Daftar Isi
Bab
1 Pengaturan Hukum Persaingan Usaha
1.1
Dasar Pikiran Pengaturan Hukum Persaingan Usaha
1.2
Kebijakan Politik Persaingan Usaha
1.3
Dasar Hukum Pengaturan Hukum Persaingan Usaha
1.4
Substansi Pengaturan Hukum Persaingan Usaha
Bab
2 Perjanjian yang Dilarang
2.1
Pengertian Perjanjian
2.2
Perjanjian-perjanjian yang Dilarang
2.2. 1 Perjanjian Oligopoli
2.2. 2 Perjanjian Penetapan Harga
2.2. 3 Perjanjian Pembagian Wilayah
2.2. 4 Pemboikotan
2.2. 5 Kartel
2.2. 6 Trust
2.2. 7 Oligopsoni
2.2. 8 Integrasi Vertikal
2.2. 9 Perjanjian Tertutup
2.2.10 Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Bab
3 Kegiatan yang Dilarang
3.1
Pengertian Kegiatan
3.2
Bentuk-bentuk Kegiatan yang Dilarang
3.2 .1 Monopoli
3.2.2 Monopsoni
3.2.3 Penguasaan Pasar
3.2.4 Dumping
3.2.5 Manipulasi Biaya
3.2.6 Persengkongkolan
Bab
4 Posisi Dominan
4.1
Pengertian Posisi Dominan
4.2
Bentuk-bentuk Kegiatan Posisi Dominan yang Dilarang
4.2.1 Kegiatan Posisi Dominan yang Bersifat Umum
4.2.2 Jabatan Rangkap
4.2.3 Penggabungan, Peleburan, dan Pengambil-alihan
Badan Usaha
Bab
5 Penegakan Hukum Persaingan Usaha
5.1
Peranan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
5.1.1 Dasar Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha
5.1.2 Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha
5.1. 3 Susunan Organisasi dan Pembiayaan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha
5.1.4 Tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha
5.1.5 Wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha
5.2
Tata Cara Penanganan Perkara Penegakan Hukum Persaingan Usaha
5.3
Sanksi Penegakan Hukum Persaingan Usaha
Lampiran
Bab
1
Pengaturan
Hukum Persaingan Usaha
1.1.
Dasar Pikiran Pengaturan Hukum Persaingan usaha
Sebetulnya sudah sejak lama masyarakat Indonesia,
khususnya para pelaku bisnis, merindukan sebuah undang-undang yang secara
komprehensif mengatur persaingan sehat. Keinginan itu didorong oleh munculnya
praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat, terutama karena penguasa sering
memberikan perlindungan ataupun priveleges kepada para pelaku bisnis
tertentu, sebagai bagian dari praktik-praktik kolusi, korupsi, kroni, dan
nepotisme. Dikatakan secara komprehensif, karena sebenarnya secara
pragmentaris, batasan-batasan yuridis terhadap praktik-praktik bisnis yang
tidak sehat atau curang dapat ditemukan secara tersebar di berbagai hukum
positif. Tetapi karena sifatnya yang sektoral, perundang-undangan tersebut
sangat tidak efektif untuk (secara konseptual) memenuhi berbagai indikator
sasaran yang ingin dicapai oleh undang-undang persaingan sehat tersebut
(Muladi, 1998:35).
Sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur
persaingan dan antimonopoli sudah sejak lama dipikirkan oleh para pakar, partai
politik, lembaga swadaya masyarakat, serta instansi pernerintah. Pernah suatu
ketika Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1995 menelurkan konsep Rancangan
Undang-undang tentang Antimonopoli. Demikian pula Departernen Perdagangan yang
bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia pernah membuat naskah akademik Rancangan
Undang-Undang tentang Persaingan Sehat di Bidang Perdagangan. Namun patut
disayangkan karena semua usulan dan inisiatif tersebut tidak mendapat tanggapan
yang positif, karena pada masa-masa itu belum ada komitmen maupun political
will dari elite politik yang berkuasa untuk mengatur masalah persaingan
usaha (Hikmahanto Juwana, 1999:4).
Ada
beberapa alasan mengapa pada waktu itu sulit sekali suatu Undang-Undang
Antimonopoli disetujui oleh Pemerintah, yaitu
1. Pemerintah
menganut konsep bahwa perusahaan-perusahaan besar perlu ditumbuhkan untuk
menjadi lokomotif pembangunan. Perusahaan-perusahaan tersebut hanya mungkin
menjadi besar untuk kemudian menjalankan fungsinya sebagai lokomotif
pembangunan apabila diberi perlakuan khusus. Perlakuan khusus ini, dalam
pemberian proteksi yang dapat menghalangi masuknya perusahaan lain dalam bidang
usaha tersebut atau dengan kata lain mernberikan posisi monopoli;
2. Pemberian
fasilitas monopoli perlu ditempuh karena perusahaan itu telah bersedia menjadi
pioner di sektor yang bersangkutan. Tanpa fasilitas monopoli dan proteksi,
Pemerintah sulit memperoleh kesediaan investor untuk menanamkan modalnya di
sektor tersebut;
3. Untuk
menjaga berlangsungnya praktik KKN demi kepentingan kroni mantan Presiden
Soeharto dan pejabat-pejabat yang berkuasa pada waktu itu (Sutan Remy
Sjahdeini, 2000:5).
Kebijakan pembangunan ekonomi yang kita jalankan
selama tiga dasawarsa, selain menghasilkan banyak kemajuan, yang ditunjukkan
oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, juga masih banyak melahirkan tanrangan
atau persoalan pembangunan ekonomi yang belum terpecahkan. Di samping itu, ada
kecenderungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha
swasta sejak awal tahun 1990-an. Peluang-peluang usaha yang telah diciptakan
oleh penguasa pada waktu itu dalam kenyataannya belum membuat seluruh
masyarakat mampu dan dapar berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor
ekonomi. Perkembangan usaha swasta, di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk
kebijakan penguasa yang kurang tepat, sehingga pasar menjadi terdistorsi.
Di sisi lain, sebagian besar perkembangan usaha
swasta pada kenyataannya merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha
yang tidak sehat atau curang. Fenomena yang demikian telah berkembang dan
didukung oleh adanya hubungan antara pengambil keputusan dan para pelaku usaha,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Keadaan ini makin memperburuk
keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang memperhatikan amanat Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945 , serta cenderung menunjukkan corak yang sangat
monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elite kekuasaan mendapatkan
kemudahan-kemudahan yang berlebihan, sehingga menimbulkan kesenjangan sosial.
Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung
oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang
mengakibatkan kerahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing.
Padahal dalam era pasar bebas nanti, kita dituntut
untuk mampu bersaing dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Lebih ironis lagi,
perilaku dari pelaku-pelaku bisnis kita, yaitu para konglomerat yang telah
memperoleh perlakuan istimewa dari penguasa tersebut, ternyata sangat tidak
bertanggung jawab, dan tidak mau berbuat positif untuk memperbaiki kondisi
ekonomi nasional yang sangat parah. Kondisi semacam ini mengharuskan pemerintah
mencari bantuan dari donor-donor lain, baik yang bersifat kolektif maupun
negara per negara. Ketergantungan pada bantuan asing , ini mengharuskan
pemerintah mengikuti berbagai persyaratan yang disepakati bersama; semuanya
rneletakkan Indonesia pada posisi yang lemah. Walau demikian, dalam hal-hal
tertentu, banyak hal yang berkaitan dengan persyaratan utang luar negeri itu
yang mengandung hikmah, yaitu mengakselerasi pernbuatan undang-undang yang
sebenarnya sudah lama didambakan, yang dalam kondisi normal tidak akan dibentuk
dalam waktu singkat; pada umumnya ini telah terjadwal di dalam Letter /
Intents antara Indonesia dengan IMF (Muladi1998:35-36).
Di samping merupakan tuntutan nasional,
Undang-Undang Persaingan Usaha (Fair Competition Law) juga merupakan
tuntutan atau kebutuhan rambu-rambu yuridis dalam hubungan bisnis antarbangsa.
Dari sisi kehidupan nasional jelas bahwa basis kultural (asas kekeluargaan) dan
konstitusional (demokrasi ekonomi) kita mernang sama sekali menolak
prakrik-praktik monopolistic dalam kehidupan ekonomi yang merugikan rakyat.
Dari sisi hubungan antarbangsa pun, apalagi dengan munculnya fenomena globalisasi
ekonomi yang mengandung makna, semakin meningkatnya ketergantungan antarbangsa
di berbagai bidang kehidupan (ekonomi), mengharuskan berbagai bangsa menaati rambu-rambu
(peraturan) baku dalam bisnis antarbangsa, sebagai konsekuensi WTO, APEC, AFTA,
NAFTA, EC, dan lain sebagainya (Muladi, 1998:36).
Sebab, para ahli banyak yang mengatakan, adanya
kondisi persaingan (the state 0/competition) dalam pasar domestik
merupakan hal yang sangat penting dari suam kebijakan publik (public policy),
khususnya untuk mengukur kemampuan bangsa dalam bersaing di pasar
internasional, serta untuk meyakinkan investor dan eksportir asing untuk
bersaing dalam pasar domestik. Dengan demikian tujuan dari kebijakan persaingan
nasional adalah untuk menciptakan dan memastikan bahwa konsep persaingan dapar dijalankan
dalam kerangka ekonomi pluralistik. Konsep dasar kompetitif ini pun pada
dasarnya mengandung unsur HAM yang kental, karena di dalamnya terkait "pemajuan"
(promotion) dari kondisi persaingan (condition/rivalry) dan
"kebebasan memilih" (freedom/choose) untuk mengurangi dan
melarang konsentrasi kekuatan-kekuatan ekonomi (Muladi, 1998:36).
Untuk itulah, akhirnya harus ada campur tangan Negara
(government regulation) untuk mengembangkan dan memelihara kondisi
persaingan. Bahkan globalisasi menciptakan atmosfer yang kondusif untuk
persaingan yang menembus batas-batas negara, yang membutuhkan harmonisasi
kebijakan yang sering dinamakan "super national ofregionalstandards".
Bahkan Masyarakat Ekonomi Eropa (EC) juga masih terus mengembangkan apa
yang dinamakan "Minimum Competition Policy Requirements Within the
Framework of the GATT". Di lingkungan ASEAN pun, tanpa mengesampingkan
divergensi struktur institusional ekonomi, politik, dan sosial, para ahli sudah
mulai berpikir tentang perlunya pengembangan di samping hukum persaingan
nasional dan harmonisasi peraturan-peraturan komersial, termasuk hukum
persaingan di antara masyarakat ASEAN (Muladi, 1998:36).
Doktrin yang berlaku pada masa lalu, yang secara absolute
menyatakan bahwa hukum ekonomi itu bersifat value loaded, yang dekat
dengan kondisi sosial budaya bangsa, tidak sepenuhnya dapat
dipertanggungjawabkan dalam kaitannya dengan proses globalisasi. Konsep
harmonisasi hukum dan keberadaan fenomena internasionalisasi pasar menumbuhkan
perhatian yang semakin intensif terhadap apa yang dinamakan international
dimension of antitrust and the fit between competition policy and the
world trading system. Dalam kerangka ini, muncul antitrust family
(international) linkages of market economies (Muladi, 1998:36-37).
Beberapa negara sudah mengatur rambu-rambu
persaingan usaha yang sehat dalam hukum nasional masing-masing. Amerika Serikat
untuk pertama kali pada tahun
1890 telah mengatur persaingan usaha yang sehat dalam Act to Protect Trade
and Commerce Against Unlawful Restraints and Monopolies (Sherman Act), yang
beberapa kali telah disempurnakan, terakhir dengan Robinson Patrnan Act tahun
1936. Demikian pula di Jepang, untuk pertama kali pengaturan persaingan usaha
dituangkan dalam Shiteki dokusen no kinshi oyobi kosei torihiki ni kansuru
horitsu (Law concerning the prohibilition ofprivate monopoly
andpreservation of fair trade), yang beberapa kali mengalami
perubahan. Bagi Negara Jerman, pengaturan persaingan usaha dapat dijumpai dalam
Act to Unfair Competition 1909. Negara Filipina juga telah mengatur persaingan
usaha ini dalam Penal Code-nya. Sedangkan negaranegara yang tergabung dalam
Masyarakat Ekonomi Eropa, sudah pasti tunduk dan rnengikuti kerentuan
pengaturan hukum persaingan usaha yang telah diatur bersama dalam Treaty on
the European Union. Sedangkan Indonesia, pengaturan persaingan usaha baru
terwujud pada tahun 1999 saat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disahkan.
Kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut ditunjang
pula dengan tuntutan masyarakat akan reformasi total dalam tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara, termasuk penghapusan kegiatan monopoli di segala
sektor. Dibandingkan dengan proses pembentukan undang-undang pada umumnya, proses
pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 termasuk tidak lazim. Perbedaan
ini terlerak pada pihak yang mengajukan rancangan undang-undang. Selama ini
dalam praktik kenegaraan kita, rancangan undang-undang disiapkan dan diajukan oleh
pemerintah untuk kemudian dibahas bersama-sama DPR. Tetapi tidak demikian
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Adapun yang mempersiapkan rancangannya
adalah DPR yang kemudian menggunakan hak inisiatifnya mengajukan rancangan
undang-undang. Rancangan Undang-Undang ini dipersiapkan selama kurang lebih 4
bulan oleh Kelompok Kerja Program Legislasi Nasional DPR Bidang Ekonomi
Keuangan dan Industri Pembangunan dengan judul Rancangan Undang-Undang tentang
Larangan Praktik Monopoli, tanpa ada kata-kata "Persaingan Tidak Sehat
". Sebenarnya pemerintah, dalam hal ini Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, telah mempersiapkan rancangan undang-undang yang mengatur masalah
persaingan dengan judul Rancangan Undang-Undang tentang Persaingan Usaha. Kemudian
Pemerintah dan DPR menyepakati Rancangan Undang-Undang yang dipersiapkan oleh
DPR itulah yang digunakan (Hikrnahanto Juwana, 1999:4).
Menurut Laporan Ketua Pansus untuk mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang tersebut diperlukan waktu lebih kurang 3,5 bulan dengan
rneminta pandangan dan masukan dari berbagai pihak (Abdul Hakim G. Nusantara
dan Benny K. Harman 1999:119). Kemudian, dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Oktober
1998 Rancangan Undang-Undang ini secara resmi dijadikan Rancangan Undang-Undang
Usul Inisiatif DPR. Pembahasan selanjutnya dilakukan oleh suam Panitia Khusus
(Abdurrahman, 2001:2).
Dari konsiderans menimbang Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, dapat diketahui falsafah yang melatardepani kelahirannya dan
sekaligus memuat dasar pikiran perlunya disusun undang-undang tersebut.
Setidaknya memuat tiga hal, yaitu
1. Bahwa
pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan
rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2. Bahwa
demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi
setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran
barang dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien,
sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang
wajar;
3. Bahwa
setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan
yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan
ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak 'terlepas dari kesepakatan
yang telah dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap
perjanjian-perjanjian internasional.
Sementara itu Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 juga menyatakan antara lain "Memperhatikan situasi dan kondisi
tersebut di atas, menuntut kita untuk mencermati dan rnenata kernbali kegiatan
usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat
dan benar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat serta
terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu,
antara lain dalam bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang
merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial. Oleh
karena itu, perlu disusun undang-undang tentang larangan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan
memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk
meneiptakan persaingan usaha yang sehat. Undang-undang ini memberikan jaminan
kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat
dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945".
Dengan demikian kelahiran Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan
perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara
mencegah timbulnya praktik-praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang
tidak sehat lainnya dengan harapan dapat meneiptakan iklim usaha yang kondusif,
di mana setiap pelaku usaha dapat bersaingan secara wajar dan sehat. Untuk itu
diperlukan aturan hukum yang pasti dan jelas yang mengatur larangan praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat lainnya.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagai tool/social
control and a tool/social engineering. Sebagai "alat control sosial",
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berusaha menjaga kepentingan umum dan
mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Selanjutnya
sebagai "alat rekayasa sosial", Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
berusaha untuk rneningkatkan efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan iklim usaha
yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, dan berusaha menciptakan
efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha (Ayudha D. Prayoga et al. (Ed.),
2000:52-53).
Apabila cita-cita ideal tersebut dapat
dioperasionalkan dalam kehidupan nyata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 akan membawa
nilai positif bagi perkembangan iklim usaha di Indonesia, yang selama ini dapat
dikatakan jauh dari kondisi ideal. Sekurang-kurangnya, Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 secara tidak langsung akan memaksa pelaku usaha untuk lebih efisien
dalam mengelola usahanya, karena Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga menjamin
dan memberi peluang yang besar kepada pelaku usaha yang ingin berusaha (sebagai
akibat dilarangnya praktik monopoli dalam bentuk penciptaan barrier
toentry). Hal ini berarti bahwa hanya pelaku usaha yang efisienlah yang dapat
bertahan di pasar (Ayudha D. Prayoga et al. (Ed.), 2000:53).
Dampak positif lain dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 adalah terciptanya pasar yang tidak terdisrorsi, sehingga menciptakan
peluang usaha yang semakin besar bagi para pelaku usaha. Keadaan ini akan
memaksa para pelaku usaha untuk lebih inovatif dalam menciptakan dan memasarkan
produk (barang dan jasa) mereka. Jika hal ini tidak dilakukan, para konsumen
akan beralih kepada produk yang lebih baik dan kompetitif. Ini berarti bahwa,
secara tidak langsung Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 akan memberikan
keuntungan bagi konsumen dalam bentuk produk yang lebih berkualitas, harga yang
bersaing, dan pelayanan yang lebih baik. Namun perlu diingat bahwa
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bukan merupakan ancaman bagi perusahaan-perusahaan
besar yang telah berdiri sebelum undang-undang ini diundangkan, selama
perusahaan-perusahaan tersebut tidak melakukan praktik-praktik yang dilarang
oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Ayudha D. Prayoga et al. (Ed.),
2000:53-54).
Di samping mengikat para pelaku usaha, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 mengikat pemerintah untuk tidak mengeluarkan peraturan-peraturan
yang bersifat memberikan kemudahan dan fasilitas istimewa kepada para pelaku
usaha tertentu yang bersifat monopolistik. Akibatnya, dunia usaha Indonesia
menjadi tidak terbiasa dengan iklim kompetisi yang sehat, yang pada akhirnya menimbulkan
kerugian yang harus ditanggung oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena
itu, kehadiran Undang-Undang No 5 Tahun 1999 diharapkan mampu mengikat pemerintah
untuk lebih objektif dan profesional dalam mengatur dunia usaha di Indonesia.
Di samping itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga dapat meningkatkan
kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia, sehingga mereka akan
rerrarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Peningkatan kepercayaan ini
dikarenakan adanya jaminan untuk berkompetisi secara sehat (Ayudha D. Prayoga
et al. (Ed.), 2000:54-55).
1.2.
Kebijakan Politik Persaingan Usaha
Di Indonesia hukum persaingan usaha, atau apa pun
namanya, seperti Antitrust Law (Amerika Serikat), atau Antimonopoly
Law (Dokusen Kinshiho-Jepang), Restrictive Trade Practices Law (Australia),
atau Competition Law (Uni Eropa) merupakan bagian dari hukum ekonomi.
Dasar kebijakan politik perekonomian nasional dan hukum ekonomi kita dengan
sendirinya harus mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945 secara jelas menyatakan bahwa perekonomian nasional harus dibangun
atas dasar falsafat demokrasi ekonomi dalam wujud ekonomi-kerakyatan. Pasal 33
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa "perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan". Sedangkan penjelasan
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan antara lain bahwa "dalam
Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh
semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab
itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan". Istilah kekeluargaan seringkali ditafsirkan sebagai
anti-persaingan. Tetapi sebenarnya esensi dari Pasal 33 tersebut, adalah perekonomian
Indonesia berorientasi kepada ekonomi kerakyatan. Hal ini merupakan penuangan
yuridis konstitusional dari amanat yang dikandung di dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia (Chatamarrasjid, 2000: 113 dan 140-141).
Selain itu perkataan "perekonomian
disusun" pada Pasal 33 itu secara langsung mengisyaratkan perlu
dilaksanakannya suatu restrukturisasi clan reformasi ekonomi. Mekanisme
daripada itu adalah penyelenggaraan perekonomian berdasarkan demokrasi
ekonomi. Restrukturisasi ekonomi diperlukan untuk mewujudkan keadilan ekonomi
atau pemerataan ekonomi, untuk menghindari polarisasi ekonomi (Sri Edi Swasono,
1993:263). Demikian pula perkataan "disusun" dalam Pasal 33 bersifat imperati,
jadi perekonomian tidaklah dibiarkan tersusun sendiri atau mernbentuk diri
sendiri berdasar kekuatan-kekuatan ekonomi yang ada atau kekuatan pasar bebas .
Perkataan "disusun" mengisyaratkan adanya upaya membangun secara
struktural melalui tindakan nyata dan ini menjadi tugas negara (Sri Edi
Swasono, 1993:270-271).
Dengan demikian, sudah menjadi tugas dan kewajiban Negara
untuk mengimplementasikan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dalam
struktur ekonomi nasional yang berdasarkan demokrasi ekonomi.
Perundang-undangan merupakan sarana yang paling efektif untuk mengimplementasikan
kebijakan politik demokrasi ekonomi tadi. Berdasarkan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 ini, akan bermunculan beraneka ragam perundang-undangan yang akan
mengatur dan mendukung kehidupan ekonomi nasional, terutama dalam menghadapi
era perdagangan bebas. Perundang-undangan di sini, berfungsi selain sebagai "alat
kontrol sosial", juga sebagai "alat rekayasa sosial" dari
kehidupan ekonomi nasional yang berdasarkan demokrasi ekonomi.
Karenanya perundang-undangan merupakan instrumen
kebijakan politik negara. Penggunaan hukum atau perundang-undangan sebagai instrument
kebijakan merupakan perkembangan mutakhir dalam sejarah hukum. Untuk bisa
sampai pada tingkat perkembangan yang demikian, diperlukan persyaratan
tertentu, seperti timbulnya pengorganisasian sosial yang makin tertib dan
sempurna. Pengorganisasian ini tentunya dimungkinkan oleh adanya kekuasaan di
pusat yang makin efektif, dalam hal ini tidak lain adalah negara. Perundang-undangan
mempunyai kelebihan dari norma-norma sosial yang lain, karena
perundang-undangan dikaitkan pada kekuasaan yang terringgi di suatu negara dan
karenanya pula memiliki kekuasaan memaksa yang besar sekali. Mudah bagi perundang-undangan
untuk menentukan ukuran-ukurannya sendiri tanpa perlu menghiraukan tuntutan-tuntutan
dari bawah (Satjipto Rahardjo, 1996:85 dan 90).
Pengaturan kehidupan ekonomi nasional melalui
perundang-undangan dimaksudkan untuk mewujudkan demokrasi ekonomi yang menjadi
dasar politik ekonomi nasional, yang memiliki ciri-ciri positif sebagai
berikut.
a. Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
b. Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara;
c. Bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok-pokok
kemakmuran rakyat dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat;
d. Sumber
kekayaan dan keuangan negara digunakan dengan permufakatan lembaga perwakilan
rakyat, dan pengawasan terhadap kebijaksanaannya ada pada lembaga perwakilan
rakyat pula;
e. Perekonomian
daerah dikembangkan secara serasi dan seimbang antar daerah dalam satu kesatuan perekonomian
nasional dengan mendayagunakan potensi dan peran serta daerah secara optimal
dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
f. Warga
negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta
mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan;
g. Hak
milik perseorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan masyarakat;
h. Potensi,
inisiatif, dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya dalam
batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.*)
*) Perumusan ciri-ciri positif demokrasi ekonomi berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, pertama kali dapat dijumpai dalam Ketetapan
MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi,
Keuangan, dan Pembangunan, yang selanjutnya diperkembangkan dan diperbaharui
melalui Garis-garis Besar HaIuan Negara sebagaimana telah ditetapkan secara
berturut-turut dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973, Ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1978, Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983, Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988, Ketetapan MPR Nomor II/ MPR/1993 dan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1998 .
Demikian pula dirumuskan ciri-ciri negatif dari
demokrasi ekonomi yang harus dihindarkan dalam kehidupan ekonomi nasional,
yaitu
a. Sistem
free fight liberalism yang menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan
bangsa lain yang dalam sejarahnya di Indonesia telah menimbulkan dan
mempertahankan kelemahan strukrural ekonomi nasional dan posisi Indonesia dalam
perekonomian dunia;
b. Sistem
etatisme dalam arti bahwa negara beserta apatur ekonomi negara bersifat
dominan, mendesak, dan mematikan potensi serta daya kreasi unit-unit ekonomi di
luar sektor negara;
c. Persaingan
tidak sehat serta pemusatan kekuatan ekonomi pada saru kelompok dalam berbagai
bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan
cita-cita keadilan. * *)
Pembaruan kebijakan ekonomi, keuangan, dan
pembangunan yang ditetapkan dalam Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966, jelas
bertujuan untuk mengimplementasikan prinsip kedaulatan rakyat di bidang
ekonomi. Walaupun secara formal kebijakan ekonomi yang dikembangkan di masa
awal Orde Baru masih bertitik tolak dari konsep Ekonomi Terpimpin, tetapi pembaruan
yang dilakukan sangat mendasar. Bahkan, dapat dikatakan kebijakan Pemerintah
Orde Baru ini cenderung bersifat merombak secara mendasar kebijakan ekonomi
Orde Lama. Ini terlihat dalam rumusan GBHN yang diterapkan sejak tahun 1973.
Gagasan demokrasi ekonomi secara konsisten dirumuskan dalam serangkaian GBHN.
Konsistensi ini menunjukkan, secara formal, gagasan kedaulatan rakyat selama
periode Demokrasi Pancasila sangat diwarnai keinginan yang kuat untuk
mengembangkan demokrasi ekonomi (Iimly Asshiddiqie, 1994:201 dan 203).
**) Kececapan MPRS Nomor
XXIlI/MPRS/1966 dan GBHN 1973-1998.
GBHN merupakan arah penyelenggaraan negara dalam
waktu lima tahun, untuk dapat mewujudkan tujuan kesejahteraan rakyat yang
berkeadilan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Lebih lanjut dengan mencermati isi serangkaian GBHN yang telah ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) tersebut, maka dapat diketahui secara
jelas kebijakan politik negara untuk mengembangkan persaingan yang sehat dan
adil serta mencegah terjadinya struktur pasar monopolistik, yang merugikan
masyarakat, sebagai berikut
1.
Ketetapan MPRS Nomor XXIII/ MPRS/ 1966 tentang Pembaruan Kebijaksanaan Landasan
Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan Ketetapan ini berisikan penilaian kembali
semua landasan-landasan kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan pasca G30S/PKI
sebagai langkah pertama ke arah perbaikan ekonomi rakyat. Dalam kaitan dengan praktik
monopoli dan persaingan usaha sehat antara lain dinyatakan
a. Adapun
landasan ideal dalam membina sistem ekonomi Indonesia dan yang senantiasa harus
tercermin dalam setiap kebijaksanaan ekonomi ialah Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, terutama Pasal-pasal 23, 27, 33 dan 34, beserta penjelasan-penjelasannya
(Pasal 4) dan hakikat dari landasan ideal tersebut adalah pembinaan sistem
ekonomi terpimpin berdasarkan Pancasila yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi
dan yang bertujuan menciptakan masyarakat adil dan makmur yang diridai oleh
Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 5);
b. Dalam
menjalankan peranannya di bidang ekonomi, pemerintah harus lebih menekankan
pengawasan arah kegiatan ekonomi dan bukan pada penguasaan kegiatan ekonomi
yang sebanyak mungkin. Dalam rangka ini sangat perlu diselenggarakan debirokratisasi
dari sistem pengawasan dan dekonsentrasi dalam manajemen perusahaan-perusahaan Negara
(Pasal40);
c. Sesuai
dengan tugas pemerintah unruk sejauh mungkin mengembangkan potensi dan daya
kreasi rakyat dalam bidang ekonorni, maka dalam batas-batas ketetapan dan jiwa
Undang-Undang Dasar 1945, golongan swasta nasional merniliki kebebasan untuk
memilih bidang usaha masing-masing yang tidak menguasai hajat hidup rakyat
banyak dan tidak strategis (PasaI44);
d. Masing-masing
kelompok dalam golongan swasta nasional berkewajiban untuk mengembangkan
ekonomi Indonesia, sedangkan pengertian dan bidang kegiatannya diatur oleh undang-undang
(PasaI45);
e. Perkembangan
usaha swasta tidak boleh menyimpang dari asas demokrasi ekonomi yang rnerupakan
ciri dari sistem ekonomi terpimpin berdasarkan Pancasila. Tanpa mengingkari prinsip-prinsip
efisiensi, organisasi usaha swasta harus memungkinkan perkembangan demokrasi
ekonomi di dalam lingkungannya. Untuk ini diperlukan pengawasan dari aparatur pemerimah. Di
lain pihak, demi perkembangan kegiatan, golongan swasta nasional berhak
memperoleh pelayanan, pengayoman, dan bantuan yang wajar dari aparatur pemerintah,
Dalam hubungan ini perlu adanya satu forum swasta (PasaI46).
2.
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
Dalam bidang Pembangunan Ekonomi antara lain
dinyatakan, usaha meratakan hasil pembangunan harus pula mencakup program untuk
memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada pengusaha-pengusaha kecil dan
menengah untuk memperluas dan meningkatkan usahanya, dalam rangka memperluas
pengikutsertaan golongan ekonomi lemah dalam ruang lingkup tanggung jawab yang
lebih besar, dengan jalan mengusahakan kesempatan untuk dapat memperkuat permodalannya,
meningkatkan keahliannya untuk mengurus perusahaannya, dan kesempatan untuk
memasarkan hasil produksinya.
Dalam hubungan ini koperasi sebagai salah satu wadah
penghimpun kekuatan ekonomi lemah akan lebih ditingkatkan peranan serta
kemampuannya melalui program yang menyeluruh, dengan menguramakan
koperasi-koperasi produksi di bidang-bidang pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan
rakyat, dan kerajinan tangan.
3.
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
Dalam bidang Pembangunan Ekonomi sektor Usaha Swasta
dan Usaha Golongan Ekonomi Lemah antara lain dinyatakan, untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat yang lebih aktif dalam pembangunan, perluasan dunia
usaha swasta nasional haruslah mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Dalam hubungan
ini perlu ditingkatkan kerjasama yang serasi antara pemerintah, perusahaan
milik negara, dunia usaha swasta, dan koperasi. Pemerintah menciprakan iklim
yang sehat yang diperlukan untuk kelancaran usaha, antara lain dengan mengusahakan
ketenteraman dan keamanan usaha, menyederhanakan prosedur perizinan, dan
sebagainya.
4.
Ketetapan MPR Nomor II/MPR!1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
Dalam bidang Pembangunan Ekonomi sektor Dunia Usaha Nasional
dan Usaha Golongan Ekonomi Lemah antara lain dinyatakan
a. Untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, peranan dunia usaha
nasional perlu lebih ditingkatkan. Dalam hubungan ini dilanjutkan usaha
pemerintah dalam mengembangkan dunia usaha nasional dengan bekerja sama dengan
Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Selanjutnya didorong pemerataan kesempatan
berusaha serta kerjasama yang serasi antara usaha negara, koperasi, dan usaha
swasta;
b. Kerjasama
yang serasi antara usaha besar, menengah, dan kecil serta koperasi perlu
dikembangkan berdasarkan semangat saling menunjang dan saling menguntungkan. Untuk
itu perlu diciptakan iklim yang sehat untuk kelancaran usaha dan terlaksananya
kerja sama tersebut.
5.
Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
Dalam bidang Pembangunan Ekonomi sektor Dunia Usaha antara
lain dinyatakan
a. Pengembangan
dunia usaha nasional yang terdiri dari usaha negara, koperasi, dan usaha swasta
diarahkan terutama agar makin mampu dan berperan dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi, memperluas pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, termasuk
memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja. Untuk itu kemampuan dan
peranan dunia usaha nasional khususnya koperasi, usaha kecil, serta usaha
informal dan tradisional, perlu terus ditingkatkan agar dapat tumbuh dan
berkembang menjadi lebih tangguh dan mandiri;
b. Kerja
sama yang serasi antara usaha negara, koperasi, dan usaha swasta serta antara
usaha besar, menengah, dan kecil perlu dikembangkan berdasarkan semangat
kekeluargaan yang saling menunjang dan saling rnenguntungkan. Untuk itu perlu
diciptakan iklim yang mendorong kerja sama tersebut. Dalam pengembangan dunia
usaha nasional harus dihindarkan terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi dalam
bentuk monopoli yang merugikan masyarakat;
c. Upaya
penyederhanaan berbagai peraturan yang menyangkut dunia usaha termasuk
perizinan serta upaya untuk lebih menjamin kepastian berusaha dalam rangka
menciptakan iklim berusaha yang sehat terus dilanjutkan dan ditingkatkan.
6.
Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
Dalam bidang Pembangunan Ekonomi sektor Usaha
Nasional antara lain dinyatakan
a. Pengembangan
dan pembinaan usaha nasional yang meliputi koperasi, usaha negara, dan usaha
swasta diarahkan agar tumbuh menjadi kegiatan usaha yang mampu menjadi penggerak
utama pembangunan ekonomi, meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan
kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta memperluas kesempatan usaha dan
lapangan kerja menuju terwujudnya perekonomian nasional yang tangguh dan mandiri.
Dalam rangka pengembangan dan pembinaan usaha nasional terus didorong perluasan
kerja sama dan keterkaitan usaha antar sektor dan antar subsektor, antara usaha
skala besar, menengah, dan kecil, berdasar kemitraan usaha yang saling menunjang
dan saling menguntungkan, dengan semangat kekeluargaan dan kebersamaan;
b. Dalam
pengembangan usaha nasional harus dicegah penguasaan sumber ekonomi dan pemusatan
kekuatan ekonomi pada satu kelompok atau golongan masyarakat tertentu dalam
berbagai bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat.
7.
Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
Dalam bidang Pembangunan Ekonomi sektor Usaha
Nasional antara lain dinyatakan
a. Pembangunan
usaha nasional yang terdiri atas koperasi, usaha negara, dan usaha swasta diarahkan
agar tumbuh dan berkembang sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dalam
mekanisme pasar terkelola, yang dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh
keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa serta nasionalisme yang
tinggi dan pengamalan nilai-nilai Pancasila sebagai pelaksanaan sistem ekonomi
Pancasila. Pembangunan usaha nasional ditujukan untuk menjadi kekuatan dan
penggerak utama pembangunan ekonomi nasional; meningkatkan peran serta aktif
masyarakat dalam usaha nasional yang merupakan bagian integral dari
pernbangunan nasional dalam mencapai masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera, dan
berkeadilan; memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja; meningkatkan
kemampuan dunia usaha terutama pengusaha kecil, pengusaha menengah, dan
koperasi; meningkatkan efisiensi, produktivitas, kemampuan daya saing, daya
kreasi, dan inovasi; serta mendorong penguasaan pasar dalam negeri dan
perluasan pasar luar negeri melalui perluasan akses terhadap sumber daya
ekonomi termasuk akses permodalan serta pemantapan budaya kewirausahaan berlandaskan
moral dan etik, didukung oleh pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
memperhatikan kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan,
serta iklim usaha yang menunjang;
b. dalam
pengembangan dan pembinaan usaha nasional yang sehat dan transparan harus dicegah
penguasaan sumber daya ekonomi dan pemusatan kekuatan ekonomi pada saru
kelompok, golongan masyarakat tertentu, dan orang perseorangan dalam berbagai
bentuk monopoli dan monopsoni, serta bentuk pasar lain yang merugikan
masyarakat, terutama melalui pemantapan kerja sama usaha berdasarkan kemitraan
sepadan dengan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling
menguntungkan antara pengusaha kecil, pengusaha menengah, dan pengusaha besar dan
antara koperasi, usaha negara, dan usaha swasta. Badan usaha yang sudah maju dan
berkernbang harus bermitra dengan badan usaha yang belum maju dalam membangun
struktur usaha nasional yang tangguh dan andal. Dorongan dan pemantapan kemitraan
usaha tersebut dilakukan melalui penciptaan iklim persaingan yang sehat dalam
pasar terkelola.
8.
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun
1999-2004 Dalam Kondisi Umum Pembangunan antara lain dinyatakan "Upaya
mengatasi krisis ekonomi beserta dampak yang ditimbulkannya telah dilakukan
melalui proses reformasi di bidang ekonomi, tetapi hasilnya belum memadai
karena
(1)
penyelenggaraan negara di bidang ekonomi
selama ini dilakukan atas dasar kekuasaan yang terpusat dengan campur tangan
pemerintah yang terlalu besar, sehingga kedaulatan ekonomi tidak berada di
tangan rakyat dan mekanisme pasar tidak berfungsi secara efektif; dan
(2)
kesenjangan ekonomi yang meliputi
kesenjangan antara pusat dan daerah, antar daerah, antar pelaku, dan anrar golongan
pendapatan, telah meluas ke seluruh aspek kehidupan, sehingga struktur ekonomi
tidak kuat yang ditandai dengan berkembangnya monopoli serta pemusatan kekuatan
ekonomi di tangan sekelompok kecil masyarakat dan daerah tertentu".
Kemudian dalam Misi Pembangunan antara lain
dinyatakan "Pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional,
terutama pengusaha kecil, menengah, dan koperasi, dengan mengembangkan sistem
ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan berbasis
pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju,
berdaya saing, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan".
Selanjutnya dalam Arah Kebijakan Pembangunan Bidang Ekonomi
antara lain dinyatakan
1. Mengembangkan
sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan
dengan prinsip persaingan sehat dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi,
nilai-nilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup, pembangunan
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, sehingga terjamin kesempatan yang sama
dalam berusaha dan bekerja, perlindungan hak-hak konsumen, serta perlakuan yang
adil bagi seluruh masyarakat;
2. Mengembangkan
persaingan yang sehat dan adil serta menghindarkan terjadinya struktur pasar monopolistik
dan berbagai struktur pasar yang distortif, yang merugikan masyarakat;
3. Mengoptimalkan
peranan pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan pasar dengan
menghilangkan seluruh hambatan yang mengganggu mekanisme pasar, melalui regulasi,
layanan publik, subsidi dan insentif, yang dilakukan secara transparan dan
diatur dengan undang-undang;
4. Memberdayakan
pengusaha kecil, menengah, dan koperasi agar lebih efisien, produktif, dan
berdaya saing dengan menciptakan iklim berusaha yang kondusif dan peluang usaha
yang seluas-luasnya. Bantuan fasilitas dari Negara diberikan secara selektif,
terutama dalam bentuk perlindungan dari persaingan yang tidak sehat, pendidikan
dan pelatihan, informasi bisnis dan teknologi, permodalan, dan lokasi berusaha;
5. Mengembangkan
hubungan kemitraan dalam bentuk keterkaitan usaha yang saling menunjang dan
menguntungkan antara koperasi, swasta, dan Badan Usaha Milik Negara, serta
antara usaha besar, menengah, dan kecil dalam rangka memperkuat struktur
ekonomi nasional.
Dari GBHN mengenai pembangunan ekonomi tersebut, Nampak
bahwa GBHN memberikan kesempatan pada usaha-usaha ekonomi untuk tumbuh dan
berkembang, bahkan sampai ke bentuk yang "rneraksasa dan menggurita"
sekalipun, yang kita kenal dengan istilah konglomerat. Akan tetapi, GBHN tidak membiarkan
praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat terjadi atau tercipta;
oleh karena iru GBHN juga mernberikan batasan-batasan apa yang boleh dilakukan
dan tidak boleh dilakukan jika praktik monopoli akhirnya terjadi (Ayudha D. Prayoga
et al. (Ed.), 2000:44). Undang-Undang Dasar 1945 yang kita miliki sebenarnya tidak
anri-l'besar". Usaha-usaha swasta, usaha negara, dan koperasi tidak
dilarang menjadi besar dalam bentuk konglomerat. Namun, diharapkan tumbuh dan
berkembangnya usaha-usaha tersebut sesuai dengan norma dan etika bisnis yang
baik, didukung oleh norma peraturan yang adil (Ayudha D. Prayoga et al. (Ed.), 2000:46).
Beberapa tahun terakhir ini kondisi perekonomian
Indonesia nampak maju sangat pesat; banyak usaha swasta yang berkembang sangat
pesat menjadi penguasa dari sektor hulu sampai dengan hilir, tidak mempunyai
pesaing yang berarti. Nampaknya mudah saja jika pemerintah mengeluarkan
peraturan-peraturan yang memberikan kemudahan dan fasilitas kepada satu
golongan atau orang perseorangan. Prinsip pemerataan dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia seakan dilupakan dan yang lebih penting adalah kepentingan
untuk satu golongan ataupun orang perseorangan saja (Ayudha D. Prayoga et al.
(Ed.), 2000:46-47).
Selama ini, kemudahan dan fasilitas yang diberikan
oleh pemerintah melalui peraturan-peraturan ekonomi hanya dinikrnati sekelompok
kecil masyarakat dan daerah tertentu saja. Berbagai praktik monopoli
"terselubung" dijalankan oleh pemerintah dengan memberikannya kepada
sekelompok kecil masyarakat atau seorang pengusaha saja, yang pada akhirnya
merugikan kepentingan masyarakat. Pemerintah memperkenankan kegiatan yang bersifat
monopoli dalam kehidupan ekonomi asalkan tidak merugikan kepentingan
masyarakat. Dengan demikian persaingan berusaha di kalangan pengusaha nasional
jadi tidak sehat lagi, sebab pemerintah tidak memberikan keseimbangan kemudahan
dan fasilitas yang sama kepada usaha koperasi, usaha negara, dan usaha swasta.
Kwik
Kian Gie menjelaskan kriteria-kriteria terjadinya monopoli yang diizinkan oleh
GBHN:
1. monopoli
diberikan kepada penemu barang baru, seperti oktroi dan paten, maksudnya untuk
memberikan insentif bagi pemikiran yang kreatif dan inovatif;
2. monopoli
yang diberikan oleh pemerintah kepada BUMN, lazimnya karena barang yang
diproduksi menguasai hajat hidup orang banyak;
3. monopoli
yang diberikan kepada perusahaan swasta dengan kredit pemerintah;
4. monopoli
dan kedudukan monopolistik yang diperoleh dengan cara natural, karena monopolis
menang dalam persaingan yang dilakukan secara sehat, Dalam hal demikian memang tidak
apa-apa, namun masuknya siapa saja ke dalam investasi yang sama hams terbuka
lebar;
5. monopoli
atau kedudukan yang monopolistik yang diperoleh secara natural karena
investasinya terlampau besar, sehingga hanya satu saja yang berani dan bisa
merealisasikan investasinya. Meski demikian, Pemerintah hams tetap bersikap persuasive
dan kondusif dalam memecahkan monopoli;
6. monopoli
atau kedudukan rnonopolistik yang terjadi karena pernbentukan kartel ofensif;
7. monopoli
atau kedudukan monopolistik yang terjadi karena pembentukan kartel defensif;
8. monopoli
yang diberikan kepada suatu organisasi dengan maksud rnembentuk dana bagi
yayasan, yang dananya lalu dipakai untuk tujuan terrentu, seperti kegiatan
sosial dan sebagainya (Kwiek Kian Gie, 1994:243-244). Kondisi monopolistik
tersebut sebagian besar terjadi karena peran negara yang memberikan kondisi
monopolistik kepada suatu usaha, baik usaha negara, usaha swasta, maupun
koperasi (Kwiek Gian Kie, 1994:350).
Sekarang menjadi tugas pernerinrah untuk menciptakan
iklim usaha yang sehat, dengan cara menumbuhkembangkan daya kreasi dan inovasi
pengusaha dalam berusaha, yang pada gilirannya memiliki kemampuan daya saing
yang kuat dan tangguh, baik secara nasional, regional, maupun internasional.
Pemerintah hendaknya mengurangi campur tangarryang terlalu besar dalam kehidupan
ekonomi nasional, cukup meletakkan landasan dan asas-asas hukum ekonomi yang
jelas, tegas, serta dalam penegakannya seyogianya diterapkan secara konsekuen
dan konsisten, Sepanjang penegakan asas-asas hukum ekonomi konsekuen dan konsisten,
struktur ekonomi nasional berdasarkan demokrasi ekonomi akan terwujud.
Sunaryati Hartono mengatakan, antara sistern hukum
dan sistern ekonomi suatu negara terdapat hubungan yang sangat erat dan
pengaruh timbal balik. Kalau pada satu pihak pembaruan dasar-dasar pemikiran di
bidang ekonomi ikut mengubah dan menentukan dasar-dasar sistern hukum yang
bersangkutan, maka penegakan asas-asas hukum yang sesuai juga akan memperlancar
rerbentuknya struktur-ekonomi yang dikehendaki. Sebaliknya, penegakan asas-asas
hukum yang tidak sesuai justru akan menghambat terciptanya struktur ekonomi
yang dicita-citakan (CF.G. Sunaryati Hartono, 1982:6). '
1.3.
Dasar Hukum Pengahrran Hukum Persaingan usaha
Gagasan untuk menerapkan Undang-Undang Antimonopoli
dan mengharamkan kegiatan pengusaha yang curang telah dimulai sejak lima puluh
tahun sebelum Masehi. Peraturan Roma yang melarang tindakan pencaturan atau
pengambilan keuntungan secara berlebihan, dan tindakan bersama yang
mempengaruhi perdagangan jagung. Demikian pula Magna Charta yang ditetapkan tahun
1349 di Inggris telah pula mengembangkan prinsipprinsip yang ,berkaitan dengan restraint
oftrade atau pengekangan dalam perdagangan yang mengharamkan monopoli dan
perjanjianperjanjian yang mernbarasi kebebasan individual untuk berkompetisi secara
jujur (Insan Budi Maulana, 2000:7).
Ajaran Islam melalui Alquran telah memberikan banyak
pedoman yang bersifat umum mengarur perilaku-perilaku pengusaha dalam berusaha;
ada yang secara jelas, ada pula yang secara isyarat (bandingkan Ahmad Azhar
Basyir, 1981:34). Para pengusaha Islam dituntut unruk bersikap jujur dan tidak
curang dalam berusaha. Demikian pula pengusaha Islam dilarang untuk menumpuk
harta perdagangannya guna mendapatkan keuntungan besar. Dalam kaitan ini
Alquran menegaskan: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan J;ka sama suka di antara kamu" (QS.4:29).
Kemudian oleh Alquran ditegaskan: "Hai kaum-Ku, cukupkanlah takaran dan
timbangan dengan adil, dan jangarilah kamu merugikan manusia terhadap
hak-hak mereka, dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan
mernbuat kerusakan". Selanjutnya juga oleh Alquran ditegaskan:
"Keeelakaan besarlah bagi orangorang yang eurang (yaitu) orang-orang yang
apabila menerima takaran dari orang lain mereka rninta dipenuhi dan apabila mereka
.menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah
orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada
suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta
alam". Demikian pula oleh Alquran ditegaskan: "dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih" (QS.9:34).
Itulah beberapa ayat Alquran yang telah menggariskan
prinsip. prinsip 1alam berusaha atau berdagang, yang wajib ditaati oleh para
pengusaha Islam. Harus diingat bahwa kegiatan berusaha atau berdagang itu bukan
sekadar untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri saja, melainkan untuk memenuhi
kebutuhan seluruh manusia yang hidup di muka bumi.
Saat ini, bagi negara Indonesia pengaturan
persaingan usaha bersumber pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang seeara efektif berlaku
pada 5 Maret 2000. Sesungguhnya keinginan -untuk mengatur larangan praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat dijumpai dalam beberapa
perundang- undangan yang ada. Praktik-praktik dagang yang eurang (unfair
trading practices) dapat dituntur seeara pidana berdasarkan Pasal 382 bis
Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Demikian pula pesaing yang dirugikan akibat
praktik-praktik dagang yang eurang tersebut, dapat menuntut seeara perdata
berdasarkan Pasal1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam bidang industri
juga diharapkan tidak terjadi industri yang monopolistic dan tidak sehat,
sebagaimana diamanat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1984 tentang
Perindustrian. Pasal 7 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1984
tersebut menentukan bahwa pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan
pengembangan terhadap industri untuk mengembangkan persaingan yang baik dan
sehat, mencegah persaingan tidak jujur, mencegah pemusatan industri oleh satu
kelompok atau perseorangan, dan bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992
tentang Merek Sebagaimana telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997
, pemakai merek tanpa izin dapat dituntut secara perdata maupun pidana.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas juga memuat
ketentuan yang melarang penguasaan sumber ekonomi dan pemusatan kekuaran ekonomi
pada suatu kelompok atau golongan tertentu melalui tindakan merger,
konsolidasi, dan akuisisi perseroan; hal ini dapat dilakukan asalkan
memperhatikan kepentingan perseroan, pernegang saham minoritas, dan karyawan
perseroan, serta kepentingan masyarakat, termasuk pihak ketiga yang
berkepentingan dan persaingan bisnis yang sehat dalam perseroan, mencegah monopoli
dan monopsoni. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa sebelum ada
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pengaruran larangan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat masih diatur secara parsial dan tersebar ke dalam
berbagai perundang-undangan yang ada.
Realitanya, antara teori undang-undang dan praktik
malah sama sekali bertolak belakang. Selama kurun waktu sekitar 15 (lima belas)
tahun terakhir, perekonomian Indonesia dipenuhi tindakan-tindakan yang bersifat
monopolistik dan tindakantindakan persaingan usaha yang curang (un/air
business practices), misalnya pembentukan Badan Penyangga dan Pemasaran
Cengkeh (BPPC) pada 1991 yang memberikan kewenangan tunggal untuk membeli
cengkeh dari para petani cengkeh dan kewenangan menjualnya kepada para produsen
rokok; dan Tata Niaga ]eruk ataupun PT Timor yang memperoleh banyak kemudahan
fasilitas. Semua itu dengan dalih untuk pembangunan nasional ?an menciptakan
efisiensi, serta kemampuan bersaing walaupun realitanya tidak demikian. Hal itu
terjadi karena kekuasaan rezim Orde Baru terlalu kuat, baik di bidang sosial,
politik, ekonomi, dan hukum (Insan Budi Maulana, 2000: 1-2).
Kemudahan fasilitas-fasilitas yang diberikan
pemerintah kepada orang atau golongan tertentu tidak banyak membawa hasil bagi kemajuan
ekonomi nasional, malah menimbulkan kepineangan sosial ekonomi dalam
masyarakat. Prinsip pemerataan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia belum dapat dilaksanakan dengan baik. Persaingan domestik dalam
berusaha belum tercipta dengan baik. Hal ini disebabkan banyaknya kegiaran
usaha yang dijalankan seeara monopolistik, yang mengakibatkan mereka tidak
mampu bersaing dalam kaneah perdagangan dunia internasional. Untuk itu perlu
ada pembaruan struktural, yang salah sarunya menghapus hambatan persaingan
domestik dalam berusaha melalui deregulasi ekonomi nasional.
Butir-butir yang tertera dalam Memorandum
International Monetary Fund (IMF) tanggal 15 Januari 1998, khususnya yang mengacu
pada pernbaruan-pembaruan struktural, menunjukkan bahwa berbagai rintangan artifisial
yang selama ini telah menghambat persaingan domestik telah atau akan dihapus
oleh Pernerintah Indonesia. Akan tetapi di samping itu diperlukan pula Undang-Undang
Persaingan Domestik yang Sehat, yang menetapkan asas-asas persaingan usaha yang
sehat, yang tidak memberikan peluang bagi timbulnya rintangan-rintangan artificial
baru terhadap persaingan domestik di masa mendatang (Thee Kian Wie, 1999:27).
Atas dasar itu, pemerintah mengumumkan kebijakan
deregulasi dengan melahirkan sebanyak 13 (tiga belas) peraturan
perundangundangan, yang terdiri dari 3 Peraturan Pemerintah, 7 Keputusan Presiden,
dan 3 Instruksi Presiden. Pemberian fasilitas-fasilitas istimewa yang menjurus
pada praktik monopoli dan menguntungkan golongan atau kelompok tertenru dieabut.
Monopoli Badan Urusan Logistik (BULOG) dalam distribusi komoditi primer,
kecuali beras dieabut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1998.
Demikian pula pemerintah meneabut berbagai fasilitas istimewa yang diberikan
kepada PT Timoer dalam .proyek mobil nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
20 Tahun 1998. Kemudian membubarkan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh
(BPPC) berdasarkan Kepurusan Presiden Nomor 21 Tahun 1998.
Seiring dengan peralihan pernerintahan dari Presiden
Soeharto kepada Presiden B.]. Habibie, berlangsung pula Sidang Istimewa Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1998. Sidang
Istimewa
MPR ini telah berhasil membuat 12 ketetapan, Dari 12 ketetapan terse but, ada 2
ketetapan yang berkaitan dengan peleksanaarr'reformasi dan strukturisasi di
bidang ekonomi nasional, yakni Ketetapan MPR Nomor X/MPR!1998 tenrang
Pokokpokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi
Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara dan Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR!1998
tenrang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
Dalam Naskah Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam
Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupamn Nasional sebagai Haluan Negara
sebagai lampiran Ketetapan MPR Nomor X/MPR!1998 pada Bab II Kondisi Umum
Bidang Ekonomi antara lain rnenyatakan: "Keberhasilan pembangunan yang
telah dicapai selama tiga puluh dua tahun Orde Baru telah mengalami kemerosotan
yang memprihatinkan, karena terjadinya krisis moneter pertengahan tahun 1997,
yang berlanjut menjadi krisis ekonorni yang lebih luas. Landasan ekonomi yang
dianggap kuat, ternyata tidak berdaya menghadapi gejolak keuangan eksternal
serta kesulitan-kesulitan makro dan mikro ekonomi.
Hal ini disebabkan oleh karena penyele~ggaraan perekonomian
nasional kurang mengacu kepada amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan
cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang dekat
dengan elite kekuasaan rnendapatkan prioritas khusus yang berdampak timbulnya
kesenjangan sosial. Kelemahan fundamental iru juga disebabkan pengabaian perekonomian
kerakyatan yang sesungguhnya bersandar pada basis sumber daya alam dan sumber
daya manusia sebagai unggulan komparatif dan kornpetitif. Munculnya konglomerasi
dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat
kewirausahaan sejati, mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan
tidak kompetitif Sebagai akibatnya, krisis moneter yang melanda Indonesia,
tidak dapat diatasi secara baik sehingga memerlukan kerja keras untuk bangkit
kembali".
Selanjutnya, pada Bab IV Kebijakan Reformasi
Pembangunan Bidang Ekonomi disebutkan beberapa agenda yang harus dijalankan dalam
rangka pelaksanaan reformasi di bidang ekonomi tersebut, yaitu
a. membuat
perekonomian lebih efisien dan kompetitif dengan menghilangkan berbagai praktik
monopoli serta mengembangkan sistem insentif yang mendorong efisiensi dan
inovasi;
b. meningkatkan
kererbukaan pemerintahan dalam pengelolaan usaha untuk menghilangkan korupsi,
kolusi, dan nepotisrne serta praktik-prakrik ekonomi lainnya yang merugikan Negara
dan rakyat;
c. melaksanakan
deregulasi ketetapan-ketetapan yang menghambat investasi, produksi, distribusi,
dan perdagangan.
Kemudian dalam Ketetapan Nomor XVI!MPR!1998 dapat dijumpai
dasar kebijakan politik ekonomi nasional yang akan dijalankan untuk masa akan
datang sebagai pelaksanaan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Politik ekonomi
nasional juga memuat ketentuan larangan praktik monopoli dan persaingan bisnis
yang tidak sehat, sebagaimana disebutkan dalam Pasalpasal2,5,6, dan7.
Pasal 2 rnenyatakan: "Politik ekonomi nasional
diarahkan untuk menciptakan struktur ekonomi nasional agar terwujud pengusaha
menengah yang kuat dan besar jumlahnya, serta terbentuk keterkaitan dan
kemitraan yang saling menguntungkan antar pelaku ekonomi yang meliputi usaha
kecil, menengah, clan koperasi, usaha besar swasta, clan Baclan Usaha Milik
Negara yang saling memperkuat untuk mewujuclkan Demokrasi Ekonomi clan
efisiensi nasional yang berclaya saing tinggi".
Kemuclian clalam Pasal 5 dinyatakan: "Usaha
kecil, menengah, clan koperasi sebagai pilar utama ekonomi nasional harus
memperoleh kesernpatan utarna, clukungan, perlinclungan, clan pengembangan
seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepacla kelompok usaha
ekonomi rakyat, tanpa mengabaikan peranan usaha besar clan Baclan Usaha Milik Negara",
Berikutnya Pasal 6 rnenyatakan: "Usaha besar clan Badan Usaha Milik Negara
mempunyai hak untuk berusaha clan mengelola sumber claya alam clengan cara yang
sehat clan bermitra clengan pengusaha kecil, menengah, clan koperasi".
Terakhir Pasal 7 ayat (1) menyatakan: "Pengelolaan
clan pemanfaatan tanah clan sumber claya alam lainnya harus clilaksanakan
secara adil clengan menghilangkan segala bentuk pemusatan penguasaan clan
pemilikan clalam rangka pengembangan kernampuan ekonomi usaha kecil, menengah, clan
koperasi serta masyarakat luas ".
Dengan senclirinya politik ekonomi nasional yang
cligariskan clalam Ketetapan MPR Nomor X/MPR!1998 clan Ketetapan Nomor
XVI/MPR!1998 akan menjadi clasar pembuatan berbagai peraturan
perunclang-unclangan yang berkaitan clengan reformasi clan strukturisasi
ekonomi n asional. Demikian pula keclua ketetapan tersebut rnenjadi clasar
perlunya dibuat peraturan perunclang-unclangan yang mengatur larangan praktik
monopoli clan persaingan bisnis yang ticlak sehat. Dalam sejarah Orcle Baru, baru
saat ini Dewan Perwakilan Rakyat menggunakan hak usul inisiatifnya clengan
mengajukan sebuah Rancangan Unclang-undang yang mengatur Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Setelah melalui proses pembahasan di
Dewan Perwakilan Rakyat, Rancangan Undang-undang yang berasal dari usul
inisiatif tersebut pada tanggal 5 Maret 1999 disahkan oleh Presiden B.].
Habibie menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sudah tentu Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tersebut disusun berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
serta berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara
kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum dengan tujuan menjaga kepentingan
umum dan melindungi konsumen; menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui
terciptanya persaingan usaha yang sehat dan menjamin kepastian kesempatan berusaha
yang sama bagi setiap orang; mencegah praktik-praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha; serta menciptakan
efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan
efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian dapat dikatakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bertujuan
unruk menciptakan iklim usaha yang sehat dan wajar, sehingga para pengusaha
dalam berusaha dapat bersaing secara sehat dan wajar serta tidak akan terjadi
lagi struktur pasar yang monopolistik dan berbagai struktur pasar yang
distortif yang merugikan masyarakat banyak. Hal ini diregaskan lebih lanjut
dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
1.4.
Substansi Pengaturan HukmnPersaingan Usaha
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 lebih tepat disebut sebagai Undang-Undang "Antimonopoli
dan Antipersaingan Usaha Curang" atau disingkat "antirnonopoli"
saja, bukannya "Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat".
Karena
dengan menamakan atau menyebut "Antimonopoli (dan Antipersaingan Usaha
Curang)" akan lebih jelas dan tegas , serta akan lebih mudah
disosialisasikan kepada masyarakat daripada nama atau sebutan yang telah
dipilih dalam undang-undang tersebut. Di samping itu, istilah
"antimonopoli (dan antipersaingan usaha eurang atau antipersaingan
eurang)" telah lebih dikenal dan memasyarakat di kalangan usahawan,
akademis, dan praktisi hukum, sehingga pemahaman terhadap undang-undang itu
akan lebih eepat dan lebih mudah diterapkan (Insan Budi Maulana, 2000:15).
Istilah
Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat selain
terlalu panjang atau tidak ringkas, juga akan sulit diingat dan tidak mudah
dipahami. Di samping itu, pasal-pasal terse but tidak disusun dengan kalimat yang
mudah dimengerti atau tidak disusun dengan tata eara perundang-undangan yang
sewajarnya. Akibatnya, sosialisasi undang-undang itu akan mengalami kesulitan.
Meskipun istilah "persaingan usaha tidak sehat" mungkin dianggap
benar dari segi bahasa, dari segi hukum tidaklah demikian. Kata "tidak sehat"
atau "sakit" sebagai lawan kata "sehat" lebih dekat pada atau
lebih tepat digunakan untuk istilah "rnedis" daripada terminology "hukurn".
Istilah "persaingan (usaha) curang" sebagai lawan kara
"persaingan (usaha) jujur" akan lebih jelas dan tegas menurut istilah
hukum dan ekonomi. Karena hukum, bagaimanapun memerlukan kata, kalimat, dan
istilah yang tegas dan jelas, agar tidak menimbulkan interpretasi majemuk yang
kemungkinan dapat mengakibatkan kepastian, keadilan, dan wibawa hukum itu tidak
dapat ditegakkan (Insan Budi Maulana 2000:15) .
Dalam
Undang-Undang NornorS Tahun 1999 tidak ditemukan ketentuan yang mengatur
penyebutan nama singkat (citerrtite/) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Sesuai dengan teknik peraneangan undang-undang, penamaan sebuah undang-undang harus
dirumuskan seeara singkat, jelas, dan tegas, yang meneerminkan substansi
pengaturan undang-undang yang bersangkutan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
dapat dianggap disusun seeara singkat dan sederhana (Insan Budi Maulana 2000:
16).
Hal-hal
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat dikelompokkan ke
dalam 11 Bab dan dituangkan ke dalam 53 Pasal dan 26 Bagian, yang
cakupan materi dan sistematikanya sebagai berikut.
NO.
|
BAB
|
PERIHAL/ISI/TENTANG/MATERI
|
PASAL
|
JUMLAH
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
|
I
11
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
|
Ketentuan Umum
Asas dan Tujuan
Perjanjian yang Dilarang
Kegiatan yang Dilarang
PosisiDominan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Tata Cara Penanganan Perkara
Sanksi
Ketentuan Lain
Ketentuan Peralihan
Kerentuan Penutup
|
1
2 s.d. 3
4 s.d. 16
17 s.d. 24
25 s.d. 29
30 s.d. 37
38 s.d. 46
47 s.d. 49
50 s.d. 51
52
53
|
1 pasal
2 pasal
13 pasal
8 pasal
5 pasal
8 pasal
9 pasal
3 pasal
2 pasal
1 pasal
1 pasal
|
JUMLAH
|
53
|
53 pasal
|
Di
samping itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diperlengkapi pula dengan
1. Penjelan
Umum;
2. Penjelasan
Pasal Demi Pasal
Dalam
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa secara umum,
rnateri Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengandung 6 (enam) bagian pengaturan yang
terdiri atas
1. Perjanjian
yang Dilarang;
2. Kegiatan
yang Dilarang; ,-.;
3. Posisi
Dominan;
4. Komisi
Pengawas Persaingan Usaha;
5. Penegakan
Hukum;
6. Ketentuan
Lain-lain
Selanjutnya,
jika kita lebih saksama mempelajari UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut,
maka kandungan substansi yang diaturnya meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Perumusan
istilah atau konsep-konsep dasar yang terdapat atau dipergunakan dalam
undang-undang maupun aturan pelaksanaan lainnya, agar dapat diketah~i pengertiannya. Pasal
1 memuat perumusan dari 19 istilah atau konsep dasar, yaitu pengertian
monopoli, praktik monopoli, pemusatan kekuatan ekonomi, posisi dominan, pelaku
usaha, persaingan usaha tidak sehat, perjanjian, persengkongkolan atau konspirasi,
pasar, pasar bersangkutan, struktur pasar, perilaku pasar, pangsa pasar, harga
pasar, konsumen, barang, jasa, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan Pengadilan
Negeri;
2. Perumusan
kerangka politik antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat, berupa asas dan
tujuan pernbentukan undang-undang, sebagaimana dalam Pasal 2 dan Pasal 3;
3. Perumusan
macam perjanjian yang dilarang dilakukan pengusaha. Pasal 4 sampai dengan Pasal
16 rnemuat macam perjanjian yang dilarang tersebut, yaitu perjanjian oligopoli,
penetapan harga, pembagian wilayah pemasaran, pemboikotan, kartel, oligopsoni,
imegrasi vertikal, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar
negeri;
4. Perumusan
macam kegiatan yang dilarang dilakukan pengusaha. Pasal 17 sampai dengan Pasal
22 memuat macam kegiatan yang dilarang terse but, yaitu monopoli, monopsoni, penguasaan
pasar, dan persengkonglan;
5. Perumusan
macam posisi dominan yang tidak boleh dilakukan pengusaha. Pasal 25 sampai
dengan Pasal 29 mernuat macam posisi dominan yang tidak boleh dilakukan terse
but, yaitu jabaran rangkap, pemilikan saham, serta penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan;
6. Masalah
susunan, tugas, dan fungsi Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Pasal 30 sampai
dengan Pasal 37 memuat perumusan status, keanggotaan, tugas, wewenang, dan
pembiayaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
7. Perumusan
rata cara penanganan perkara persaingan usaha oleh Kornisi Pengawas Persaingan
Usaha. Pasal 38 sarnpai dengan Pasal 46 memuat perumusan penerimaan laporan, perneriksaan
pendahuluan dan perneriksaan lanjutan, pemeriksaan terhadap pelaku usaha dan
alar-alar bukti, jangka waktu perneriksaan, serta putusan komisi, kekuatan
purusan komisi, dan upaya hukum terhadap putusan kornisi;
8. Ketentuan
sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha yang telah melanggar ketentuan
dalam undang-undang. Pasal
1. 47
sampai dengan Pasal 49 memuat macam sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku
usaha, yaitu tindak administratif, pidana pokok, dan pidana tambahan;
9. Perumusan
perbuatan atau perjanjian yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang dan
monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara dan /atau badan atau lembaga yang
dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah. Pasal 50 memuat ketentuan yang
dikecualikan dari undang-undang dan Pasal 51 memuat kerentuan monopoli oleh
Badan Usaha Milik Negara;
10. Hal-hal
yang menyangkut pelaksanaan undang-undang, yaitu perumusan ketentuan peralihan
dan ketentuan penutup. Pasal 52 mengatur bahwa pelaku usaha yang telah membuat
dan/ atau melakukan kegiatan dan/atau tindakan yang tidak sesuai dengan
undang-undang diberi waktu untuk menyesuaikan selama 6 (enam) bulan sejak
undang-undang diberlakukan. Sedangkan Pasa153 mengatur mulai berlakunya
undang-undang, yaitu terhitung sejak 1 (saru) tahun sesudah undang-undang diundangkan
oleh pemerintah, yaitu tepatnya 5 Maret 2000.
Kerentuan
pelaksanaan lebih lanjut hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang sudah ,ibda;
sebagian lagi rnasih perlu ditindaklanjuti dalam bentuk peraturan pernerintah dan
kepurusan Presiden, yaitu
1. Peraturan
Pemerintah tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Usaha [Pasal 28
ayat (3)];
2. Peraturan
Pemerintah tentang Penetapan Nilai Aset dan/atau Nilai Penjualan Saham sebagai
Akibat Penggabungan.sPeleburan, dan Pengambilalihan Usaha [Pasal 29 ayat (2)};
3. Keputusan
Presiden tentang Susunan, Tugas, dan Fungsi Komisi Pengawas Persaingan Usaha [Pasal
34 ayat (1)] .
Dalam
kaitan dengan tindak lanjut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Pasal 52 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, semua peraturan perundang-undangan yang
mengatur dan berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan
yang baru berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Berdasarkan ketentuan Pasal
52 ayat (1) tersebut, jelas bahwa selama peraturan perundang-undangan yang
mengatur dan berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang
ada belum dicabut, diganti, atau diperbarui berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, maka
peraturan perundang-undangan tersebut dinyatakan rnasih . tetap berlaku, dengan
mengadakan penyesuaian seperlunya.
Bab
2
Perjanjian
yangDilarang
2
.1. Pengertian Perjanjian
Perumusan
pengertian "perjanjian" dapat dijumpai pula dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999. Pasal 1 angka 7 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 mengartikan
"perjanjian" adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha
untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelakuusaha lain dengan
nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Berdasarkan perumusan
pengertian tersebut, dapat disimpulkan unsur-unsur perjanjian menurut konsepsi Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 meliputi:
a. perjanjian
terjadi karena suatu perbuatan;
b. perbuatan
tersebut dilakukan oleh pelaku usaha sebagai para pihak dalam perjanjian;
c. perjanjiannya
dapat dibuat secara tertulis atau tidak tertulis ;
d. tidak
menyebutkan tujuan perjanjian.
Pasal
1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, juga menggunakan kara
"perbuatan". Pasal 1313 merumuskan pengertian perjanjian sebagai suatuperbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih. Para ahli menganggap rumusan perjanjian menurut
Pasal 1313 tersebut selain kurang lengkap juga terlalu luas. Perjanjian lahir karena
ada persetujuan atau kesepakatan di antara para pihak, bukan persetujuan
sepihak saja. Pengertian perbuatan di sini juga tidak terbatas, mencakup
perbuatan secara sukarela dan perbuatan yang bersifat melawan hukum. Dengan
demikian, baik Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 sama-sama merumuskan pengertian perjanjian dalam pengertian yang
luas.
Menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, subjek hukum di dalam perjanjian tersebut
adalah "pelaku usaha", Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 menyatakan, yang dimaksudkan dengan "pelaku usaha" adalah setiap
orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hokum atau bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melaluiperjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Dengan
demikian, berdasarkan perumusan yang diberikan Pasal 1 angka 5 tersebut, subjek
hukum di dalam perjanjian bisa berupa orang perseorangan atau badan usaha yang
berbadan hukum atau bukan badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara.
Badan usaha dimaksud adalah badan tisaha yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiaran usaha dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Dengan
kata lain, badan usaha asing tidak dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999.
Pasalnya,
hanya badan usaha yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha
dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia yang dapat dijerat dengan
Undang-Undang Nornor 5 Tahun 1999. Demikian pula, baik Batang Tubuh maupun
Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak menjelaskan lebih lanjut
apakah orang perseorangan di sini juga harus berkedudukan atau melakukan
kegiatan usaha (bisnis) di dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia atau
tidak. Hal ini berbeda dengan hukum Antitrust Amerika Serikat yang
memungkinkan pelaku usaha asing terkena hukum antitrust, kalau membuat
efek negatif terhadap perdagangan dalam negeri Amerika Serikat (Ayudha D.
Prayoga, et al. (Ed.), 2000:75).
Perjanjian
yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 7 tersebut adalah perjanjian sepihak.
Namun, tidak berarti hanya perjanjian sepihak yang terkena Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999. Harus dipahami bahwa perjanjian sepihak saja sudah dapat terkena
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. ]angkauan berlakunya sangat menguntungkan
(Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:76).
Di
Australia istilah perjanjian (contract) dalam hukum persaingan pada
prinsipnya diartikan sebagaimana istilah contract biasa, yang mensyaratkan
adanya consideration yang berarti masing-masing pihak saling memberikan
sesuatu. Karenanya perjanjian sepihak tidak bisa dilaksanakan. Bahkan istilah "arrangement"
dan "understanding" yang dipakai di dalam hukum
persaingannya rnengharuskan adanya meeting of the minds antara para
pihak yang berarti bukan bersifat sepihak, walaupun artinya menunjukkan sesuatu
yang lebih ringan dari perjanjian biasa. Di Amerika Serikat istilah "agreement"
yang mencakup "contract", "combination", atau "conspiracy"
menurut Section 1 dari the Sherman Act mengharuskan adanya tindakan
bersama-sarna dari dua orang atau lebih untuk membemuknya, sedangkan tindakan
bersama (concerted action) hanya bisa dibenarkan apabila mereka
mempunyai unity of purpose, atau understanding, atau telah
terjadi meeting of minds di antara mereka (Ayudha D. Prayoga, et al.,
(Ed.), 2000:76-77).
Pengertian
perjanjian sepihak menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ternyara
miripdengan pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, yang juga dianggap mempunyai kelemahan. Mungkin kelemahan di dalam
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini dianggap tidak begitu penting,
terbukti dengan tidak adanya usaha untuk memperbaikinya. Namun
"kelemahan" pengertian perjanjian menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tidak bisa dianggap tidak penting, karena ia akan memungkinkan lebih
mudahnya orang terkena pidana di dalam perjanjian-perjanjian yang per se
illegal. Kalau perjanjian sepihak tidak dilarang, keadaan ini akan disalahgunakan,
sehingga akan terjadi perjanjian sepihak yang ditaati oleh pihak pihak yang
sebenarnya tidak terikat yang akhirnya merusak persaingan. Hal ini bisa diarasi
dengan menambah suatu ketentuan lain seperti persengkongkolan. Dengan ini,
walaupun pasal perjanjian tidak bisa diberlakukan, mereka akan terkena
ketentuan yang terakhir ini (bandingkan Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.),
2000:77).
Di
Amerika Serikat, ketentuan larangan "conspiracy" telah bias mengatasi
kesukaran pembuktian ada tidaknya perjanjian. Demikian pula di Australia,
istilah "arrangement" atau "understanding" telah
bisa mengatasi kesukaran yang serupa. Selain menggunakan istilah "contract",
Jepang juga menggunakan istilah "agreement" atau "any
other concerted action" agar memperluas berlakunya hokum antimonopolinya
(Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:77).
2.2
Perjanjian-Perjanjian yang Dilarang
Dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat 11 macam perjanjian yang dilarang
untuk dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain, sebagaimana diatur
dalam Pasal 4 sampai' dengan Pasal 16. Perjanjian-perjanjian yang dilarang dibuat
tersebut dianggap sebagai praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak
sehat, Apabila perjanjian-perjanjian yang dilarang ini ternyata tetap dibuat
oleh pelaku usaha, maka perjanjian yang demikian diancam batal demi hukum atau dianggap
tidak pernah ada, karena yang dijadikan sebagai objek perjanjian adalah
.hal-hal yang tidak halal yang dilarang oleh undang-undang. Dari Pasal1320 dan
Pasal 1337 Kitab UndangUndang Hukum Perdara, dapat diketahui salah satu syarat
sah suatu perjanjian adalah adanya suatu sebab yang halal, yaitu apabila tidak
dilarang oleh undang-undang atau tidak berlawanan dengan kesusilaan dan
ketertiban umum. Selanjutnya, Pasal 1135 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menentukan, suatu perjanjian yang dibuat tapi terlarang tidak mempunyai
kekuatan atau dianggap tidak pernah ada.
Perjanjian-perjanjian
yang dilarang dan termasuk "praktik monopoli" di antara Pasal 4
sampai dengan Pasal 16 adalah perjanjian-perjanjian yang diatur dalam
Pasal-pasal 4, 9, 13, dan 16; selebihnya adalah perjanjian-perjanjian yang
dikategorikan melanggar "persaingan usaha tidak sehat". Meskipun
keempat pasal di atas, yaitu Pasal-pasal 4, 9, 13, dan 16 termasuk perjanjian
yang dianggap mengakibatkan praktik monopoli, tetapi keempat pasal itu
pun-menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999-dapat menimbulkan "persaingan
usaha tidak sehat". Tak peduli apakah akibat yang ditimbulkan itu bersifat
kumulatif atau bersama-sama (terjadi praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat), maupun alternatif atau salah satu dari praktik monopoli atau
persaingan usaha tidak sehat saja (Insan Budi Maulana, 2000: 18).
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 telah merumuskan pengertian "praktik monopoli" dan
"persaingan usaha tidak sehat". Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 merumuskan
pengertian
"praktik monopoli" adalah pemusatan kekuatan ekonomi o/eh satu
atau /ebih pe/aku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau
pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu, sehingga menimbu/kan persaingan
usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Dari bunyi Pasal 1
angka 2 tersebut, jelas bahwa yang dikatakan sebagai praktik monopoli adalah
apabila ada perilaku yang amipersaingan usaha dan hal itu dapat menimbulkan kerugian
bagi kepemingan umum. Pengertian "pemusatan kekuatan ekonomi"
dikemukakan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu penguasaan
yang nyata atas suatu pasar bersangkutan o/eh satu atau /ebih pe/aku usaha, sehingga
dapat menentukan harga barang dan/atau jasa. Dengan demikian dari bunyi
Pasal 1 angka 3 sudah jelas bahwa salah satu indikator yang dapat digunakan
untuk menentukan telah terjadi suatu peristiwa pernusatan kekuatan ekonomi
adalah apabila telah terjadi "penguasaan atas suatu pasar secara
nyata", sehingga harga barang diperdagangkan dan/atau jasa yang ditawarkan
kepada konsumen tidak lagi didasarkan pada mekanisrne-pasar, melainkan
ditentukan sendiri oleh seseorang atau beberapa pelaku usaha yang telah
menguasai pasar yang bersangkutan. Kemudian pengertian "persaingan usaha
tidak sehat" dirumuskan dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, yaitu persaingan antarpe/aku usaha da/am menjalanean kegiatan produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang di/akukan dengan cara j f ur atau
melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Berdasark an bunyi Pasal 1
angka 6 jelas bahwa telah terjadi persaingan usaha atau bisnis tidak sehat atau
eurang bila antarpelaku usaha menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang
dan/arau jasa dilakukan seeara tidak jujur, melawan hukum, atau menghambat
persaingan usaha.
Dari
Pasal4 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, terdapat
beberapa perjanjian yang dilarang, sebagai berikut.
1. oligopoli
(Pasal 4);
2. penetapan
harga (Pasal 5);
3. diskriminasi
harga dan diskon (Pasal 6 sampai dengan Pasal8);
4. pembagian
wilayah (Pasal 9);
5. pernboikotan
(Pasal 10);
6. kartel
(Pasal 11);
7. trust
(Pasal 12);
8. oligopsoni
(Pasal 13);
9. integrasi
vertikal (Pasal14);
10. perjanjian
terrutup (Pasal 15);
11. perjanjian
dengan luar negeri (Pasal 16).
2.2.1.
Perjanjian Oligopoli
Pasal4
ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 meneantumkan larang oligopoli. Dalam
Pasal 4 ayar (1) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk seeara bersama-sama melakukan
penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) jelaslah bahwa undang-undang hanya
melarang oligopoli yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Indikator yang terakhir ini harus
dibuktikan. Ini berarti dengan sendirinya sepanjang penguasaan produksi dan/ atau
pemasaran barang dan/atau jasa tersebut tidak mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan/arau persaingan usaha tidak sehat, maka usaha tersebut tidak
dilarang oleh undang-undang.
Lebih
lanjut, Pasal 4ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menjelaskan pengertian
penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
tersebut, yaitu apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu. Dengan demikian berdasarkan kerentuan Pasal 4 ayat
(1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat disimpulkan bahwa pelaku
usaha dilarang mengadakan perjanjian seeara bersamasama untuk melakukan
penguasaan produksi dan/atau pernasaran barang dan/atau jasa lebih dari 75%
(tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu,
karena perjanjian tersebut dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat yang dapat merugikan kepentingan umum. Dalam hal
ini pembentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga mengadakan pembedaan produk
atas barang dan jasa. Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
menyatakan, barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud,
baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Kemudian
pengertian jasa dikemukakan dalam Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, yaitu setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi
yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau
pelaku usaha.
Berdasarkan
Pasal 4 ini, perjanjian oligopoli dilarang apabila dapat merugikan persaingan,
jadi bukan per se illegal. Hal ini menarik karena larangan oligopoli
hanya dimasukkan dalam kategori perjanjian yang dilarang, yang dapat
mempersempit eakupan larangan tersebut mengingat keterbatasan arri perjanjian (Ayudha
D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:78).
Sebagai
perbandingan, di Amerika Serikat oligopoli di samping bisa terkena Section 1
dari the Sherman Act, juga bisa terjerat Section 2-nya yang menggunakan ungkapan
"combine or conspire to monopolize". Penggunaan istilah "combination"
atau "conspiracy" dalam hal ini lebih realistis mengingat
oligopoli banyak dilakukan tanpa adanya contract yang formal. Oligopoli bias
terjadi dengan implicit verbal negotiation, di samping karena adanya tacit
collusion. Penggunaan kata combination atau conspiracy dalam hal
ini lebih bisa menjerat para oligopolis walaupun mereka juga hams mempunyai unity
of purpose atau understanding atau telah terjadi meeting of minds
di antara mereka (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:78).
2.2.2.
Perjanjian Penetapan Harga
Perjanjian
Harga Horizontal (Price Fixing)
Pasal
5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk mengadakan
perjanjian dengan pesaingnya untuk menetapkan harga aras suatu barang dan/atau
jasa yang hams dibayar konsumen atau pelanggannya. Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang
dan/arau jasa yang hams dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama. Berdasarkan kerentuan Pasal 5 ayat (1) ini, pelaku
usaha dilarang mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya guna menetapkan
suatu harga tertentu atas suatu barang dan/atau jasa yang akan diperdagangkan
pada pasar yang bersangkutan, sebab perjanjian seperti itu akan meniadakan persaingan
usaha di antara pelaku usaha yang mengadakan perjanjian tersebut.
Price
fixing oleh Australia (Section 45A dari the Trade
Practices Act 1974) dan Amerika Serikat (Section 1 the Sherman Act 1890)
dianggap sebagai "naked restraint of trade with no purpose except the
stifling of competition". Oleh karena itu hal ini dianggap per se
illegal. Kita nampaknya rnengikuti anggapan kedua Negara ini. Dalam Pasal 5
ayat (1) tersebut dikatakan perjanjian penetapan harga horizontal dilarang
tanpa melihat efek negatif dari perjanjian tersebut terhadap persaingan. Karena
perjanjian pricefixing ini per se illegal, tinggi-rendahnya
harga yang ditetapkan menjadi tidak
relevan.
Dengan kata lain , walaupun efek negatif terhadap persaingan usaha kecil,
perjanjian pricefixing tetap dilarang. Hal ini berarti pula bahwa market
power para pihak juga tidak relevan, walaupun kenaikan harga lebih mungkin
terjadi apabila market share mereka besar (Ayudha D. Prayoga, et al.,
(Ed.), 2000:7980).
Di
dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah "konsumen akhir" dan
"konsurnen antara". Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat
akhir suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan
suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.
Pengertian konsumen yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomoi 5 Tahun
1999 adalah konsumen akhir. Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 dinyatakan, yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap pemakai
dan/atau pengguna barang dan/atau jasa, baik untuk kepentingan diri sendiri
maupun untuk kepentingan pihak lain. Kemudian pengertian konsumen ini dikemukakan
pula dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, yaitu setiap orang pe1ljtlkai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Berdasarkan
rumusan tersebut, maka pengertian konsumen terbatas pada pemakai atau pengguna
barang dan/atau jasa untuk keperluannya, baik untuk keperluan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak unruk diperdagangkan (Rachmadi
Usman, 2000:202-203).
Pengertian
mengenai pasar bersangkutan menjadi sangat penting artinya dalam menentukan
ada-tidaknya monopolisasi, meskipun penentuan dari pasar bersangkutan sang at
relatif (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999: 14). Dalam hal ini, Pasal 1 angka
10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengartikan pasar bersangkuran"
sebagai pasar yang berkaitan denganjangkauan atau daerah pemasaran tertentu
oleh pelaku usaha atas barang danl atau jasa yang sama atau sejenis atau
substitusi dari barang danlatau jasa tersebut.
Untuk
menentukan relevansi atau kedudukan dari suatu pasar bersangkutan, pada umumnya
orang mencoba untuk melakukan pendekatan sensitivitas produk tersebut dalam
wilayah pemasaran produk yang sudah berjalan. Salah satu yang dapat dipakai adalah
pendekatan elasticity of demand. Dari pendekaran tersebut dapat
diketahui sampai seberapa jauh sensitivitas suatu produk terhadap perubahan
harga, yang dinyatakan dengan persentase perubahan kebutuhan atau persentase perubahan
harga (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999:15).
Meskipun
tidak sederhana, untuk rnenilai relevansi dan keterkaitannya dengan produk
kornpetitor, diperkenalkan konsep cross elasticity demand (CED)
antara kedua produk yang saling dikaitkan.
Nilai
CED diperoleh dari nilai persentase perubahan kebutuhan dari satu produk dibagi
dengan nilai persentase perubahan harga dari produk lain yang sedang
dibandingkan. Jika nilai CED-nya negatif berarti kedua produk dalam pasar tersebut
saling melengkapi. Dan jika nilai CED-nya positif dengan angka yang relatif
besar, kedua produk tersebur merupakan produk yang saling berkompetisi dalam
pasar yang ada (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999:15).
Adakalanya
penentuan pasar bersangkutan tidak dapat diterapkan secara an sich. Berbagai
pertimbangan, khususnya yang berhubungan dengan "karakteristik" pasar
yang berbeda satu dengan yang lain juga sangat mempengaruhi. Oleh karena itu dikenal
pula istilah penentuan pasar geografis yang relevan untuk menilai kompetisi
produk yang ada dalam pasar tersebut (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999:15).
Untuk
perjanjian tertentu seperti yang disebur dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999, tidak ada larangan price fixing, sepanjang hal
tersebut tidak menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dengan
pesaing-pesaing bisnisnya. Pasal 5 ayat (2) terse but menyatakan bahwa
ketentuan larangan price fixing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak berlaku bagi
a. suatu
perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan (joint venture), conrohnya
PT X dan PT Y mengadakan suatu usaha patungan dengan mendirikan PT A, di mana
PT X dan PT Y diperkenankan untuk menentukan sendiri besarnya harga jual barang
yang diproduksi PT A tersebut;
b. suatu
perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku, contohnya penentuan
harga jual bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan oleh Pemerintah.
Dalam
hal ini tidak dijelaskan joint venture seperti apa yang bias dikecualikan.
Memang joint venture antara pihak-pihak yang tidak saling bersaing tidak
menyebabkan efek antikompetitif. Tetapi, bila usaha patungan seperti ini
membuat collateralrestraint-yakni perjanjian yang membatasi kompetisi di
masa datang antara para pihak- usaha ini bisa menghadapi risiko tuntutan
pelanggaran hukum persaingan. Joint venture antara para pesaing jelas
dapat mengurangi persaingan, kecuali kalau bentuk kerja sama ini dibuat untuk
memenuhi kebutuhan pasar yang tidak pernah atau tidak akan dipenuhi oleh
masing-masing pihak secara individual. Kita tidak bisa mengatakan bahwa semua
perjanjian dalam joint venture tidak akan merugikan persaingan; perlu
dijelaskan lagi, dalam perjanjianjoint ventureyang bagaimana yang
dikecualikan (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), ?000:87).
Sebagai
perbandingan, di Australia, Section 45A (2) dan (4) mengecualikan
perjanjian-perjanjian dalam joint venture dari ketentuan larangan pricefixing.
Pengecualiannya hanya pdari larangan per se illegal-nya. Artinya,
kalau akhirnya terbukti mempunyai tujuan atau efek yang antikompetitif
perjanjian pricefixing dalam joint venture tersebut : tetap
dilarang. Di samping itu, harus dipenuhi syarat-syarat tertentu untuk dapat
memanfaatkan fasilitas ini (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:87).
Di
Amerika Serikat, menurut the Export Trading Company Act 1982, untuk
rnendapatkan imunitas terbatas dari hokum antitrust, joint venture yang
melakukan ekspor hams memenuhi syarat: tidak akan mengurangi persaingan dan
perdagangan di dalam atau perdagangan ekspor Amerika Serikat, tidak menaikkan, menstabilisasikan,
atau menekan harga di Amerika Serikat secara tidak wajar, tidak menimbulkan
cara kompetisi yang tidak sehat dengan pesaing-pesaing, dan lain-lain. Di
samping itu the Department of Justice dan the Federal Trade Commission telah memberikan
sernacam guidelines bagi joint venture tertentu lainnya yang akan
menikmati imunitas terbatas dari hukum antitrust (Ayudha D. Prayoga, et
al., (Ed.), 2000:87-88)
Di
Uni Eropa, joint venture pada dasarnya dianggap selalu mengurangi
dan/atau merugikan persaingan, sehingga melanggar Pasal 85 (1) the Treaty of
Rome. Walaupun demikian, the Eropa Union Commission bisa memberikan
pengecualian menurut Pasal 85 (3) dengan syarat bentuk usaha irii dapat
memperbaiki dan/ atau mengembangkan produksi dan distribusi barang atau jasa, atau
mendorong kemajuan teknologi dan ekonomi dengan memungkinkan masyarakat
konsumen memperoleh bagian yang adil dari keuntungan yang dihasilkan dan yang
tidak menyebabkan terjadinya pembatasan dan hambatan terhadap persaingan dari produk
yang bersangkutan (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:88).
Diskriminasi
Harga clan Diskon
Larangan
penetapan diskriminasi (price discrimination) disebutkan dalam Pasal 6
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tersebur menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang
mengakibatkan pembeli yang satu hams membayar dengan harga yang berbeda dari
harga yang hams dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 tersebut, diskriminasi harga dilarang apabila
pelaku usaha membuat suatu perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
mengakibatkan pembeli yang satu hams membayar harga yang tidak sama atau
berbeda dengan harga yang hams dibayar pembeli lain untuk barang dan/atau jasa
yang sama, karena hal ini dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat
di kalangan pelaku usaha atau dapat merusak persaingan usaha.
Pada
pasar tertentu, produsen dapat menetapkan harga yang mungkin menghasilkan laba
yang jauh lebih tinggi dari apa yang dihasilkan jika produsen hanya rnenetapkan
satu harga untuk semua konsumen. Strategi penetapan harga yang berbeda ini juga
dapat merusak persaingan usaha. Salah satunya menerapkan diskriminasi harga.
Dalam hal ini terdapat tiga jenis dan tingkatan strategis diskriminasi harga,
di mana setiap tingkatan menuntut informasi yang berbeda mengenai konsumen, yaitu
1.
Diskriminasi harga sempurna, di mana produsen akan menetapkan harga yang
berbeda untuk setiap konsumen. Seriap konsumen akan dikenakan harga tertinggi
yang sanggup dibayarnya. Dengan menerapkan strategi ini, produsen akan menyerap
seluruh surplus konsumen, sehingga dapat mencapai laba yang paling tinggi.
Strategi ini hanya dapat diimplementasikan pada kasus tertentu saja, karena menuntut
produsen untuk mengetahui dengan tepat berapa jumlah maksimum yang ingin
dibayarkan oleh konsumen untuk jumlah barang yang ditawarkan;
2.
Pada situasi di mana produsen tidak dapat mengindentifikasi maksimum harga yang
dapat dikenakan untuk setiap konsumen, atau situasi 'di rnana produsen tidak
dapat melanjutkan struktur harga yang sama untuk tambahan unit penjualan, maka
produsen dapat menerapkan strategi diskriminasi tingkat harga kedua, di mana
produsen akan menerapkan sebagian dari surplus konsumen. Pada strategi ini
produsen menerapkan harga yang berbeda untuk setiap pembelinya berdasarkan jumlah
barang yang dibeli. Pembeli yang bersedia membeli barang lebih banyak diberikan
harga per unit yang lebih murah. Makin sedikit barang yang dibeli, harga per
unitnya semakin mahal. Strategi ini banyak dilakukan pada penjualan grosir atau
pasar swalayan besar;
3.
Bentuk terakhir diskriminasi harga umumnya diterapkan produsen yang mengerahui
bahwa perrnintaan atas produk mereka beragam secara sistematik berdasarkan
karakteristik konsumen dan kelompok demografis. Pada kondisi ini, produsen dapat
memperoleh keuntungan dengan mengenakan tarif yang berbeda untuk setiap
kelompok konsumen yang berbeda (Ayudha D. Prayoga. et al., (Ed.), 2000:94-95).
Demikian
pula pelaku usaha dilarang menerapkan harga di bawah biaya marginal (predatory
price). Pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pe1aku usaha pesaingnya untuk menetapkan
harga di bawah pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 tersebut, perjanjian penetapan harga
di bawah biaya marginal yang dilarang adalah perjanjian yang dibuat pelaku usaha
dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan menetapkan harga di bawah pasar atau
di bawah biaya rata-rata, yang membawa akibat timbulnya persaingan usaha yang
tidak sehat. Pada satu sisi, penetapan harga di bawah biaya marginal akan menguntungkan
konsumen dalam' jangka pendek, tetapi dipihak lain akan sangat merugikan
pesaing (produsen lain) . Predatory pricing ini sebenarnya merupakan
hasil dari perang harga tidak sehat antara pe1aku usaha dalam rangka merebut
pasar. Strategi yang tidak sehat ini pada umumnya beralasan bahwa harga yang ditawarkan
merupakan hasil kinerja peningkatan efisiensi perusahaan.
Oleh
karena itu, hal ini tidak akan segera terdeteksi sampai pesaing dapat mengukur
dengan tepat berapa harga terendah yang sesungguhnya dapat ditawarkan pada
konsumen (di mana harga = biaya marginal). Srrategi ini akan menyebabkan
produsen menyerap pangsa pasar yang lebih besar, yang dikarenakan berpindahnya
konsumen pada penawaran harga yang lebih rendah. Sementara produsen pesaing
akan kehilangan pangsa pasarnya. Pada jangka yang lebih panjang, produsen
pe1aku predatory pricing akan dapat bertindak sebagai monopolis (Ayudha
D. Prayoga, et al. (Ed.), 2000: 100).
Pasal8
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk rnembuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain yang rnemuat persyaratan bahwa penerima
barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan/atau
jasa yang telah diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang
telah diperjanjikan, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ini, pelaku usaha (supplier) dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain (distributor) untuk menetapkan
harga vertikal (resale price maintenance), di mana penerima barang dan/ atau
jasa selaku distributornya tidak boleh menjual atau memasok kembali barang
dan/atau jasa yang telah diterimanya dari supplier tersebut dengan harga
ya.ng lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sebelumnya antarasupplier
dan distributor, sebab hal itu akan dapat menimbulkan persaingan usaha
tidak sehat. Salah satu alasan diadakan perjanjian resale price maintenance ini
adalah untuk menghindari intra-brand competition di antara para distributor,
yang bisa mengancam stabilitas jaringan ecerannya.
Di
samping itu, mungkin supplier ingin juga mempertahankan persepsi para
konsumen terhadap kualitas produknya. Resale price maintenance bisa juga
terjadi ketika melaksanakan price fixing dari kartel di anrara para retailer.
Hal ini dilakukan karena sulit untuk melaksanakannya dengan perjanjian resale
price maintenance. Mungkin juga supplier menetapkan resale price
maintenance untuk melaksanakan perjannan price fixing di antara supplier
ini dengan supplier lain (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.),
2000:80).
Dari
bunyi Pasal 8 terlihat bahwa perjanjian penetapan harga vertikal hanya dilarang
apabila dapat mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat. Artinya, berbeda
dari price fixing, ia bukan per se illegal. Tidak diketahui
mengapa ada perbedaan semacam ini, padahal keduanya sama-sama mengenai harga
yang merupakan faktor terpenting di dalam persaingan, dan persaingan harga
merupakan tujuan paling utama dari hukum persaingan (Ayudha D. Prayoga, et al.,
(Ed.), 2000:80).
Sebagai
perbandingan, Amerika Serikat dan Australia men&ategorikan baik price
fixing maupun resale price maintenance sebagai per se illegal. Baik
price fixing maupun resale price maintenance samasama merugikan
persaingan dan konsumen. Salah satu perbedaan antara keduanya adalah di dalam resale
price maintenance ada korban yang lebih langsung, yakni retailer yang
tergeser karena tidak menyukai resale price maintenance tersebut.
Pengalaman di Australia menunjukkan bahwa resale price maintenance lebih
mudah dibuktikan daripada price fixing, karena biasanya retailer (yang
biasanya sukar memberikan diskon) tersebut akan melaporkan dan memberikan
bukti-bukti langsung (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:80-81).
2.2.3.
Perjanjian Pemhagian Wilayah
Perjanjian
price fixing bukan satu-satunya cara mengontrol harga. Cara lain yang
walaupun tidak secara langsung dapat mengontrolnya, yakni perjanjian di antara
pelaku usaha untuk tidak saling berkompetisi satu sama lain . Caranya, mereka
membagi wilayahpemasaran barang atau jasamereka. Ada banyak perjanjian pembagian
wilayah ini, pertama, pelaku usaha dapat membagi pasar secara geografis; kedua,
membagi jenis atau kelas pelanggan atau konsumen (misalnya wholesalers a.tau
retailers); dan ketiga, mereka bisa membagi pasar berdasarkan jenis
produk yang dikeluarkan (misalnya peralatan video profesional dan alat video amatir)
(Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:81).
Pasal
9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk mengadakan
perjanjian pembagian wilayah (market allocation), baik yang bersifat
vertikal atau horizontal. Dalam Pasal9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya dengan tujuan membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap
barang dan/atau jasa, sehingga mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan
/atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan Pasal 9 ini, perjanjian
pembagian wilayah yang terkena larangan adalah jika isi perjanjian pembagian wilayah
yang dimaksud bertujuan membagi wilayah pemasaran ata alokasi pasar terhadap
suatu produk barang dan/atau jasa, dimana perjanjian itu dapat menimbulkan
praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian ini
dilarang karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi persaingan dengan cara
membagi wilayah pasar atau alokasi pasar. Wilayah pemasaran di sini dapat
berarti wilayah negara Republik Indonesia atau bagian wilayah negara Republik
Indonesia, misalnya provinsi, kabupaten/kota, atau wilayah regional yang lain.
Membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar itu berarti membagi wilayah untuk memperoleh
atau memasok barang, jasa atau barang, dan jasa tertentu. Perjanjian seperti
ini dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak
sehat.
Dari
ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat disimpulkan bahwa
perjanjian pembagian wilayah tidak termasuk per se illegal; oleh karena
itu perjanjian yang demikian hanya dilarang apabila dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat (bandingkan Ayudha
D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:81).
Hal
ini berbeda dengan ketentuan di Amerika Serikat yang menganggapnya sebagai per
se illegal. Pada umumnya memberlakukan market allocation sama dengan
price fixing. Perjanjian price fixing memungkinkan setiap pesaing
menjual produknya pada harga ~onopoli
tanpa
rasa takut bahwa yang lain akan menurunkan harga. Marketallocation memungkinkan
hal yang sama, karena setiap pesaing tidak menghadapi persaingan berhubungan
dengan konsumen yang dilayani , sehingga ia bebas menetapkan harga monopoli. Sebaliknya,
ada kernungkinan pembagian wilayah pemasaran ini membuat produksi atau
pemasaran menjadi lebih efisien. Para pesaing dapat bersepakat untuk tidak
memproduksi produkproduk tertentu atau meninggalkan wilayah-wilayah tertentu
dan memfokuskan pada produk-produk atau wilayah-wilayah tertentu yang lain
untuk mencapai economies a/scale dan spesialisasi. Dengan kata lain,
efisiensi yang lebih besar akan tercapai. Namun, efisiensi semacam ini baru
bisa tercapai dengan adanya perjanjian antar pesaing (Ayudha D. Prayoga, et
al., (Ed.), 2000:81-82).
2.2.4.
pemboikotan
Pelaku
usaha juga dilarang untuk membuat perjanjian untuk meiak~an pemboikotan (boycott).
Pemboikotan ini merupakan perjanjian horizontal antara pelaku usaha pesaing
untuk menolak mengadakan hubungan dagang dengan pelaku usaha lain. Larangan membuat
perjanjian pemboikotan ini diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, yang rnenetapkan:
(1)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk
tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
(2)
Pelaku usaha dilarang rnernbuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menolak menjual setiap barang dan/ atau jasa dari pelaku usaha lain, sehingga
perbuatan tersebur
a. merugikan
atau dapat diduga merugikan pelaku usaha lain ; atau
b. membatasi
pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan/atau jasa dari
pasar bersangkutan.
Pernboikotan
seperti yang diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat
menutup akses kepada input yang diperlukan oleh pesaing-pesaing lain
(bandingkan Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:84).
Sebagai
perbandingan, di Australia, boycott ini-yang oleh Section 4D Trade
Practices Act 1974 disebut juga sebagai exclusionary provisions-clilarang secara
mutlak, terlepas dari dampaknya terhadap persaingan (Ayudha D. Prayoga, et al.,
(Ed.), 2000:84).
Dari
bunyi Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dapat diketahui kalau
Indonesia ternyata tidak mutlak menganutnya seperti yang dilakukan Australia.
Pasal 10 ayat (1) memang tidak mensyaratkan adanya dampak negatif dari
perjanjian pemboikotan tersebut. Akan tetapi ayat (2) pasal yang sama mensyaratkan
adanya kerugian yang diderita pelaku usaha lain sebagai akibat pemboikotan atau halangan
perdagangan barang dan/atau jasa di pasar bersangkutan. Namun demikian, tidak berarti
hams ada syarat dampak negatif terhadap persaingan, karena terpenuhinya syarat
di dalam ayat (2) terse but. Tidak berarti persaingan pasti akan berkurang
(bandingkan Ayudha 6, Prayoga, et al., (Ed.), 2000:84)
2.2.5.
Kartel
Seringkali
suatu industri hanya mempunyai beberapa pemain yang mendominasi pasar. Keadaan
demikian dapat mendorong mereka untuk mengambil tindakan bersama dengan tujuan
memperkuat kekuatan ekonomi mereka dan mempertinggi keuntungan. Ini akan
mendorong mereka untuk membatasi tingkat produksi maupun tingkat harga melalui
kesepakatan bersama di antara mereka. Kesemuanya dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
persaingan yang memgikan mereka sendiri . Kalau berpegang pada teori monopoli,
suatu kelompok industri yang mempunyai kedudukan oligopolis akan mendapat
keuntungan yang maksimal bila mereka secara bersama berlaku sebagai monopolis.
Dalam praktikriya, kedudukan oligopolis ini diwujudkan melalui apa yang disebur
asosiasi-asosiasi. Melalui asosiasi ini mereka dapat mengadakan kesepakatan
bersama mengenai tingkar produksi, tingkat harga, wilayah pemasaran, dan
sebagainya (Agus Sardjono , 1998:26-27), yang kemudian melahirkan kartel, yang
dapat pula mengakibatkan terciptanya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
yang tidak sehat. Kamus Hukum Ekonomi ELIPS (1997:21) mengartikan kartel (carte/)
sebagai "persekongkolan atau persekutuan di antara beberapa produsen
produk sejenis dengan maksud untuk mengontrol produksi, harga, dan
penjualannya, serta untuk memperoleh posisi monopoli". Dengan demikian,
kartel rnerupakan salah satu bentuk monopoli, di mana beberapa pelaku usaha
(produsen) bersatu untuk mengontrol produksi, menentukan harga, dan/ atau
wilayah pemasaran atas suatu barang dan/atau jasa, sehingga di antara mereka
tidak ada lagi persaingan. Larangan membuat perjanjian kartel ini dicantumkan
dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang rnenetapkan bahwa pelaku usaha
dilar~ng · membuat
perjanjian dengan pelaku usaha saingannya yang berinaksud mempengaruhi harga
dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suam barang dan/atau jasa, yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat. Dari Pasal 11 terse but dapat dilihat bahwa hukum Negara-negara Barat
tidak banyak rnempengaruhi ketentuan pasal ini.
Di
Amerika Serikat, Australia, dan Uni Eropa, kartel dianggap sebagai perse
illegal. Di Amerika Serikat, sebagaimana price fixing, kartel
disebut sebagai naked. restraint yang mempunyai tujuan tunggal untuk
mempengaruhi tingkat harga dan output. Oleh karena itu, wajar apabila
Section 1 the Sherman Act memperlakukannya sebagai per se illegal. Artinya,
perjanjian kartel sendiri yang dilarang ranpa melihat kewajaran tingkat harga
yang disepakati, tanpa melihat market power para pihak, bahkan tanpa melihat
apakah perjanjian kartel tersebut sudah dilaksanakan atau belum. Negara Australia
dengan Section 45 jo. 4D (1) dan 45A (1) dari the Trade Practices Act
1974 juga mengategorikan kartel sebagai perse illegal. Begitu juga Uni
Eropa, dengan Article 85 dari the Treaty of Rome (Ayudha D. Prayoga, et al.
(Ed.), 2000:82).
Alasan
mengapa kartel dianggap sebagai per se illegal di negara-negara Barat
terletak pada kenyataan bahwa price fixing dan perbuatan-perbuatan
kartel yang lain benar-benar mempunyai dampak negatif terhadap harga dan output
jika dibandingkan dengan dampak pasar yang kompetitif. Sedangkan kartel
jarang sekali menghasilkan efisiensi, atau efisiensi yang dihasilkan sangat kecil
dibandingkan dampak negatif dari tindakan-tindakannya.
Suam
kartel yang berhasil akan mengeluarkan keputusan-keputusan tentang harga dan output
seperti layaknya keputusan-keputusan yang dikeluarkan sebuah perusahaan
tunggal yang memonopoli. Akibatnya, pertama, kartel mendapatkan
keuntungan-keuntungan monopoli dari para konsumen yang terusmenerus membeli
barang atau jasa dengan harga kartel; dan kedua, terjadi penernparan sumber
secara salah yang diakibatkan oleh pengurangan outputkarena para
konsumen seharusnya mernbeli dengan harga yang kompetitif, selain terbuangnya
sumber daya untuk mempertahankan keberadaan kartel itu sendiri (Ayudha D.
Prayoga, et aI., (Ed.) , 2000:82-83).
Pada
sisi lain, kartel juga bisa memberi keuntungan, Oleh karena itu, keberadaan dan
tumbuh-kembangnya diperbolehkan sepanjang hal ini memberikan keuntungan bagi
masyarakat banyak. Selain itu, kartel juga dapat membentuk stabiliras dan kepastian
tingkat produksi, tingkat harga, dan wilayah pemasaran (yang sama) di antara
para pelaku usaha yang tergantung dalam asosiasi tertentu. Dengaa sendirinya
pasar menjadi tidak kornpetitif lagi dan karenanya akan merugikan konsumen.
Kalau kita perhatikan bunyi ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, perjanjian kartel yang dilarang adalah perjanjian tingkat produksi,
tingkat harga, dan/arau wilayah pernasaran atas suatu barang, jasa, atau barang
dan jasa, yang dapat berdampak pada terciptanya monopolisasi dan/atau
persaingan usaha tidak sehat dengan pelaku usaha saingannya. Larangan yang
terdapat dalam Pasal 11 tersebut tidak mengategorikan kartel sebagai per se
illegal, sebab kartel masih dirnungkinkan sepanjang tidak menimbulkan
praktik rnonopolisasi dan/ atau persaingan usaha yang tidak sehat, yang
merugikan masyarakat dan konsumen (bandingkan Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.),
2000:83).
Indonesia
kelihatannya mengikuti ] epang yang mensyaratkan adanya "substantial restraint
of competition" yang "contrary to the publicinterest" di
dalam larangan terhadap kartel. Perjanjian kartel baru ilegal kalau sudah
dipraktikkan dan ternyara mengurangi persaingan secara substansial. Namun, the
Fair Trade Commission di ]epang telah mengambil jalan tengah dengan rnengambil tindakan
ketika peserta kartel telah melakukan langkah-langkah awal unruk melaksanakan
perjanjian kartel. Dengan begitu telah dibuat suatu anggapan, begitu peserta
mulai melaksanakan kartel, kartel itu pasti mengurangi persaingan secara substansial
seandainya tidak diberhentikan atau dilarang (Ayudha D. Prayoga, er/al., (Ed.),
2000:84).
2.2.6.
Trust
Pasal
12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha membuat perjanjian trust,
yang melahirkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Dalam Pasal 11, Ini dinyatakan: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan
perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan
anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/ atau pemasaran atas
barang dan/atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini, perjanjian trust yang
dilarang adalah perjanjian untuk rnelakukan kerja sama dengan cara membentuk
apa yang dinamakan trust, yakni gabungan dari beberapa perusahaan atau perseroan
yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup
masing-masing perusahaan atau perseroan yang digabungkan tadi, dengan rujuan
menciptakan stabilisasi dan kepastian tingkat produksi, dan/atau tingkat
pemasaran yang sama atas suatu barang, jasa, atau barang dan jasa, dan dengan
sendirinya akan dapat menciptakan monopolisasi; dengan demikian pasar menjadi
tidak kompetitif lagi, sebab di antara pelaku usaha tidak ada persaingan usaha
lagi . Dalam persaingan yang semakin tajam dan border/ess economy yang
berlaku dewasa ini, efisiensi menjadi kunci keberhasilan suatu perusahaan
berada di dalam pasar. Atas tunrutan efisiensi, semakin banyak perusahaan yang
dapat muncul dan bertahan di dalam pasar bila hanya mengerjakan sebagian dari
produk jadi.
Karenanya,
ketentuan Pasal 11 itu kurang tegas. Akibat yang sudah dapar diperkirakan
adalah keinginan perusahaan untuk melakukan merger, strategic alliance akan
melemah, apalagi bila dengan tindakan yang dimaksudkan untuk menguasai pangsa pasar
tersebut kemungkinan akan melanggar rambu-rambu penguasaan pasar yang dianggap
baik. Bagaimanapun juga ketegasan dalam undang-undang sangat dibutuhkan agar
para pelaku pasar bersedia memenuhinya (Pande Raja Silalahi, 1999: 12).
2.2.7.
Oligopsoni
Demikian
pula pelakir usaha dilarang membuat perjanjian oligopsoni, di mana keadaan
pasar yang permintaannya dikuasai oleh pelaku usaha tertentu. Larangan ini
dicantumkan dalam -Pasal 12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan:
(1)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan untuk secara bersarna-sama menguasai pembelian atau penerimaan
pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan/atau jasa dalam pasar yang
bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat.
(2)
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersamasama menguasai pembelian
dan/arau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua)
atau 3 (riga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih 75%
(tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Dengan
demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 11 tersebut, dapat disimpulkan yang
terkena larangan membuat perjanjian oligopsoni adalah perjanjian yang dibuat
pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha lain, yang bertujuan:
1. secara
bersama-sarna;
2. menguasai
pembelian dan/atau penerimaan pasokan atas suatu barang, jasa, atau barang dan
jasa tertentu;
3. dapat
mengendalikan harga atas barang, jasa, atau barang dan jasa dalam pasar yang
bersangkutan;
4. menguasai
lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau
jasa tertentu. Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau
jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam kalender
tertentu;
5. perjanjian
yang dibuat tersebut ternyara dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Berarti perjanjian oligopsoni tidak akan
dilarang sepanjang tidak menimbulkan monopolisasi dan/atau tetap menciptakan pasar
kompetiif dan/atau tidak merugikan masyarakat.
2.2.8.
Integrasi Vertikal
Praktik
integrasi vertikal yang dilakukan beberapa pelaku usaha termasuk perjanjian
yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dalam Pasal 14
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang
mernbuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi
sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/atau jasa
tertenru yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses
lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan
masyarakat. Dari ketencuan Pasal 14 ini jelas bahwa yang dimaksud dengan
integrasi vertikal adalah penguasaan produksi atas sejumlah produk, yang
termasuk dalam rangkaian proses produksi atas barang tertentu, mulai dari hulu sampai
hilir, atau proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku
usaha tertentu. Meskipun praktik integrasi vertikal ini dapat menghasilkan
barang dan/atau jasa dengan harga murah, hal itu dapat menimbulkan persaingan
usaha tidak sehat yang dapat merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat. Oleh
karena itu, praktik integrasi vertikal dilarang oleh UndangUndang Nomor 5 Tahun
1999 sepanjang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan /atau merugikan
masyarakat.
Dengan
adanya Pasal 14 ini, berbagai bidang usaha yang mungkin sangat menguntungkan
dan efisien dilakukan di Indonesia justru tidak dapat dikerjakan. Integrasi
vertikal suatu usaha tidak selalu buruk, malah sebenarnya usaha integrasi
dilakukan untuk meningkatkan efisiensi. Integrasi yang dilakukan di masa lalu
mungkin buruk dan beberapa di antaranya merugikan masyarakat karena dalam
banyak hal integrasi tersebut hanya dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
tertentu-sehingga merugikan kelompok masyarakat tertentu pula (Pande Raja Silalahi,
1999: 12-13). '
2.2.9.
Perjanjian Tertutup
Perjanjian
rertutup termasuk perjanjian yang dilarang dibuat pelaku usaha. Pasal 15
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha unruk membuat perjanjian
tertutup dengan pelaku usaha lainnya. Dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 dinyatakan:
(1)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang mernuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok
atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu
dan/atau pada ternpat tertentu.
(2)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang mernuar
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus
bersedia membeli barang dan/ atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
(3)
Pelaku usaha dilarang rnernbuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga
tertentu atas barang dan/atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha
yang menerima barang dan/atau jasa dari pelaku usaha pemasok
a. harus
bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau
b. tidak
akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain
yang menjadi pesaing dari : pelaku usaha pemasok.
2.2.10.
Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian dengan pihak
luar negeri jika perjanjian tersebut dapat menimbulkan praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 16 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak
lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dari Pasal 16 ini dapat
disimpulkan bahwa perjanjian dengan pihak luar negeri yang dilarang adalah yang
dibuat pelaku usaha dengan perjanjian yang memuat ketentuan-ketentuan tidak
wajar atau dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat.
2.3.
Perjanjian-Perjanjian yang Dikecualikan
Di
beberapa negara, Undang-Undang Antimonopoli kerapkali mengesampingkan beberapa
tindakan hukum sehingga tindakan tersebut tidak dapat dikenakah sanksi. Dengan
kat a lain, tindakan itu tidak dianggap sebagai suatu pelanggaran (Insan Budi
Maulana, 2000:61).
Demikian
pula dengan negara Indonesia. Selain mengadakan pengecualian berlakunya pasal
tertentu terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, ternyata
undang-undang ini juga mengadakan pengecualian berlakunya semua ketentuan di
dalamnya terhadap perjanjian-perjanjian tertentu. Pengecualian dari ketentuan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa pengecualian dari ketentuan Undang-undang ini
adalah
a. Perbuatan
dan/arau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; atau
b. Perjanjian
yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten,
merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu,
dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau
c. Perjanjian
penetapan standar teknis produk barang dan/atau jasa yang tidak mengekang
dan/atau menghalangi persaingan; atau
d. Perjanjian
dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali
barang dan/atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah
diperjanjikan; atau
e. Perjanjian
kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat
luas; atau
f. Perjanjian
int~rnasional yang
telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau
g. Perjanjian
dan/atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak menggangu kebutuhan
dan/atau pasokan dalam negeri; atau
h. Pelaku
usaha yang tergolong usaha kecil; atau
i.
Kegiatan usaha koperasi yang secara
khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Disayangkan
bahwa Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak menjelaskan
perjanjian-perjanjian tersebut lebih lanjut. Padahal pasal pengecualian ini
penting, terutama bagi pelaku usaha yang . ingin mernanfaatkannya. Di samping ketidakjelasannya,
dikhawatirkan hal ini juga dapat menibulkan penyalahgunaan (bandingkan Ayudha
D. Prayoga, et 'aI., (Ed.), 2000:85). Bahkan ada yang mengkritiknya sebagai
suatu inkonsistensi (Hikrnahanto Juwana, 1999:28).
Pemerintah
dapat saja menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya, begitu juga dengan
pelaku usaha yang berkolusi dengan pernerintah untuk membuat ketentuan yang
antipersaingan usaha, yang k~mudian
oleh
pernerintah dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Selama Orde
Baru berkuasa, praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat
selalu dilegalisir melalui peraturan perundang-undangan.
Amerika
Serikat mengenal istilah "state action doctrine", artinya peraturan antitrust
hanya berlaku dalam dunia bisnis selama tidak digunakan untuk melaksakan
peraturan Negara bagian. Namun, peraturan negara bagian yang antikornpetitif bisa
tidak sah karena berrenrangan dengan Konstirusi, yakni mengganggu perdagangan
secara tidak wajar; Amandemen Pertarna Konstitusi; atau undang undang
Pemerintah Federal, seperti Federal Trade Commission Act atau Hukum Paten
(Ayudha D.
Prayoga,
et al. (Ed.), 2000:85).
Jika
memperhatikan fakta pengecualian dari Pasal 50, para perancang undang-undang
telah keliru memahami perundangundangan di bidang hak atas kekayaan intelekrual
(HaKI). Selain itu, isi pasal tersebut tidak sesuai dengan realitas yang terjadi
di masyarakat Eropa, Jepang, dan Jerman, yang juga rnengarur larangan-larangan
perjanjian lisensi, know how, merek, dan waralaba, apabila perjanjian
itu bertenrangan dengan prinsip-prinsip persaingan jujur (Insan Budi Maulana,
2000:6465).
Bahkan
secara internasional posisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 kurang
menguntungkan. Ketika masyarakat internasional mulai curiga adanya kemungkinan
dampak negative dari praktik-praktik perlisensian di bidang HaKI terhadap persaingan,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bersikap sebaliknya, yaitu mengecualikan
berlakunya ketentuan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 terhadap perjanjian yang berkaitan
dengan HaKI (Ayudha D. Prayoga, et al. (Ed.), 2000:86).
Terbukti
dalam Pasal 40 ayar (1) dan ayat (2) Agreement on Related Aspects of
Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) sebagai bagian Final Act
Uruguay Round dinyatakan:
(1)
Members agree that some licensing practices or conditions pertaining to
intellectual property rights which restrain competition may have adverse
effects on trade may impede the transfer and dissemination 0/ technology.
(2)
Nothing in this Agrement shall prevent Members from specifying in their
national legislation licencing practices or conditions that may in particular
cases constitute an abuse of intellectual property rights having an adverse
effect on competition in the relevant market. As provided above, a Member may
adopt, consistently with the other provisions of this Agreement, appropriate
measures to prevent or control such practices, which may include /or example
exclusive grantback conditions, conditions preventing challenges to validity
and coercive package licensing, in the light of the relevant laws and regulatedofthe
Member.
Dari
Pasal40 ayat (1) dan ayat (2) Persetujuan TRIPs tersebut, dapat diketahui
negara-negara anggota WTO sepakat bahwa beberapa praktik perlisensian atau
persyaratan-persyaratan yang berkaitan dengan HaKI dapat menghambat persaingan
usaha yang dapat berakibat buruk terhadap perdagangan dan dapat menghambat
pengalihan dan penyebaran teknologi. Karenanya tidak tertutup kemungkinan bagi
negara-negara anggota WTO untuk menetapkan dalam peraturan perundang-undangannya
praktik-praktik perlisensian atau persyaratan-persyaratan perlisensian yang
dalam hal-hal tertentu metupakan penyalahgunaan HaKI yang berakibat buruk
terhadap persaingan dalam pasar bersangkutan. Bahkan negara-negara anggota WTO
dapat menetapkan langkah-langkah untuk mencegah atau mengendalikan praktik-praktik
perlisensian atau persyaratan-persyararan yang dalam hal-hal tertentu merupakan
penyalahgunaan dari HaKI, seperti persyaratan untuk memberikan hak ekskulsif
secara timbal balik, persyaratan untuk mencegah diajukannya sanggahan mengenai keabsahan
dan pemaksaan paket lisensi, sesuai dengan hukum dan peraturan
perundang-undangan terkait yang berlaku di negara-negara anggota WTO tersebut.
Dengan demikian jelaslah bahwa pembuatan perjanjian yang berkaitan dengan bidang
HaKI tidak boleh berlawanan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999' atau
mengikuti ketentuan-ketentuan khusus perlisensian yang telah diatur dalam
berbagai peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan HaKI.
Khusus
untuk kekecualian ketenruan bahwa usaha kecil dan koperasi memang diatur oleh
undang-undang tersendiri telah mengundang perdebatan tersendiri. Ada negara
yang memang memberikan pengecualian terhadap koperasi, misalnya di]epang.
Tetapi
usaha kecil dan menengah serta koperasi yang dikecualikan akan menciptakan
proteksi sepihak dengan tidak mengikutsertakannya dalam undang-undang ini. Hal
itu akan menghambat pertumbuhan usaha kecil dan menengah itu sendiri. Di
samping itu, melihat kondisi koperasi yang ada pada saat ini di Indonesia, hail
ini juga dapat menimbulkan kerancuan dan peluang bagi pelaku usaha untuk
menggunakan pasal pengecualian dalam berusaha; tujuannya adalah melegalisir
tindakannya dengan bersembunyi di belakang wujud koperasi (Ayudha D. Prayoga,
et al., (Ed.), 2000:124).
Bab3
Kegiatan
yang Dilarang
3.1.
Pengertian Kegiatan
Berbeda
dengan istilah "perjanjian" yang dipergunakan, dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tidak dapat kita temukan suatu definisi mengenai
"kegiaran". Namun demikian, jika ditafsirkan secara a contrario terhadap
definisi perjanjian yang diberikan dalam Undang-Undang Nornor 5 Tahun 1999,
dapat dikarakan bahwa pada dasarnya yang dimaksud dengan "kegiatan"
adalah tindakan atau perbuatan hukum "sepihak" yang dilakukan oleh satu
pelaku usaha atau kelompok pelak~
usaha
tanpa ada keterkaitan hubungan (hukum) secara langsung dengan pelaku usaha
lainnya (Ahmad Yani dan Guriawan Widjaja, 1999:31).
Dari
sini jelaslah bahwa "kegiatan" merupakan suatu usaha, aktivitas,
tindakan, atau perbuatan hukum secara sepihak yang dilakukan oleh pelaku usaha
tanpa melibatkan pelaku usaha lainnya.
3.2.
Bentuk-Bentuk Kegiatan yang Dilarang
Dari
Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat
beberapa bentuk kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha,yaitu
1.
monopoli (Pasal 17);
2.
monopsoni (Pasal 18);
3.
penguasaan pasar (Pasal 19);
4.
dumping (Pasal 20);
5.
manipulasi biaya produksi (Pasal 21); dan
6.
persengkongkolan (Pasal 22).
3.2.1.
Monopoli
Dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pengertian "rnonopoli" dibedakan
dari pengertian "praktik rnonopoli". Pengertian praktik monopoli
dikemukakan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu pemusatan
kekuatan ekonomi oleb satu atau lebih pelaku usaba yang mengakibatkan dikuasainya
produksi danlatau pemasaran atas barang danlatau jasa tertentu, sehingga
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sernenrara
itu pengertian monopoli dikemukakan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, yaitu penguasaan atas produksi danlatau pemasaran barang
danlatau jasa tertentu oleb satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usahk. Dengan
demikian, monopoli adalah situasi pasar di mana hanya ada satu pelaku usaha
atau satu ke1ompok pelaku usaha yang "rnenguasai" suatu produksi
dan/atau pemasaran barang dan/arau penggunaan jasa tertentu, yang akan
ditawarkan kepada ~anyak
konsumen,
yang mengakibatkan pe1aku usaha atau ke1ompok pelaku usaha tadi dapat mengontrol
dan mengendalikan tingkar produksi, harga, dan sekaligus wilayah pemasarannya.
Dari
ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat disimpulkan, ternyata
tidak semua kegiatan monopoli dilarang. Hanya kegiatan monopoli yang memenuhi
unsur dan kriteria yang disebutkan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 saja yang dilarang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku
usaha . Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan
(1)
Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran
barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
(2)
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan/
atau pemasaran barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal
ini apabila
a. barang
dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan
pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan/atau
jasa yang sama; atau
c. satu
pelaku usaha atau saru kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima
puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu,
Monopoli yang dilarang menurut Pasal 17
ini jika monopoli tersebut mernenuhi unsur-unsur sebagai berikut.
a. melakukan
kegiatan penguasaan atas produk barang, jasa, atau barang dan jasa tertentu;
b. melakukan
kegiatan penguasaan atas pemasaran produk barang, jasa, atau barang dan jasa
tertentu;
c. penguasaan
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli;
d. penguasaan
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Sedangkan
kriteria yang digurrakan untuk membuktikan ada atau tidaknya monopoli yang
dilarang tersebut didasarkan pada
a. produk
barang, jasa, atau barang dan jasa tersebut belum ada penggantinya (substitusinya);
b. pelaku
usaha lain sulit atau tidak dapat masuk ke dalam persaingan terhadap produk
barang, jasa, atau barang dan jasa yang sama (barrier to entry);
c. pelaku
usaha lain tersebut adalah pelaku usaha yang mempunyai kemampuan bersaing yang
signifikan dalam pasar yang bersangkutan;
d. satu
pelaku usaha atau satu kelompok usaha telah menguasai lebih dari 50% pangsa
pasar dari suatu jenis produk barang atau jasa terrentu.
Dengan
demikian, tidak semua kegiatan penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran
barang dan/atau jasa tergolong pada kegiatan yang dilarang, terkecuali
sepanjang memenuhi unsur-unsur dan kriteria monopoli yang disebutkan dalam
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Selain itu, jika pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha dapat membuktikan sebaliknya yaitu kegiatan yang
dilakukannya tidak memenuhi unsur-unsur dan kriteria Pasal 17 Undang-Undang
Nornor 5 Tahun 1999-maka pelaku usaha atau kelompok usaha tadi dengan
sendirinya dapat terbebas dari kegiatan yang patut diduga atau dianggap sebagai
monopoli.
Dalam
literatur, monopoli dilarang karena mengandung beberapa dampak negatif yang
merugikan, antara lain
a. Terjadi
peningkatan harga suatu produk sebagai akibat tidak ada kompetisi dan
persaingan bebas. Harga yang tinggi ini pada gilirannya akan menyebabkan
inflasi yang merugikan masyarakat luas;
b. Pelaku
usaha mendapat keuntungan (profit) di atas kewajaran yang normal. Ia akan
seenaknya menetapkan harga untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya
karena konsumen tidak ada pilihan lain dan terpaksa membeli produk tersebut;
c. Terjadi
eksploitasi terhadap konsumen karena tidak ada hak pilih konsumen atas produk.
Konsumen akan seenaknya menetapkan kualitas suatu produk tanpa dikaitkan dengan
biaya yang dikeluarkan. Eksploitasi ini juga akan menimpa karyawanan dan buruh
yang bekerja pada produsen tersebut dengan menetapkan gaji dan upah yang
sewenang-wenang tanpa memperhatikan ketentuan yang berlaku;
d. Terjadi
ketidakekonomisan dan ketidakefisienan yang akan dibebankan kepada konsumen
dalam rangka menghasilkan suatu produk, karena perusahaan monopoli cenderung
tidak beroperasi pada average cost yang minimum;
e. Ada
entry barrier di mana perusahaan lain tidak dapat masuk ke dalam bidang
usaha perusahaan monopoli tersebut, karena penguasaan pangsa pasar yang besar.
Perusahaan-perusahaan kecil tidak diberi kesempatan untuk tumbuh berkembang dan
akan menemui ajalnya satu persatu;
f. Pendapatan
jadi tidak merata, karena sumber dana dan modal akan tersedot ke dalam
perusahaan monopoli. Masyarakat banyak harus berbagi dengan banyak orang dalam
bagian yang sangat kecil, sementara perusahaan monopoli dengan sedikit orang
akan menikmati bagian yang lebih besar (Ahrnad Yani dan Gunawan Widjaja,
1999:30).
Selama
ini kenyataan rnenunjukkan bahwa monopoli tidak hanya dilakukan oleh pihak
swasta saja, tetapi juga oleh badan usaha negara (Dirnyati Hartono, 1998:38).
Hal ini dimungkinkan oleh sistern ekonomi nasional kita yang didasarkan pada
demokrasi ekonomi. Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
memberikan dasar filosofis dan hukum kemungkinan monopoli dan/atau penguasaan
atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak serta penguasaan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya oleh negara. Dengan kata lain monopoly by law dimungkinkan
dalam hukum persaingan usaha kita, asalkan kegiatannya termasuk atau menyangkut
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak. Negara dapat saja memberikan hak-hak yang bersifat istimewa kepada
badan-badan usaha negara yang bergerak di sektor yang penting dan menguasai hayat
hidup orang banyak tersebut. Namun demikian, jangan sampai ketentuan Pasal 33 ayat
(2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 disalahgunakan negara dengan menjadikan
Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) itu sebagai justifikasi untuk menindas rakyat
banyak dan menyerahkan tampuk produksi yang penting ke tangan orang seorang yang
berkuasa. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945
tidak antimonopoli.
Ketentuan
Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 ini lebih lanjut
dijabarkan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 51 tersebut
menyatakan bahwa monopoli dan/atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan
produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang menguasai hayat hidup
orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur
dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan/atau
badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 51 ini, negara masih dimungkinkan memberikan hak monopoli
dan/atau pemusatan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa,
yang sebelumnya diterapkan atau diatur dengan undang-undang dan penyelenggaraannya
akan diserahkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk berdasarkan
undang-undang, atau badan/lembaga lain yang dibentuk atau ditunjuk Pemerintah
berdasarkan undang-undang.
3.2.2.
Monopsoni
Kegiatan
monopsoni terrnasuk kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha oleh
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Monopsoni ialah situasi dimana hanya ada satu pelaku atau kelompok pelaku usaha
yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal;
sementara itu, pelaku usaha maupun kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai
penjual jumlahnya banyak. Akibatnya, pembeli tunggal tersebut dapat mengontrol
dan menentukan, bahkan mengendalikan, tingkat harga yang diinginkannya.
Kegiatan yang demikian dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat dan apabila pembeli tunggal yang dimaksud juga
menguasai lebih dari 50% pangsa pasar dari satu jenis produk barang atau jasa
tertentu.
Dasar
larangan kegiatan monopsoni ini dinyatakan dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 yang berbunyi
(1) Pelaku
usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas
barang dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.
(2) Pelaku
usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha
atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen)
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Dari
bunyi ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, dapat
disimpulkan bahwa suatu kegiatan pelaku usaha akan dikatakan sebagai kegiatan
monopsoni bila memenuhi persyaratan di bawah ini :
a. dilakukan
oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha atau yang bertindak
sebagai pembeli tunggal;
b. telah
menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
c. paling
penting, kegiatan tersebut mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat.
Walaupun
secara teoritis monopsoni dapat tumbuh secara alamiah karena kondisi geografis
suatu wilayah produksi yang terpencil dan terasing atau bisa juga terpencar,
terapi di Indonesia monopsoni terjadi karena pengaruh kebijakan pemerintah yang
dinyatakan dalam peraturan. Contoh gamblang yang pernah terjadi di Indonesia
adalah BPPC yang pernah bertindak sebagai pembeli tunggal atas seluruh produk
cengkeh yang dihasilkan seluruh petani di tanah air. Selain itu ia juga
bertindak sebagai penjual tunggal produk itu kepada para pengusaha rokok yang bertindak
sebagai pembeli. Tindakan BPPC seperti ini jelas menimbulkan praktik monopsoni
(Insan Budi Maulana, 2000: 30).
3.2.3.
Penguasaan Pasar
Pasal
19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga melarang kegiatan penguasaan pasar
oleh pelaku usaha, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain. Pasal 1 angka
19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merumuskan pengertian pasar adalah lembaga
ekonomi dimana para pembeli dan penjual, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa.
Dalam
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan:
Pelaku
usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun
bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat yaitu
a. menolak
dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang
sama pada pasar bersangkutan; atau
a. menghalangi
konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan
usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
b. membatasi
peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan; atau
c. melakukan
praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Dari
bunyi ketentuan Pasal 19 tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan yang
dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan
pasar yang merupakan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, yaitu
a. menolak,
menghalangi, atau menolak dan menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan
kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
b. menghalangi
konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan
usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
c. membatasi
peredaran, penjualan, atau peredaran dan penjualan barang, jasa, atau barang
dan jasa pada pasar bersangkutan;
d. melakukan
praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
3.2.4.
Dumping
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 juga melarang kegiatan dumping. Larangan praktik dumping ini
diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku
usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan/atau jasa dengan cara melakukan
jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan
atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan, sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat. Berdasarkan ketentuan Pasal 20 tersebut, pelaku usaha dilarang melakukan
pemasokan barang, jasa, atau barang dan jasa dengan cara menjual rugi atau
menetapkan harga yang sangat rendah (dumping) dari harga produksi barang,
jasa, atau barang dan jasa yang sejenis dengan maksud untuk menyikirkan atau
mematikan usaha pelaku usaha pesaingnya di pasar yang sama; kegiatan tersebut
dengan sendirinya dapat mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat.
Dalam
kamus Hukum Ekonomi ELIPS (1997:54) dumping diartikan sebagai praktik dagang
yang dilakukan eksportir dengan menjual barang, jasa, atau barang dan jasa di
pasar internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah
daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual
kepada negara lain. Dengan kata lain, dumping adalah kegiatan dagang
yang dilakukan produsen pengekspor yang dengan sengaja banting harga dengan
cara menjual rugi atau menjual dengan harga lebih murah dibandingkan harga jual
dalam negeri atau di negara lain, dengan harapan dapat mematikan usaha pesaing
di pasar yang bersangkutan, Praktik dagang yang demikian dianggap sebagai
praktik dagang yang tidak sehat dan sekaligus bisa mendatangkan kerugian pelaku
usaha sejenis di negara pengimpor. Oleh karena itu, beberapa negara, misalnya
Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Masyarakat Eropa telah melarang praktik
dagang dumping (antidumping) ini
dalam
peraturan perundang-undangan nasionalnya.
Negara-negara
tersebut telah sejak lama memiliki rezim pengaturan antidumping. Amerika
Serikat barangkali menjadi Negara pertama dalam sejarah yang memberlakukan
peraturan mengenai larangan dumping. Dari waktu ke waktu, kecenderungan
negaranegara untuk mengeluarkan peraturan antidumping terus meningkat.
Pada
umumnya tujuan negara-negara tadi mengeluarkan peraturan antidumping adalah
untuk memberikan proteksi terhadap industri dalam negeri dari praktik dumping
eksportir atau produsen luar negeri. Peraturan antidumping ini
memungkinkan pemerintah untuk menghukum bagi eksportir atau produsen yang melakukan
praktik dumping dengan cara menerapkan sanksi hukuman berupa pengenaan
bea masuk yang tinggi atas barang dumping. Penerapan bea masuk ini
bertujuan untuk mengeliminir kerugian dari barang dumping. Dengan cara
seperti ini, industry dalam negeri dapat dilindungi dan tetap dapat bersaing
dengan barang impor meskipun barang
impor
tersebut dijual dengan . harga dumping (Aji Setiadi, 2000: 1).
Dari
sudut pandangan negara pengimpor, prakrik dumping akan menimbulkan
kerugian bagi dunia usaha atau industry barang sejenis dalam negeri. Dengan
membanjirnya barang-barang dari negara pengekspor yang harganya jauh lebih
murah dari barang dalam negeri, barang sejenis dalam negeri akan kalah bersaing.
Pada gilirannya, hal ini akan mematikan pasar barang sejenis di dalam negeri.
Akibat yang ditimbulkan dari praktik dumping ini dapat menjadi sangat
serius. Bahkan sangat mungkin mengakibatkan pemutusan hubungan kerja massal,
pengangguran, dan industri barang sejenis dalam negeri pun bangkrut (Aji Setiadi,
2000: 1). Akan tetapi, bisa saja terjadi, praktik dumping itu tidak
berhasil apabila (para) pesaing mampu bertahan karena melakukan penurunan harga
juga atau karena kualitas produk pesaing itu telah begitu melekat di hati
konsumen, sehingga tidak terpengaruh harga jual yang lebih rendah yang
dilakukan oleh pelaku dumping (Insan Budi Maulana, 2000:32). Di lain pihak
dari sudut pengekspor praktik dumping terkadang sengaja dilakukan sebagai strategi
bisnis untuk merebut pangsa pasar di negara lain. Produsen di negara pengekspor
yang telah mendapatkan pangsa pasar di pasar domestiknya biasanya ingin mengembangkan
ke pasar negara lain. Dalam merebut pasar negara lain inilah terkadang produsen
menerapkan praktik dumping. Harga penjualan ke negara tujuan ekspor
dibuat lebih rendah dari penjualan di dalam negeri atau penjualan ke Negara lain
atau bahkan di bawah harga produksi. Dengan harga murah inilah produsen
berharap dapat merebut pasar di suatu negara. Kerugian sernentara mereka
sebagai akibat praktik dumping di negara tujuan ekspor dieliminir dengan
keuntungan yang mereka raih di negara asal atau negara lain dimana
mereka tidak menerapkan praktik dumping (Aji Setiadi , 2000: 1).
Pengaturan
antidumping ini juga mendapatkan perhatian dalam General Agreement on
Tariffs and Trade (GATT). Terbukti pengaturannya dicantumkan dalam Pasal VI
GATT, yang menyatakan bahwa tindakan antidumping diperkenankan diambil atau
hanya akan diberlakukan oleh suatu negara pengimpor dalam rangka kompensasi
penggantian kerugian (injury) yang dialami pelaku usaha atau industri
sejenis di dalam negeri sebagai akibat praktik dumping tersebut. GATT
menganggap bahwa ekspor barang-barang yang disertai perbuaran dumping dan
terbukti rnengakibatkan kerugian bagi usaha atau industri barang sejenis di negara
importir merupakan praktik perdagangan yang tidak jujur (unfair trade
practice). Oleh karena itu, dalam hal ini GATT mengizinkan suatu negara
yang dirugikan untuk mengambil tindakan antidumping berupa pengenaan antidumping
duties sebesar kerugian yang dideritanya (H.S. Kartadjoemena, 1997: 169).
Karena
mekanisme antidumping yang diatur dalam Pasal VI GATT amat sumir dan sederhana,
ditambah terjadi penyalahgunaan pelaksanaan tindakan antidumping, maka diadakan
persetujuan baru yang rnengatur pelaksanaan Pasal VI GATT tersebut; terakhir
dituangkan dalam Final Act Uruguay Round di bawah judul Agreement on
Implementation of Article VI of GATT 1994. Dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa
tindakan antidumping akan diberlakukan hanya dalam keadaan sebagairnana
diatur dalam Pasal VI GATT 1994 dan menurut prosedur penyelidikan, dan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Agreement on Implementation of
Article VI of GATT 1994.
Penggunaan
upaya anti dumping yang dimungkinkan dalam sistern GATT sebagai tindakan melawan
praktik dumping pada kenyataannya lebih banyak digunakan semata-mata
sebagai usaha untuk melindungi industri dalam negeri. Keadaan ini dianggap menghambat
kelancaran arus perdagangan internasional. Oleh karena itu, pengaturan masalah antidumping
dalam sistern perdagangan multilateral akan semakin penting, terutama bagi Negara
berkembang, yang sang at berkepentingan meningkatkan ekspor non-migas,
khususnya barang-barang manufaktur. Peserta perundingan perdagangan
multilateral Uruguay Round, baik dari kalangan negara maju maupun negara
berkembang, menganggap masalah antidumping perlu dimasukkan menjadi
salah satu substansi perundingan di bidang rules making. Dalam
perundingan tersebut, yang diperjuangkan terurama adalah penerapan ketentuan
yang lebih jelas dan seimbang untuk mencegah penggunaan aturan antidumping dan
tindakan antidumping duties sebagai alat proteksi yang terselubung (H.S
. Kartadjoernena, 1997:170).
3.2.5.
Manipulasi Biaya
Pasal
21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk melakukan
kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi
bagian dari komponen harga barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat. Dari ketentuan Pasal 21 ini, pelaku usaha
dilarang melakukan kegiatan memanipulasi biaya produksi dan biaya lain yang
nantinya akan diperhitungkan sebagai salah satu komponen harga barang, jasa,
atau barang dan jasa yang akan dipasarkan kepada konsumen, sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat atau merugikan masyarakat.
Penjelasan Pasa121 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa indikasi
biaya yang dimanipulasi terlihat dari harga yang lebih rendah dari harga seharusnya.
Kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya ini bukan saja
melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, tetapi juga melanggar peraturan
perundang-undangan yang berlaku lainnya.
Pelanggaran
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini, misalnya, bisa melanggar
Undang-undang Perpajakan, karena konsekuensi penetapan biaya produksi dan biaya
lainnya dalam menentukan harga barang dan/atau jasa yang dilakukan secara curang
akan menimbulkan pengaruh terhadap jumlah besar atau kecilnya pajak yang harus
dibayar (Insan Budi Maulana, 2000:3233).
3.2.6.
Persekongkolan
Pelaku
usaha juga dilarang melakukan kegiatan persekongkolan yang membatasi atau
menghalangi persaingan usaha (conspiracy in restraint of business), karena
kegiatan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak
sehat. Pengertian persekongkolan atau konspirasi dikemukakan dalam Pasal 1
angka 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu bentuk kerja sama yang
dilakukan oleb pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk
menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersengkongkol.
Bentuk kegiatan persekongkolan ini tidak harus dibuktikan dengan adanya
perjanjian, tetapi bias dalam bentuk kegiatan lain yang tidak mungkin
diwujudkan dalam suatu perjanjian.
Terdapat
3 (tiga) bentuk kegiatan persekongkolan yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 sebagaimana diatur dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 24 . Dalam
Pasal 22 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain
untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender, sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pihak lain di sini tidak
terbatas hanya pemerintah saja, bisa swasta atau pelaku usaha yang ikut serta
dalam tender yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 22 menyatakan bahwa tender adalah
tawaran untuk mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk
mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Kegiatan bersekongkol
rnenentukan pemenang tender jelas merupakan perbuatan curang, karena pada
dasarnya (inherently) tender dan pemenangnya tidak diatur dan bersifat
rahasia (walaupun ada tender yang dilakukan secara terbuka) (Ayudha D. Prayoga,
et al., (Ed), 2000: 122).
Pasal 23 melarang pelaku usaha untuk bersekongkol
dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang
diklafisikasikan sebagai rahasia perusahaan atau yang dikenal dengan sebutan
rahasia dagang. Sebutan rahasia dagang merupakan terjemahan dari istilah "undisclosed
information", "trade secret", atau "know how". Rahasia
dagang tidak boleh diketahui umum, karena selain mempunyai nilai teknologi. Ia
juga mempunyai nilai ekonomis yang berguna dalam kegiatan usaha. Kerahasiaannya
biasanya dijaga oleh pemiliknya.
Ketentuan mengenai perlindungan informasi yang
dirahasiakan juga mendapat pengaturan dalam Persetujuan TRIPS sebagai bagian
dari Final Act Uruguay Round. Pasal 39 Persetujuan TRIPS menyatakan bahwa dalam
rangka menjamin perlindungan yang efektif untuk mengatasi persaingan curang,
negara-negara anggota GATT/WTO wajib memberikan perlindungan terhadap
1. Informasi
yang dirahasiakan yang dimiliki perorangan atau badan hukum, sepanjang
informasi yang bersangkutan
a. secara
keseluruhan, atau dalam konfigurasi dan gabungan yang utuh dari beberapa komponennya,
bersifat rahasia dalam pengertian hal tersebut tidak seeara umum diketahui atau
terbuka untuk diketahui oleh pihak-pihak yang dalam kegiatan sehari-harinya
biasa menggunakan informasi serupa itu;
b. memiliki
nilai komersial karena kerahasiaannya; dan
c. dengan
upaya yang semestinya, selalu dijaga kerahasiaannya oleh pihak yang secara
hukum menguasai informasi tersebut.
2. Data
yang diserahkan kepada pemerintah atau badan pemerintah yang berasal dari hasil
percobaan yang dirahasiakan, yang diperoleh dari upaya yang tidak mudah, atau
akan disalahgunakan secara komersial.
Adanya
Pasal 39 Persetujuan TRIPS ini telah meningkatkan status trade secret menjadi
hak milik intelektual. Hal tersebut akan menimbulkan erosi dari sistem paten
yang mengharuskan pengungkapan sebagai suatu persyaratan dasar untuk
perlindungan (H.S. Kartadjoemena, 1997:271-272).
Bagi
Indonesia, pengaturan mengenai rahasia dagangnya diatur secara tersendiri,
tidak dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dewasa ini
pengaturannya dapat dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang
Rahasia Dagang. Pengertian rahasia dagang dikemukakan Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa rahasia dagang adalah informasi
yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai
nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh
pemilik rahasia dagang. Berarti rahasia dagang di sini tidak terbatas hanya
pada rahasia bisnis atau dagang belaka, melainkan termasuk informasi industrial
know how, seperti yang dianut oleh hukum Amerika Serikat. Hal ini juga
dapat dilihat dari lingkup perlindungan rahasia dagang yang diatur sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000. Pasal 2 tersebut
menyatakan bahwa lingkup perlindungan rahasia dagang meliputi metode produksi, metode
pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau
bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui masyarakat umum.
Persyaratan
rahasia dagang dikemukakan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000,
bahwa rahasia dagang yang akan mendapat perlindungan terbatas pada informasi
yang bersifat rahasia, mempunyai nilai ekonomis, dan dijaga kerahasiaannya melalui
upaya-upaya sebagaimana mestinya, yaitu semua langkah yang memuat ukuran
kewajaran, kelayakan, dan kepatutan yang harus dilakukan. Misalnya, di dalam
suatu perusahaan harus
ada prosedur baku berdasarkan praktik umum yang berlaku di tempat-tempat lain
dan/atau yang dituangkan ke dalam ketentuan internal perusahaan itu sendiri.
Demikian pula dalam ketentuan internal perusahaan dapat ditetapkan bagaimana
rahasia dagang itu dijaga dan siapa yang bertanggung jawab atas kerahasiaan itu.
Dengan demikian, berdasarkan Pasal 3 tersebut suatu informasi akan dianggap
termasuk rahasia dagang, bila memenuhi 3 (tiga) persyaratan berikut ini.
1. Informasi
bersifat rahasia , bahwa informasi tersebut hanya diketahui oleh pihak tertentu
atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat;
2. Informasi
memiliki nilai ekonomi, bahwa sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat
digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat komersial atau
dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi;
3. Informasi
dijaga kerahasiaannya apabila pemilik atau para pihak yang menguasainya telah
melakukan langkah-langkah yang layak dan patut.
Dalam
hukum Amerika Serikat, ruang lingkup rahasia dagang pada intinya juga mencakup
informasi teknik (technical information) dan informasi non-teknik (non-technical
information), yang keseluruhannya mencakup informasi teknikal penelitian
dan pengembangan, informasi proses produksi, informasi pemasok, informasi penjualan
dan pemasaran, informasi keuangan, dan informasi administrasi internal (Ahmad
M. Ramli, 2000:45-46).
Di
samping kedua bentuk persekongkolan di atas, Pasal 24 juga melarang
persekongkolan yang dapat menghambat produksi, pemasaran, atau produksi dan
pemasaran atas produk. Dalam Pasal 24 tersebut dinyatakan bahwa pelaku usaha
dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan/atau
pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan barang
dan/atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi
berkurang, baik dari kualitas maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan. Berdasarkan
ketentuan Pasal 24 ini jelas bahwa pelaku usaha dilarang untuk bersekongkol
dengan pihak lain untuk menghambat pelaku usaha pesaing dalam memproduksi,
memasarkan, atau memproduksi dan memasarkan barang, jasa, atau barang dan jasa
dengan maksud agar barang, jasa, atau barang dan jasa yang ditawarkan atau
dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang atau menurun kualitasnya; atau
memperlambat waktu proses produksi, pemasaran, atau produksi dan pemasaran
barang, jasa, atau barang dan jasa yang sebelumnya sudah dipersyaratkan.
Kegiatan persekongkolan seperti ini dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha yang tidak sehat .
Bab4
Posisi
Dominan
4.1.
Pengertian Posisi Dominan
Pengertian
posisi dominan dikemukakan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
yang menyatakan bahwa posisi dominan adalah keadaan dimana pelaku usaha
tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa
pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara
pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan,
kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan
pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Dari pengertian di atas,
dapat disimpulkan bahwa setiap pelaku usaha mempunyai kemungkinan untuk
menguasai pangsa pasar secara dominan, sehingga dirinya dianggap menduduki
posisi dominan atas pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha lainnya yang
menjadi pesaingnya dalam menguasai pangsa pasar; atau suatu posisi yang menempatkan
pelaku usaha lebih tinggi atau paling tinggi di antara pelaku usaha atau
sekelompok pelaku usaha lain yang menjadi pesaingnya dalam kaitan dengan
kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan
untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu, sehingga
dirinya dianggap menduduki posisi dominan atas pelaku usaha atau sekelompok
pelaku usaha lainnya yang menjadi pesaingnya.
Lebih
lanjut, dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan
bahwa suatu pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha dianggap memiliki
"posisi dominan" apabila
1. satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen)
atau lebih pangsa pasar atau jenis barang atau jasa tertentu; atau
2. dua
atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh
lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Dari
bunyi ketentuan Pasal 25 ayat (2) ini, dapat disimpulkan bahwa jika posisi dominan
itu terkait dengan "penguasaan pasar" atas satu jenis barang atau
jasa tertentu di pasar bersangkutan oleh satu pelaku usaha atau sekelompok
pelaku usaha sebesar 50% atau lebih, atau dua atau tiga pelaku usaha atau
sekelompok pelaku usaha sebesar 75% atau lebih, hal ini akan mengakibatkan hanya
ada satu pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar
yang bersangkutan. Penguasaan pasar yang demikian dinamakan "posisi dominan".
4.2.
Bentuk-Bentuk Kegiatan Posisi Dominan yang Dilarang
Dari
Pasal 25 sampai dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, terdapat 4
(macam) bentuk kegiatan posisi dominan yang dilarang, yaitu
a. kegiatan
posisi dominan yang bersifat umum (Pasa125);
b. jabatan
rangkap atau kepengurusan terafiliasi (Pasal 26);
c. pemilikan
saham atau terafiliasi (Pasal 27);
d. penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan perusahaan (Pasal 28 dan Pasal 29).
4.2.1.
Kegiatan Posisi Dominan yang Bersifat Umum
Selain
melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian atau kegiatan tertentu yang
dapat mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat ,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga melarang pelaku usaha yang dianggap memiliki
posisi dominan untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, (Pasal 25 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha menggunakan posisi
dominan yang dipunyainya, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk menetapkan
syarat-syarat perdagangan dengan tujuan mencegah, menghalangi, atau mencegah
dan menghalangi konsumen memperoleh barang, jasa, atau barang dan jasa yang
bersaing, termasuk juga dari segi harga maupun kualitas; atau W membatasi pasar
dan pengembangan teknologi; atau C menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi
menjadi pesaing (kompetitor)
untuk memasuki pasar yang bersangkutan. Ketentuan Pasal 25 ayat (1) ini seirama
dengan aturan yang dimainkan oleh Section 2 Sherman Act, yang menekankan pada
proses monopolisasi tersebut dan tidak memberatkan hanya pada adanya monopoli.
Undang-undang secara tegas mengakui adanya posisi dominan tertentu dengan
penguasaan pasar yang cenderung bersifat monopoli, yang telah terjadi sebagai
akibat seleksi alamiah maupun berdasarkan alasan-alasan lainnya. Walau
demikian, posisi dominan yang telah dimiliki tersebut tidak boleh dipergunakan untuk
menghambat pengembangan teknologi maupun untuk mendistorsi pasar dengan cara
berupaya mencegah persaingan dengan mengeliminir munculnya pelaku usaha baru.
Spirit yang diemban dalam Section 2 Sherman Act, yang bertujuan meningkatkan persaingan
secara sehat dan jujur dalam dunia usaha, telah dilanggar oleh pelaku usaha
yang memiliki posisi dominan tersebut (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja,
1999:40).
4.2.2.
Jabatan Rangkap
Dalam
rangka mencegah terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang
tidak sehat, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga melarang adanya hubungan
kepengurusan terafiliasi, yakni dengan melarang seseorang menduduki jabatan rangkap
pada waktu yang bersamaan pada perusahaan lain . Pasal 126 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 melarang seseorang yang menduduki jabatan Direksi atau Komisaris
dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan merangkap menjadi Direksi atau
Komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan tersebut
a. berada
dalam pasar bersangkutan yang sama; atau
b. memiliki
keterkaitan yang erat dalam bidang, jenis, atau bidang dan jenis usaha.
Perusahaan-perusahaan dianggap memiliki keterkaitan yang erat apabila
perusahaan-perusahaan tersebut saling mendukung atau berhubungan langsung dalam
proses produksi, pemasaran, atau produksi dan pemasaran; atau
c. secara
bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan jasa tertentu, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat.
4.2.3. Kepemilikan Saham Mayoritas
Untuk
mencegah terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, dimana
penguasaan pasar berada di tangan pelaku usaha atau sekelompok usaha yang
memiliki posisi dominan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga melarang pelaku
usaha atau sekelompok pelaku usaha untuk memiliki saham mayoritas pada beberapa
perusahaan sejenis. Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku
usaha memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan
kegiatan usaha dalam bidang yang sama, pada pasar bersangkutan yang sama, atau
mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama, pada
pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan beberapa perusahaan tersebut
mengakibatkan
a. satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima
puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
b. dua
atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75%
(tujuh puluh Lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
4.2.4.
Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan
Secara
umum terdapat tiga bentuk penyatuan perusahaan, yaitu merger, konsolidasi, dan
akuisisi, yang diterjemahkan dengan istilah penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan. Istilah "merger" berasal dari bahasa Inggris "merger",
'fusion", atau "absorption", yang berarti "menggabungkan"
atau "lebur tunggal".
Merger
dapat diartikan sebagai penyatuan atau penggabungan dua perusahaan atau lebih
dengan cara mendirikan perusahaan baru dan membubarkan perusahaan lainnya.
Dalam hal ini salah satu perusahaan atau lebih dapat menggabungkan diri menjadi
satu dengan perusahaan yang telah ada dan salah satu dari perusahaan yang akan
digabungkan itu tetap dipertahankan keberadaannya, sehingga segala hak dan kewajiban
yang ada dialihkan kepada perusahaan penerima penggabungan perusahaan tadi. Sementara
pengertian penggabungan dikemukakan pula Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan
Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa penggabungan adalah perbuatan hukum
yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan
perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri
menjadi bubar", Sedangkan istilah "konsolidasi" berasal dari
bahasa Inggris "consolidation", yang berarti
"peleburan". Secara sederhana konsolidasi diartikan penggabungan dua
perusahaan atau lebih dengan cara membentuk perusahaan baru dan membubarkan
perusahaan yang tergabung tadi. Singkatnya, beberapa perusahaan yang ada
bergabung atau rnenyatukan diri menjadi perusahaan baru, dimana hak dan kewajiban
perusahaan yang ada (yang menggabungkan diri) diambil alih oleh perusahaan baru
yang telah dibentuk. Pengertian yang sama dikemukan dalam Pasal 1 angka 2
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa peleburan adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk
meleburkan diri dengan cara membentuk satu perseroan baru dan masing-masing
perseroan yang meleburkan diri menjadi bubar.
Kemudian
istilah "akuisisi" juga berasal dari bahasa Inggris "acquisition",
yang berarti "mengambil alih". Tidak sama dengan merger dan
konsolidasi, dalam akuisisi kedua perusahaan atau lebih yang akan
"rnenyatukan diri" tetap ada, hanya saja terjadi perubahan
kepemilikan aset atau saham, sehingga mengakibatkan beralihnya pengendalian
terhadap perusahaan tersebut. Kiranya sama dengan Pasal 1 angka 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa pengambilalihan adalah perbuatan
hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil
alih baik seluruh ataupun sebagian besar saham perseroan, yang dapat
mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut. Pengambilalihan
suatu perusahaan dapat dilakukan melalui "akuisisi kekayaan (assets)"
atau "akuisisi modal (saham)" dari perusahaan yang akan diambil
alih tersebut.
Ketentuan-ketentuan
mengenai merger dalam hukum persaingan biasanya dimaksudkan untuk mencegah
penguasaan kekuatan pasar secara berlebihan. Pada umumnya lebih sederhana dan
efektif mencegah penguasaan kekuatan pasar daripada mengawasi penyalahgunaannya
setelah kekuatan pasar tersebut diambil.
Pada
suatu titik tertentu, perusahaan dapat mencapai kekuatan pasar sampai pada
titik di mana kekuatan tersebut dapat dicapai dengan kegiatan sepihak
(unilateral); jika hal itu dilakukan oleh pesaing yang lebih kecil, ini harus dilakukan
dengan kegiatan dua pihak (bilateral) melalui cara antipersaingan seperti collusive
dealing. Peraturan-peraturan merger membuat batas di mana akuisisi saham
atau kekayaan tidak diperbolehkan lagi tanpa adanya kemanfaatan masyarakat yang
harus ditunjukkan melalui prosedur ororisasi. Batas-batas inilah yang selalu
menjadi persoalan sensitif pada setiap pembentukan maupun pelaksanaan hukum persaingan
(Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.) 2000: 115-116).
Dalam
Pasal 102 sampai dengan Pasal 109 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas telah diatur prinsip-prinsip yang berkaitan dengan perbuatan
hukum penggabungan (merger), peleburan (konsolidaSl) dan
pengambilalihan (akuisisl) perseroan terbatas. Namun, persyaratan dan tata
cara proses penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan terbatas
yang lebih rinci, diperintahkan untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor
27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan
Terbatas.
Dari
kedua ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa tindakan penggabungan, peleburan,
dan pengambilalihan perseroan terbatas diperkenankan dalam rangka penciptaan
iklim dunia usaha yang sehat dan efisien, guna menghadapi arus globalisasi dan
liberalisasi perekonomian dunia yang semakin kompleks, dengan syarat tidak
boleh mengarah kepada penguasaan sumber ekonomi dan pemusatan kekuatan ekonomi
pada suatu kelompok atau golongan tertentu. Untuk itu, tindakan penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan perseroan terbatas yang dapat mendorong ke arah
terjadinya monopoli, monopsoni, atau persaingan curang atau tidak sehat dapat dihindari
sejak dini. Dengan kata lain, tindakan penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan perseroan terbatas hendaknya memperhatikan kepentingan
perseroan, pemegang saham, karyawan perseroan terbatas, atau masyarakat, termasuk
pihak ketiga yang berkepentingan. Bahkan tindakan penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan perseroan terbatas tersebut tidak dapat dilakukan jika akan
merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu.
Pasal 104 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995
rnenyatakan bahwa perbuatan hukum penggabungan, pe1eburan, clan pengambilalihan
perseroan terbatas harus memperhatikan
a. Kepentingan
perseroan terbatas, pemegang saham minoritas, dan karyawan perseroan terbatas;
b. Kepentingan
masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha, sehingga kemungkinan
terjadinya monopoli atau monopsoni dalam berbagai bentuk yang merugikan masyarakat
dapat dicegah; dan
c. Tidak
mengurangi hak pemegang saham minoritas untuk menjual sahamnya dengan harga
yang wajar.
Pemegang saham minoritas mempunyai hak untuk menjual
sahamnya sesuai dengan harga wajar. Jika hak tersebut tidak dapat terlaksana, pemegang
saham minoritas dapat tidak menyetujui rencana penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan perseroan terbatas yang diajukan oleh Direksi dan melaksanakan
haknya agar saham yang dimilikinya dibeli dengan harga wajar, sesuai dengan ketentuan
Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995.
Hal yang sama juga dikatakan Pasal 4 dan Pasal 5
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998. Pasal 4 dan Pasal 5 tersebut menyatakan
bahwa
1. penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan perseroan terbatas hanya dapat dilakukan dengan
memperhatikan kepentingan perseroan terbatas, pemegang saham minoritas, dan
karyawan, serta kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan
usaha;
2. Penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan perseroan terbatas tidak mengurangi hak pemegang
saham minoritas untuk menjual sahamnya dengan harga wajar;
3. Pemegang
saham yang tidak setuju terhadap keputusan rapat umum pemegang saham mengenai
penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan terbatas hanya dapat
menggunakan haknya agar saham yang dimilikinya dibeli dengan harga wajar,
sesuai dengan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995. Pelaksanaan
hak tersebut tidak menghentikan proses pelaksanaan penggabungan, peleburan, dan
pengarnbilalihan perseroan terbatas;
4. Penggabungan,
peleburan dan pengambilalihan perseroan terbatas juga hams memperhatikan
kepentingan kreditor perseroan terbatas yang akan melakukan penggabungan atau meleburkan
diri, atau yang akan mengambil alih dan diambil alih sesuai dengan prinsip
hukum perjanjian.
Dengan demikian jelaslah bahwa sebelum lahirnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, ketentuan mengenai penggabungan, peleburan,
dan pengambilalihan perseroan terbatas secara dini sudah membatasi
penggunaannya, jangan sampai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
perseroan terbatas tersebut menimbulkan penguasaan pasar yang bersifat
monopoli, monopsoni, atau persaingan usaha yang tidak sehat, sehingga pasar
tidak kompetitif lagi. Keadaan ini pada gilirannya akan merugikan masyarakat
banyak; padahal penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perusahaan
merupakan kegiatan yang biasa terjadi dalam dunia usaha, terutama dalam rangka
menciptakan iklim usaha yang sehat dan efisien. Hal ini juga dapat meningkatkan
produktivitas perusahaan.
Suatu hal yang wajar apabila penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan ini mendapat pengaturan dalam hukum persaingan. Alasannya,
tindakan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dapat berdampak secara
langsung pada hidup matinya persaingan. Bahkan ada suatu keadaan dimana ketika penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan dilakukan, tindakan tersebut bisa menguntungkan
konsumen. Namun, pada saat yang bersamaan hal ini juga bisa mematikan
persaingan sehat. Keadaan yang demikian perlu mendapat pengaturan.
Dalam hukum persaingan, keuntungan konsumen tidak
dapat dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan yang dilakukan. Alasannya, yang dipentingkan dalam hukum
persaingan adalah bagaimana agar persaingan sehat bisa terus berlangsung. Hukum
persaingan tidak dimaksudkan semata-mata untuk memberi keuntungan pada
konsumen. Keuntungan yang didapat konsumen secara tidak langsung lahir dari
persaingan sehat antarpelaku usaha (Hikrnahanto Juwana, 1999:7).
Dalam
praktiknya, ada 3 (tiga) jenis penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan,
yaitu
1. Penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan horizontal, adalah penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan yang dilakukan oleh perusahaan yang secara teoretis berada
dalam pasar yang sama, memiliki kegiatan yang sama, bahkan produk yang
dihasilkan pun sama dengan perusahaan yang akan digabung, dilebur, dan diambil
alih. Paling tidak ada dua karakteristik yang penting dalam penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan horizontal, yaitu produknya sama dan pemasaran
terhadap produk dilakukan dalam wilayah yang sama. Dengan adanya tindakan penggabungan,
peleburan, dan pengambialihan horizontal, pada suatu pasar tertentu akan
terjadi pengurangan satu perusahaan (perusahaan yang digabung, dilebur, dan
diambil alih) dan ada satu perusahaan yang memiliki pangsa pasar lebih besar
dari sebelumnya (perusahaan yang melakukan penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan). Bagi perusahaan yang rmelakukan penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan, ia akan mempunyai kekuatan pasar yang lebih besar. Dengan demikian,
dalam tindakan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan horizontal,
tindakan tersebut tidak hanya menyangkut aset atau saham saja, tetapi juga
penyatuan atau pengambilalihan kekuatan pasar. Dalam penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan horizontal ini ada kemungkinan besar pangsa pasar dari
perusahaan yang digabung, dilebur, dan diambil alih oleh perusahaan yang
melakukan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan, sehingga persaingan usaha
antarpelaku akan mati atau berkurang. Selain itu bias terjadi persaingan tidak
sehat antarpelaku usaha dan konsumen pun dieksploitasi;
2. Penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan vertikal, adalah penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan yang dilakukan terhadap perusahaan yang jenis usahanya berbeda dan
tidak berada dalam pasar yang sama, namun mempunyai keterkaitan. Penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan vertikal ini dapat dilakukan ke bawah dan ke
atas. Tindakan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan vertical membawa
konsekuensi munculnya perlakuan istimewa dari perusahaan yang melakukannya
terhadap satu perusahaan (perusahaan yang digabung, dilebur, dan diambil alih)
dari sejumlah perusahaan di pasar tertentu. Selain itu ada kemungkinan kedudukan
satu perusahaan (yang digabung, dilebur, dan diambil alih) akan lebih tinggi
dibanding perusahaan sejenis dalam pasar tertentu. Dalam penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan vertikal, pengambilan pangsa pasar secara teoretis
tidak mungkin terjadi, mengingat perusahaan yang digabung, dilebur, dan diambil
alih berada dalam dua pasar yang berbeda. Namun, yang terjadi dalam
penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan vertikal adalah kemampuan untuk
mengendalikan harga dalam memproduksi suatu barang atau jasa;
3. Penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan konglomerat (conglomerate merger), adalah
penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan yang dilakukan oleh perusahaan
terhadap perusahaan yang tidak bersinggungan dengan kegiatan yang dilakukan
oleh perusahaan yang melakukan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.
Tindakan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan konglomerat tidak
mengandung konsekuensi apa pun terhadap pasar, sebab perusahaan yang melakukan
penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan serta perusahaan yang digabung,
dilebur, dan diambil alih tidak mempunyai titik singgung yang sama. Namun,
harus disadari bahwa secara tidak langsung penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
konglomerat akan berdampak pada ekonorni secara makro. Terutama jika mengingat
bahwa dengan adanya penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan konglomerat, usaha
kecil tidak akan mampu bersaing; pada gilirannya usaha kecil akan dimatikan.
Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan konglomerat akan memunculkan apa
yang disebut "super monopolist" (Hikmahanto Juwana 1999:6).
4. Pada
akhirnya, berdasarkan pertimbangan di atas, hukum persaingan kita juga mengatur
larangan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan badan usaha. Hal ini
berlaku untuk perusahaan yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum,
yang menjalankan suatu jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus,
dengan tujuan memperoleh laba. Selain itu, pengambilalihan saham perusahaan
lain yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat juga diatur dalam pasal 28 dan pasal 29 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan
usaha dan pengambilalihan saham yang dilarang tersebut akan diatur dalam
peraturan pemerintah.
Larangan yang dicantumkan dalam Pasal 28 dan Pasal
29 tersebut bersifat rule of reason, sama dengan hukum persaingan negara
lainnya. Penggabungan badan usaha diperkenankan asalkan tidak mengurangi
persaingan secara substansial (Bandingkan Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.) 2000:
119).
Pasal 28 ayat (1) melarang pelaku usaha melakukan
penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Kemudian ayat (2) dari
pasal yang sama melarang pula pelaku usaha melakukan pengambilalihan saham
perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Ketentuan Pasal 28 ayat
(1) dan ayat (2) ini mengandung ani tidak semua penggabungan atau peleburan
badan usaha atau pengambilalihan saham dilarang dilakukan pelaku usaha, kecuali
tindakan penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham tersebut
menimbulkan praktik monopoli, persaingan usaha tidak sehat, posisi dominan,
atau ketiganya. Dengan demikian, sepanjang tindakan penggabungan atau peleburan
badan usaha atau pengambilalihan saham tersebut tidak mengakibatkan praktik monopoli,
persaingan usaha tidak sehat dan/atau posisi dominan, penggabungan atau
peleburan badan usaha atau pengambialihan saham boleh saja dilakukan pelaku usaha.
Tidak hanya penguasaan pasar melalui penggabungan atau peleburan badan usaha
atau pengambilalihan saham yang dilarang.
Penguasaan nilai aset yang melebihi jumlah tertentu
sebagai hasil tindakan penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan
saham juga dilarang. Dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan
bahwa penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham yang berakibat
nilai aset dan/atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib
diberitahukan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha, selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan
tersebut. Ketentuan tentang penetapan nilai aset dan/atau nilai penjualan serta
rata cara pemberitahuannya diatur dalam peraturan pernerintah.
Sebelum melakukan tindakan penggabungan atau peleburan
badan usaha atau pengambilahan saham, hal ini terlebih dahulu harus disampaikan
kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha guna mendapatkan notifikasi agar tidak
melanggar ketentuan Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Pelaku usaha menjadi kaya ataupun dapat menaikkan
nilai penjualan berapa pun yang diupayakan dengan tidak melawan hukum dan tidak
mengurangi esensi persaingan (dalam arti pangsa pasar tidak berlebihan dan
tidak memanfaatkan kelebihannya itu); atau bahkan kemungkinan membawa
kemanfaatan masyarakat rupanya tetap akan menjadi sasaran hukum persaingan di
Indonesia. Bergabung untuk menjadi lebih besar, kuat, dan efisien, pada dasarnya
merupakan hak semua pengusaha. Dalam keadaan-keadaan tertentu hal ini dapat
mendorong persaingan, atau setidaknya bermanfaat bagi masyarakat. Akan tetapi,
tidak dapat disangkal bahwa perusahaan yang "terlalu" besar dan kuat
sangat mudah memanfaatkan kelebihannya dengan cara-cara yang merugikan persaingan.
Untuk menentukan sebesar atau sekuat apa dan dengan cara bagaimana perusahaan
pasca merger dapat dianggap mengganggu persaingan usaha sehat, ditetapkanlah
beberapa kriteria. Agar pengawasan terhadap merger menjadi lebih mudah dan
tepat sasaran, disediakanlah fasilitas notifikasi dan otorisasi. Kata kuncinya:
merger sebaiknya tidak mengganggu, tetapi mendorong persaingan (Ayudha D.
Prayoga et al., (Ed.), 2000: 120).
Bab
5
Penegakan
Hukum
Persaingan
Usaha
5.1.
Peranan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
5
.1.1. Dasar Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Lembaga yang akan menjadi penjaga untuk tegaknya
peraturan persaingan merupakan syarat mutlak agar peraturan persaingan dapat
lebih operasional. Pemberian kewenangan khusus kepada suatu komisi untuk
melaksanakan suatu peraturan di bidang persaingan merupakan hal yang lazim
dilakukan oleh kebanyakan negara. Di Amerika Serikat, Departemen Kehakiman
mempunyai divisi khusus, yaitu Antitrust Division untuk menegakkan Sherman Act
. Departemen Kehakiman bersama-sama Federal Trade Commission juga bertugas
menegakkan Clayton Act. Sedangkan tugas untuk menegakkan Robinson Patman Act,
khususnya yang menyangkut tindakan penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan, diserahkan kepada Federal Trade Commission. Masyarakat Ekonomi
Eropa dengan European Community Commission; Jepang, Korea, dan Taiwan dengan
Fair Trade Commission. (Agus Sardjono 1998:33 dan Ayudha D. Prayoga et aI.,
(Ed.), 2000: 126 dan 128). .
Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Penegakan hukum
persaingan diserahkan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha, di samping
kepolisian, kejaksaan, dan peradilan. Penegakan pelanggaran hukum persaingan
harus dilakukan terlebih dahulu dalam dan melalui Komisi Pengawas Persaingan
Usaha. Setelah itu, tugas dapat diserahkan kepada penyidik kepolisian, kemudian
diteruskan ke pengadilan, jika pelaku usaha tidak bersedia menjalankan putusan
yang telah dijatuhkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Sebenarnya, penegakan hukum persaingan usaha dapat
saja dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Pengadilan merupakan
ternpat penyelesaian perkara yang resmi dibentuk negara. Namun, untuk hukum
persaingan usaha, pada tingkat pertama penyelesaian sengketa antarpelaku usaha
tidak dilakukan oleh pengadilan. Alasan yang dapat dikemukakan adalah karena hukum
persaingan usaha membutuhkan orang-orang spesialis yang memiliki latar belakang
dan/atau mengerti betul seluk beluk bisnis dalam rangka menjaga mekanisme
pasar. Institusi yang melakukan penegakan hukum persaingan usaha harus
beranggotakan orang-orang yang tidak saja berlatar belakang hukum, tetapi juga
ekonomis dan bisnis. Hal ini sangat diperlukan, mengingat masalah persaingan
usaha sangat terkait erat dengan ekonomi dan bisnis (Ayudha D. Prayoga et al.,
(Ed.), 2000: 126).
Alasan lain mengapa diperlukan institusi yang secara
khusus menyelesaikan kasus praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
adalah agar berbagai perkara tidak bertumpuk di pengadilan. Institusi yang
secara khusus menyelesaikan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat dapat
dianggap sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa, sepanjang pengertian alternatif
disini adalah di luar pengadilan. Di Indonesia, lembaga yang demikian yang
seringkali dianggap sebagai kuasa yudikatif sudah lama dikenal (Ayudha D.
Prayoga et al., (Ed.), 2000: 126).
Dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
dinyatakan bahwa "untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini dibentuk
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yang selanjutnya disebut Komisi".
Kemudian dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan
"pembentukan Komisi serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya
ditetapkan dengan Keputusan Presiden". Sebagai tindak lanjut, lahirlah Keputusan
Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Dari
bunyi Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang N omor 5 Tahun 1999 tersebut, jelaslah
bahwa tujuan pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah untuk mengawasi
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Dalam hal ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha
bertindak sebagai lembaga kuasa yudikatif. Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha diharapkan dapat menyelesaikan kasus pelanggaran hukum persaingan usaha
dengan lebih cepat, efisien, dan efektif, sesuai dengan asas dan tujuannya.
Dapat dikemukakan alasan filosofis dan sosiologis
dari pembentukan lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha ini. Alasan filosofis
yang dijadikan dasar pembentukannya, yaitu dalam mengawasi pelaksanaan suatu
aturan hukum diperlukan suatu lembaga yang mendapat kewenangan dari negara (pemerintah
dan rakyat). Dengan kewenangan yang berasal dari negara, diharapkan lembaga
pengawas ini dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan sebaik-baiknya, serta
sedapat mungkin mampu bertindak independen. Adapun alasan sosiologis yang
dijadikan dasar pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah menurunnya
citra pengadilan dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, serta beban
perkara pengadilan yang sudah menumpuk. Alasan lain , dunia usaha membutuhkan
penyelesaian yang cepat dan proses pemeriksaan yang bersifat rahasia. Oleh karena
itu, diperlukan suatu lembaga khusus yang terdiri atas orang-orang yang ahli
dalam bidang ekonomi dan hukum; dengan demikian penyelesaian yang cepat dapat
terwujud (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000: 128).
5.1.2.
Status dan Keanggotaan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Sudah sewajarnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha
bersifat independen, terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta
pihak lain dalam hal mengawasi pelaku usaha; dalam hal ini memastikan pelaku
usaha menjalankan kegiatannya dengan tidak melakukan praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat. Status Komisi Pengawas Persaingan Usaha ini telah
diatur Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang kemudian
diulang pada Pasal 1 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999. Dalam
Pasal 30 ayat (2) dinyatakan "Komisi adalah suatu lembaga independen yang
terlepas dari pengaruh dan kekuasaan serta pihak lain". Dalam melaksanakan
tugasnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha bertanggung jawab kepada Presiden
sebagai Kepala Negara, berhubung Komisi Pengawas Persaingan Usaha juga
melaksanakan sebagian tugas-tugas pemerintah negara dalam melaksanakan
undang-undang.
Dalam sistem Undang-Undang Dasar 1945, Presiden
merupakan penyelenggara pemerintah negara tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar
1945 . Atas dasar itulah dalam melaksanakan tugasnya Komisi Pengawas Persaingan
Usaha bertanggung jawab kepada Presiden. Dinyatakan dalam Pasal 30 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bahwa "Komisi bertanggung jawab kepada
Presiden".
Praktik
di negara-negara lain yang lebih dahulu mempunyai undang-undang persaingan
usaha juga memperlihatkan bahwa Komisinya bertanggung jawab kepada kepala
pemerintahan (Presiden atau Perdana Menteri). Di Amerika Serikat, misalnya, dalam
Federal Trade Commission Act Section 1 dinyatakan bahwa "... .Any
Commissioners may be removed by the President for inefficiency, neglect of
duty, ormalfeasance in office". Hal ini juga dapat dilihat pada
Section 27 (2) dari Anti-Monopoly Act Jepang, yang rnenyatakan bahwa "The
Fair Trade Commission shall be administratively attached to the Prime
Minister". Begitu juga di India, di mana Monopolies and Restrictive
Trade Commission-nya dibentuk oleh Pemerintah (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.),
2000: 129).
Keberhasilan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 sesungguhnya tidak terlalu ditentukan oleh independensi Komisi Pengawas
Persaingan Usaha dalam melaksanakan tugas, tetapi banyak ditentukan oleh
keanggotaannya. Oleh karena itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus mempunyai
atau terdiri dari anggota-anggota yang terpilih dan terpercaya (credible), serta
memiliki inregritas dan komitmen moral yang tinggi, dengan dibantu oleh
tenaga-tenaga yang profesional dalam bidangnya (Bandingkan Muchtar, 1999:23).
Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha minimum berjumlah
9 (sembilan) orang, termasuk Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap sebagai
anggota. Dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan
bahwa "Komisi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil
Ketua merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang anggota",
Dari kata-kata "sekurang-kurangnya", diartikan jumlah anggotanya
boleh lebih dari 7 (tujuh) orang. Atau sebaliknya, paling sedikit beranggotakan
7 (tujuh) orang; dengan ditambah Ketua dan Wakil Ketua, keanggotaan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha minimal atau paling sedikit berjumlah 9 (sembilan) orang. Ada
yang mengatakan bahwa jumlah ini cukup banyak.
Jika dibandingkan dengan jumlah Komisi pada Federal
Trade Commission di Amerika Serikat dan Fair Trade Commission di Jepang yang
hanya berjumlah 5 (lima) orang, jumlah tersebut cukup banyak. Namun, hal ini
tidak berarti bahwa jumlah ini tidak wajar atau kebanyakan. Mungkin pembuat
undang-undang mempunyai pertimbangan tersendiri dengan melihat kondisi yang ada
di Indonesia (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000: 130).
Walaupun bertanggung jawab kepada Presiden,
pengisian keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak semata-mata di
tangan Presiden, melainkan juga melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 31
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan
bahwa pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha dilakukan
oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dengan masa jabatan 5
(lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya. Apabila karena berakhirnya masa jabatan tersebut akan terjadi
kekosongan dalam keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, masa jabatan anggota
dapat diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru. Perpanjangan masa keanggotaan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk menghindari kekosongan keanggotaan
tersebut tidak boleh lebih dari 1 (satu) tahun.
Dengan adanya persetujuan dari Dewan Perwakilan
Rakyat ini, diharapkan anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah
ofang-orang yang mempunyai integritas kepribadian dan keilmuan yang tinggi dan
benar-benar dapat menjalankan tugasnya demi kepentingan rakyat secara keseluruhan,
dengan menjaga independensinya. Persetujuan dari rakyat sangatlah penting sebab
dapat menaikkan kredibilitas Komisi Pengawas Persaingan Usaha itu sendiri. Hal
ini juga dilakukan oleh negara-negara besar, seperti Amerika Serikat dan Jepang
(Ayudha D. Prayoga et al., (Ed .), 2000: 130).
Dalam mengusulkan dan memberikan persetujuan
terhadap anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Pemerintah maupun Dewan
Perwakilan Rakyat sudah seyogianya memperhatikan persyaratan keanggotaan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Untuk
menjadi anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha, seseorang hams memenuhi persyaratan
sebagai berikut.
a. warga
negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun dan
setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan;
b. setia
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. beriman
dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa;
d. jujur,
adil , dan berkelakuan baik;
e. bertempat
tinggal di wilayah negara Republik Indonesia;
f. berpengalaman
dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang hukum
dan/atau ekonomi;
g. tidak
pernah dipidana, baik karena melakukan kejaharan berat atau karena melakukan
pelanggaran kesusilaan;
h. tidak
pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan;
i.
tidak terafiliasi dengan suatu badan
usaha sejak yang bersangkutan menjadi anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Yang bersangkutan tidak menjadi
1. anggota
dewan komisaris atau pengawas, atau direksi suatu perusahaan;
2. anggota
pengurus atau badan pemeriksa suatu koperasi;
3. anggota
yang memberikan layanan jasa kepada suatu perusahaan, seperti konsultan,
akuntan publik, dan penilai;
4. pemilik
saham mayoritas suatu perusahaan.
Menurut Pasal 33 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, keanggotaan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha berhenti, karena
a. meninggal
dunia; atau
b. mengundurkan
diri atas permintaan sendiri; atau
c. bertempat
tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia; atau
d. sakit
jasmani atau rohani terus-menerus, yang dinyatakan dengan surat keterangan
dokter yang berwenang; atau
e. berakhirnya
masa jabatan keanggotaan komisi; atau
f. diberhentikan,
antara lain dikarenakan tidak lagi memenuhi persyaratan keanggotaan komisi
sebagaimana dimaksud Pasal 32.
Pada umumnya Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan
Usaha sudah pasti akan dipilih dari dan oleh anggota Komisi Pengawas Persaingan
Usaha. Penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan
bahwa "Ketua dan Wakil Ketua Komisi dipilih dari dan oleh Anggota Kornisi"
. Selanjutnya, ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 14 ayat (3) Keputusan Presiden
Nomor 75 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa "Ketua dan Wakil Ketua Komisi
dipilih dari dan oleh anggota Komisi.
5.1.3.
Susunan Organisasi dan Pembiayaan KOmisi
Pengawas Persaingan Usaha
Pengaturan susunan organisasi Komisi Pengawas
Persaingan Usaha dikemukakan dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang
menyatakan bahwa "Pembentukan, Komisi serta susunan organisasi,
tugas, dan Presiden", Keputusan Presiden yang dimaksud telah ditetapkan dalam
Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 yang mengatur pembentukan, susunan
organisasi, tugas, dan fungsi Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Susunan organisasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha
terdiri atas anggota Komisi dan Sekretariat. Anggota Komisi Pengawas Persaingan
Usaha wajib melaksanakan tugas dengan berdasar pada asas keadilan dan
perlakuan, serta wajib mematuhi tata tertib yang telah disusun oleh Komisi
Pengawas Persaingan Usaha. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Komisi Pengawas Persaingan
Usaha dibantu oleh sekretariat, yang susunan organisasi, tugas, dan fungsinya
diatur lebih lanjut dengan keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat membentuk
kelompok kerja sesuai dengan kebutuhan apabila diperlukan. Kelompok kerja ini
beranggotakan orang-orang yang berpengalaman dan ahli dalam bidang
masing-masing, yang diperlukan dalam menangani perkara tertentu, dan dalam
waktu tertentu. Ketentuan mengenai keanggotaan, fungsi, dan tugas kelompok kerja
tersebut diatur lebih lanjut oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Walaupun Komisi Pengawas Persaingan Usaha
berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia, bila diperlukan, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha dapat membuka kantor perwakilan di ibu kota propinsi.
Persyaratan dan tata kerja kantor perwakilan sebagaimana dimaksud akan diatur
lebih lanjut oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Sebagai perbandingan, susunan organisasi Komisi
Perdagangan Sehat Jepang terdiri atas Komisi, Sekretariat Jenderal, Hearing
Examiners, Sekretariat Biro Hubungan Ekonomi, Biro Persaingan Usaha, dan
Biro Penyelidikan. Sementara Komisi Korea terdiri atas Biro Kebijaksanaan
Perdagangan Sehat, Biro Peraturan Monopoli, Biro Persaingan Usaha, Biro
Penyelidikan, dan Biro Perlindungan Konsumen. Dalam menjalankan tugas biro
Komisi Korea dan Amerika Serikat dibantu Penasihat Umum (Ayudha D. Prayoga et
al.,o"(Ed), 2000: 132). " .
Pada dasarnya negara bertanggung jawab terhadap
operasional pelaksanaan tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan memberikan
dukungan dana melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Selain itu,
Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat memperoleh dana dari sumber sumber lain
yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat tidak mengikat, serta tidak akan mempengaruhi kemandirian Komisi
Pengawas Persaingan Usaha dalam melaksanakan tugasnya; mengingat ruang lingkup
dan cakupan tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha demikian luas dan sangat beragam.
Untuk itu, staf yang akan membantu Sekretariat Komisi Pengawas Persaingan Usaha
sudah seharusnya disesuaikan dengan anggaran yang disediakan oleh negara tanpa
mengurangi kinerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam menjalankan tugasnya
mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dalam Pasal 37
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa "segala biaya untuk
pelaksanaan tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha dibebankan kepada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan/atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku".
5.1.4.
Tugas Kornisi Pengawas Persaingan Usaha
Tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha telah diatur
secara rinci dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang kemudian
diulangi dalam Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999. Komisi Pengawas
Persaingan Usaha ditugaskan melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, seperti
perjanjian-perjanjian oligopoli, penerapan harga, pembagian wilayah,
pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian
tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri; melakukan penilaian terhadap
kegiataan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, seperti kegiatan-kegiatan
monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan; dan melakukan
penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, yang
disebabkan penguasaan pasar yang berlebihan, jabatan rangkap, pemilikan saham
dan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan badan usaha atau saham. Dengan demikian,
pada prinsipnya fungsi dan tugas utama Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah
melakukan kegiatan penilaian terhadap perjanjian, kegiatan usaha, dan
penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan pelaku usaha atau sekelompok
pelaku usaha. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, dimana pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha telah membuat
perjanjian yang dilarang atau melakukan kegiatan yang terlarang atau
menyalahgunakan posisi dominan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha berwenang menjatuhkan
sanksi berupa tindakan administratif dengan memerintahkan pembatalan atau
penghentian perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang dilarang,
serta penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan pelaku usaha atau sekelompok
pelaku usaha tersebut.
Tugas lain dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha
yang tidak kalah penting adalah memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan
Pernerintah yang berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat dan menyusun pedoman dan/atau publikasi atau sosialisasi yang
berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Terakhir, Komisi Pengawas Persaingan Usaha bertugas memberikan laporan secara
berkala atas hasil kerjanya kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Nantinya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha sangat
diharapkan bisa benar-benar bertindak proaktif untuk mempengaruhi kebijakan
Pemerintah dalam pembuatan peraturan yang berkaitan dengan praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Seandainya pasal-pasal yang ada dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak memadai untuk menunjang tugas dan wewenangnya,
Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat mengajukan saran dan pertimbangan kepada
Pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang mendukung tugas dan wewenangnya.
Demikian pula Komisi Pengawas Persaingan Usaha juga
hams membuat pedoman (guideline) atau aturan main yang jelas, baik bagi
diri sendiri maupun bagi pelaku usaha, misalnya bagaimana prosedur dan proses
beracara di Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan apakah ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 cukup memadai. Jika tidak
memadai, Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus membuat sendiri pedoman
beracara tersebut (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000:134).
Sebagai bahan perbandingan, Komisi Masyarakat
Ekonomi Eropa juga dapat mengusulkan kepada Dewan Menteri untuk mengeluarkan
peraturan yang memberikan kewenangan-kewenangan tertentu kepada Komisi . Hal
ini dilakukan Komisi karena melihat kewenangan yang diberikan atau diperoleh
dari Article 85 dan 86 Perjanjian Roma kurang memadai bagi Komisi untuk melaksanakan
Hukum Persaingan Masyarakat Ekonomi Eropa. Selanjutnya, Federal Trade
Commission juga mengeluarkan Trade Regulation Rules, yang menetapkan cakupan
Section Federal Trade Commission Act untuk praktik-praktik industri tertentu. Bersama-sama
dengan Justice Department, Federal Trade Commission mengeluarkan the Justice
Departrnent/Ff'C 1992 Horizontal Merger Guidelines (Ayudha D. Prayoga et al.,
(Ed.), 2000:134).
Bila bunyi Pasal 35 huruf f Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 kita baca secara cermat, terkandung makna Komisi Pengawas Persaingan
Usaha berwenang untuk mengisi kekosongan hukum dalam rangka pelaksanaan yang
berkaitan dengan hukum persaingan usaha. Hal ini berarti pedoman maupun peraturan
yang akan dibuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak hanya berlaku secara
internal saja, tetapi juga berlaku secara eksternal, yakni baik terhadap Komisi
Pengawas Persaingan Usaha maupun pelaku usaha serta instansi lainnya yang
terkait dengan pelaksanaan hukum persaingan usaha di Indonesia. Penjelasan
Pasal 35 ini tidak cukup memberi keterangan.
Integritas dan independensi dari Komisi Pengawas
Persaingan Usaha sangat menentukan untuk mengisi kekosongan-kekosongan peraturan
maupun pedoman dalam persaingan usaha. Diharapkan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha dapat mengantisipasi semaksimal mungkin intervensi politik atau pengaruh
dari pihak-pihak lain (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000: 134).
5.1.5.
wewenang KOmisi Pengawas Persaingan Usaha
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Komisi
Pengawas Persaingan Usaha memiliki sejumlah kewenangan, sebagaimana dikemukakan
secara rinci dalam Pasal 36 dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak hanya berwenang menerima laporan dari
masyarakat dan/atau pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat, tetapi proaktif berwenang melakukan
penelitian, melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan, menyimpulkan hasilnya,
memanggil pelaku usaha, memanggil dan menghadirkan saksi-saksi, meminta bantuan
penyidik, meminta keterangan dari instansi pemerintah, mendapatkan dan meneliti
serta menilai dokumen dan alat bukti lain, memutuskan dan menetapkan, serta
menjatuhkan sanksi tindakan administratif.
Kewenangan yang diberikan kepada Komisi Pengawas
Persaingan Usaha oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 cukup luas dan terinci
dan tidak jauh berbeda dengan kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Komisi
di negara lain . Namun demikian, ada kewenangan yang dimiliki oleh Komisi
negara lain tetapi tidak dimiliki oleh Komisi Indonesia, yaitu kewenangan untuk
mengajukan suatu perkara yang berkaitann dengan praktik monopoli dan persaingan
usaha yang tidak sehat ke pengadilan.
Kewenangan seperti ini dimiliki oleh Federal Trade
Commission, di mana Federal Trade Commission dapat memasukkan gugatan perdata
pada pengadilan distrik atau federal untuk mempertahankan prosedur atau putusan
administrasi yang telah ditempuhnya dalam menangani suatu perkara persaingan
usaha. Hal yang sama juga dimiliki oleh Komisi Jepang, yang mempunyai hak untuk
mengajukan gugatan ke pengadilan dalam hal yang berhubungan dengan holding
company, filing of merger, dan waiting period of merger (Ayudha D.
Prayoga et aI., (Ed.) , 2000: 135).
Sesuai dengan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
secara lengkap kewenangan yang dimiliki Komisi Pengawas Persaingan Usaha
meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
a. Menerima
laporan dari masyarakat dan/atau pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;
b. Melakukan
penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat;
c. Melakukan
penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh
pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
d. Menyimpulkan
hasil penyelidikan dan/atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;
e. Memanggil
pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang ini;
f. Memanggil
dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui
pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
g. Meminta
bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau
setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e .dan f pasal ini, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan Komisi;
h. Meminta
keterangan dari instansi pernerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan
dan/atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan
undang-undang ini;
i.
Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai
surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
j.
Memutuskan dan menerapkan ada atau tidak
adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
k. Memberitahukan
putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat;
l.
Menjatuhkan sanksi berupa tindakan
administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
Dari tugas dan wewenang Komisi Pengawas Persaingan
Usaha tersebut, dapat diketahui bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha diberi
wewenang khusus untuk menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif saja,
termasuk menjatuhkan ganti kerugian dan denda; ia tidak mempunyai hak menjatuhkan
sanksi denda pengganti, apalagi sanksi pidana pokok dan tambahan, yang merupakan
wewenang badan peradilan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha juga tidak bertindak
sebagai penyidik (khusus) yang dimungkinkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, padahal keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha terdiri dari
orang-orang yang memiliki integritas kepribadian dan keilmuan yang tinggi
(Rachmadi Usman, 2001:4-5)
5.2.
Tata Cara Penanganan Perkara Penegakan Hukum Persaingan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 lebih lanjut
mengatur tata cara penanganan perkara penegakan hukum persaingan usaha pada
Pasal 38 sampai dengan Pasal 46. Dalam menangani perkara penegakan hukum
persaingan usaha, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat melakukannya secara
proaktif atau dapat menerima pengaduan atau laporan dari masyarakat. Pasal 40 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat
melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila ada dugaan terjadi
pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini walaupun tidak ada laporan yang
pemeriksaannya dilaksanakan sesuai tata cara sebagaimana diatur dalam Pasal 39.
Sebelumnya, dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa
setiap orang yang mengetahui bahwa telah terjadi atau patut diduga telah
terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat melaporkannya
secara tertulis kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan keterangan yang jelas
tentang telah terjadinya pelanggaran, dengan menyertakan identitas pelapor.
Demikian pula pihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran
terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat melaporkan secara tertulis
kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan keterangan yang lengkap dan
jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan,
dengan menyertakan identitas pelapor.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bahan
penyelidikan, pemeriksaan, dan/atau penelitian terhadap kasus dugaan praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha bisa berasal dari laporan atau pengaduan pihak-pihak
yang dirugikan atau pelaku usaha; bahkan dari masyarakat atau setiap orang yang
mengetahui bahwa telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999. Hal ini bisa disampaikan kepada Komisi Pengawas Persaingan
Usaha atau berasal dari prakarsa Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Sebagai jaminan atas diri pelapor, Pasal 38 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mewajibkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
untuk merahasiakan identitas pelapor, terutama pelapor yang bukan pelaku usaha
yang dirugikan (bandingkan Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999:58).
Pemeriksaan
Pendahuluan Lanjutan
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mewajibkan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan
berdasarkan laporan masyarakat, pihak yang dirugikan, atau pelaku usaha.
Berdasarkan pemeriksaan pendahuluan ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam
waktu (selambat-lambatnya) 30 (tiga puluh) hari setelah menerima laporan tersebut,
akan menetapkan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan. Apabila
menurut pertimbangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha perlu dilakukan
pemeriksaan lanjutan, dengan sendirinya Komisi Pengawas Persaingan Usaha akan melakukan
pemeriksaan lanjutan. Dalam melakukan pemeriksaan Ianjutan tersebut, Komisi
Pengawas Persaingan Usaha wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha
yang dilaporkan.
Selain melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha
yang dilaporkan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat juga mendengar keterangan
saksi, saksi ahli, dan/atau pihak lain bila dipandang perlu. Informasi atau
keterangan yang diperoleh dari pelaku usaha yang dilaporkan yang dikategorikan
sebagai rahasia perusahaan wajib dijaga kerahasiaannya oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha. Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan di atas, anggota Komisi Pengawas
Persaingan Usaha wajib melengkapi diri dengan surat tugas.
Menurut Pasal 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, selama
penyelidikan atau pemeriksaan lanjutan berlangsung, pelaku usaha dan/atau pihak
lain yang diperiksa mempunyai kewajiban menyerahkan alat bukti yang diperlukan
dan dilarang menolak untuk diperiksa, dilarang menolak memberikan informasi yang
diperlukan, dan dilarang menghambat proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan
yang dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Oleh karena itu, bila pelaku
usaha menolak diperiksa atau memberi informasi yang diperlukan oleh Komisi, ia
akan diserahkan kepada penyidik untuk disidik sesuai ketentuan yang berlaku.
Kalau kasusnya sudah sampai pada penyidik, yang menangani
tidak lagi hanya pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha, terapi juga pihak
kepolisian. Komisi Pengawas Persaingan Usaha menyerahkan kasus tersebut kepada
penyidik untuk disidik. Tidak hanya perbuatan atau tindak pidana (menolak
diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan dalam penyelidikan dan/atau
pemeriksaan, atau menghambat proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan) saja
yang disidik; pokok perkara sedang diselidiki atau diperiksa oleh Komisi
Pengawas Persaingan Usaha pun mendapat perlakuan sama (Ayudha D. Prayoga et
al., (Ed.), 2000:146-147).
jangka
wakiu Femeriksaan Lanjutan
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
menguraikan tentang jangka waktu pemeriksaan lanjuran oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha. Pemeriksaan lanjutan yang dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
tersebut wajib diselesaikan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 60 (enam
puluh) hari sejak dilakukan pemeriksaan lanjutan. Selama jangka waktu tersebut,
Komisi Pengawas Persaingan Usaha telah selesai melakukan pemeriksaan dan
penilaian terhadap alat-alat bukti, yang biasa berupa keterangan saksi,
keterangan ahli, surat dan/atau dokumen, petunjuk, dan keterangan pelaku usaha.
Namun jika diperlukan atau jika Komisi Pengawas Persaingan Usaha belum selesai melakukan
pemeriksaan alat-alat bukti jangka waktu pemeriksaan lanjutan tersebut dapat
diperpanjang, paling lama 30 (riga puluh) hari. Dalam kurun waktu tersebut
pemeriksaan lanjutan harus diselesaikan. Setelah selesai melakukan pemeriksaan
lanjutan baik dengan atau tanpa perpanjangan jangka waktu pemeriksaan selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pemeriksaan lanjutan tersebut selesai,
Komisi Pengawas Persaingan Usaha wajib memutuskan apakah telah terjadi atau
tidak terjadi pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha.
Dalam melakukan penegakan hukum, jika terjadi
pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Komisi Pengawas Persaingan Usaha
harus melakukannya melalui proses, tahapan, dan dengan jangka waktu yang telah
ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Jangka waktu yang dianggap cukup
singkat ini tentu saja tidak akan memudahkan tugas Komisi Pengawas Persaingan
Usaha apabila para anggotanya bukan orang yang profesional di bidang mereka
masing-masing.
Meskipun didukung oleh anggota yang profesional,
karena hingga saat ini belum berpengalaman dalam melaksanakan perundang-undangan
di bidang antimonopoli, rasanya penegakan houkum Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 ini masih akan sulit dilaksanakan. Apalagi etos dan budaya supremasi hukum
di republik ini masih sekadar "rnimpi". Di sisi lain, godaan akan selalu
muncul dari pihak yang diduga melanggar karena para pelanggar merupakan pelaku
usaha yang mempunyai kemampuan ekonomi (dan juga politik) kuat di dalam
masyarakat. Tentu mereka akan merasa tidak senang apabila posisi kekuatan
ekonomi mereka diganggu (Insan Budi Maulana, 2000 :49-50).
Putusan Komisi
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak mengatur
secara rinci bagaimana proses pengambilan putusan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha. Hanya saja dalam penjelasan Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 dinyatakan bahwa pengambilan keputusan Komisi dilakukan dalam suatu
sidang Majelis yang beranggotakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota Komisi.
Senada dengan ini, Pasal 7 Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 menyatakan
bahwa untuk menyelesaikan suatu perkara, Komisi Pengawas Persaingan Usaha bisa
melakukan sidang majelis, yang beranggotakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang
anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha, di mana keputusannya ditandatangani
oleh seluruh anggota majelis. Dengan demikian penyelesaian atau pemeriksaan
perkara penegakan hukum persaingan harus dilakukan dalam sidang yang berbentuk majelis,
majelisnya beranggotakan minimal 3 (tiga) orang. Pengambilan putusan melalui
sidang majelis merupakan hal yang biasa dan juga dilakukan oleh Komisi-komisi negara
lain, seperti Amerika Serikat dan Jepang (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.),
2000: 136).
Konsep pengaturan seperti di atas sangat dipengaruhi
oleh pengaturan pengambilan keputusan sidang majelis pada peradilan umum, di
mana suatu putusan dikatakan sebagai putusan majelis hakim, walaupun mungkin
ada anggota majelis yang tidak setuju terhadap putusan tersebut. Seyogianya
berkas putusan harus memuat seluruh pendapat anggota majelis hakim, yang mana
yang setuju, yang mana yang tidak setuju beserta alasannya, sehingga masyarakat
dapat menilai kredibilitas dari hakim yang memeriksa perkara tersebut. Oleh
karena itu, proses pengambilan putusan dalam Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebaiknya
dilakukan dengan suara terbanyak, sehingga diketahui anggota mana yang setuju,
mana yang tidak setuju, serta apa alasannya. Pendapat dari masing-masing
anggota yang tidak setuju tersebut harus juga dimasukkan ke dalam dokumen putusan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Dengan demikian kredibilitas dari
masing-masing anggota dapat diketahui dari setiap putusan yang dijatuhkan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.),
2000:136-137).
Perhatikan penegasan yang terdapat dalam Pasal 6
Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999, yaitu dalam menangani perkara, anggota
Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus bebas dari pengaruh dan kekuasaan
pemerintah serta pihak lain. Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang
menangani perkara tersebut pun dilarang mempunyai hubungan sedarah atau semenda
sampai derajat ketiga dengan salah satu pihak yang berperkara atau mempunyai
kepentingan dengan perkara yang bersangkutan. Anggota Komisi Pengawas
Persaingan Usaha yang memenuhi ketentuan di atas, wajib menolak untuk menangani
perkara yang bersangkutan. Tuntutan penolakan bisa pula datang dari pihak yang
berperkara dengan melampirkan bukti-bukti tertulis apabila anggota Komisi
Pengawas Persaingan usaha yang bersangkutan terbukti memenuhi ketentuan di
atas.
Sama halnya dengan putusan pengadilan, putusan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha mengenai hasil pemeriksaannya harus dibacakan
dalam suatu sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dan segera diberitahukan
kepada pelaku usaha, yairu dengan menyampaikan petikan putusan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha kepada pelaku usaha.
Dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan
bahwa putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang telah diterima, dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterima pemberitahuan petikan putusan
oleh pelaku usaha, wajib dilaksanakan dan dilaporkan pelaksanaannya kepada
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Namun, apabila kewajiban melaksanakan putusan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak dijalankan oleh pelaku usaha, Komisi
Pengawas Persaingan Usaha akan menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik
untuk menyidik sesuai dengan ketentuan pemndang-undangan yang berlaku. Putusan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha tersebut dapat dijadikan sebagai bukti
permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
Jika penyidik yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah penyidik kepolisian/jaksa/penyidik PNS,
kredibilitas ketiga penyidik (khususnya kepolisian dan jaksa) itu patut
dipertanyakan, sebab perkara-perkara ini memerlukan penguasaan bidang hukum dan
ekonomi yang tinggi.
Untuk apa kita mernbentuk Komisi Pengawas Persaingan
Usaha dan stafnya yang tidak lain adalah pakar yang mempunyai integritas
kepribadian dan keilmuan yang memadai jika kemudian putusan mereka yang telah
melalui proses rumit hams disidik ulang oleh penyidik kepolisian atau
kejaksaan. Kalaupun yang dimaksud adalah penyidik PNS, kira harus tetap
mempertanyakan kredibilitasnya, sebab ketentuan pasal ini mengandung ketidakjelasan
atau ambiguitas. Dalam hal ini, sudah sewajarnyalah Komisi Pengawas Persaingan
Usaha diberi kewenangan untuk mempertahankan putusannya dengan mengajukannya ke
pengadilan jika putusan tersebut sangat berkaitan erat dengan kepentingan publik
(public interest). Biarkanlah pengadilan yang menguji putusan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha tersebut (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000:
135-136).
Dari berbagai perbandingan dengan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha di negara-negara lain, pada prinsipnya putusan Komisi akan
diterima dan dilaksanakan jika ada kepercayaan yang penuh dari masyarakat
pelapor atau pelaku usaha. Selain itu Komisi harus benar-benar independen serta
memiliki keahlian dalam tugas dan wewenangnya. Namun demikian, hampir semua negara
yang diperbandingkan menyebutkan putusan Komisi dapat dimintakan banding ke
pengadilan (Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000: 150).
Pengajuan
Keberatan oleh Pelaku Usaha
Pelaku usaha mempunyai hak untuk mengajukan upaya hukum
berupa "keberatan" atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
kepada Pengadilan Negeri dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari
setelah menerima pemberitahuan putusan. Akan terapi, apabila dalam tenggang
waktu yang ditentukan tersebut pelaku usaha tidak mengajukan keberatan, menurut
Pasal 44 ayat (3) dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pelaku usaha
tersebut dianggap menerima putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, sehingga
putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Agar mempunyai kekuatan
eksekutorial, putusan yang telah mernpunyai kekuatan hukum tetap tersebut harus
dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri. Dengan diterimanya
putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha oleh pelaku usaha, dengan sendirinya pelaku
usaha wajib melaksanakan putusan yang diterimanya dari Komisi Pengawas
Persaingan Usaha dan melaporkan pelaksanaannya kepada Komisi Pengawas
Persaingan Usaha dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sejak menerima
pemberitahuan petikan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Selanjutnya, menurut Pasal 45 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, terhadap keberatan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri, Pengadilan
Negeri hams memeriksa keberatan pelaku usaha tersebut dalam jangka waktu 14
(ernpat belas) hari sejak diterimanya keberatan tersebut oleh Pengadilan
Negeri. Putusan Pengadilan Negeri mengenai keberatan pelaku usaha tadi harus diberikan
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pemeriksaan keberatan tersebut dimulai.
Dalam tenggang waktu yang ditentukan, kita
menghadapi tantangan, yaitu sekarang Pengadilan Negeri dituntut bekerja lebih
profesional; dengan hakim-hakim yang memiliki keahlian serta sumber daya
manusia yang menguasai hukum persaingan usaha, kepastian hukum baik dari segi
kualitas putusan maupun dari aspek kepastian waktu dalam beracara dapat
tercapai.
Penegakan hukum tidak bisa dilaksanakan hanya dengan
membentuk undang-undang baru saja. Selain itu, ia juga harus didukung sumber
daya manusia yang berkualitas dan memahami hukum. Sumber daya manusia tersebut
juga harus professional dalam tugas dan wewenangnya. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan sumber daya manusia (khususnya hakim) di Pengadilan Negeri yang
nantinya akan menangani perkara-perkara persaingan usaha seyogyanya Pemerintah
mengadakan pendidikan dan pelatihan hakim dan personalia pengadilan lainnya.
Selain itu, alangkah baiknya bila para hakim memanfaatkan program pendidikan peradilan
lanjutan, baik di dalam maupun di luar negeri. Apabila pengadilan memiliki
sumber daya manusia (dalam hal ini : hakim-hakim) yang ahli dan memahami hukum
persaingan dengan baik, serta didukung faktor-faktor teknis lainnya di
pengadilan yang dapat mendukung proses beracara, kiranya tenggang waktu 30
(tiga puluh) hari sudah cukup memadai untuk mengambil keputusan (Ayudha D.
Prayoga et al., (Ed.), 2000: 151).
Selain "menguji" putusan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha, Pengadilan Negeri juga berwenang untuk memeriksa dan
mengadili perkara-perkara penegakan hukurn persaingan usaha yang telah
diserahkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha kepada penyidik kepolisian
atau kejaksanaan. Selanjutnya, Pengadilan Negeri dapat menjatuhkan pidana pokok
sekaligus pidana tambahan kepada pelaku usaha yang terbukti melanggar Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 masih memberikan kesernpatan
kepada pelaku usaha untuk mencari keadilan dengan melakukan upaya hukum
terakhir yang dapat diajukan kepada Mahkamah Agung. Apabila pelaku usaha tidak
menerima atau menolak putusan Pengadilan Negeri, dalam tenggang waktu 14 (empat
belas) hari pihaknya dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Setelah
itu, Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
sejak permohonan kasasi tersebut diterima.
Ketentuan tenggang waktu yang diberikan kepada
Mahkamah Agung tersebut patut dipertanyakan : apakah waktu tersebut dapat dipenuhinya?
Apalagi ada begitu banyak perkara yang masuk serta tunggakan yang harus
diselesaikan Mahkamah Agung (Ayudha D. Prayoga et aI., (Ed.), 2000: 143).
Dengan demikian, penanganan perkara penegakan hukum persaingan
usaha harus diselesaikan terlebih dahulu melalui dan di tingkat Komisi Pengawas
Persaingan Usaha. Sanksi yang diberikannya pun juga terbatas pada penjatuhan
sanksi administratif belaka oleh Komisi Pengawas Persaingan usaha. Apabila sampai
ke pengadilan, sudah tentu sanksi yang akan dikenakan jauh lebih berat
dibandingkan sanksi administratif yang dijatuhkan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha. Sebenarnya pembentuk undang-undang berkeinginan mendayagunakan sanksi administratif
dalam penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia tanpa mengabaikan
kewenangan yang dimiliki pengadilan untuk rnengadili pelanggaran terhadap suatu
undang-undang.
5.3.
Sanksi Penegakan HukmnPersaingan Usaha
Dari Pasal 47 sampai dengan Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999, terdapat 3 (tiga) macam sanksi yang dapat dijatuhkan kepada
pelaku usaha yang melanggar hukum persaingan usaha. Ketiga macam sanksi
tersebut meliputi tindakan administratif yang dijatuhkan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha, sanksi pidana pokok, dan pidana tambahan yang dijatuhkan pengadilan.
Sanksi
pidana juga tercantum dalam Undang-Undang Antimopoli Jepang yang diatur dalam
Pasal 89 dan Pasal 90, di antaranya terhadap tindakan-tindakan private
monopolization , unreasonable restraint of trade (cartel) , dan kegiaran trade
association yang pada intinya mengekang persaingan, termasuk perjanjian Internasional
ilegal. Sedangkan sanksi pidana tidak dikenakan terhadap unfair business
practices karena tindakan tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran
serius dibandingkan dengan tindakan tersebut di atas (Insan Budi Maulana,
2000:55).
Pasa147 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa
Komisi Pengawas Persaingan Usaha berwenang untuk menjatuhkan sanksi berupa
tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Tindakan administratif tersebut dapat berupa
a. Penetapan
pembatalan perjanjian yang dilarang untuk dilakukan pelaku usaha, yaitu
perjanjian-perjanjian oligopoli (Pasal 4), penetapan harga (Pasal 5)"
diskriminasi harga (Pasal 6), pengekangan harga diskon (Pasal 7), pengekangan
harga distributor (Pasal 8), pembagian wilayah (Pasal 9), pemboikotan (Pasal
10); kartel (Pasal 11), trust (Pasal 12), oligopsoni (Pasal 13), perjanjian
tertutup (Pasal 15), dan perjanjian dengan pihak luar negeri (Pasal 16);
dan/atau
b. Perintah
kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal (Pasal 14).
Penghentian integrasi vertikal antara lain dilaksanakan dengan memberikan
perjanjian, pengalihan sebagian perusahaan kepada pelaku usaha lain, atau
perubahan bentuk rangkaian produksinya; dan/atau
c. Perintah
kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan
praktik monopoli dan/atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan/atau
merugikan masyarakat. Diperintahkan untuk diberhentikan di sini hanya suatu
kegiatan atau tindakan tertentu saja dan bukan kegiatan usaha pelaku usaha
secara keseluruhan; dan/atau
d. Perintah
kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan/atau
e. Penetapan
pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan
saham (Pasal 28); dan/atau
f. Pembayaran
ganti rugi. Ganti rugi diberikan kepada pelaku usaha dan kepada pihak lain yang
dirugikan; dan/atau
g. Pengenaan
denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
Pidana pokok yang dikenakan kepada pelaku usaha yang
melanggar hukum persaingan Indonesia dalam bentuk pidana denda
serendah-rendahnya satu miliar rupiah dan setinggi-tingginya seratus miliar
rupiah; atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya tiga bulan sampai
dengan enam bulan.
Pasal48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menentukan pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal-pasal 4, 9, 16, sampai dengan 19, Pasal 25, Pasal 27,
dan Pasal 28, dapat diancam pidana denda minimal dua puluh lima miliar rupiah
dan maksimal seratus miliar rupiah, atau pidana kurungan pengganti denda maksimal
enam bulan. Kemudian, pelanggaran terhadap ketentuan Pasal-pasal 5 sampai
dengan 8, 15, 20 sampai 24, dan 26, dapat diancam pidana denda minimal lima
miliar rupiah dan maksimal dua puluh lima miliar rupiah, atau pidana kurungan pengganti
denda maksimal lima bulan. Selanjutnya, pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41
dapat diancam pidana denda minimal satu miliar rupiah dan maksimal lima miliar
rupiah, atau pidana kurungan pengganri denda maksimal tiga bulan. Dengan
demikian terdapat tiga macam pidana denda yang dijatuhkan kepada pelaku usaha
oleh pengadilan, yaitu pidana denda minimal dua puluh lima miliar rupiah, pidana
denda minimal lima miliar rupiah, dan pidana denda minimal satu miliar rupiah;
masing-masing disertai pidana kurungan pengganti denda.
Pengadilan juga dapat menjatuhkan pidana tambahan,
di samping pidana pokok kepada pelaku usaha yang telah melanggar Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999. Pidana tambahan ini diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 yang menentukan bahwa dengan menunjuk ketentuan pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ,
dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha; larangan kepada
pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 untuk menduduki jabatan Direksi atau Komisaris minimal dua tahun
dan maksimal lima tahun; atau penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang
menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Dalam pelaksanaannya di masa mendatang, perlu ada
koordinasi yang efektif dengan pihak terkait lainnya, terutama dengan Departemen
Perindustrian dan Perdagangan yang berhubungan dengan perizinan di bidang usaha
yang dikenakan sanksi tambahan tersebut. Selain itu, hal ini masih perlu
mendapat perhatian dari Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia yang akan memberi
pengesahan suatu badan hukum yang akan berdiri atau mengalami perubahan.
Diharapkan pihak terkait ini menelaah dengan cermat sebelum akhirnya memberi
izin dan/atau mengesahkan suatu badan hukum yang akan berdiri atau yang
mengalami perubahan susunan pengurus. Tanpa koordinasi yang efektif, upaya
penegakan hukum yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan usaha akan
sia-sia saja (Insan Budi Maulana, 2000:59).
Daftar
Pustaka
·
Zen Umar Purba. 1995 . "Pokok-Pokok
Pikiran mengenai Pengaturan Persaingan Sehat dalam Dunia Usaha''. Hukum dan Pembangunan Nomor 1 Tahun
XXV. Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
·
Abdurrahman. 2001. "Beberapa Aspek
Hukum Sekitar Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
(Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999)". Makalah disampaikan
pada Acara Diskusi Periodik Tenaga Pengajar Fakultas Hukum UNLAM. Banjarmasin :
Fakultas Hukum UNLAM.
·
Abdul Hakim G. Nusantara. 1999.
"Interpretasi berdasarkan Standar Internasional", dalam Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Perspektif
Internasional.
·
Newsletter
Nomor 39
Tahun X. Jakarta : Yayasan Pusat
Pengkajian Hukum.
·
Abdul Hakim G. Nusantara dan Benny K.
Harman. 1999 . Analisa dan Perbandingan Undang-Undang Antimonopoli
(Undang-Undang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia). Jakarta : PT. Elok Komputindo.
·
Adrianus Meliala (Penyunting). 1993. Praktik Bisnis Curang. Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan.
·
Agus Sardjono . 1998. "Pentingnya Sistem
Persaingan Usaha yang Sehat dalam Upaya Memperbaiki Sistem Perekonomian". Newsletter Nomor 34 Tahun IX. Jakarta : Yayasan Pusat
Pengkajian Hukum.
·
Ahmad M. Ramli. 2000. Hak Atas Kepemilikan Intelektual : Teori Dasar
Perlindungan Rahasia Dagang. Bandung : CV. Mandar Maju.
·
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. 1999. Anti Monopoli. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
·
Aji Setiadi. 2000. "Anti Dumping
dalam Perspektif Hukurn Indonesia". Newsletter
Nomor 43 Tahun XI. Jakarta
: Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
·
Asril Sitompul. 1999. Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat (Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999). Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
·
Ayudha-D. Prayoga et al. (Ed.). 2000. Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya
di Indonesia. Jakarta : Proyek ELIPS. Badan Pembinaan Pelaksanaan
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan.
·
Pancasila Pusat. 1992. Undang-Undang Dasar, Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila Ketetapan MPR No. II/MPRI1978, Garis-garis Besar Haluan
Negara Ketetapan MPR No.II/MPR/1988. Jakarta : Badan Pembinaan
Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Pusat.
·
Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Pusat. 1996. Undang-Undang Dasar, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
Ketetapan MPR No.II/MPR/1978, Garis-garis Besar Haluan Negara Ketetapan MPR No.II/MPRI1993.
Jakarta : Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Pusat.
·
Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Pusat. 1994. Bahan Penataran P-4 : Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta : Badan
Pembinaan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Pusat.
·
Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Pusat. 1994. Bahan Penataran P-4 : Garis-garis Besar Haluan Negara. Jakarta : Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Pusat.
·
Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Pusat. 1996. Bahan Penataran : Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Garis-garis Besar Haluan Negara. Jakarta : Badan Pembinaan
Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Pusat.
·
Chatamarrasjid. 2000. Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing the Corporate
Veil): Kapita Selekta Hukum Perusahaan. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
·
Dimyati Hartono. 1998. "Monopoli
dan Oligopoli Suatu Tinjauan Hukum", dalam UU Antimonopoli Seperti Apakah yang Sesungguhnya Kita Butuhkan? Newsletter Nomor 34 Tahun IX. Jakarta : Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
·
Erman Radjagukguk. 1998. "Larangan
Praktik Perdagangan Curang dalam UU Persaingan
Usaha", dalam UU Antimonopoli
Seperti Apakah yang Sesungguhnya Kita Butuhkan? Newsletter Nomor 34 Tahun
IX. Jakarta : Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
·
Franciscus Welirang. 1999.
"Persaingan Sehat sebagai Instrumen Mengatasi Inefisiensi : Persaingan
Meningkatkan Efisiensi Pemanfaatan Faktor-Faktor Produksi", dalam Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat dalam Perspektif Internasional. Newsletter Nomor 39 Tahun
X. Jakarta : Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
·
Hikmahanto Juwana. 1999. "Menyambut
Berlakunya UU Nomor 5 Tahun
1999: Beberapa Harapan dalam Penerapannya oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha". Hukum dan Pembangunan Nomor 4 Tahun XXIX. Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
·
Hikrnahanro Juwana. 1999. "Merger,
Konsolidasi, dan Akuisisi dalam Perspektif Hukum Persaingan dan UU No. 5/1999". Newsletter Nomor 38 Tahun X. Jakarta : Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
·
Hikmahanto Juwana. 1999.
"Interpretasi UU No.
5/1999 dengan Menggunakan Standar Internasional", dalam Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Perspektif Internasional. Newsletter Nomor 39 Tahun X. Jakarta : Yayasan Pusat
Pengkajian Hukum.
·
H.S. Kartadjoemena. 1997. GATT, WTO, dan HasH Uruguay Round. Jakarta
: Universitas Indonesia Press.
·
Insan Budi Maulana. 2000. Catatan Singkat Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
·
Jimly Asshiddiqie. 1994. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia : Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan
Kolektivisme dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi Selama
Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980an.
Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
·
John W Head. 1997. Pengantar Umum Hukum Ekonomi. Jakarta
: Proyek ELIPS.
·
K. Wantjik Saleh. 1978. Kitab Himpunan Peraturan Perundangan Republik
Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia.
·
K. Wantjik Saleh. 1981. Kitab Himpunan Lengkap Ketetapan-Ketetapan MPRS/MPR.
Jakarta : Ghalia Indonesia.
·
Kwiek Gian Gie . 1994. Saya Bermimpi jadi Konglomerat. Jakarta
: PT. Gramedia.
·
Marulak Pardede. 1996. "Masalah
Hukum Persaingan Curang dalam Perdagangan", Newsletter Nomor 24 Tahun
VII. Jakarta : Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
·
Muchtar. 1999. "Pemikiran,
Filosofi, Prinsip Dasar, dan Visi UU No. 5/199", dalam Mencermati Prinsip
dan Visi UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
yang Tidak Sehat . Newsletter Nomor 37
Tahun X. Jakarta : Yayasan
Pusat Pengkajian Hukum.
·
Muchyar Yara. 1995 . Merger (Penggabungan Perusahaan) menurut Undang-Undang
Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun
1995 . Jakarta : PT. Nadhilah Ceria Indonesia.
·
Muladi. 1998. "Menyosong Keberadaan
UU Persaingan Sehat di Indonesia", dalam UU Antimonopoli Seperti Apakah
yang Sesungguhnya Kita Butuhkan? Newsletter
Nomor 34 Tahun IX. Jakarta
: Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
·
Munir Fuady. 1996. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik Buku Ketiga.
Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti.
·
Munir Fuady. 1999. Hukum Perbankan Modern berdasarkan Undang-Undang
Tahun 1998 Buku Kesatu. Bandung
: PT. Citra Aditya Bakti.
·
Munir Fuady. 1999. Hukum tentang Merger. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
·
Munir Fuady. 1999. Hukum Antimonopoli Menyongsong Era
Persaingan Sehat. Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti.
·
Munir Fuady. 2001. Hukum tentang Akuisis, Take Over, dan LBO. Bandung
: PT. Citra Aditya Bakti.
·
Normin S. Pakpahan. 1997."Hukum
Persaingan: Suatu Tinjauan Konseptual". Jurnal Hukum Bisnis Volume 1. Jakarta : Yayasan Pengembangan Hukum
Bisnis.
·
Normin S. Pakpahan et al. (Penyunting)
1997. Kamus Hukum Ekonomi ELIPS. Jakarta
: Proyek ELIPS.
·
Office of the U.S. Trade Representative
Executive Office of the President t.t. Final
Act Embodying The Results of the Uruguay Round ofMultilateral Trade Negotiations Mrsion of 15 December 1993). Washington : Office
of the U.S. Trade Representative Executive Office of the President.
·
Pande Raja Silalahi. 1999. "Merger,
Konsolidasi, dan Akuisisi dari Sudut Perbankan berdasarkan UU No. 5/1999".
Newsletter Nomor 38 Tahun X. Jakarta : Yayasan Pusat
Pengkajian Hukum.
·
Rachmadi Usman. 2000. Hukum Ekonomi dalam Dinamika. Jakarta
: PT. Djambatan.
·
Rachmadi Usman. 2001. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta
: PT. Gramedia Pustaka Utama.
·
Rachmadi Usman. 2001. "Menyingkap
Hukum Persaingan Usaha
di
Indonesia (Telaah Sementara Model Penegakan Hukum Persaingan Usaha menurut Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999)". Makalah disampaikan pada Acara Diskusi Periodik
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum UNLAM. Banjarmasin : Fakultas Hukum UNLAM.
·
Sanusi Bintang dan Dahlan. 2000. Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis. Bandung
: PT. Citra Aditya Bakti.
·
Sarjipto Rahardjo. 1996. Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti.
·
Sekretariat Jenderal MPR RI. r.r. Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang lstimewa Tahun 1998. Jakarta :
Sekretariat Jenderal MPR RI.
·
Sekretariat Jenderal MPR RI. t .t. Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI.
·
Sekretariat Jenderal MPR RI. t .t. Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999. Jakarta :
Sekretariat Jenderal MPR RI.
·
Sekretariat Jenderal MPR RI. 2000. Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia 7-18 Agustus 2000. Jakarta
: Sekretariat Jenderal MPR RI.
·
Sekretariat Negara Republik Indonesia .
t.t. Undang-Undang Dasar, Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Ketetapan MPR No. II/MPRI1978, Garis-garis
Besar Haluan Negara Ketetapan MPR No.
II/MPR/1983. Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.
·
Subandi Al Marsudi. 2001. Pancasila dan UUD'45 dalam Paradigma Reformasi.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
·
Sumantoro (Penyunting), 1986. Hukum Ekonomi. Jakarta : Universitas Indonesia
Press.
·
Sunaryati Hartono. 1982. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia. Bandung
: Bina Cipta.
·
Sutan Remy Sjahdeini. 2000.
"Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat". Jurnal Hukum Bisnis Volume 10. Jakarta
: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis.
·
Sri Bintang Pamungkas. 1996. Pokok-Pokok Pikiran tentang Demokrasi Ekonomi
& Pembangunan. Jakarta
: Yayasan Daulat Rakyat.
·
Sri Edi Swasono. 1993. "Demokrasi
Ekonomi : Keterkaitan Usaha Partisipatif vs Konsentrasi Ekonomi", dalam
Oeotojo Oesman dan Alfian (Penyunting . Pancasila
sebagai Ideologi dalam Berbagai
Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara. Surabaya : Karya Anda.
·
Thee Kian Wie . 1999. "Aspek-Aspek
Ekonomi yang Perlu Diperhatikan dalam Implementasi UU No. 5/1999", dalam Mencermati Prinsip dan Visi UU No. 5/199 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha
yang Tidak Sehat . Newsletter Nomor 37
Tahun X. Jakarta : Yayasan
Pusat Pengkajian Hukum.
·
Yayasan Klinik HAKI (IP CLINIC). 2001. Kumpulan Perundang-undangan di Bidang HAKI:
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000
tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain
lndustri, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti.
Tentang
Penulis
Lahir di Banjarmasin, 14 September 1967 , Rachmadi
Usman, SH mengenyam pendidikan di SD Negeri Pekauman, Banjarmasin (1981); SMP
Negeri 6 Dahlian, Banjarmasin (1983); SMA Negeri 4, Banjarmasin (1986); dan
Fakultas Hukum Unlam, Banjarmasin (1991). Ketika buku ini diterbitkan, ia
sedang mengikuti Program Magister Ilmu Hukum (S2) Unlam, Banjarmasin.
Sebagai
sarjana hukum, ia mendedikasikan diri sebagai dosen Fakultas Hukum UNLAM (1993-sekarang);
dosen luar biasa Fakultas Ekonomi UNLAM (1995-sekarang); dosen luar biasa Fakultas
Ilmu Sosial Politik UNISKA (2001), dosen dan sekretaris Program SI Non-Reguler
Fakultas Hukum UNLAM (2002-2003); serta dosen dan pembantu bidang administrasi
dan umum Program SI Non-Reguler Fakultas Hukum UNLAM (2003 sekarang).
Ada berbagai kursus/pelatihan dan penataran yang pernah
ia ikuti, di antaranya: Penataran Hukum Perdata, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
(1994); Intellectual Property Right Teaching of Teachers, Fakultas Hukum UI ,
Jakarta (995); Kursus Alternative Dispute Resolution, Fakultas Hukum UI-Elips
Project, Jakarta (1996); Penataran Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum UGM,
Yogyakarta (1997); Pencangkokan Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Ul-Elips Project,
Jakarta (998); Penataran Applied Approach, UNLAM, Banjarmasin (1999); Pelatihan
Penulisan Buku Ajar, UNLAM, Banjarmasin (2001); dan Pelatihan Penulisan Artikel
Ilmiah, USU, Medan (2003).
Instrumen Hukum Nasional dalam Peratifikasian
Perjanjian dengan Negara Lain menurut Undang-Undang Dasar 1945, Orientasi Nomor
2 Tahun XXII, Banjarmasin, Fakultas Hukum UNLAM; Dampak Penerapan Politik
Kodifikasi Parsial dan Terbuka Terhadap Pembaharuan dan Pembentukan Norma Hukum
dan Perundang-undangan Perdata Nasional, Orientasi Nomor 1 Tahun XXVII,
Banjarmasin, Fakultas Hukum UNLAM dan Kewenangan Ekstra Yudisial Badan
Pembinaan Hukum Nasional dalam Perspektif Hukum, Orientasi Nomor 3 Tahun XXVII,
Banjarmasin, Fakultas Hukum, UNLAM; merupakan beberapa contoh karya ilmiah yang
dihasilkannya. Selain itu, ia juga menulis berbagai makalah, seperti Prospek
Peradilan Umum dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan: Sebuah Telaah Sementara (disampaikan
dalam diskusi Program Pencangkokan Hukum Ekonomi II Fakultas Hukum Universitas
Indonesia-Elips Project, Jakarta); Aspek Hukum Hak Gugat Organisasi Lingkungan (disampaikan
pada Diskusi Periodik Tenaga Pengajar Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum
UNLAM pada tanggal 22 Juni 1999); dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Aspek Hukum
dan Penyelesaiannya) [Makalah Diskusi Program Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Unlam, Banjarmasin]. Artikel populer yang ditulisnya pernah dimuat
di berbagai media massa nusantara.
Di sela-sela kegiatannya melakukan penelitian, ia
juga telah menghasilkan beberapa buku, antara lain: Pokok-pokok Hukum Lingkungan
Nasional, CV. Akademika Pressindo, Jakarta (1993); Pasal-Pasal Hak
Tanggungan atas Tanah, PT. Djambatan, Jakarta (1999); Dimensi Hukum
Surat Berharga, PT. Djambatan, Jakarta (2001); Aspek-Aspek Hukum
Perbankan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (2001); Aspek-Aspek Hukum
Perbankan Islam di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung (2002); Perkembangan
Hukum Perdata, 4PT Pustaka Sinar Harapan, Jakarta (2003); dan Hukum
HAKI: Perlindungan dan Dimensi Hukumnya, Alumni, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar