yang dilarang tersebut didasarkan pada
a.       produk barang, jasa, atau barang dan jasa tersebut belum ada penggantinya (substitusinya);
b.      pelaku usaha lain sulit atau tidak dapat masuk ke dalam persaingan terhadap produk barang, jasa, atau barang dan jasa yang sama (barrier to entry);
c.       pelaku usaha lain tersebut adalah pelaku usaha yang mempunyai kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar yang bersangkutan;
d.      satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha telah menguasai lebih dari 50% pangsa pasar dari suatu jenis produk barang atau jasa terrentu.
Dengan demikian, tidak semua kegiatan penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa tergolong pada kegiatan yang dilarang, terkecuali sepanjang memenuhi unsur-unsur dan kriteria monopoli yang disebutkan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Selain itu, jika pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha dapat membuktikan sebaliknya yaitu kegiatan yang dilakukannya tidak memenuhi unsur-unsur dan kriteria Pasal 17 Undang-Undang Nornor 5 Tahun 1999-maka pelaku usaha atau kelompok usaha tadi dengan sendirinya dapat terbebas dari kegiatan yang patut diduga atau dianggap sebagai monopoli.
Dalam literatur, monopoli dilarang karena mengandung beberapa dampak negatif yang merugikan, antara lain
a.       Terjadi peningkatan harga suatu produk sebagai akibat tidak ada kompetisi dan persaingan bebas. Harga yang tinggi ini pada gilirannya akan menyebabkan inflasi yang merugikan masyarakat luas;
b.      Pelaku usaha mendapat keuntungan (profit) di atas kewajaran yang normal. Ia akan seenaknya menetapkan harga untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya karena konsumen tidak ada pilihan lain dan terpaksa membeli produk tersebut;
c.       Terjadi eksploitasi terhadap konsumen karena tidak ada hak pilih konsumen atas produk. Konsumen akan seenaknya menetapkan kualitas suatu produk tanpa dikaitkan dengan biaya yang dikeluarkan. Eksploitasi ini juga akan menimpa karyawanan dan buruh yang bekerja pada produsen tersebut dengan menetapkan gaji dan upah yang sewenang-wenang tanpa memperhatikan ketentuan yang berlaku;
d.      Terjadi ketidakekonomisan dan ketidakefisienan yang akan dibebankan kepada konsumen dalam rangka menghasilkan suatu produk, karena perusahaan monopoli cenderung tidak beroperasi pada average cost yang minimum;
e.       Ada entry barrier di mana perusahaan lain tidak dapat masuk ke dalam bidang usaha perusahaan monopoli tersebut, karena penguasaan pangsa pasar yang besar. Perusahaan-perusahaan kecil tidak diberi kesempatan untuk tumbuh berkembang dan akan menemui ajalnya satu persatu;
f.       Pendapatan jadi tidak merata, karena sumber dana dan modal akan tersedot ke dalam perusahaan monopoli. Masyarakat banyak harus berbagi dengan banyak orang dalam bagian yang sangat kecil, sementara perusahaan monopoli dengan sedikit orang akan menikmati bagian yang lebih besar (Ahrnad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999:30).
Selama ini kenyataan rnenunjukkan bahwa monopoli tidak hanya dilakukan oleh pihak swasta saja, tetapi juga oleh badan usaha negara (Dirnyati Hartono, 1998:38). Hal ini dimungkinkan oleh sistern ekonomi nasional kita yang didasarkan pada demokrasi ekonomi. Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 memberikan dasar filosofis dan hukum kemungkinan monopoli dan/atau penguasaan atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak serta penguasaan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh negara. Dengan kata lain monopoly by law dimungkinkan dalam hukum persaingan usaha kita, asalkan kegiatannya termasuk atau menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Negara dapat saja memberikan hak-hak yang bersifat istimewa kepada badan-badan usaha negara yang bergerak di sektor yang penting dan menguasai hayat hidup orang banyak tersebut. Namun demikian, jangan sampai ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 disalahgunakan negara dengan menjadikan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) itu sebagai justifikasi untuk menindas rakyat banyak dan menyerahkan tampuk produksi yang penting ke tangan orang seorang yang berkuasa. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 tidak antimonopoli.
Ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 ini lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 51 tersebut menyatakan bahwa monopoli dan/atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang menguasai hayat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan/atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ini, negara masih dimungkinkan memberikan hak monopoli dan/atau pemusatan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa, yang sebelumnya diterapkan atau diatur dengan undang-undang dan penyelenggaraannya akan diserahkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang, atau badan/lembaga lain yang dibentuk atau ditunjuk Pemerintah berdasarkan undang-undang.
3.2.2. Monopsoni
Kegiatan monopsoni terrnasuk kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Monopsoni ialah situasi dimana hanya ada satu pelaku atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal; sementara itu, pelaku usaha maupun kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak. Akibatnya, pembeli tunggal tersebut dapat mengontrol dan menentukan, bahkan mengendalikan, tingkat harga yang diinginkannya. Kegiatan yang demikian dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat dan apabila pembeli tunggal yang dimaksud juga menguasai lebih dari 50% pangsa pasar dari satu jenis produk barang atau jasa tertentu.
Dasar larangan kegiatan monopsoni ini dinyatakan dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang berbunyi
(1)   Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.
(2)   Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Dari bunyi ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu kegiatan pelaku usaha akan dikatakan sebagai kegiatan monopsoni bila memenuhi persyaratan di bawah ini :
a.       dilakukan oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha atau yang bertindak sebagai pembeli tunggal;
b.      telah menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
c.       paling penting, kegiatan tersebut mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Walaupun secara teoritis monopsoni dapat tumbuh secara alamiah karena kondisi geografis suatu wilayah produksi yang terpencil dan terasing atau bisa juga terpencar, terapi di Indonesia monopsoni terjadi karena pengaruh kebijakan pemerintah yang dinyatakan dalam peraturan. Contoh gamblang yang pernah terjadi di Indonesia adalah BPPC yang pernah bertindak sebagai pembeli tunggal atas seluruh produk cengkeh yang dihasilkan seluruh petani di tanah air. Selain itu ia juga bertindak sebagai penjual tunggal produk itu kepada para pengusaha rokok yang bertindak sebagai pembeli. Tindakan BPPC seperti ini jelas menimbulkan praktik monopsoni (Insan Budi Maulana, 2000: 30).
3.2.3. Penguasaan Pasar
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga melarang kegiatan penguasaan pasar oleh pelaku usaha, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain. Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merumuskan pengertian pasar adalah lembaga ekonomi dimana para pembeli dan penjual, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa.
Dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan:
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yaitu
a.       menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
a.       menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
b.      membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan; atau
c.       melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Dari bunyi ketentuan Pasal 19 tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, yaitu
a.       menolak, menghalangi, atau menolak dan menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
b.      menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
c.       membatasi peredaran, penjualan, atau peredaran dan penjualan barang, jasa, atau barang dan jasa pada pasar bersangkutan;
d.      melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
3.2.4. Dumping
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga melarang kegiatan dumping. Larangan praktik dumping ini diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan/atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan ketentuan Pasal 20 tersebut, pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang, jasa, atau barang dan jasa dengan cara menjual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah (dumping) dari harga produksi barang, jasa, atau barang dan jasa yang sejenis dengan maksud untuk menyikirkan atau mematikan usaha pelaku usaha pesaingnya di pasar yang sama; kegiatan tersebut dengan sendirinya dapat mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Dalam kamus Hukum Ekonomi ELIPS (1997:54) dumping diartikan sebagai praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual barang, jasa, atau barang dan jasa di pasar internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain. Dengan kata lain, dumping adalah kegiatan dagang yang dilakukan produsen pengekspor yang dengan sengaja banting harga dengan cara menjual rugi atau menjual dengan harga lebih murah dibandingkan harga jual dalam negeri atau di negara lain, dengan harapan dapat mematikan usaha pesaing di pasar yang bersangkutan, Praktik dagang yang demikian dianggap sebagai praktik dagang yang tidak sehat dan sekaligus bisa mendatangkan kerugian pelaku usaha sejenis di negara pengimpor. Oleh karena itu, beberapa negara, misalnya Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Masyarakat Eropa telah melarang praktik dagang dumping (antidumping) ini
dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya.
Negara-negara tersebut telah sejak lama memiliki rezim pengaturan antidumping. Amerika Serikat barangkali menjadi Negara pertama dalam sejarah yang memberlakukan peraturan mengenai larangan dumping. Dari waktu ke waktu, kecenderungan negaranegara untuk mengeluarkan peraturan antidumping terus meningkat.
Pada umumnya tujuan negara-negara tadi mengeluarkan peraturan antidumping adalah untuk memberikan proteksi terhadap industri dalam negeri dari praktik dumping eksportir atau produsen luar negeri. Peraturan antidumping ini memungkinkan pemerintah untuk menghukum bagi eksportir atau produsen yang melakukan praktik dumping dengan cara menerapkan sanksi hukuman berupa pengenaan bea masuk yang tinggi atas barang dumping. Penerapan bea masuk ini bertujuan untuk mengeliminir kerugian dari barang dumping. Dengan cara seperti ini, industry dalam negeri dapat dilindungi dan tetap dapat bersaing dengan barang impor meskipun barang impor tersebut dijual dengan . harga dumping (Aji Setiadi, 2000: 1).
Dari sudut pandangan negara pengimpor, prakrik dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industry barang sejenis dalam negeri. Dengan membanjirnya barang-barang dari negara pengekspor yang harganya jauh lebih murah dari barang dalam negeri, barang sejenis dalam negeri akan kalah bersaing. Pada gilirannya, hal ini akan mematikan pasar barang sejenis di dalam negeri. Akibat yang ditimbulkan dari praktik dumping ini dapat menjadi sangat serius. Bahkan sangat mungkin mengakibatkan pemutusan hubungan kerja massal, pengangguran, dan industri barang sejenis dalam negeri pun bangkrut (Aji Setiadi, 2000: 1). Akan tetapi, bisa saja terjadi, praktik dumping itu tidak berhasil apabila (para) pesaing mampu bertahan karena melakukan penurunan harga juga atau karena kualitas produk pesaing itu telah begitu melekat di hati konsumen, sehingga tidak terpengaruh harga jual yang lebih rendah yang dilakukan oleh pelaku dumping (Insan Budi Maulana, 2000:32). Di lain pihak dari sudut pengekspor praktik dumping terkadang sengaja dilakukan sebagai strategi bisnis untuk merebut pangsa pasar di negara lain. Produsen di negara pengekspor yang telah mendapatkan pangsa pasar di pasar domestiknya biasanya ingin mengembangkan ke pasar negara lain. Dalam merebut pasar negara lain inilah terkadang produsen menerapkan praktik dumping. Harga penjualan ke negara tujuan ekspor dibuat lebih rendah dari penjualan di dalam negeri atau penjualan ke Negara lain atau bahkan di bawah harga produksi. Dengan harga murah inilah produsen berharap dapat merebut pasar di suatu negara. Kerugian sernentara mereka sebagai akibat praktik dumping di negara tujuan ekspor dieliminir dengan keuntungan yang mereka raih di negara asal atau negara lain dimana mereka tidak menerapkan praktik dumping (Aji Setiadi , 2000: 1).
Pengaturan antidumping ini juga mendapatkan perhatian dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Terbukti pengaturannya dicantumkan dalam Pasal VI GATT, yang menyatakan bahwa tindakan antidumping diperkenankan diambil atau hanya akan diberlakukan oleh suatu negara pengimpor dalam rangka kompensasi penggantian kerugian (injury) yang dialami pelaku usaha atau industri sejenis di dalam negeri sebagai akibat praktik dumping tersebut. GATT menganggap bahwa ekspor barang-barang yang disertai perbuaran dumping dan terbukti rnengakibatkan kerugian bagi usaha atau industri barang sejenis di negara importir merupakan praktik perdagangan yang tidak jujur (unfair trade practice). Oleh karena itu, dalam hal ini GATT mengizinkan suatu negara yang dirugikan untuk mengambil tindakan antidumping berupa pengenaan antidumping duties sebesar kerugian yang dideritanya (H.S. Kartadjoemena, 1997: 169).
Karena mekanisme antidumping yang diatur dalam Pasal VI GATT amat sumir dan sederhana, ditambah terjadi penyalahgunaan pelaksanaan tindakan antidumping, maka diadakan persetujuan baru yang rnengatur pelaksanaan Pasal VI GATT tersebut; terakhir dituangkan dalam Final Act Uruguay Round di bawah judul Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994. Dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa tindakan antidumping akan diberlakukan hanya dalam keadaan sebagairnana diatur dalam Pasal VI GATT 1994 dan menurut prosedur penyelidikan, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994.
Penggunaan upaya anti dumping yang dimungkinkan dalam sistern GATT sebagai tindakan melawan praktik dumping pada kenyataannya lebih banyak digunakan semata-mata sebagai usaha untuk melindungi industri dalam negeri. Keadaan ini dianggap menghambat kelancaran arus perdagangan internasional. Oleh karena itu, pengaturan masalah antidumping dalam sistern perdagangan multilateral akan semakin penting, terutama bagi Negara berkembang, yang sang at berkepentingan meningkatkan ekspor non-migas, khususnya barang-barang manufaktur. Peserta perundingan perdagangan multilateral Uruguay Round, baik dari kalangan negara maju maupun negara berkembang, menganggap masalah antidumping perlu dimasukkan menjadi salah satu substansi perundingan di bidang rules making. Dalam perundingan tersebut, yang diperjuangkan terurama adalah penerapan ketentuan yang lebih jelas dan seimbang untuk mencegah penggunaan aturan antidumping dan tindakan antidumping duties sebagai alat proteksi yang terselubung (H.S . Kartadjoernena, 1997:170).
3.2.5. Manipulasi Biaya
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dari ketentuan Pasal 21 ini, pelaku usaha dilarang melakukan kegiatan memanipulasi biaya produksi dan biaya lain yang nantinya akan diperhitungkan sebagai salah satu komponen harga barang, jasa, atau barang dan jasa yang akan dipasarkan kepada konsumen, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat atau merugikan masyarakat. Penjelasan Pasa121 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa indikasi biaya yang dimanipulasi terlihat dari harga yang lebih rendah dari harga seharusnya. Kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya ini bukan saja melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, tetapi juga melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya.
Pelanggaran Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini, misalnya, bisa melanggar Undang-undang Perpajakan, karena konsekuensi penetapan biaya produksi dan biaya lainnya dalam menentukan harga barang dan/atau jasa yang dilakukan secara curang akan menimbulkan pengaruh terhadap jumlah besar atau kecilnya pajak yang harus dibayar (Insan Budi Maulana, 2000:3233).
3.2.6. Persekongkolan
Pelaku usaha juga dilarang melakukan kegiatan persekongkolan yang membatasi atau menghalangi persaingan usaha (conspiracy in restraint of business), karena kegiatan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Pengertian persekongkolan atau konspirasi dikemukakan dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu bentuk kerja sama yang dilakukan oleb pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersengkongkol. Bentuk kegiatan persekongkolan ini tidak harus dibuktikan dengan adanya perjanjian, tetapi bias dalam bentuk kegiatan lain yang tidak mungkin diwujudkan dalam suatu perjanjian.
Terdapat 3 (tiga) bentuk kegiatan persekongkolan yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagaimana diatur dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 24 . Dalam Pasal 22 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pihak lain di sini tidak terbatas hanya pemerintah saja, bisa swasta atau pelaku usaha yang ikut serta dalam tender yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 22 menyatakan bahwa tender adalah tawaran untuk mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Kegiatan bersekongkol rnenentukan pemenang tender jelas merupakan perbuatan curang, karena pada dasarnya (inherently) tender dan pemenangnya tidak diatur dan bersifat rahasia (walaupun ada tender yang dilakukan secara terbuka) (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed), 2000: 122).
Pasal 23 melarang pelaku usaha untuk bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklafisikasikan sebagai rahasia perusahaan atau yang dikenal dengan sebutan rahasia dagang. Sebutan rahasia dagang merupakan terjemahan dari istilah "undisclosed information", "trade secret", atau "know how". Rahasia dagang tidak boleh diketahui umum, karena selain mempunyai nilai teknologi. Ia juga mempunyai nilai ekonomis yang berguna dalam kegiatan usaha. Kerahasiaannya biasanya dijaga oleh pemiliknya.
Ketentuan mengenai perlindungan informasi yang dirahasiakan juga mendapat pengaturan dalam Persetujuan TRIPS sebagai bagian dari Final Act Uruguay Round. Pasal 39 Persetujuan TRIPS menyatakan bahwa dalam rangka menjamin perlindungan yang efektif untuk mengatasi persaingan curang, negara-negara anggota GATT/WTO wajib memberikan perlindungan terhadap
1.      Informasi yang dirahasiakan yang dimiliki perorangan atau badan hukum, sepanjang informasi yang bersangkutan
a.       secara keseluruhan, atau dalam konfigurasi dan gabungan yang utuh dari beberapa komponennya, bersifat rahasia dalam pengertian hal tersebut tidak seeara umum diketahui atau terbuka untuk diketahui oleh pihak-pihak yang dalam kegiatan sehari-harinya biasa menggunakan informasi serupa itu;
b.      memiliki nilai komersial karena kerahasiaannya; dan
c.       dengan upaya yang semestinya, selalu dijaga kerahasiaannya oleh pihak yang secara hukum menguasai informasi tersebut.
2.      Data yang diserahkan kepada pemerintah atau badan pemerintah yang berasal dari hasil percobaan yang dirahasiakan, yang diperoleh dari upaya yang tidak mudah, atau akan disalahgunakan secara komersial.
Adanya Pasal 39 Persetujuan TRIPS ini telah meningkatkan status trade secret menjadi hak milik intelektual. Hal tersebut akan menimbulkan erosi dari sistem paten yang mengharuskan pengungkapan sebagai suatu persyaratan dasar untuk perlindungan (H.S. Kartadjoemena, 1997:271-272).
Bagi Indonesia, pengaturan mengenai rahasia dagangnya diatur secara tersendiri, tidak dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dewasa ini pengaturannya dapat dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Pengertian rahasia dagang dikemukakan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa rahasia dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang. Berarti rahasia dagang di sini tidak terbatas hanya pada rahasia bisnis atau dagang belaka, melainkan termasuk informasi industrial know how, seperti yang dianut oleh hukum Amerika Serikat. Hal ini juga dapat dilihat dari lingkup perlindungan rahasia dagang yang diatur sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000. Pasal 2 tersebut menyatakan bahwa lingkup perlindungan rahasia dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui masyarakat umum.
Persyaratan rahasia dagang dikemukakan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000, bahwa rahasia dagang yang akan mendapat perlindungan terbatas pada informasi yang bersifat rahasia, mempunyai nilai ekonomis, dan dijaga kerahasiaannya melalui upaya-upaya sebagaimana mestinya, yaitu semua langkah yang memuat ukuran kewajaran, kelayakan, dan kepatutan yang harus dilakukan. Misalnya, di dalam suatu perusahaan harus ada prosedur baku berdasarkan praktik umum yang berlaku di tempat-tempat lain dan/atau yang dituangkan ke dalam ketentuan internal perusahaan itu sendiri. Demikian pula dalam ketentuan internal perusahaan dapat ditetapkan bagaimana rahasia dagang itu dijaga dan siapa yang bertanggung jawab atas kerahasiaan itu. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 3 tersebut suatu informasi akan dianggap termasuk rahasia dagang, bila memenuhi 3 (tiga) persyaratan berikut ini.
1.      Informasi bersifat rahasia , bahwa informasi tersebut hanya diketahui oleh pihak tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat;
2.      Informasi memiliki nilai ekonomi, bahwa sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat komersial atau dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi;
3.      Informasi dijaga kerahasiaannya apabila pemilik atau para pihak yang menguasainya telah melakukan langkah-langkah yang layak dan patut.
Dalam hukum Amerika Serikat, ruang lingkup rahasia dagang pada intinya juga mencakup informasi teknik (technical information) dan informasi non-teknik (non-technical information), yang keseluruhannya mencakup informasi teknikal penelitian dan pengembangan, informasi proses produksi, informasi pemasok, informasi penjualan dan pemasaran, informasi keuangan, dan informasi administrasi internal (Ahmad M. Ramli, 2000:45-46).
Di samping kedua bentuk persekongkolan di atas, Pasal 24 juga melarang persekongkolan yang dapat menghambat produksi, pemasaran, atau produksi dan pemasaran atas produk. Dalam Pasal 24 tersebut dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan barang dan/atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang, baik dari kualitas maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ini jelas bahwa pelaku usaha dilarang untuk bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat pelaku usaha pesaing dalam memproduksi, memasarkan, atau memproduksi dan memasarkan barang, jasa, atau barang dan jasa dengan maksud agar barang, jasa, atau barang dan jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang atau menurun kualitasnya; atau memperlambat waktu proses produksi, pemasaran, atau produksi dan pemasaran barang, jasa, atau barang dan jasa yang sebelumnya sudah dipersyaratkan. Kegiatan persekongkolan seperti ini dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat .
Bab4
Posisi Dominan
4.1. Pengertian Posisi Dominan
Pengertian posisi dominan dikemukakan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa posisi dominan adalah keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap pelaku usaha mempunyai kemungkinan untuk menguasai pangsa pasar secara dominan, sehingga dirinya dianggap menduduki posisi dominan atas pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha lainnya yang menjadi pesaingnya dalam menguasai pangsa pasar; atau suatu posisi yang menempatkan pelaku usaha lebih tinggi atau paling tinggi di antara pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha lain yang menjadi pesaingnya dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu, sehingga dirinya dianggap menduduki posisi dominan atas pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha lainnya yang menjadi pesaingnya.
Lebih lanjut, dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa suatu pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha dianggap memiliki "posisi dominan" apabila
1.      satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar atau jenis barang atau jasa tertentu; atau
2.      dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Dari bunyi ketentuan Pasal 25 ayat (2) ini, dapat disimpulkan bahwa jika posisi dominan itu terkait dengan "penguasaan pasar" atas satu jenis barang atau jasa tertentu di pasar bersangkutan oleh satu pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha sebesar 50% atau lebih, atau dua atau tiga pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha sebesar 75% atau lebih, hal ini akan mengakibatkan hanya ada satu pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang bersangkutan. Penguasaan pasar yang demikian dinamakan "posisi dominan".
4.2. Bentuk-Bentuk Kegiatan Posisi Dominan yang Dilarang
Dari Pasal 25 sampai dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, terdapat 4 (macam) bentuk kegiatan posisi dominan yang dilarang, yaitu
a.       kegiatan posisi dominan yang bersifat umum (Pasa125);
b.      jabatan rangkap atau kepengurusan terafiliasi (Pasal 26);
c.       pemilikan saham atau terafiliasi (Pasal 27);
d.      penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perusahaan (Pasal 28 dan Pasal 29).
4.2.1. Kegiatan Posisi Dominan yang Bersifat Umum
Selain melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian atau kegiatan tertentu yang dapat mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat , Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga melarang pelaku usaha yang dianggap memiliki posisi dominan untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, (Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha menggunakan posisi dominan yang dipunyainya, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan mencegah, menghalangi, atau mencegah dan menghalangi konsumen memperoleh barang, jasa, atau barang dan jasa yang bersaing, termasuk juga dari segi harga maupun kualitas; atau W membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau C menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing (kompetitor) untuk memasuki pasar yang bersangkutan. Ketentuan Pasal 25 ayat (1) ini seirama dengan aturan yang dimainkan oleh Section 2 Sherman Act, yang menekankan pada proses monopolisasi tersebut dan tidak memberatkan hanya pada adanya monopoli. Undang-undang secara tegas mengakui adanya posisi dominan tertentu dengan penguasaan pasar yang cenderung bersifat monopoli, yang telah terjadi sebagai akibat seleksi alamiah maupun berdasarkan alasan-alasan lainnya. Walau demikian, posisi dominan yang telah dimiliki tersebut tidak boleh dipergunakan untuk menghambat pengembangan teknologi maupun untuk mendistorsi pasar dengan cara berupaya mencegah persaingan dengan mengeliminir munculnya pelaku usaha baru. Spirit yang diemban dalam Section 2 Sherman Act, yang bertujuan meningkatkan persaingan secara sehat dan jujur dalam dunia usaha, telah dilanggar oleh pelaku usaha yang memiliki posisi dominan tersebut (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999:40).
4.2.2. Jabatan Rangkap
Dalam rangka mencegah terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga melarang adanya hubungan kepengurusan terafiliasi, yakni dengan melarang seseorang menduduki jabatan rangkap pada waktu yang bersamaan pada perusahaan lain . Pasal 126 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang seseorang yang menduduki jabatan Direksi atau Komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan merangkap menjadi Direksi atau Komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan tersebut
a.       berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau
b.      memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang, jenis, atau bidang dan jenis usaha. Perusahaan-perusahaan dianggap memiliki keterkaitan yang erat apabila perusahaan-perusahaan tersebut saling mendukung atau berhubungan langsung dalam proses produksi, pemasaran, atau produksi dan pemasaran; atau
c.       secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
4.2.3. Kepemilikan Saham Mayoritas
Untuk mencegah terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, dimana penguasaan pasar berada di tangan pelaku usaha atau sekelompok usaha yang memiliki posisi dominan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga melarang pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha untuk memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis. Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama, pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama, pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan beberapa perusahaan tersebut mengakibatkan
a.       satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
b.      dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh Lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
4.2.4. Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan
Secara umum terdapat tiga bentuk penyatuan perusahaan, yaitu merger, konsolidasi, dan akuisisi, yang diterjemahkan dengan istilah penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan. Istilah "merger" berasal dari bahasa Inggris "merger", 'fusion", atau "absorption", yang berarti "menggabungkan" atau "lebur tunggal".
Merger dapat diartikan sebagai penyatuan atau penggabungan dua perusahaan atau lebih dengan cara mendirikan perusahaan baru dan membubarkan perusahaan lainnya. Dalam hal ini salah satu perusahaan atau lebih dapat menggabungkan diri menjadi satu dengan perusahaan yang telah ada dan salah satu dari perusahaan yang akan digabungkan itu tetap dipertahankan keberadaannya, sehingga segala hak dan kewajiban yang ada dialihkan kepada perusahaan penerima penggabungan perusahaan tadi. Sementara pengertian penggabungan dikemukakan pula Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar", Sedangkan istilah "konsolidasi" berasal dari bahasa Inggris "consolidation", yang berarti "peleburan". Secara sederhana konsolidasi diartikan penggabungan dua perusahaan atau lebih dengan cara membentuk perusahaan baru dan membubarkan perusahaan yang tergabung tadi. Singkatnya, beberapa perusahaan yang ada bergabung atau rnenyatukan diri menjadi perusahaan baru, dimana hak dan kewajiban perusahaan yang ada (yang menggabungkan diri) diambil alih oleh perusahaan baru yang telah dibentuk. Pengertian yang sama dikemukan dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara membentuk satu perseroan baru dan masing-masing perseroan yang meleburkan diri menjadi bubar.
Kemudian istilah "akuisisi" juga berasal dari bahasa Inggris "acquisition", yang berarti "mengambil alih". Tidak sama dengan merger dan konsolidasi, dalam akuisisi kedua perusahaan atau lebih yang akan "rnenyatukan diri" tetap ada, hanya saja terjadi perubahan kepemilikan aset atau saham, sehingga mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perusahaan tersebut. Kiranya sama dengan Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih baik seluruh ataupun sebagian besar saham perseroan, yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut. Pengambilalihan suatu perusahaan dapat dilakukan melalui "akuisisi kekayaan (assets)" atau "akuisisi modal (saham)" dari perusahaan yang akan diambil alih tersebut.
Ketentuan-ketentuan mengenai merger dalam hukum persaingan biasanya dimaksudkan untuk mencegah penguasaan kekuatan pasar secara berlebihan. Pada umumnya lebih sederhana dan efektif mencegah penguasaan kekuatan pasar daripada mengawasi penyalahgunaannya setelah kekuatan pasar tersebut diambil.
Pada suatu titik tertentu, perusahaan dapat mencapai kekuatan pasar sampai pada titik di mana kekuatan tersebut dapat dicapai dengan kegiatan sepihak (unilateral); jika hal itu dilakukan oleh pesaing yang lebih kecil, ini harus dilakukan dengan kegiatan dua pihak (bilateral) melalui cara antipersaingan seperti collusive dealing. Peraturan-peraturan merger membuat batas di mana akuisisi saham atau kekayaan tidak diperbolehkan lagi tanpa adanya kemanfaatan masyarakat yang harus ditunjukkan melalui prosedur ororisasi. Batas-batas inilah yang selalu menjadi persoalan sensitif pada setiap pembentukan maupun pelaksanaan hukum persaingan (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.) 2000: 115-116).
Dalam Pasal 102 sampai dengan Pasal 109 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas telah diatur prinsip-prinsip yang berkaitan dengan perbuatan hukum penggabungan (merger), peleburan (konsolidaSl) dan pengambilalihan (akuisisl) perseroan terbatas. Namun, persyaratan dan tata cara proses penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan terbatas yang lebih rinci, diperintahkan untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas.
Dari kedua ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa tindakan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan terbatas diperkenankan dalam rangka penciptaan iklim dunia usaha yang sehat dan efisien, guna menghadapi arus globalisasi dan liberalisasi perekonomian dunia yang semakin kompleks, dengan syarat tidak boleh mengarah kepada penguasaan sumber ekonomi dan pemusatan kekuatan ekonomi pada suatu kelompok atau golongan tertentu. Untuk itu, tindakan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan terbatas yang dapat mendorong ke arah terjadinya monopoli, monopsoni, atau persaingan curang atau tidak sehat dapat dihindari sejak dini. Dengan kata lain, tindakan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan terbatas hendaknya memperhatikan kepentingan perseroan, pemegang saham, karyawan perseroan terbatas, atau masyarakat, termasuk pihak ketiga yang berkepentingan. Bahkan tindakan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan terbatas tersebut tidak dapat dilakukan jika akan merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu.
Pasal 104 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 rnenyatakan bahwa perbuatan hukum penggabungan, pe1eburan, clan pengambilalihan perseroan terbatas harus memperhatikan
a.       Kepentingan perseroan terbatas, pemegang saham minoritas, dan karyawan perseroan terbatas;
b.      Kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha, sehingga kemungkinan terjadinya monopoli atau monopsoni dalam berbagai bentuk yang merugikan masyarakat dapat dicegah; dan
c.       Tidak mengurangi hak pemegang saham minoritas untuk menjual sahamnya dengan harga yang wajar.
Pemegang saham minoritas mempunyai hak untuk menjual sahamnya sesuai dengan harga wajar. Jika hak tersebut tidak dapat terlaksana, pemegang saham minoritas dapat tidak menyetujui rencana penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan terbatas yang diajukan oleh Direksi dan melaksanakan haknya agar saham yang dimilikinya dibeli dengan harga wajar, sesuai dengan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995.
Hal yang sama juga dikatakan Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998. Pasal 4 dan Pasal 5 tersebut menyatakan bahwa
1.      penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan terbatas hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan kepentingan perseroan terbatas, pemegang saham minoritas, dan karyawan, serta kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha;
2.      Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan terbatas tidak mengurangi hak pemegang saham minoritas untuk menjual sahamnya dengan harga wajar;
3.      Pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan rapat umum pemegang saham mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan terbatas hanya dapat menggunakan haknya agar saham yang dimilikinya dibeli dengan harga wajar, sesuai dengan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995. Pelaksanaan hak tersebut tidak menghentikan proses pelaksanaan penggabungan, peleburan, dan pengarnbilalihan perseroan terbatas;
4.      Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan perseroan terbatas juga hams memperhatikan kepentingan kreditor perseroan terbatas yang akan melakukan penggabungan atau meleburkan diri, atau yang akan mengambil alih dan diambil alih sesuai dengan prinsip hukum perjanjian.
Dengan demikian jelaslah bahwa sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, ketentuan mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan terbatas secara dini sudah membatasi penggunaannya, jangan sampai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan terbatas tersebut menimbulkan penguasaan pasar yang bersifat monopoli, monopsoni, atau persaingan usaha yang tidak sehat, sehingga pasar tidak kompetitif lagi. Keadaan ini pada gilirannya akan merugikan masyarakat banyak; padahal penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perusahaan merupakan kegiatan yang biasa terjadi dalam dunia usaha, terutama dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat dan efisien. Hal ini juga dapat meningkatkan produktivitas perusahaan.
Suatu hal yang wajar apabila penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan ini mendapat pengaturan dalam hukum persaingan. Alasannya, tindakan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dapat berdampak secara langsung pada hidup matinya persaingan. Bahkan ada suatu keadaan dimana ketika penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dilakukan, tindakan tersebut bisa menguntungkan konsumen. Namun, pada saat yang bersamaan hal ini juga bisa mematikan persaingan sehat. Keadaan yang demikian perlu mendapat pengaturan.
Dalam hukum persaingan, keuntungan konsumen tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan yang dilakukan. Alasannya, yang dipentingkan dalam hukum persaingan adalah bagaimana agar persaingan sehat bisa terus berlangsung. Hukum persaingan tidak dimaksudkan semata-mata untuk memberi keuntungan pada konsumen. Keuntungan yang didapat konsumen secara tidak langsung lahir dari persaingan sehat antarpelaku usaha (Hikrnahanto Juwana, 1999:7).
Dalam praktiknya, ada 3 (tiga) jenis penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan, yaitu
1.      Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan horizontal, adalah penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan yang dilakukan oleh perusahaan yang secara teoretis berada dalam pasar yang sama, memiliki kegiatan yang sama, bahkan produk yang dihasilkan pun sama dengan perusahaan yang akan digabung, dilebur, dan diambil alih. Paling tidak ada dua karakteristik yang penting dalam penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan horizontal, yaitu produknya sama dan pemasaran terhadap produk dilakukan dalam wilayah yang sama. Dengan adanya tindakan penggabungan, peleburan, dan pengambialihan horizontal, pada suatu pasar tertentu akan terjadi pengurangan satu perusahaan (perusahaan yang digabung, dilebur, dan diambil alih) dan ada satu perusahaan yang memiliki pangsa pasar lebih besar dari sebelumnya (perusahaan yang melakukan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan). Bagi perusahaan yang rmelakukan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan, ia akan mempunyai kekuatan pasar yang lebih besar. Dengan demikian, dalam tindakan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan horizontal, tindakan tersebut tidak hanya menyangkut aset atau saham saja, tetapi juga penyatuan atau pengambilalihan kekuatan pasar. Dalam penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan horizontal ini ada kemungkinan besar pangsa pasar dari perusahaan yang digabung, dilebur, dan diambil alih oleh perusahaan yang melakukan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan, sehingga persaingan usaha antarpelaku akan mati atau berkurang. Selain itu bias terjadi persaingan tidak sehat antarpelaku usaha dan konsumen pun dieksploitasi;
2.      Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan vertikal, adalah penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan yang dilakukan terhadap perusahaan yang jenis usahanya berbeda dan tidak berada dalam pasar yang sama, namun mempunyai keterkaitan. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan vertikal ini dapat dilakukan ke bawah dan ke atas. Tindakan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan vertical membawa konsekuensi munculnya perlakuan istimewa dari perusahaan yang melakukannya terhadap satu perusahaan (perusahaan yang digabung, dilebur, dan diambil alih) dari sejumlah perusahaan di pasar tertentu. Selain itu ada kemungkinan kedudukan satu perusahaan (yang digabung, dilebur, dan diambil alih) akan lebih tinggi dibanding perusahaan sejenis dalam pasar tertentu. Dalam penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan vertikal, pengambilan pangsa pasar secara teoretis tidak mungkin terjadi, mengingat perusahaan yang digabung, dilebur, dan diambil alih berada dalam dua pasar yang berbeda. Namun, yang terjadi dalam penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan vertikal adalah kemampuan untuk mengendalikan harga dalam memproduksi suatu barang atau jasa;
3.      Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan konglomerat (conglomerate merger), adalah penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan yang dilakukan oleh perusahaan terhadap perusahaan yang tidak bersinggungan dengan kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan yang melakukan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan. Tindakan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan konglomerat tidak mengandung konsekuensi apa pun terhadap pasar, sebab perusahaan yang melakukan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan serta perusahaan yang digabung, dilebur, dan diambil alih tidak mempunyai titik singgung yang sama. Namun, harus disadari bahwa secara tidak langsung penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan konglomerat akan berdampak pada ekonorni secara makro. Terutama jika mengingat bahwa dengan adanya penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan konglomerat, usaha kecil tidak akan mampu bersaing; pada gilirannya usaha kecil akan dimatikan. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan konglomerat akan memunculkan apa yang disebut "super monopolist" (Hikmahanto Juwana 1999:6).
4.      Pada akhirnya, berdasarkan pertimbangan di atas, hukum persaingan kita juga mengatur larangan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan badan usaha. Hal ini berlaku untuk perusahaan yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang menjalankan suatu jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus, dengan tujuan memperoleh laba. Selain itu, pengambilalihan saham perusahaan lain yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat juga diatur dalam pasal 28 dan pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham yang dilarang tersebut akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Larangan yang dicantumkan dalam Pasal 28 dan Pasal 29 tersebut bersifat rule of reason, sama dengan hukum persaingan negara lainnya. Penggabungan badan usaha diperkenankan asalkan tidak mengurangi persaingan secara substansial (Bandingkan Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.) 2000: 119).
Pasal 28 ayat (1) melarang pelaku usaha melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Kemudian ayat (2) dari pasal yang sama melarang pula pelaku usaha melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) ini mengandung ani tidak semua penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham dilarang dilakukan pelaku usaha, kecuali tindakan penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham tersebut menimbulkan praktik monopoli, persaingan usaha tidak sehat, posisi dominan, atau ketiganya. Dengan demikian, sepanjang tindakan penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham tersebut tidak mengakibatkan praktik monopoli, persaingan usaha tidak sehat dan/atau posisi dominan, penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambialihan saham boleh saja dilakukan pelaku usaha. Tidak hanya penguasaan pasar melalui penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham yang dilarang.
Penguasaan nilai aset yang melebihi jumlah tertentu sebagai hasil tindakan penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham juga dilarang. Dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham yang berakibat nilai aset dan/atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan tersebut. Ketentuan tentang penetapan nilai aset dan/atau nilai penjualan serta rata cara pemberitahuannya diatur dalam peraturan pernerintah.
Sebelum melakukan tindakan penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilahan saham, hal ini terlebih dahulu harus disampaikan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha guna mendapatkan notifikasi agar tidak melanggar ketentuan Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Pelaku usaha menjadi kaya ataupun dapat menaikkan nilai penjualan berapa pun yang diupayakan dengan tidak melawan hukum dan tidak mengurangi esensi persaingan (dalam arti pangsa pasar tidak berlebihan dan tidak memanfaatkan kelebihannya itu); atau bahkan kemungkinan membawa kemanfaatan masyarakat rupanya tetap akan menjadi sasaran hukum persaingan di Indonesia. Bergabung untuk menjadi lebih besar, kuat, dan efisien, pada dasarnya merupakan hak semua pengusaha. Dalam keadaan-keadaan tertentu hal ini dapat mendorong persaingan, atau setidaknya bermanfaat bagi masyarakat. Akan tetapi, tidak dapat disangkal bahwa perusahaan yang "terlalu" besar dan kuat sangat mudah memanfaatkan kelebihannya dengan cara-cara yang merugikan persaingan. Untuk menentukan sebesar atau sekuat apa dan dengan cara bagaimana perusahaan pasca merger dapat dianggap mengganggu persaingan usaha sehat, ditetapkanlah beberapa kriteria. Agar pengawasan terhadap merger menjadi lebih mudah dan tepat sasaran, disediakanlah fasilitas notifikasi dan otorisasi. Kata kuncinya: merger sebaiknya tidak mengganggu, tetapi mendorong persaingan (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000: 120).

Bab 5
Penegakan Hukum
Persaingan Usaha
5.1. Peranan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
5 .1.1. Dasar Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Lembaga yang akan menjadi penjaga untuk tegaknya peraturan persaingan merupakan syarat mutlak agar peraturan persaingan dapat lebih operasional. Pemberian kewenangan khusus kepada suatu komisi untuk melaksanakan suatu peraturan di bidang persaingan merupakan hal yang lazim dilakukan oleh kebanyakan negara. Di Amerika Serikat, Departemen Kehakiman mempunyai divisi khusus, yaitu Antitrust Division untuk menegakkan Sherman Act . Departemen Kehakiman bersama-sama Federal Trade Commission juga bertugas menegakkan Clayton Act. Sedangkan tugas untuk menegakkan Robinson Patman Act, khususnya yang menyangkut tindakan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan, diserahkan kepada Federal Trade Commission. Masyarakat Ekonomi Eropa dengan European Community Commission; Jepang, Korea, dan Taiwan dengan Fair Trade Commission. (Agus Sardjono 1998:33 dan Ayudha D. Prayoga et aI., (Ed.), 2000: 126 dan 128). .
Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Penegakan hukum persaingan diserahkan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha, di samping kepolisian, kejaksaan, dan peradilan. Penegakan pelanggaran hukum persaingan harus dilakukan terlebih dahulu dalam dan melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Setelah itu, tugas dapat diserahkan kepada penyidik kepolisian, kemudian diteruskan ke pengadilan, jika pelaku usaha tidak bersedia menjalankan putusan yang telah dijatuhkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Sebenarnya, penegakan hukum persaingan usaha dapat saja dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Pengadilan merupakan ternpat penyelesaian perkara yang resmi dibentuk negara. Namun, untuk hukum persaingan usaha, pada tingkat pertama penyelesaian sengketa antarpelaku usaha tidak dilakukan oleh pengadilan. Alasan yang dapat dikemukakan adalah karena hukum persaingan usaha membutuhkan orang-orang spesialis yang memiliki latar belakang dan/atau mengerti betul seluk beluk bisnis dalam rangka menjaga mekanisme pasar. Institusi yang melakukan penegakan hukum persaingan usaha harus beranggotakan orang-orang yang tidak saja berlatar belakang hukum, tetapi juga ekonomis dan bisnis. Hal ini sangat diperlukan, mengingat masalah persaingan usaha sangat terkait erat dengan ekonomi dan bisnis (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000: 126).
Alasan lain mengapa diperlukan institusi yang secara khusus menyelesaikan kasus praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah agar berbagai perkara tidak bertumpuk di pengadilan. Institusi yang secara khusus menyelesaikan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat dapat dianggap sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa, sepanjang pengertian alternatif disini adalah di luar pengadilan. Di Indonesia, lembaga yang demikian yang seringkali dianggap sebagai kuasa yudikatif sudah lama dikenal (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000: 126).
Dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa "untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yang selanjutnya disebut Komisi". Kemudian dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan "pembentukan Komisi serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya ditetapkan dengan Keputusan Presiden". Sebagai tindak lanjut, lahirlah Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Dari bunyi Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang N omor 5 Tahun 1999 tersebut, jelaslah bahwa tujuan pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Dalam hal ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha bertindak sebagai lembaga kuasa yudikatif. Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha diharapkan dapat menyelesaikan kasus pelanggaran hukum persaingan usaha dengan lebih cepat, efisien, dan efektif, sesuai dengan asas dan tujuannya.
Dapat dikemukakan alasan filosofis dan sosiologis dari pembentukan lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha ini. Alasan filosofis yang dijadikan dasar pembentukannya, yaitu dalam mengawasi pelaksanaan suatu aturan hukum diperlukan suatu lembaga yang mendapat kewenangan dari negara (pemerintah dan rakyat). Dengan kewenangan yang berasal dari negara, diharapkan lembaga pengawas ini dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan sebaik-baiknya, serta sedapat mungkin mampu bertindak independen. Adapun alasan sosiologis yang dijadikan dasar pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah menurunnya citra pengadilan dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, serta beban perkara pengadilan yang sudah menumpuk. Alasan lain , dunia usaha membutuhkan penyelesaian yang cepat dan proses pemeriksaan yang bersifat rahasia. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga khusus yang terdiri atas orang-orang yang ahli dalam bidang ekonomi dan hukum; dengan demikian penyelesaian yang cepat dapat terwujud (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000: 128).
5.1.2. Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Sudah sewajarnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha bersifat independen, terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain dalam hal mengawasi pelaku usaha; dalam hal ini memastikan pelaku usaha menjalankan kegiatannya dengan tidak melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Status Komisi Pengawas Persaingan Usaha ini telah diatur Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang kemudian diulang pada Pasal 1 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999. Dalam Pasal 30 ayat (2) dinyatakan "Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan serta pihak lain". Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha bertanggung jawab kepada Presiden sebagai Kepala Negara, berhubung Komisi Pengawas Persaingan Usaha juga melaksanakan sebagian tugas-tugas pemerintah negara dalam melaksanakan undang-undang.
Dalam sistem Undang-Undang Dasar 1945, Presiden merupakan penyelenggara pemerintah negara tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar 1945 . Atas dasar itulah dalam melaksanakan tugasnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha bertanggung jawab kepada Presiden. Dinyatakan dalam Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bahwa "Komisi bertanggung jawab kepada Presiden".
Praktik di negara-negara lain yang lebih dahulu mempunyai undang-undang persaingan usaha juga memperlihatkan bahwa Komisinya bertanggung jawab kepada kepala pemerintahan (Presiden atau Perdana Menteri). Di Amerika Serikat, misalnya, dalam Federal Trade Commission Act Section 1 dinyatakan bahwa "... .Any Commissioners may be removed by the President for inefficiency, neglect of duty, ormalfeasance in office". Hal ini juga dapat dilihat pada Section 27 (2) dari Anti-Monopoly Act Jepang, yang rnenyatakan bahwa "The Fair Trade Commission shall be administratively attached to the Prime Minister". Begitu juga di India, di mana Monopolies and Restrictive Trade Commission-nya dibentuk oleh Pemerintah (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000: 129).
Keberhasilan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sesungguhnya tidak terlalu ditentukan oleh independensi Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam melaksanakan tugas, tetapi banyak ditentukan oleh keanggotaannya. Oleh karena itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus mempunyai atau terdiri dari anggota-anggota yang terpilih dan terpercaya (credible), serta memiliki inregritas dan komitmen moral yang tinggi, dengan dibantu oleh tenaga-tenaga yang profesional dalam bidangnya (Bandingkan Muchtar, 1999:23).
Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha minimum berjumlah 9 (sembilan) orang, termasuk Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap sebagai anggota. Dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa "Komisi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang anggota", Dari kata-kata "sekurang-kurangnya", diartikan jumlah anggotanya boleh lebih dari 7 (tujuh) orang. Atau sebaliknya, paling sedikit beranggotakan 7 (tujuh) orang; dengan ditambah Ketua dan Wakil Ketua, keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha minimal atau paling sedikit berjumlah 9 (sembilan) orang. Ada yang mengatakan bahwa jumlah ini cukup banyak.
Jika dibandingkan dengan jumlah Komisi pada Federal Trade Commission di Amerika Serikat dan Fair Trade Commission di Jepang yang hanya berjumlah 5 (lima) orang, jumlah tersebut cukup banyak. Namun, hal ini tidak berarti bahwa jumlah ini tidak wajar atau kebanyakan. Mungkin pembuat undang-undang mempunyai pertimbangan tersendiri dengan melihat kondisi yang ada di Indonesia (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000: 130).
Walaupun bertanggung jawab kepada Presiden, pengisian keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak semata-mata di tangan Presiden, melainkan juga melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 31 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha dilakukan oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dengan masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Apabila karena berakhirnya masa jabatan tersebut akan terjadi kekosongan dalam keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, masa jabatan anggota dapat diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru. Perpanjangan masa keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk menghindari kekosongan keanggotaan tersebut tidak boleh lebih dari 1 (satu) tahun.
Dengan adanya persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat ini, diharapkan anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah ofang-orang yang mempunyai integritas kepribadian dan keilmuan yang tinggi dan benar-benar dapat menjalankan tugasnya demi kepentingan rakyat secara keseluruhan, dengan menjaga independensinya. Persetujuan dari rakyat sangatlah penting sebab dapat menaikkan kredibilitas Komisi Pengawas Persaingan Usaha itu sendiri. Hal ini juga dilakukan oleh negara-negara besar, seperti Amerika Serikat dan Jepang (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed .), 2000: 130).
Dalam mengusulkan dan memberikan persetujuan terhadap anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat sudah seyogianya memperhatikan persyaratan keanggotaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Untuk menjadi anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha, seseorang hams memenuhi persyaratan sebagai berikut.
a.       warga negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan;
b.      setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c.       beriman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa;
d.      jujur, adil , dan berkelakuan baik;
e.       bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia;
f.       berpengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang hukum dan/atau ekonomi;
g.      tidak pernah dipidana, baik karena melakukan kejaharan berat atau karena melakukan pelanggaran kesusilaan;
h.      tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan;
i.        tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha sejak yang bersangkutan menjadi anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Yang bersangkutan tidak menjadi
1.      anggota dewan komisaris atau pengawas, atau direksi suatu perusahaan;
2.      anggota pengurus atau badan pemeriksa suatu koperasi;
3.      anggota yang memberikan layanan jasa kepada suatu perusahaan, seperti konsultan, akuntan publik, dan penilai;
4.      pemilik saham mayoritas suatu perusahaan.

Menurut Pasal 33 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha berhenti, karena
a.       meninggal dunia; atau
b.      mengundurkan diri atas permintaan sendiri; atau
c.       bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia; atau
d.      sakit jasmani atau rohani terus-menerus, yang dinyatakan dengan surat keterangan dokter yang berwenang; atau
e.       berakhirnya masa jabatan keanggotaan komisi; atau
f.       diberhentikan, antara lain dikarenakan tidak lagi memenuhi persyaratan keanggotaan komisi sebagaimana dimaksud Pasal 32.
Pada umumnya Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha sudah pasti akan dipilih dari dan oleh anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa "Ketua dan Wakil Ketua Komisi dipilih dari dan oleh Anggota Kornisi" . Selanjutnya, ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 14 ayat (3) Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa "Ketua dan Wakil Ketua Komisi dipilih dari dan oleh anggota Komisi.

5.1.3. Susunan Organisasi dan Pembiayaan KOmisi
Pengawas Persaingan Usaha
Pengaturan susunan organisasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha dikemukakan dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa "Pembentukan, Komisi serta susunan organisasi, tugas, dan Presiden", Keputusan Presiden yang dimaksud telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 yang mengatur pembentukan, susunan organisasi, tugas, dan fungsi Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Susunan organisasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha terdiri atas anggota Komisi dan Sekretariat. Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha wajib melaksanakan tugas dengan berdasar pada asas keadilan dan perlakuan, serta wajib mematuhi tata tertib yang telah disusun oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dibantu oleh sekretariat, yang susunan organisasi, tugas, dan fungsinya diatur lebih lanjut dengan keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat membentuk kelompok kerja sesuai dengan kebutuhan apabila diperlukan. Kelompok kerja ini beranggotakan orang-orang yang berpengalaman dan ahli dalam bidang masing-masing, yang diperlukan dalam menangani perkara tertentu, dan dalam waktu tertentu. Ketentuan mengenai keanggotaan, fungsi, dan tugas kelompok kerja tersebut diatur lebih lanjut oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Walaupun Komisi Pengawas Persaingan Usaha berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia, bila diperlukan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat membuka kantor perwakilan di ibu kota propinsi. Persyaratan dan tata kerja kantor perwakilan sebagaimana dimaksud akan diatur lebih lanjut oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Sebagai perbandingan, susunan organisasi Komisi Perdagangan Sehat Jepang terdiri atas Komisi, Sekretariat Jenderal, Hearing Examiners, Sekretariat Biro Hubungan Ekonomi, Biro Persaingan Usaha, dan Biro Penyelidikan. Sementara Komisi Korea terdiri atas Biro Kebijaksanaan Perdagangan Sehat, Biro Peraturan Monopoli, Biro Persaingan Usaha, Biro Penyelidikan, dan Biro Perlindungan Konsumen. Dalam menjalankan tugas biro Komisi Korea dan Amerika Serikat dibantu Penasihat Umum (Ayudha D. Prayoga et al.,o"(Ed), 2000: 132). " .
Pada dasarnya negara bertanggung jawab terhadap operasional pelaksanaan tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan memberikan dukungan dana melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Selain itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat memperoleh dana dari sumber sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat tidak mengikat, serta tidak akan mempengaruhi kemandirian Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam melaksanakan tugasnya; mengingat ruang lingkup dan cakupan tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha demikian luas dan sangat beragam. Untuk itu, staf yang akan membantu Sekretariat Komisi Pengawas Persaingan Usaha sudah seharusnya disesuaikan dengan anggaran yang disediakan oleh negara tanpa mengurangi kinerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam menjalankan tugasnya mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa "segala biaya untuk pelaksanaan tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku".
5.1.4. Tugas Kornisi Pengawas Persaingan Usaha
Tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha telah diatur secara rinci dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang kemudian diulangi dalam Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999. Komisi Pengawas Persaingan Usaha ditugaskan melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, seperti perjanjian-perjanjian oligopoli, penerapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri; melakukan penilaian terhadap kegiataan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, seperti kegiatan-kegiatan monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan; dan melakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, yang disebabkan penguasaan pasar yang berlebihan, jabatan rangkap, pemilikan saham dan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan badan usaha atau saham. Dengan demikian, pada prinsipnya fungsi dan tugas utama Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah melakukan kegiatan penilaian terhadap perjanjian, kegiatan usaha, dan penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dimana pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha telah membuat perjanjian yang dilarang atau melakukan kegiatan yang terlarang atau menyalahgunakan posisi dominan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif dengan memerintahkan pembatalan atau penghentian perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang dilarang, serta penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha tersebut.
Tugas lain dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang tidak kalah penting adalah memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pernerintah yang berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat dan menyusun pedoman dan/atau publikasi atau sosialisasi yang berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Terakhir, Komisi Pengawas Persaingan Usaha bertugas memberikan laporan secara berkala atas hasil kerjanya kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Nantinya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha sangat diharapkan bisa benar-benar bertindak proaktif untuk mempengaruhi kebijakan Pemerintah dalam pembuatan peraturan yang berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Seandainya pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak memadai untuk menunjang tugas dan wewenangnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat mengajukan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang mendukung tugas dan wewenangnya.
Demikian pula Komisi Pengawas Persaingan Usaha juga hams membuat pedoman (guideline) atau aturan main yang jelas, baik bagi diri sendiri maupun bagi pelaku usaha, misalnya bagaimana prosedur dan proses beracara di Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan apakah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 cukup memadai. Jika tidak memadai, Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus membuat sendiri pedoman beracara tersebut (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000:134).
Sebagai bahan perbandingan, Komisi Masyarakat Ekonomi Eropa juga dapat mengusulkan kepada Dewan Menteri untuk mengeluarkan peraturan yang memberikan kewenangan-kewenangan tertentu kepada Komisi . Hal ini dilakukan Komisi karena melihat kewenangan yang diberikan atau diperoleh dari Article 85 dan 86 Perjanjian Roma kurang memadai bagi Komisi untuk melaksanakan Hukum Persaingan Masyarakat Ekonomi Eropa. Selanjutnya, Federal Trade Commission juga mengeluarkan Trade Regulation Rules, yang menetapkan cakupan Section Federal Trade Commission Act untuk praktik-praktik industri tertentu. Bersama-sama dengan Justice Department, Federal Trade Commission mengeluarkan the Justice Departrnent/Ff'C 1992 Horizontal Merger Guidelines (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000:134).
Bila bunyi Pasal 35 huruf f Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 kita baca secara cermat, terkandung makna Komisi Pengawas Persaingan Usaha berwenang untuk mengisi kekosongan hukum dalam rangka pelaksanaan yang berkaitan dengan hukum persaingan usaha. Hal ini berarti pedoman maupun peraturan yang akan dibuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak hanya berlaku secara internal saja, tetapi juga berlaku secara eksternal, yakni baik terhadap Komisi Pengawas Persaingan Usaha maupun pelaku usaha serta instansi lainnya yang terkait dengan pelaksanaan hukum persaingan usaha di Indonesia. Penjelasan Pasal 35 ini tidak cukup memberi keterangan.
Integritas dan independensi dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha sangat menentukan untuk mengisi kekosongan-kekosongan peraturan maupun pedoman dalam persaingan usaha. Diharapkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat mengantisipasi semaksimal mungkin intervensi politik atau pengaruh dari pihak-pihak lain (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000: 134).

5.1.5. wewenang KOmisi Pengawas Persaingan Usaha
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha memiliki sejumlah kewenangan, sebagaimana dikemukakan secara rinci dalam Pasal 36 dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak hanya berwenang menerima laporan dari masyarakat dan/atau pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, tetapi proaktif berwenang melakukan penelitian, melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan, menyimpulkan hasilnya, memanggil pelaku usaha, memanggil dan menghadirkan saksi-saksi, meminta bantuan penyidik, meminta keterangan dari instansi pemerintah, mendapatkan dan meneliti serta menilai dokumen dan alat bukti lain, memutuskan dan menetapkan, serta menjatuhkan sanksi tindakan administratif.
Kewenangan yang diberikan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 cukup luas dan terinci dan tidak jauh berbeda dengan kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Komisi di negara lain . Namun demikian, ada kewenangan yang dimiliki oleh Komisi negara lain tetapi tidak dimiliki oleh Komisi Indonesia, yaitu kewenangan untuk mengajukan suatu perkara yang berkaitann dengan praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat ke pengadilan.
Kewenangan seperti ini dimiliki oleh Federal Trade Commission, di mana Federal Trade Commission dapat memasukkan gugatan perdata pada pengadilan distrik atau federal untuk mempertahankan prosedur atau putusan administrasi yang telah ditempuhnya dalam menangani suatu perkara persaingan usaha. Hal yang sama juga dimiliki oleh Komisi Jepang, yang mempunyai hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan dalam hal yang berhubungan dengan holding company, filing of merger, dan waiting period of merger (Ayudha D. Prayoga et aI., (Ed.) , 2000: 135).
Sesuai dengan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, secara lengkap kewenangan yang dimiliki Komisi Pengawas Persaingan Usaha meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
a.       Menerima laporan dari masyarakat dan/atau pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;
b.      Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;
c.       Melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
d.      Menyimpulkan hasil penyelidikan dan/atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;
e.       Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
f.       Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
g.      Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e .dan f pasal ini, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;
h.      Meminta keterangan dari instansi pernerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
i.        Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
j.        Memutuskan dan menerapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
k.      Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;
l.        Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
Dari tugas dan wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha tersebut, dapat diketahui bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha diberi wewenang khusus untuk menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif saja, termasuk menjatuhkan ganti kerugian dan denda; ia tidak mempunyai hak menjatuhkan sanksi denda pengganti, apalagi sanksi pidana pokok dan tambahan, yang merupakan wewenang badan peradilan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha juga tidak bertindak sebagai penyidik (khusus) yang dimungkinkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, padahal keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha terdiri dari orang-orang yang memiliki integritas kepribadian dan keilmuan yang tinggi (Rachmadi Usman, 2001:4-5)

5.2. Tata Cara Penanganan Perkara Penegakan Hukum Persaingan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 lebih lanjut mengatur tata cara penanganan perkara penegakan hukum persaingan usaha pada Pasal 38 sampai dengan Pasal 46. Dalam menangani perkara penegakan hukum persaingan usaha, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat melakukannya secara proaktif atau dapat menerima pengaduan atau laporan dari masyarakat. Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila ada dugaan terjadi pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini walaupun tidak ada laporan yang pemeriksaannya dilaksanakan sesuai tata cara sebagaimana diatur dalam Pasal 39. Sebelumnya, dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa setiap orang yang mengetahui bahwa telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat melaporkannya secara tertulis kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran, dengan menyertakan identitas pelapor. Demikian pula pihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan, dengan menyertakan identitas pelapor.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bahan penyelidikan, pemeriksaan, dan/atau penelitian terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha bisa berasal dari laporan atau pengaduan pihak-pihak yang dirugikan atau pelaku usaha; bahkan dari masyarakat atau setiap orang yang mengetahui bahwa telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Hal ini bisa disampaikan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau berasal dari prakarsa Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Sebagai jaminan atas diri pelapor, Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mewajibkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk merahasiakan identitas pelapor, terutama pelapor yang bukan pelaku usaha yang dirugikan (bandingkan Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999:58).
Pemeriksaan Pendahuluan Lanjutan
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mewajibkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan berdasarkan laporan masyarakat, pihak yang dirugikan, atau pelaku usaha. Berdasarkan pemeriksaan pendahuluan ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam waktu (selambat-lambatnya) 30 (tiga puluh) hari setelah menerima laporan tersebut, akan menetapkan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan. Apabila menurut pertimbangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan, dengan sendirinya Komisi Pengawas Persaingan Usaha akan melakukan pemeriksaan lanjutan. Dalam melakukan pemeriksaan Ianjutan tersebut, Komisi Pengawas Persaingan Usaha wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang dilaporkan.
Selain melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang dilaporkan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat juga mendengar keterangan saksi, saksi ahli, dan/atau pihak lain bila dipandang perlu. Informasi atau keterangan yang diperoleh dari pelaku usaha yang dilaporkan yang dikategorikan sebagai rahasia perusahaan wajib dijaga kerahasiaannya oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan di atas, anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha wajib melengkapi diri dengan surat tugas.
Menurut Pasal 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, selama penyelidikan atau pemeriksaan lanjutan berlangsung, pelaku usaha dan/atau pihak lain yang diperiksa mempunyai kewajiban menyerahkan alat bukti yang diperlukan dan dilarang menolak untuk diperiksa, dilarang menolak memberikan informasi yang diperlukan, dan dilarang menghambat proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan yang dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Oleh karena itu, bila pelaku usaha menolak diperiksa atau memberi informasi yang diperlukan oleh Komisi, ia akan diserahkan kepada penyidik untuk disidik sesuai ketentuan yang berlaku.
Kalau kasusnya sudah sampai pada penyidik, yang menangani tidak lagi hanya pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha, terapi juga pihak kepolisian. Komisi Pengawas Persaingan Usaha menyerahkan kasus tersebut kepada penyidik untuk disidik. Tidak hanya perbuatan atau tindak pidana (menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan, atau menghambat proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan) saja yang disidik; pokok perkara sedang diselidiki atau diperiksa oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha pun mendapat perlakuan sama (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000:146-147).

jangka wakiu Femeriksaan Lanjutan
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menguraikan tentang jangka waktu pemeriksaan lanjuran oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Pemeriksaan lanjutan yang dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tersebut wajib diselesaikan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak dilakukan pemeriksaan lanjutan. Selama jangka waktu tersebut, Komisi Pengawas Persaingan Usaha telah selesai melakukan pemeriksaan dan penilaian terhadap alat-alat bukti, yang biasa berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan/atau dokumen, petunjuk, dan keterangan pelaku usaha. Namun jika diperlukan atau jika Komisi Pengawas Persaingan Usaha belum selesai melakukan pemeriksaan alat-alat bukti jangka waktu pemeriksaan lanjutan tersebut dapat diperpanjang, paling lama 30 (riga puluh) hari. Dalam kurun waktu tersebut pemeriksaan lanjutan harus diselesaikan. Setelah selesai melakukan pemeriksaan lanjutan baik dengan atau tanpa perpanjangan jangka waktu pemeriksaan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pemeriksaan lanjutan tersebut selesai, Komisi Pengawas Persaingan Usaha wajib memutuskan apakah telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha.
Dalam melakukan penegakan hukum, jika terjadi pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus melakukannya melalui proses, tahapan, dan dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Jangka waktu yang dianggap cukup singkat ini tentu saja tidak akan memudahkan tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha apabila para anggotanya bukan orang yang profesional di bidang mereka masing-masing.
Meskipun didukung oleh anggota yang profesional, karena hingga saat ini belum berpengalaman dalam melaksanakan perundang-undangan di bidang antimonopoli, rasanya penegakan houkum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini masih akan sulit dilaksanakan. Apalagi etos dan budaya supremasi hukum di republik ini masih sekadar "rnimpi". Di sisi lain, godaan akan selalu muncul dari pihak yang diduga melanggar karena para pelanggar merupakan pelaku usaha yang mempunyai kemampuan ekonomi (dan juga politik) kuat di dalam masyarakat. Tentu mereka akan merasa tidak senang apabila posisi kekuatan ekonomi mereka diganggu (Insan Budi Maulana, 2000 :49-50).

Putusan Komisi
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak mengatur secara rinci bagaimana proses pengambilan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Hanya saja dalam penjelasan Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pengambilan keputusan Komisi dilakukan dalam suatu sidang Majelis yang beranggotakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota Komisi. Senada dengan ini, Pasal 7 Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 menyatakan bahwa untuk menyelesaikan suatu perkara, Komisi Pengawas Persaingan Usaha bisa melakukan sidang majelis, yang beranggotakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha, di mana keputusannya ditandatangani oleh seluruh anggota majelis. Dengan demikian penyelesaian atau pemeriksaan perkara penegakan hukum persaingan harus dilakukan dalam sidang yang berbentuk majelis, majelisnya beranggotakan minimal 3 (tiga) orang. Pengambilan putusan melalui sidang majelis merupakan hal yang biasa dan juga dilakukan oleh Komisi-komisi negara lain, seperti Amerika Serikat dan Jepang (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000: 136).
Konsep pengaturan seperti di atas sangat dipengaruhi oleh pengaturan pengambilan keputusan sidang majelis pada peradilan umum, di mana suatu putusan dikatakan sebagai putusan majelis hakim, walaupun mungkin ada anggota majelis yang tidak setuju terhadap putusan tersebut. Seyogianya berkas putusan harus memuat seluruh pendapat anggota majelis hakim, yang mana yang setuju, yang mana yang tidak setuju beserta alasannya, sehingga masyarakat dapat menilai kredibilitas dari hakim yang memeriksa perkara tersebut. Oleh karena itu, proses pengambilan putusan dalam Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebaiknya dilakukan dengan suara terbanyak, sehingga diketahui anggota mana yang setuju, mana yang tidak setuju, serta apa alasannya. Pendapat dari masing-masing anggota yang tidak setuju tersebut harus juga dimasukkan ke dalam dokumen putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Dengan demikian kredibilitas dari masing-masing anggota dapat diketahui dari setiap putusan yang dijatuhkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000:136-137).
Perhatikan penegasan yang terdapat dalam Pasal 6 Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999, yaitu dalam menangani perkara, anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus bebas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain. Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang menangani perkara tersebut pun dilarang mempunyai hubungan sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan salah satu pihak yang berperkara atau mempunyai kepentingan dengan perkara yang bersangkutan. Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang memenuhi ketentuan di atas, wajib menolak untuk menangani perkara yang bersangkutan. Tuntutan penolakan bisa pula datang dari pihak yang berperkara dengan melampirkan bukti-bukti tertulis apabila anggota Komisi Pengawas Persaingan usaha yang bersangkutan terbukti memenuhi ketentuan di atas.
Sama halnya dengan putusan pengadilan, putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha mengenai hasil pemeriksaannya harus dibacakan dalam suatu sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dan segera diberitahukan kepada pelaku usaha, yairu dengan menyampaikan petikan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha kepada pelaku usaha.
Dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang telah diterima, dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterima pemberitahuan petikan putusan oleh pelaku usaha, wajib dilaksanakan dan dilaporkan pelaksanaannya kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Namun, apabila kewajiban melaksanakan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak dijalankan oleh pelaku usaha, Komisi Pengawas Persaingan Usaha akan menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk menyidik sesuai dengan ketentuan pemndang-undangan yang berlaku. Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tersebut dapat dijadikan sebagai bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
Jika penyidik yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah penyidik kepolisian/jaksa/penyidik PNS, kredibilitas ketiga penyidik (khususnya kepolisian dan jaksa) itu patut dipertanyakan, sebab perkara-perkara ini memerlukan penguasaan bidang hukum dan ekonomi yang tinggi.
Untuk apa kita mernbentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan stafnya yang tidak lain adalah pakar yang mempunyai integritas kepribadian dan keilmuan yang memadai jika kemudian putusan mereka yang telah melalui proses rumit hams disidik ulang oleh penyidik kepolisian atau kejaksaan. Kalaupun yang dimaksud adalah penyidik PNS, kira harus tetap mempertanyakan kredibilitasnya, sebab ketentuan pasal ini mengandung ketidakjelasan atau ambiguitas. Dalam hal ini, sudah sewajarnyalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha diberi kewenangan untuk mempertahankan putusannya dengan mengajukannya ke pengadilan jika putusan tersebut sangat berkaitan erat dengan kepentingan publik (public interest). Biarkanlah pengadilan yang menguji putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tersebut (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000: 135-136).
Dari berbagai perbandingan dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha di negara-negara lain, pada prinsipnya putusan Komisi akan diterima dan dilaksanakan jika ada kepercayaan yang penuh dari masyarakat pelapor atau pelaku usaha. Selain itu Komisi harus benar-benar independen serta memiliki keahlian dalam tugas dan wewenangnya. Namun demikian, hampir semua negara yang diperbandingkan menyebutkan putusan Komisi dapat dimintakan banding ke pengadilan (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000: 150).

Pengajuan Keberatan oleh Pelaku Usaha
Pelaku usaha mempunyai hak untuk mengajukan upaya hukum berupa "keberatan" atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha kepada Pengadilan Negeri dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan. Akan terapi, apabila dalam tenggang waktu yang ditentukan tersebut pelaku usaha tidak mengajukan keberatan, menurut Pasal 44 ayat (3) dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pelaku usaha tersebut dianggap menerima putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, sehingga putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Agar mempunyai kekuatan eksekutorial, putusan yang telah mernpunyai kekuatan hukum tetap tersebut harus dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri. Dengan diterimanya putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha oleh pelaku usaha, dengan sendirinya pelaku usaha wajib melaksanakan putusan yang diterimanya dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan melaporkan pelaksanaannya kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sejak menerima pemberitahuan petikan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Selanjutnya, menurut Pasal 45 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, terhadap keberatan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri, Pengadilan Negeri hams memeriksa keberatan pelaku usaha tersebut dalam jangka waktu 14 (ernpat belas) hari sejak diterimanya keberatan tersebut oleh Pengadilan Negeri. Putusan Pengadilan Negeri mengenai keberatan pelaku usaha tadi harus diberikan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pemeriksaan keberatan tersebut dimulai.
Dalam tenggang waktu yang ditentukan, kita menghadapi tantangan, yaitu sekarang Pengadilan Negeri dituntut bekerja lebih profesional; dengan hakim-hakim yang memiliki keahlian serta sumber daya manusia yang menguasai hukum persaingan usaha, kepastian hukum baik dari segi kualitas putusan maupun dari aspek kepastian waktu dalam beracara dapat tercapai.
Penegakan hukum tidak bisa dilaksanakan hanya dengan membentuk undang-undang baru saja. Selain itu, ia juga harus didukung sumber daya manusia yang berkualitas dan memahami hukum. Sumber daya manusia tersebut juga harus professional dalam tugas dan wewenangnya. Oleh karena itu, untuk meningkatkan sumber daya manusia (khususnya hakim) di Pengadilan Negeri yang nantinya akan menangani perkara-perkara persaingan usaha seyogyanya Pemerintah mengadakan pendidikan dan pelatihan hakim dan personalia pengadilan lainnya. Selain itu, alangkah baiknya bila para hakim memanfaatkan program pendidikan peradilan lanjutan, baik di dalam maupun di luar negeri. Apabila pengadilan memiliki sumber daya manusia (dalam hal ini : hakim-hakim) yang ahli dan memahami hukum persaingan dengan baik, serta didukung faktor-faktor teknis lainnya di pengadilan yang dapat mendukung proses beracara, kiranya tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sudah cukup memadai untuk mengambil keputusan (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000: 151).
Selain "menguji" putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Pengadilan Negeri juga berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara penegakan hukurn persaingan usaha yang telah diserahkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha kepada penyidik kepolisian atau kejaksanaan. Selanjutnya, Pengadilan Negeri dapat menjatuhkan pidana pokok sekaligus pidana tambahan kepada pelaku usaha yang terbukti melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 masih memberikan kesernpatan kepada pelaku usaha untuk mencari keadilan dengan melakukan upaya hukum terakhir yang dapat diajukan kepada Mahkamah Agung. Apabila pelaku usaha tidak menerima atau menolak putusan Pengadilan Negeri, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari pihaknya dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Setelah itu, Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi tersebut diterima.
Ketentuan tenggang waktu yang diberikan kepada Mahkamah Agung tersebut patut dipertanyakan : apakah waktu tersebut dapat dipenuhinya? Apalagi ada begitu banyak perkara yang masuk serta tunggakan yang harus diselesaikan Mahkamah Agung (Ayudha D. Prayoga et aI., (Ed.), 2000: 143).
Dengan demikian, penanganan perkara penegakan hukum persaingan usaha harus diselesaikan terlebih dahulu melalui dan di tingkat Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Sanksi yang diberikannya pun juga terbatas pada penjatuhan sanksi administratif belaka oleh Komisi Pengawas Persaingan usaha. Apabila sampai ke pengadilan, sudah tentu sanksi yang akan dikenakan jauh lebih berat dibandingkan sanksi administratif yang dijatuhkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Sebenarnya pembentuk undang-undang berkeinginan mendayagunakan sanksi administratif dalam penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia tanpa mengabaikan kewenangan yang dimiliki pengadilan untuk rnengadili pelanggaran terhadap suatu undang-undang.

5.3. Sanksi Penegakan HukmnPersaingan Usaha
Dari Pasal 47 sampai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, terdapat 3 (tiga) macam sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha yang melanggar hukum persaingan usaha. Ketiga macam sanksi tersebut meliputi tindakan administratif yang dijatuhkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, sanksi pidana pokok, dan pidana tambahan yang dijatuhkan pengadilan.
Sanksi pidana juga tercantum dalam Undang-Undang Antimopoli Jepang yang diatur dalam Pasal 89 dan Pasal 90, di antaranya terhadap tindakan-tindakan private monopolization , unreasonable restraint of trade (cartel) , dan kegiaran trade association yang pada intinya mengekang persaingan, termasuk perjanjian Internasional ilegal. Sedangkan sanksi pidana tidak dikenakan terhadap unfair business practices karena tindakan tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran serius dibandingkan dengan tindakan tersebut di atas (Insan Budi Maulana, 2000:55).
Pasa147 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha berwenang untuk menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Tindakan administratif tersebut dapat berupa
a.       Penetapan pembatalan perjanjian yang dilarang untuk dilakukan pelaku usaha, yaitu perjanjian-perjanjian oligopoli (Pasal 4), penetapan harga (Pasal 5)" diskriminasi harga (Pasal 6), pengekangan harga diskon (Pasal 7), pengekangan harga distributor (Pasal 8), pembagian wilayah (Pasal 9), pemboikotan (Pasal 10); kartel (Pasal 11), trust (Pasal 12), oligopsoni (Pasal 13), perjanjian tertutup (Pasal 15), dan perjanjian dengan pihak luar negeri (Pasal 16); dan/atau
b.      Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal (Pasal 14). Penghentian integrasi vertikal antara lain dilaksanakan dengan memberikan perjanjian, pengalihan sebagian perusahaan kepada pelaku usaha lain, atau perubahan bentuk rangkaian produksinya; dan/atau
c.       Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktik monopoli dan/atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat. Diperintahkan untuk diberhentikan di sini hanya suatu kegiatan atau tindakan tertentu saja dan bukan kegiatan usaha pelaku usaha secara keseluruhan; dan/atau
d.      Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan/atau
e.       Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham (Pasal 28); dan/atau
f.       Pembayaran ganti rugi. Ganti rugi diberikan kepada pelaku usaha dan kepada pihak lain yang dirugikan; dan/atau
g.      Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
Pidana pokok yang dikenakan kepada pelaku usaha yang melanggar hukum persaingan Indonesia dalam bentuk pidana denda serendah-rendahnya satu miliar rupiah dan setinggi-tingginya seratus miliar rupiah; atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya tiga bulan sampai dengan enam bulan.
Pasal48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menentukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal-pasal 4, 9, 16, sampai dengan 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28, dapat diancam pidana denda minimal dua puluh lima miliar rupiah dan maksimal seratus miliar rupiah, atau pidana kurungan pengganti denda maksimal enam bulan. Kemudian, pelanggaran terhadap ketentuan Pasal-pasal 5 sampai dengan 8, 15, 20 sampai 24, dan 26, dapat diancam pidana denda minimal lima miliar rupiah dan maksimal dua puluh lima miliar rupiah, atau pidana kurungan pengganti denda maksimal lima bulan. Selanjutnya, pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 dapat diancam pidana denda minimal satu miliar rupiah dan maksimal lima miliar rupiah, atau pidana kurungan pengganri denda maksimal tiga bulan. Dengan demikian terdapat tiga macam pidana denda yang dijatuhkan kepada pelaku usaha oleh pengadilan, yaitu pidana denda minimal dua puluh lima miliar rupiah, pidana denda minimal lima miliar rupiah, dan pidana denda minimal satu miliar rupiah; masing-masing disertai pidana kurungan pengganti denda.
Pengadilan juga dapat menjatuhkan pidana tambahan, di samping pidana pokok kepada pelaku usaha yang telah melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pidana tambahan ini diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menentukan bahwa dengan menunjuk ketentuan pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 , dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha; larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 untuk menduduki jabatan Direksi atau Komisaris minimal dua tahun dan maksimal lima tahun; atau penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Dalam pelaksanaannya di masa mendatang, perlu ada koordinasi yang efektif dengan pihak terkait lainnya, terutama dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang berhubungan dengan perizinan di bidang usaha yang dikenakan sanksi tambahan tersebut. Selain itu, hal ini masih perlu mendapat perhatian dari Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia yang akan memberi pengesahan suatu badan hukum yang akan berdiri atau mengalami perubahan. Diharapkan pihak terkait ini menelaah dengan cermat sebelum akhirnya memberi izin dan/atau mengesahkan suatu badan hukum yang akan berdiri atau yang mengalami perubahan susunan pengurus. Tanpa koordinasi yang efektif, upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan usaha akan sia-sia saja (Insan Budi Maulana, 2000:59).
Daftar Pustaka
·         Zen Umar Purba. 1995 . "Pokok-Pokok Pikiran mengenai Pengaturan Persaingan Sehat dalam Dunia Usaha''. Hukum dan Pembangunan Nomor 1 Tahun XXV. Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
·         Abdurrahman. 2001. "Beberapa Aspek Hukum Sekitar Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999)". Makalah disampaikan pada Acara Diskusi Periodik Tenaga Pengajar Fakultas Hukum UNLAM. Banjarmasin : Fakultas Hukum UNLAM.
·         Abdul Hakim G. Nusantara. 1999. "Interpretasi berdasarkan Standar Internasional", dalam Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Perspektif Internasional.
·         Newsletter Nomor 39 Tahun X. Jakarta : Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
·         Abdul Hakim G. Nusantara dan Benny K. Harman. 1999 . Analisa dan Perbandingan Undang-Undang Antimonopoli (Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia). Jakarta : PT. Elok Komputindo.
·         Adrianus Meliala (Penyunting). 1993. Praktik Bisnis Curang. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
·         Agus Sardjono . 1998. "Pentingnya Sistem Persaingan Usaha yang Sehat dalam Upaya Memperbaiki Sistem Perekonomian". Newsletter Nomor 34 Tahun IX. Jakarta : Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
·         Ahmad M. Ramli. 2000. Hak Atas Kepemilikan Intelektual : Teori Dasar Perlindungan Rahasia Dagang. Bandung : CV. Mandar Maju.
·         Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. 1999. Anti Monopoli. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
·         Aji Setiadi. 2000. "Anti Dumping dalam Perspektif Hukurn Indonesia". Newsletter Nomor 43 Tahun XI. Jakarta : Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
·         Asril Sitompul. 1999. Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999). Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
·         Ayudha-D. Prayoga et al. (Ed.). 2000. Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia. Jakarta : Proyek ELIPS. Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan.
·         Pancasila Pusat. 1992. Undang-Undang Dasar, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Ketetapan MPR No. II/MPRI1978, Garis-garis Besar Haluan Negara Ketetapan MPR No.II/MPR/1988. Jakarta : Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Pusat.
·         Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Pusat. 1996. Undang-Undang Dasar, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Ketetapan MPR No.II/MPR/1978, Garis-garis Besar Haluan Negara Ketetapan MPR No.II/MPRI1993. Jakarta : Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Pusat.
·         Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Pusat. 1994. Bahan Penataran P-4 : Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta : Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Pusat.
·         Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Pusat. 1994. Bahan Penataran P-4 : Garis-garis Besar Haluan Negara. Jakarta : Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Pusat.
·         Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Pusat. 1996. Bahan Penataran : Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Garis-garis Besar Haluan Negara. Jakarta : Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Pusat.
·         Chatamarrasjid. 2000. Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing the Corporate Veil): Kapita Selekta Hukum Perusahaan. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
·         Dimyati Hartono. 1998. "Monopoli dan Oligopoli Suatu Tinjauan Hukum", dalam UU Antimonopoli Seperti Apakah yang Sesungguhnya Kita Butuhkan? Newsletter Nomor 34 Tahun IX. Jakarta : Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
·         Erman Radjagukguk. 1998. "Larangan Praktik Perdagangan Curang dalam UU Persaingan Usaha", dalam UU Antimonopoli Seperti Apakah yang Sesungguhnya Kita Butuhkan? Newsletter Nomor 34 Tahun IX. Jakarta : Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
·         Franciscus Welirang. 1999. "Persaingan Sehat sebagai Instrumen Mengatasi Inefisiensi : Persaingan Meningkatkan Efisiensi Pemanfaatan Faktor-Faktor Produksi", dalam Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Perspektif Internasional. Newsletter Nomor 39 Tahun X. Jakarta : Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
·         Hikmahanto Juwana. 1999. "Menyambut Berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1999: Beberapa Harapan dalam Penerapannya oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha". Hukum dan Pembangunan Nomor 4 Tahun XXIX. Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
·         Hikrnahanro Juwana. 1999. "Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi dalam Perspektif Hukum Persaingan dan UU No. 5/1999". Newsletter Nomor 38 Tahun X. Jakarta : Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
·         Hikmahanto Juwana. 1999. "Interpretasi UU No. 5/1999 dengan Menggunakan Standar Internasional", dalam Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Perspektif Internasional. Newsletter Nomor 39 Tahun X. Jakarta : Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
·         H.S. Kartadjoemena. 1997. GATT, WTO, dan HasH Uruguay Round. Jakarta : Universitas Indonesia Press.
·         Insan Budi Maulana. 2000. Catatan Singkat Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
·         Jimly Asshiddiqie. 1994. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia : Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan Kolektivisme dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980an.  Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
·         John W Head. 1997. Pengantar Umum Hukum Ekonomi. Jakarta : Proyek ELIPS.
·         K. Wantjik Saleh. 1978. Kitab Himpunan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia.
·         K. Wantjik Saleh. 1981. Kitab Himpunan Lengkap Ketetapan-Ketetapan MPRS/MPR. Jakarta : Ghalia Indonesia.
·         Kwiek Gian Gie . 1994. Saya Bermimpi jadi Konglomerat. Jakarta : PT. Gramedia.
·         Marulak Pardede. 1996. "Masalah Hukum Persaingan Curang dalam Perdagangan", Newsletter Nomor 24 Tahun VII. Jakarta : Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
·         Muchtar. 1999. "Pemikiran, Filosofi, Prinsip Dasar, dan Visi UU No. 5/199", dalam Mencermati Prinsip dan Visi UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat . Newsletter Nomor 37 Tahun X. Jakarta : Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
·         Muchyar Yara. 1995 . Merger (Penggabungan Perusahaan) menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 . Jakarta : PT. Nadhilah Ceria Indonesia.
·         Muladi. 1998. "Menyosong Keberadaan UU Persaingan Sehat di Indonesia", dalam UU Antimonopoli Seperti Apakah yang Sesungguhnya Kita Butuhkan? Newsletter Nomor 34 Tahun IX. Jakarta : Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
·         Munir Fuady. 1996. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik Buku Ketiga. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
·         Munir Fuady. 1999. Hukum Perbankan Modern berdasarkan Undang-Undang Tahun 1998 Buku Kesatu. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
·         Munir Fuady. 1999. Hukum tentang Merger. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
·         Munir Fuady. 1999. Hukum Antimonopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
·         Munir Fuady. 2001. Hukum tentang Akuisis, Take Over, dan LBO. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
·         Normin S. Pakpahan. 1997."Hukum Persaingan: Suatu Tinjauan Konseptual". Jurnal Hukum Bisnis Volume 1. Jakarta : Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis.
·         Normin S. Pakpahan et al. (Penyunting) 1997. Kamus Hukum Ekonomi ELIPS. Jakarta : Proyek ELIPS.
·         Office of the U.S. Trade Representative Executive Office of the President t.t. Final Act Embodying The Results of the Uruguay Round ofMultilateral Trade Negotiations Mrsion of 15 December 1993). Washington : Office of the U.S. Trade Representative Executive Office of the President.
·         Pande Raja Silalahi. 1999. "Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi dari Sudut Perbankan berdasarkan UU No. 5/1999". Newsletter Nomor 38 Tahun X. Jakarta : Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
·         Rachmadi Usman. 2000. Hukum Ekonomi dalam Dinamika. Jakarta : PT. Djambatan.
·         Rachmadi Usman. 2001. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
·         Rachmadi Usman. 2001. "Menyingkap Hukum Persaingan Usaha di Indonesia (Telaah Sementara Model Penegakan Hukum Persaingan Usaha menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999)". Makalah disampaikan pada Acara Diskusi Periodik Tenaga Pengajar Fakultas Hukum UNLAM. Banjarmasin : Fakultas Hukum UNLAM.
·         Sanusi Bintang dan Dahlan. 2000. Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
·         Sarjipto Rahardjo. 1996. Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
·         Sekretariat Jenderal MPR RI. r.r. Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang lstimewa Tahun 1998. Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI.
·         Sekretariat Jenderal MPR RI. t .t. Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI.
·         Sekretariat Jenderal MPR RI. t .t. Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999. Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI.
·         Sekretariat Jenderal MPR RI. 2000. Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 7-18 Agustus 2000. Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI.
·         Sekretariat Negara Republik Indonesia . t.t. Undang-Undang Dasar, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Ketetapan MPR No. II/MPRI1978, Garis-garis Besar Haluan Negara  Ketetapan MPR No. II/MPR/1983. Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.
·         Subandi Al Marsudi. 2001. Pancasila dan UUD'45 dalam Paradigma Reformasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
·         Sumantoro (Penyunting), 1986. Hukum Ekonomi. Jakarta : Universitas Indonesia Press.
·         Sunaryati Hartono. 1982. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia. Bandung : Bina Cipta.
·         Sutan Remy Sjahdeini. 2000. "Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat". Jurnal Hukum Bisnis Volume 10. Jakarta : Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis.
·         Sri Bintang Pamungkas. 1996. Pokok-Pokok Pikiran tentang Demokrasi Ekonomi & Pembangunan. Jakarta : Yayasan Daulat Rakyat.
·         Sri Edi Swasono. 1993. "Demokrasi Ekonomi : Keterkaitan Usaha Partisipatif vs Konsentrasi Ekonomi", dalam Oeotojo Oesman dan Alfian (Penyunting . Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara. Surabaya : Karya Anda.
·         Thee Kian Wie . 1999. "Aspek-Aspek Ekonomi yang Perlu Diperhatikan dalam Implementasi UU No. 5/1999", dalam Mencermati Prinsip dan Visi UU No. 5/199 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat . Newsletter Nomor 37 Tahun X. Jakarta : Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
·         Yayasan Klinik HAKI (IP CLINIC). 2001. Kumpulan Perundang-undangan di Bidang HAKI: Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain lndustri, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Tentang Penulis
Lahir di Banjarmasin, 14 September 1967 , Rachmadi Usman, SH mengenyam pendidikan di SD Negeri Pekauman, Banjarmasin (1981); SMP Negeri 6 Dahlian, Banjarmasin (1983); SMA Negeri 4, Banjarmasin (1986); dan Fakultas Hukum Unlam, Banjarmasin (1991). Ketika buku ini diterbitkan, ia sedang mengikuti Program Magister Ilmu Hukum (S2) Unlam, Banjarmasin.
Sebagai sarjana hukum, ia mendedikasikan diri sebagai dosen Fakultas Hukum UNLAM (1993-sekarang); dosen luar biasa Fakultas Ekonomi UNLAM (1995-sekarang); dosen luar biasa Fakultas Ilmu Sosial Politik UNISKA (2001), dosen dan sekretaris Program SI Non-Reguler Fakultas Hukum UNLAM (2002-2003); serta dosen dan pembantu bidang administrasi dan umum Program SI Non-Reguler Fakultas Hukum UNLAM (2003 sekarang).
Ada berbagai kursus/pelatihan dan penataran yang pernah ia ikuti, di antaranya: Penataran Hukum Perdata, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta (1994); Intellectual Property Right Teaching of Teachers, Fakultas Hukum UI , Jakarta (995); Kursus Alternative Dispute Resolution, Fakultas Hukum UI-Elips Project, Jakarta (1996); Penataran Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta (1997); Pencangkokan Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Ul-Elips Project, Jakarta (998); Penataran Applied Approach, UNLAM, Banjarmasin (1999); Pelatihan Penulisan Buku Ajar, UNLAM, Banjarmasin (2001); dan Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah, USU, Medan (2003).
Instrumen Hukum Nasional dalam Peratifikasian Perjanjian dengan Negara Lain menurut Undang-Undang Dasar 1945, Orientasi Nomor 2 Tahun XXII, Banjarmasin, Fakultas Hukum UNLAM; Dampak Penerapan Politik Kodifikasi Parsial dan Terbuka Terhadap Pembaharuan dan Pembentukan Norma Hukum dan Perundang-undangan Perdata Nasional, Orientasi Nomor 1 Tahun XXVII, Banjarmasin, Fakultas Hukum UNLAM dan Kewenangan Ekstra Yudisial Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam Perspektif Hukum, Orientasi Nomor 3 Tahun XXVII, Banjarmasin, Fakultas Hukum, UNLAM; merupakan beberapa contoh karya ilmiah yang dihasilkannya. Selain itu, ia juga menulis berbagai makalah, seperti Prospek Peradilan Umum dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan: Sebuah Telaah Sementara (disampaikan dalam diskusi Program Pencangkokan Hukum Ekonomi II Fakultas Hukum Universitas Indonesia-Elips Project, Jakarta); Aspek Hukum Hak Gugat Organisasi Lingkungan (disampaikan pada Diskusi Periodik Tenaga Pengajar Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum UNLAM pada tanggal 22 Juni 1999); dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Aspek Hukum dan Penyelesaiannya) [Makalah Diskusi Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Unlam, Banjarmasin]. Artikel populer yang ditulisnya pernah dimuat di berbagai media massa nusantara.
Di sela-sela kegiatannya melakukan penelitian, ia juga telah menghasilkan beberapa buku, antara lain: Pokok-pokok Hukum Lingkungan Nasional, CV. Akademika Pressindo, Jakarta (1993); Pasal-Pasal Hak Tanggungan atas Tanah, PT. Djambatan, Jakarta (1999); Dimensi Hukum Surat Berharga, PT. Djambatan, Jakarta (2001); Aspek-Aspek Hukum Perbankan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (2001); Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung (2002); Perkembangan Hukum Perdata, 4PT Pustaka Sinar Harapan, Jakarta (2003); dan Hukum HAKI: Perlindungan dan Dimensi Hukumnya, Alumni, Bandung.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar